LUKISAN

Hari berikutnya, Joko begitu malas melangkahkan kakinya memasuki area pabrik. Beberapa kali membuang napas besar disusul dengusan. Entah apa yang ia cari, entah apa yang membuatnya berhenti dan entah apa yang menguatkannya untuk tetap berada di sini. Kosong, otaknya tak mampu memikirkan apa pun. Raut wajahnya terlihat begitu suntuk. Tak ceria sebagaimana mestinya.

Melihat Noval yang sedang sibuk dengan motornya, Joko pun mendekat. Dalam sepintas pandang, Noval telah dapat menduga kalau Joko habis dikerjai para penghuni pabrik semalam. Joko hanya bisa mengangguk pelan. Noval terkekeh seraya duduk di atas jok motornya.

"Kamu mau resign Jok?" tanya Noval.

"Sempat ingin dan sempat ngomong juga ke pak Sigit."

"Lalu?"

"Batal."

"Kenapa?"

"Pak Sigit memintaku untuk bertahan sebentar lagi sampai aku bisa terbiasa seperti kamu."

"Aku?"

Sekali lagi Joko mengangguk, sementara Noval malah tertawa.

"Tahu apa pak Sigit? nih, kalau jantungku dibelah, detaknya sudah tidak wajar. Terbiasa apanya? tiap kali dapat gangguan, aku juga ketakutan setengah mati rasanya."

"Kalau memang begitu, kenapa kamu masih bertahan?"

"Jok.. Jok, hal ini mestinya sudah bisa kamu jawab sendiri."

"Duit?"

"Hemm.. gampangnya seperti ini, aku ketakutan tapi setelah rasa takut mereda, aku ingat duitnya lagi dan berpikir untuk bertahan beberapa bulan ke depan. Setidaknya, uangku sudah lumayan untuk bekal bertahan sembari mencari pekerjaan yang baru lagi. Setidaknya, harus bisa beli motor baru dulu lah aku."

"Nyalimu kuat juga."

"Enggak juga, ini juga maksain kok aku. Masalah ke depannya gimana, aku gak tahu."

"Kayaknya memang harus dijalani dulu."

"Iya Jok," jawab Noval seraya menepuk pelan pundak Joko sebelum kemudian, ia berpamitan karena jam kerjanya telah selesai.

"Hati-hati!"

"Kamu yang harusnya hati-hati Jok."

"Iya ya."

Joko kembali menghela napas panjang.

...🍂🍂🍂...

Perlahan, malam pun datang. Hal yang sungguh tak bisa Joko hindari. Begitulah hari, ada terang dan ada petang. Hanya saja, Joko begitu berharap kalau petang kan berlalu dengan cepat.

"Kalau kamu masih belum kuat, di sini saja dulu!" pinta pak Edi.

"Gak apa-apa pak, pak Edi keliling sendirian?"

"Gak apa-apa lah."

"Maaf ya pak!"

"Iya, ya sudah, jalan dulu!"

"Iya pak."

"Baik sekali pak Edi. Tertolong sekali nih, kalau orang lain, belum tentu mau," gumam Joko seraya memainkan bolpoin di tangannya.

Dalam heningnya malam, pandangan Joko terfokus pada sebuah lukisan di salah satu sisi dinding pos satpam. Dahinya mengernyit karena sedari tadi, Joko tidak menyadari kalau ada lukisan yang digantungkan di sana. Hatinya pun bertanya-tanya, tentang siapa dan kapan lukisan itu diletakkan?

"Apa pak Edi? atau pak Sigit? kapan? untuk apa pos satpam diberi lukisan?"

Sekeras apa pun berpikir, Joko tidak bisa memahaminya. Joko hanya mengamatinya saja. Lukisan itu digoreskan di atas kanvas putih yang tidak begitu besar. Kira-kira hanya seukuran pigura foto 10 RS saja. Seorang perempuan berkebaya merah yang dilukis di dalam lukisan tersebut. Dari gestur yang ia ditunjukkan, ia seolah tengah menari. Tubuhnya meliuk indah dengan wajah menyerong sedikit, menghadap sisi kiri bawah. Tak lupa, seulas senyum dilukis dengan indah. Rambutnya disanggul dengan dua kuntum bunga kamboja yang diselipkan di sisi kanan rambutnya. Tubuhnya ramping, terlihat begitu elegan dengan balutan jarik dan kebaya tradisional.

Entah halusinasi atau emang nyata adanya. Joko melihat kalau sosok di dalam lukisan, bergerak perlahan. Joko mengusap matanya seraya memperjelas penglihatannya. Sekali lagi sosok itu bergerak hingga benar-benar memalingkan wajahnya, menghadap ke arah Joko tepat. Antara percaya dan tidak, Joko mengusap matanya lagi untuk yang kesekian kali.

"Beneran nengok tuh lukisan?" celetuk Joko dengan polosnya.

Sayangnya, ternyata itu benar. Kini, sosok itu memperlebar senyumnya seraya melanjutkan tariannya. Seolah sedang menonton televisi, Joko terdiam pada posisinya dengan tatapan lurus menghadap lukisan. Tak lama kemudian, sosok penari tersebut keluar dari kanvas, berjalan mendekat ke arah Joko yang masih terdiam.

Barulah setelah sosok itu menyentuh tangan Joko, Joko seolah kembali sadar. Tubuhnya menggigil, bergetar dengan hebatnya. Hendak berlari tapi kakinya sama sekali tidak bisa digerakkan. Bibirnya hanya bisa mengucap istighfar sembari berharap, pertolongan segera datang. Parahnya, sosok penari itu dapat menirukan semua yang Joko ucapkan.

"Astaghfirulloh!" seru Joko.

"Astaghfirulloh! Astaghfirulloh!" seru sosok itu menirukan Joko dengan nada centil dan lembutnya.

Joko membulat.

"Ya Alloh!"

"Ya Alloh! Ya Alloh!"

"Audzubillah Himinas Syaitonnirrojim.."

"Audzubillah Himinnas Syaitonnirrojim.."

Begitu seterusnya, sosok itu mengikuti setiap apa yang Joko ucapkan. Bahkan, saat Joko membaca al-fathikah dan ayat qursi, dia juga bisa menirukannya dengan lafadz yang lebih fasih lagi. Melihat Joko yang sudah mulai putus asa membuat sosok itu tertawa cekikikan.

"Aku, ikut kamu ya!" pinta sosok tersebut.

Joko hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Aku ikut!"

"Enggak!"

"Kenapa? apa aku kurang cantik?"

"Pergi kamu! Laa illahailla.."

"Laa illahaillalloh!"

"Jangan ngikutin!" bentak Joko.

"Kenapa?"

Kaki Joko benar-benar lemas. Dia sungguh berharap untuk pingsan saja daripada terus menerus berhadapan dengan sosok perempuan di depannya. Semakin Joko ketakutan, semakin senang sosok itu menggodanya. Dengan berani, sosok itu duduk di pangkuan Joko sembari memeluk Joko dengan erat. Joko sendiri, masih tidak bisa mengendalikan dirinya. Tubuhnya masih kaku, tidak bisa digerakkan.

Entah kekuatan dari mana, muncul dorongan begitu kuat dalam batin Joko untuk terus meminta pertolongan pada yang maha kuasa. Hingga akhirnya, dia bisa bergerak. Joko lekas berdiri dan kemudian berlari ke dalam lobby pabrik. Di sana, ada pak Wawan yang sedang berjaga. Pak Wawan menjadi panik melihat Joko yang lari terbirit-birit.

"Kamu kenapa Jok? ada apa? ada maling? di mana?" cerca pak Wawan.

"Bukan-bukan."

"Bukan? lalu kenapa?"

Joko terduduk di lantai sembari menormalkan deru napasnya.

"Setan ya?" tanya pak Wawan dengan entengnya.

Joko hanya bisa memandangi pak Wawan dalam diam.

"Tenang dulu deh, minum dulu!"

Joko menerima air putih pemberian pak Wawan lalu meminumnya perlahan.

"Kamu kok sendirian? Edi di mana?"

"Pak Edi keliling, saya tinggal sendirian di pos satpam."

"Oh, kamu digangguin setan di pos satpam?"

"Iya pak. Lukisan, ada lukisan penari di pos satpam."

"Owalah si Asri."

"Asri? pak Wawan kenal?"

"Bagaimana tidak, sudah sering dia nongol."

...Deg.....

Pak Wawan tertawa lalu menyeruput kopinya.

"Jangan takut! si Asri memang suka usil."

Joko semakin lemas mendengar perkataan pak Wawan.

"Sebenarnya ada apa dengan mereka semua? kenapa dan sampai kapan menghantuiku terus? apa salahku?"

Pak Wawan kembali tertawa mendengar ratapan Joko yang terdengar seperti ratapan artis dalam sinetron.

...🍂 Bersambung.. 🍂...

Terpopuler

Comments

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝙜𝙖𝙬𝙖𝙩 𝙠𝙡 𝙨𝙚𝙩𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙝 𝙗𝙞𝙨𝙖 𝙣𝙞𝙧𝙪 𝙗𝙖𝙘𝙖𝙖𝙣 𝙖𝙮𝙖𝙩 𝙨𝙪𝙘𝙞 𝙖𝙡 𝙌𝙪𝙧𝙖𝙣

2023-07-28

0

Putrii Marfuah

Putrii Marfuah

asri pinter ngaji

2022-10-14

0

Bintang kejora

Bintang kejora

Itu pabrik & para karyawan lamanya aneh² bngt. Hal gaib buat mrk udh jd hal yg biasa, gak ada lg rasa takut sm skali 🙈🙉🙉..

2022-08-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!