Lingga menurunkan tenggok yang berisi botol-botol jamu dari punggung. Meletakkannya di atas amben (balai-balai dari bambu yang biasa untuk duduk santai bahkan ada yang dipakai untuk tidur) dan mengeluarkan botol-botol jamu yang sudah tandas tanpa bekas itu. Berjalan ke belakang untuk mengangkat jemuran dan beberapa macam empon-empon mulai dari kunyit, jahe, sereh, kencur dan lain sebagainya. Empon-empon itulah yang nantinya akan ia gunakan sebagai bahan dasar untuk membuat jamu. Kunyit asam, beras kencur, pahitan, cabe puyang, kunci suruh, uyup-uyup, sinom, kudu laos, itulah variant jamu yang dijual oleh Lingga.
Lingga membuka tudung nasi. Terlihat ikan asin, tempe goreng dan sayur bayam yang pagi pagi tadi ia tinggal untuk sarapan sang suami masih utuh belum tersentuh sama sekali. Wanita itupun hanya bisa membuang napas sedikit kasar.
"Ternyata mas Heru tidak makan sama sekali masakanku ini. Hah, apa yang membuatnya tidak mau makan masakanku?"
Lingga sibuk bermonolog lirih. Ia ambil sendok makan, mencicipi sayur bayam yang ia masak dan mencicipi lauk yang tersedia. Dengan penuh penghayatan Lingga merasakan rasa masakannya ini. Mencoba mencari tahu, apa mungkin masakannya ini tidak enak sehingga membuat sang suami tidak sudi memakannya barang satu suap saja.
"Enak. Tapi mengapa mas Heru sama sekali tidak makan? Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa dia seakan tidak mau untuk menyentuh semua yang aku berikan?"
Lagi-lagi Lingga terjebak dalam pikirannya sendiri. Pertanyaan demi pertanyaan berputar di kepala seakan menuntut untuk ditemukan jawabannya. Namun tetap saja hanya kebuntuan yang ia dapatkan. Sepersekian menit Lingga nampak hanyut dalam pikirannya sendiri namun setelah itu kesadaran dapat ia rengkuh kembali saat teringat bahwa masih banyak yang harus ia kerjakan. Bersih-bersih rumah, memberi makan ayam dan mengisi bak mandi.
Lingga biarkan saja sayur dan lauk itu teronggok di atas meja. Ia lanjutkan pekerjaannya dengan memberi makan ayam dengan campuran nasi aking dan bekatul.
Riuh suara ayam terdengar saat Lingga memasuki sebuah lahan yang tidak terlalu besar yang sudah dipagari oleh jaring-jaring. Dengan cara seperti itu ayam-ayam peliharaan Lingga bisa bebas berkeliaran tanpa khawatir lepas ataupun melarikan diri. Sedangkan di sudut lahan ada pranjen yang memanjang dan diberi sekat sebagai tempat ayam betina mengerami telurnya. Seakan paham bahwa mereka akan diberi jatah makan oleh si pemilik, puluhan ayam mulai dari ayam jago, ayam betina dan ayam dere (masih remaja) berlarian ke arah Lingga. Tidak sabar untuk segera menikmati santap sore mereka.
"Sehat-sehat dan cepat besar ya kalian semua. Agar nanti aku bisa memiliki peternakan ayam kampung besar sekaligus menjadi pengusaha jamu tradisional yang bisa masuk ke pasar internasional."
Seakan mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Lingga, ayam-ayam itu mengeluarkan suara dan terdengar bersahut-sahutan. Hal itulah yang membuat Lingga tersenyum lebar. Mungkin dengan cara seperti ini ia bisa mengusir rasa lelah dan sepi. Ayam-ayam peliharaannya ini sudah seperti sahabat setianya yang selalu ada dikala ia kesepian karena sering ditinggal pergi oleh sang suami.
Sayup-sayup terdengar deru suara mesin motor yang berhenti depan rumah. Lingga yang memang sudah begitu menantikan kepulangan sang suami, ia tinggalkan begitu saja aktivitasnya memberi makan ayam dan bergegas ke halaman depan untuk menyambut kepulangan Heru.
"Mas, baru pulang? Mas Heru bersih-bersih dulu setelah itu aku bikinkan kopi ya."
Lingga mengulurkan tangannya untuk meraih telapak tangan Heru seperti seorang istri yang menyambut kepulangan sang suami dengan mencium punggung tangannya. Namun sayang seribu sayang, Heru justru menepis uluran tangan Lingga.
"Tidak perlu. Aku hanya pulang sebentar untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Setelah ini aku akan pergi lagi."
Dengan ketus dan memasang wajah jengah, Heru menanggapi ucapan Lingga. Hal itulah yang membuat Lingga sedikit terperangah.
"Sampeyan mau kemana lagi? Bukankah baru saja tiba di rumah? Apa tidak ingin bersih-bersih badan dan makan terlebih dahulu?"
Heru hanya tersenyum sinis. "Tidak, masakanmu tidak enak. Lebih baik aku makan di tempat lain."
Tanpa banyak bicara lagi, Heru mengayunkan tungkai kakinya untuk bersegera meninggalkan Lingga. Terlihat, ia masuk ke dalam kamar dan mengambil sesuatu dari dalam lemari. Setelah itu ia kembali naik ke atas motor, menyalakan mesin dan pergi begitu saja meninggalkan halaman depan.
Sedangkan Lingga hanya bisa menatap punggung sang suami yang semakin lama semakin hilang ditelan oleh jalanan dengan tatapan nanar. Seakan tidak mampu untuk berucap, hanya ada senyum getir yang seakan menjadi sebuah isyarat bahwa ucapan Heru sungguh sangat melukai hati dan perasaannya.
Baru pulang, pergi lagi. Apakah rumah ini hanya sekedar tempat untuk menyimpan pakaian dan menyimpan uang?
.
.
. bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
SUAMI GOBLOK YG TK BSA LIAT BRLIAN....
2023-12-09
1
☠ᵏᵋᶜᶟ🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🐝⃞⃟⃝𝕾𝕳ɳҽˢ⍣⃟ₛ♋
Hilih boleh getok pala nya heru ga sih lingga
2022-06-15
1
Najwa Aini
Ihh..Heru mengejek masakan istrinya..
lah dari dulu, dia makan masakan siapa
2022-06-02
0