Jamu Gendong -Janda Muda Gebetan Brondong-

Bab 10. Tidak Sudi

"Sebenarnya kamu ini bisa merawat tubuhmu atau tidak, hah? Mengapa milikmu itu sangat bau sekali?"

Selepas meninggalkan Lingga dan pergi entah kemana, Heru kembali masuk ke dalam kamar. Lelaki itu memunggungi Lingga dan memilih untuk berdiri di balik jendela sembari menikmati suasana malam yang ada di luar sana. Sebatang rokok pun juga turut ia hisap untuk membuang ataupun melupakan segala rasa kesal yang ia rasa.

"Apa maksudmu Mas? Bau apa yang kamu maksud? Aku merasa telah maksimal merawat milikku ini tapi mengapa kamu selalu mengatakan bau?"

Lingga benar-benar tidak habis pikir jika Heru bisa mengatakan hal itu. Padahal ia merasa miliknya sudah sangat bersih, wangi, dan harum. Tapi selalu ikan asin yang menjadi penilaian sang suami.

"Omong kosong macam apa itu? Jika kamu pandai merawat milikmu tentunya tidak akan bau ikan asin. Aku sungguh heran, biasanya para penjual jamu begitu pintar dan lihai untuk merawat tubuh terlebih bagian itu. Namun mengapa tidak denganmu?"

"Aku benar-benar tidak mengerti Mas. Padahal aku sama sekali tidak mencium aroma ikan asin seperti apa yang kamu katakan."

"Itu tandanya hidungmu yang bermasalah. Bau menyengat seperti ini masih saja tidak tercium oleh rongga hidungmu. Dan apakah kamu tahu? Bau itu benar-benar membuatku tidak berna*fsu dan juga berhasrat kepadamu."

Heru melangkahkan kakinya untuk mengambil jaket yang ia gantungkan di belakang pintu kamar. Ia kenakan jaket itu dan bersiap untuk pergi entah kemana.

"Mas, ini sudah malam. Mau kemana kamu Mas? Ingat, angin malam tidak baik untuk kesehatanmu Mas."

Lingga nampak cemas saat melihat gestur tubuh Heru yang menyiratkan bahwa lelaki itu akan keluar lagi. Meski apa yang diucapkan oleh Heru perihal ikan asin sedikit mengoyak batinnya, namun wanita itu masih mencemaskan kesehatan sang suami jika harus keluar malam-malam seperti ini.

"Tidak usah kamu perdulikan kemana aku akan pergi. Urusi saja bagaimana caranya agar milikmu itu tidak bau ikan asin. Sekali-kali belajarlah untuk menyenangkan hati suami!"

Bibir Lingga hanya bisa menganga lebar kala mendengar perkataan Heru. Ucapan Heru seakan menjadi sebuah gambaran bahwa selama ini ia tidak pandai membahagiakan sang suami. Padahal selama lima bulan menjadi istrinya, Lingga berupaya untuk menjadikan Heru sebagai raja di dalam rumah. Raja yang selalu diagungkan. Bahkan lelaki itu tetap diperlakukan istimewa oleh Lingga meski jatah uang belanja yang diberikan sungguh sangat kurang jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Oleh karenanya, mendengar Heru mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menyenangkan hati seorang suami, hati dan perasaan Lingga bak tertusuk seribu duri. Terasa begitu menyayat hingga ke palung hati.

"Tapi Mas, demi Tuhan aku sama sekali tidak mencium bau seperti apa yang kamu ucapkan. Aku merasa biasa saja."

Lagi, Lingga mencoba untuk menyanggah apa yang diucapkan oleh Heru. Ia sedikit tidak terima jika terus dirongrong oleh rasa bersalah karena selalu dianggap tidak bisa membahagiakan suami akibat bau ikan asin.

"Tidak perlu bawa-bawa nama Tuhan. Karena sungguh milikmu itu sangat bau sekali. Aku tidak menyangka ternyata mendiang kedua orang tuaku menjodohkanku dengan wanita berbau ikan asin. Dan ingat, jangan salahkan aku jika aku akan mencari kesenangan di luar sana. Karena aku sungguh, sejak awal kita menikah, aku tidak tahan dengan aroma milikmu itu. Yang selalu saja bau ikan asin!"

Heru melangkahkan kakinya untuk keluar kamar. Namun baru sampai di ambang pintu, ia hentikan langkahnya. Tanpa berbalik badan, Heru berkata, "selamanya aku tidak akan pernah sudi untuk menyentuh, menjamahmu, ataupun menyatukan raga denganmu. Ingat itu."