Anjani baru saja turun dari bentor. Dia terlihat memakai kaos lengan panjang motif bunga dan jeans dongker. Sling bag abu-abu menggantung di lengan kirinya. Dia sama sekali tidak memakai riasan wajah. Malam itu, penampilan Anjani benar-benar sederhana.
Anjani telah berdiri tidak jauh dari cafe. Dia melihat lebih dahulu suasana cafe yang dimaksud Juno. Cafe Bro-Sis cukup luas, jarak antar meja tidak terlalu dekat, dan pencahayaannya indah dengan nuansa modern. Cafe tersebut memiliki beberapa pelayan yang bertugas mencatat dan mengantar pesanan pelanggan. Benar-benar cafe yang lumayan besar.
Sejujurnya, Anjani tidak pernah ke cafe. Kalau di desa, dia lebih sering menemukan warung kopi yang mengandalkan menu utama berupa kopi tubruk dan kopi susu. Kondisi di desanya jelas jauh berbeda dengan di kota.
"Juno!" Anjani memanggil Juno yang baru saja akan memasuki cafe.
"Hei, ayo masuk!" ajak Juno.
Anjani dan Juno memilih tempat duduk dekat jendela di sebelah kanan pintu masuk. Juno mengajak Anjani melihat daftar menu untuk segera memesan. Nah, dari sanalah Anjani bingung dengan banyaknya daftar menu yang tertulis. Ice blend, milk shake, fruit tea, hot tea, fruit juice, dalgona coffee, latte, mochaccino latte, fresh milk, dan masih banyak lagi yang lainnya. Anjani memang pernah membaca artikel tentang menu-menu tersebut, tapi dia sama sekali belum pernah mencicipinya.
"Jadi, kamu mau pesan apa?" tanya Juno setelah sekian menit lamanya.
"Kopi tubruk ditambah sedikit kental manis," pinta Anjani.
"Anjani, yakin dengan pesananmu?" tanya Juno sekali lagi.
"Tentu saja. Rasa original lebih cocok untukku," jelas Anjani.
Juno tersenyum mendengar penuturan Anjani. Itu adalah salah satu alasan Juno mengagumi sosok Anjani sejak di desa. Ya, karena kehidupan Anjani begitu sederhana, dan dia menyukai pemikiran yang sederhana pula.
"Baik, aku juga kalau begitu." Juno ikut-ikut.
Juno segera memanggil pelayan dan memberitahukan pesanannya, dua cangkir kopi tubruk dengan tambahan kental manis, dan sepiring roti bakar keju ukuran jumbo.
Obrolan ringan mengalir di sana, lebih banyak tentang desa. Juga, obrolan tentang kuliah tidak luput dari jangkauan mereka. Tidak terlupakan, keduanya sama-sama meminta maaf atas kejadian di desa.
"Jadi, kamu kos di mana?" tanya Anjani.
"Aku tinggal di rumah senior kita, Mas Ken." Juno menjawab jujur.
"Hah? Sejak kapan kamu kenal Kak Ken? Berarti kamu juga kenal sama Mario, maksudku Kak Mario?" Anjani kembali bertanya.
"Ahaha, sepertinya kamu tertarik sama Mas Mario, ya? Dari kemarin namanya disebut melulu." Juno tersenyum.
"Nggak juga, Juno. Aku kan hanya ingin tau," sangkal Anjani.
"Kalaupun memang tertarik juga nggak masalah, kok."
Tiba-tiba saja Juno berkata demikian. Tentu saja penuturan itu membuat Anjani sedikit terkejut. Anjani pun teringat masa lalunya di desa. Anjani ingat betul saat itu Juno terlihat bersemangat saat tahu akan dijodohkan dengannya. Namun, kini Juno justru tidak mempermasalahkan jika Anjani tertarik dengan Mario. Hal itu aneh bagi Anjani.
"Tapi ... harus saingan dulu sama aku." Juno menambahkan.
Ah, rupanya demikian. Juno mempersilakan Anjani tertarik dengan siapa pun, tapi ujung-ujungnya tetap harus bersaing dengannya.
Sejujurnya, Anjani bertanya karena memang hanya ingin tahu tentang Mario. Baik kepada Juno ataupun Mario, Anjani sama sekali tidak memiliki perasaan. Seperti tekadnya saat pertama kali menginjakkan kaki di kota, Anjani ingin meraih gelar sarjana. Akan tetapi, di satu sisi Anjani juga sempat terpikir bagaimana jika suatu saat nanti pertemanan yang dia jalin akan berujung pada perasaan. Namun, semua itu harus dihadapi. Yang jelas, belum untuk saat ini.
"Hei, Anjani. Ngapain sih tiba-tiba melamun? Tuh, kopi tubrukmu sudah datang. Yuk, minum dulu. Kamu tunggu saja. Sebentar lagi ada yang datang," terang Juno
"Hah? Siapa?" tanya Anjani penasaran.
"Ntar juga tau sendiri. Makan dulu kuenya. Enak, lho. Mungkin saja ntar kamu punya ide buka bisnis kaya gini di desa," usul Juno.
Ide yang diusulkan Juno terlihat menarik. Berada di jurusan ekonomi tidak harus menjadi karyawan yang menangani keuangan di suatu perusahaan. Bisa saja dengan ilmu yang ada membuka peluang usaha kekinian yang menjanjikan, bahkan sampai memiliki karyawan sendiri. Lagi-lagi, hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Anjani bersemangat, apalagi benar-benar mewujudkannya.
"Nah, itu dia. Hai, Mas Ken di sini." Juno melambaikan tangannya ke arah Ken. "Loh, kok ada Meli juga?" Juno terheran.
Dari arah pintu masuk, Ken membalas lambaian Juno. Seperti biasa, penampilannya keren dengan gaya berkacamata. Di belakang Ken, terlihat Meli membuntut. Juga ... seperti biasa, Meli selalu hadir dengan aura gembira.
"Anjani, kamu ketemu Juno nggak ajak-ajak!" Belum duduk, Meli sudah protes.
"Kalian berdua janjian?" tanya Anjani pada Ken dan Meli.
"Nggak juga. Aku ketemu Meli di depan sana. Sekalian aja kuajak ke sini biar rame," jelas Ken.
"Mas Mario mana, Mas?" Juno menanyakan keberadaan Mario.
Ken tidak menjawab. Dia sibuk menarik salah satu kursi agar mendekat ke meja Juno dan Anjani. Selesai dengan kursinya, Ken lanjut mencomot roti bakar keju yang ada di meja. Tidak mau kalah, Meli pun melakukan hal yang sama.
"Juno, kamu yang mengundang mereka ke sini?" Anjani selalu tidak sabar dengan rasa penasarannya.
Juno tersenyum, menopang dagu dengan kedua telapak tangannya, kemudian menatap Anjani sambil menunjukkan pesonanya. "Penasaran?" kata Juno kemudian.
Mendapati sikap yang demikian, membuat Anjani membuang muka dengan segera. Dia tidak mau terjebak oleh sikap dan isyarat apa pun. Berlanjut, dia pun meneguk kopi tubruk pesanannya layaknya meminum air mineral.
"Ahaha, aku bercanda, Anjani. Jangan diambil hati." Juno mencoba meluruskan.
"Jangan menggoda perempuan seperti itu, Juno!" Ken menasihati.
"Iya, betul. Untung saja Anjani nggak mudah baper." Meli ikut menimpali.
"Oke-oke, maaf. Nah, aku mengundang Mas Ken ke sini karena dia adalah temanku. Temanku adalah temanmu juga. Jadi, nggak ada salahnya kita yang dari desa ini menambah link pertemanan. Tapi, harusnya ada Mas Mario. Kemana dia, Mas Ken?" Juno meminta jawaban.
"Nggak bisa ikut. Lagi sibuk nyebar kuesioner tentang produk sepatu." Ken menjelaskan sambil sesekali mengunyah roti bakar.
Mendengar itu, membuat Anjani berkesimpulan bahwa Mario memang melakukan kerja paruh waktu. Rupanya, kesimpulan itu dirasakan pula oleh Meli. Anjani dan Meli seolah sedang berkomunikasi lewat batin. Saling tatap penuh keyakinan, kemudian mengangguk berbarengan.
"Kasihan juga ya Kak Mario itu. Dia harus kerja sambilan jadi sales sepatu untuk membantu biaya kuliahnya," kata Anjani kemudian.
Ken tersedak begitu mendengarnya. Juno terbatuk-batuk. Bergegas, mereka berdua meminum sembarang air yang ada di dekatnya. Reaksi itu timbul karena Ken dan Juno kaget mendengar kesimpulan Anjani.
"Menurutmu begitu?" tanya Ken memastikan.
"Iya. Ada yang salah?" tanya Anjani yang tiba-tiba merasa aneh.
Juno hendak menjelaskan pada Anjani bahwa sebenarnya Mario adalah anak orang kaya yang mempunyai tiga pabrik sepatu. Belum sampai Juno menjelaskan, Ken sudah menyuruhnya diam, sekaligus memberi isyarat pada Juno agar membiarkan Anjani tetap dalam kesimpulannya.
Hal yang dilakukan Ken sebenarnya sudah biasa terjadi, terutama di kalangan teman seangkatannya. Hanya beberapa mahasiswa saja yang tahu bahwa Mario kaya raya, dan itu sudah berlangsung sejak pertama kali Ken dan Mario masuk kuliah.
"Oh iya, Anjani. Tadi saat vote senior favorit, nama siapa yang kamu tulis?" tanya Ken sambil mengubah topik pembicaraan.
"Kak Ken yang kutulis," jawab Anjani terus terang.
Ya, Anjani memang menuliskan nama Ken di kertasnya. Tentu dengan banyak pertimbangan. Pertama, Ken adalah pelanggan buket bunga di toko bunga Kak Lisa. Kedua, Ken sudah dua kali memberi tanda tangan dengan sukarela. Ketiga, Ken sudah menjadi pahlawan yang menyelamatkannya dari hukuman pada OSPEK hari ketiga. Mario jelas kalah rating di mata Anjani. Anjani pun sempat menduga bahwa buket bunga mawar putih yang diberikan untuk penghargaan itu juga dari Ken. Otomatis, penambahan kategori juga berasal dari usulan Ken.
"Terima kasih, Anjani. Aku benar-benar merasa terhormat. Ya, meskipun aku masih tetap kalah dengan Mario." Ken tersanjung.
"Buket bunganya juga pasti dari Kak Ken, kan? Terima kasih ya, Kak." Anjani berterima kasih.
"Loh, kalau buket bunga penghargaan itu bukan aku. No no no ... Itu adalah usulan ... panitia inti. Buket bunganya itu juga ide mereka," jelas Ken.
Ken berusaha senatural mungkin memberi jawaban atas pertanyaan Anjani. Ken tidak mungkin memberitahukan bahwa usulan itu datang dari Mario, karena dari dialah foto Anjani bisa sampai di smartphone panitia lainnya. Ken sudah berjanji tidak akan memberi tahu siapa-siapa.
"Aduh, kalian dari tadi bahas apaan, sih. Bahas yang lain aja, deh. Anjani, singkirkan dulu rasa penasaranmu, ya. Kalau boleh aku menyimpulkan, mulai hari ini kita adalah T-E-M-A-N." Meli memberi kesimpulan dengan bijak.
***
Obrolan di cafe Bro-Sis malam itu sungguh menyenangkan. Sayangnya, tidak ada Mario di sana. Anjani merasa senang karena bisa menambah link pertemanan seperti yang dikatakan Juno. Akankah Anjani juga bisa berteman saja dengan Mario?
***
"Anjani, yakin nggak mau kuantar pulang?" tanya Juno. Padahal Anjani dan Meli sudah berteriak memanggil bentor.
"Juno, sudah kubilang berhenti mencoba menggoda Anjani. Ayo, cepat kita pulang!" Ken berteriak dari arah parkiran.
"Ah! Iya-iya, Mas Ken. Sampai jumpa besok, teman-teman."
***
Bersambung ....
Nantikan lanjutannya, Readers. See You. 💖
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments
👑⁹⁹Fiaᷤnͨeͦ🦂
Aku datang lagi kak bawa 10 like. semangat terus ya...
salam hangat juga dari "Aster Veren". 😊
2020-11-01
1
Naiina Setyanii
Hai Author🤗
Aku datang membawa 15 like untuk episode mu❤️
Tidak lupa juga beri kamu rate 5.
Semangat selalu up nya, jangan lupa mampir ya😘
"Tentang Kita"
2020-07-27
2
NyaiAna
nyicil sampe sini dulu thor,
udah aku boomlike😊
#FA
2020-05-27
1