Angkot pagi ini mudah didapatkan. Lajunya pun tidak begitu lamban, karena memang penumpang di dalamnya sudah penuh sesak. Anjani dan Meli tidak sempat mengobrol sepanjang perjalanan. Keduanya hanya terdiam sambil menatap ke sembarang arah.
Lega, perasaan itulah yang pertama kali dirasakan. Anjani dan Meli tidak lagi harus berjubel di dalam angkot. Keduanya telah sampai di tempat tujuan. Tugu putih, tugu yang begitu khas, penanda kompleks perumahan elit.
Sejak awal mengunjungi kompleks tersebut, Anjani telah dibuat takjub dengan pemandangan yang disuguhkan. Bukan pemandangan bentang alam, melainkan deretan rumah-rumah mewah yang setiap bangunannya memiliki ciri yang berbeda. Bagi Anjani yang berasal dari desa, yang hari-harinya dihiasi dengan ragam sederhana, tentu saja pemandangan yang tersuguh di kompleks tersebut menjadi pemandangan langka yang pernah dilihatnya.
Anjani berjalan santai di belakang Meli. Mendekati rumah Kak Lisa, harum bunga mulai terasa. Seketika langkah kaki Anjani dan Meli lebih bersemangat untuk segera mendekat. Telah menyambut mereka, deretan tanaman mawar merah yang tampak berani dan menyenangkan bagi siapa pun yang memandangnya. Turut menampakkan pesonanya, mawar putih, matahari, dan lily.
Anjani berlarian kecil menuju bunga-bunga yang hendak dipetik. Sementara Meli bergegas menemui penjaga rumah Kak Lisa untuk menyampaikan pesan, sembari meminta tolong untuk menyiapkan kendaraan roda tiga milik Kak Lisa. Kendaraan roda tiga itulah yang nanti akan digunakan untuk mengangkut bunga-bunga.
Empat puluh lima menit berlalu, bunga-bunga yang dibutuhkan sudah terkumpul. Anjani tersenyum puas, sementara Meli tidak henti-hentinya berkata 'Yei'. Tidaak hanya itu, Meli pun segera mengajak Anjani melaksanakan misi selanjutnya. Misi untuk mencari kebenaran tentang Mario yang kemarin malam sempat terlihat memasuki kompleks perumahan elit. Meli yakin bahwa Mario tinggal di kompleks tersebut. Akan tetapi, Anjani segera menepis dugaan Meli, mengingat bahwa Mario yang dikenalnya adalah seorang sales sepatu.
"Ayo, sebentar saja!" ajak Meli sambil menarik-narik lengan Anjani.
"Percuma saja, Mel."
"Paling tidak temani aku. Sebentar saja." Meli tetap bersikeras.
"Tapi, Mel. Aku ...." Kata-kata Anjani terputus karena Meli heboh menunjuk-nunjuk.
"I-itu. Pelanggan. Ken, Juno!"
Meli tidak sengaja Melihat Ken dan Juno melewati gerbang rumah Kak Lisa. Ken dan Juno terlihat sedang berlari. Sepertinya mereka berdua sedang berolah raga. Terlihat jelas dari pakaian dan sepatu yang dipakainya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Meli tiba-tiba berlari mengejar Ken dan Juno.
"Ken ... Juno ... tunggu!" teriak Meli dengan nada senang.
Berbeda dengan Meli yang terlihat senang, Anjani justru kebingungan. Anjani kini memastikan dirinya sedang tidak salah dengar. Baru saja Meli menyebut nama Juno. Seketika itu pula, rasa penasarannya mencuat tinggi. Anjani pun ikut berlari, tapi tidak sampai mengejar seperti Meli. Dia hanya berdiri di depan gerbang rumah Kak Lisa.
"Benarkah itu Juno? Ah, sepertinya benar! Tapi ... sepertinya bukan. Kenapa Meli bisa mengenal dua laki-laki itu!" Anjani terlihat gelisah sambil melontarkan beragam pertanyaan.
Anjani melihat Meli semakin jauh mengejar. Dari tempat Anjani berdiri, terlihat jelas bahwa dua lelaki yang dikejar Meli sebenarnya sudah mendengar panggilan dari sahabatnya itu. Entah kenapa dua lelaki itu malah terus berlari sambil sesekali menengok ke arah Meli yang mengejar mereka. Alhasil, adegan kejar-kejaran tersebut menjadi tontonan gratis bagi beberapa orang yang melintas.
Sebenarnya Anjani ingin tertawa melihatnya, tapi tertahan oleh rasa gelisah dan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban yang melintas di kepalanya. Mendadak, dirinya berdebar. Debaran itu muncul tiba-tiba. Dia merasa seperti ada yang mengawasinya. Dia pun mencoba menepis perasaan aneh yang mulai membingungkan dirinya. Mungkin rasa gelisah tadi telah membuatnya bereaksi berlebihan, hingga menimbulkan debaran. Akan tetapi, gagal. Dia tetap berdebar. Ada apa ini?
"Anjani," sapa seseorang.
"Huaaa!" teriak Anjani kaget saat seseorang memanggil namanya.
Anjani berteriak sambil menutup kedua matanya. Perlahan dia membuat celah di antara jemari yang menutupi wajahnya, kemudian berbalik badan. Dan ....
"Hah! Ternyata kamu," tutur Anjani.
Tidak terduga. Sosok yang tadi hendak ditemukan oleh Meli, kini sudah berdiri di depan Anjani. Mario. Ya, itu Mario. Yang memanggil Anjani hingga membuatnya kaget adalah Mario.
"Kenapa ngagetin aku, ha?" tanya Anjani terlihat kesal.
"Kamu saja yang bersikap berlebihan," jawab Mario dengan nada santai.
Anjani kelagapan. Dia kehabisan ide membalas perkataan Mario. Salah tingkah, itulah yang melanda diri Anjani. Biasanya Anjani selalu punya ide untuk melayani orang dalam berdebat, tapi kali ini dia tidak tahu harus berkata apa.
Seketika Anjani melihat kendaraan roda tiga yang telah siap membawa bunga-bunga. Ide cemerlang pun seketika muncul di benaknya. Tidak ada perkataan, Anjani hanya memberi isyarat pada Mario untuk mengikutinya. Mario pun tidak banyak membantah dan mengikuti Anjani menuju kendaraan roda tiga.
"Kamu masih sales sepatu kan?" tanya Anjani
"Hm," jawab Mario dengan singkat.
"Bisa nyetir motor kayak gini nggak?" tanya Anjani lagi.
"Bisa." Mario sudah mengetahui kemana alur pembicaraan tersebut. "Biar aku bantu kemudikan ke tempat tujuanmu," imbuh Mario.
"Pinter banget kamu, ya. Belum kuminta sudah tahu. Oke, tenang saja nanti ada bayarannya, kok. Nih, kuncinya!" ujar Anjani terlihat bersemangat.
"Oke."
Sepakat. Mario bersiap mengemudikan kendaraan roda tiga berisi bunga-bunga. Anjani pun demikian. Setelah pamit kepada penjaga rumah Kak Lisa, Anjani duduk di bak kendaraan bersama bunga-bunga, duduk membelakangi Mario.
Melajulah kendaraan roda tiga meninggalkan rumah Kak Lisa. Mario mengemudi perlahan. Tidak berselang lama, terlihatlah sosok-sosok yang dikenal Mario. Namun, Mario terlihat acuh saja dan terus mengemudikan kendaraan roda tiga.
"Hei, hei!" teriak Ken, berharap kendaraan roda tiga yang dikemudikan Mario berhenti.
"Anjani!" teriak Meli.
"Bunga ...!" teriak Juno pula.
Kaget. Anjani terkaget saat kendaraan roda tiga yang dinaiki menyalip sosok yang sangat dikenalnya. Prasangka yang tadi sempat ada di benaknya, kini bersambut dengan jawaban nyata. Itu benar-benar Juno. Anak kepala desa yang dulu sempat akan dijodohkan dengannya.
"Bunga!" teriak Juno lagi.
"Anjani!" teriak Meli untuk kesekian Meli
"Mario, berhenti. Hei!" teriak Ken dengan ekspresi sebal.
Mario tidak menghiraukan panggilan-panggilan itu. Dia tetap fokus melajukan kendaraan roda tiga yang dikemudikan. Sementara Anjani, dia sibuk menutupi wajahnya dengan salah satu keranjang bunga. Seolah dia sedang bersembunyi dari sosok yang paling dihindari di desanya. Tidak sadar, Anjani pun melupakan Meli yang sedang berlari bersama Ken.
"Haruskah kita berhenti?" tanya Anjani sambil tetap menutupi wajahnya dengan keranjang bunga.
"Abaikan saja mereka." Mario menanggapi dengan tetap mempertahankan sikap dinginnya.
"Baiklah," jawab Anjani. Dia memilih setuju untuk mengabaikan teriakan dan panggilan itu.
***
Mario membantu Anjani memasukkan keranjang-keranjang bunga ke dalam toko. Ada sekitar sembilan keranjang berukuran sedang yang berisi bunga mawar merah, mawar putih, matahari, dan lily. Selesai memindahkan semua keranjang-keranjang bunga, Anjani mengambil setangkai mawar putih dan memberikannya pada Mario.
"Ini bunga untukmu, balasan untuk buket bunga tempo hari saat aku kejedot pintu. Sekarang impas. Aku tak berhutang apa pun. Dan ... ini bayaranmu. Terima kasih sudah membantu mengemudikan motornya." Anjani bertutur ramah dan terlihat manis meski dalam balutan gaya berpakaian yang sederhana.
"Baik. Kuterima. Kukembalikan kuncinya." Mario menyerahkan kunci kendaraan roda tiga kepada Anjani.
"Hei, pulang naik apa?" tanya Anjani kemudian.
"Itu mudah. Aku permisi. Da!" ujar Mario dengan santai.
"Oke."
Mario bergegas meninggalkan toko dan memastikan Anjani tidak melihatnya. Mario mengeluarkan smartphone miliknya, menekan beberapa nomor, sebelum akhirnya terhubung dengan seseorang.
Mario menelepon sopir rumahnya. Dia menunggu jemputan di tempat yang sedikit jauh dari toko bunga agar tidak diketahui oleh Anjani. Kata mudah yang tadi dikatakan pada Anjani adalah benar adanya. Tentu tidak ada kesulitan sama sekali bagi Mario untuk kembali pulang ke rumahnya.
***
Beberapa menit setelah merapikan keranjang-keranjang bunga, Anjani teringat pada Meli. Dia bergegas mengeluarkan smartphone dari tas selempangnya. Tertulis 11 panggilan tidak terjawab. Itu Meli yang berulang kali menghubungi, tapi tidak sempat terangkat oleh Anjani. Cepat-cepat Anjani menelepon Meli, dengan harapan tidak ada amarah yang siap dilontarkan oleh sahabatnya itu.
"Halo, Mel. Aku ...."
"Anjani! Kenapa kau meninggalkanku? Tunggu aku di toko. Jangan kemana-mana!"
Setelah berkata demikian, Meli menutup teleponnya. Terdengar dari nada bicaranya, Meli sangat kesal. Anjani menarik nafas dalam-dalam, kemudian mencoba tenang. Dia akan bersiap dan akan lapang menerima saat Meli benar-benar melampiaskan amarahnya.
***
Hei, ada yang penasaran dengan lanjutan ceritanya? Kepo-in update selanjutnya yuk. Jangan lupa like dan tinggalkan jejak komentar di bawah. See You.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments
ineyyy
selalu rapi. suka 😍
2020-09-01
2
Priskila Wi
Tetap semangat ya Thor
2020-06-17
1
Rabaniyasa
semangat terus..
2020-06-04
1