Rumah bercat kombinasi putih dan mint yang terletak di sudut kompleks perumahan elit, terlihat mewah dibanding rumah-rumah lainnya. Pagar besi dominan cokelat menjulang tinggi dan terlihat kokoh. Di sekeliling rumah tertanam beberapa pohon palem, mangga, juga markisa. Tidak heran jika tumbuh beberapa tanaman di sana, karena halaman depan rumah tersebut memang luas.
Melangkah lebih dalam, kemewahan semakin melekat. Tampak dari depan, empat pilar besar berdiri menjulang. Tidak berhenti di sana, di samping rumah terdapat garasi besar yang bagian atapnya dibuat unik mirip bentuk piramida. Entah ada berapa kendaraan yang terparkir di dalam sana.
Dari semua kategori mewah yang tampak dari depan rumah, hanya satu pemandangan tidak biasa. Terparkir rapi dua motor yang terlihat kumuh karena berlumur lumpur.
Rumah mewah tersebut adalah rumah keluarga Mario. Juga ... kedua motor yang terparkir di sana adalah kendaraan Mario dan temannya, yang pagi tadi digunakan untuk membagikan brosur sepatu di pasar.
"Mario, pinjam kolam renangnya, ya. Gerah, nih!" pinta lelaki yang memakai sarung penutup kepala.
"Buka dulu topengmu!" sahut Mario sambil menuang minuman dingin ke gelas yang dipegangnya.
"Okeh."
Lelaki yang baru saja melepas sarung penutup kepala adalah sahabat baik Mario sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama. Namanya adalah Ken. Dia memiliki postur tinggi yang hampir sama seperti Mario. Dia pun juga terlihat gagah dan tidak kalah tampan dari Mario. Bedanya, Ken berkacamata sementara Mario tidak.
Ken hobi berenang, lebih tepatnya meminjam kolam renang rumah Mario untuk berenang. Saat ini pun, usai kegagalan membagikan brosur di pasar tadi, dia memilih berenang lebih dulu dibanding aktivitas lainnya.
"Mario, kenapa juga kau repot-repot ikut bagi-bagi brosur. Karyawan ayahmu kan banyak." Ken membuka topik pembicaraan sambil bersandar di tepi kolam.
"Iseng aja," jawab Mario singkat.
"Yaelah. Terus lagi, nih. Kenapa juga kau pilih pasar buat tempat bagi-bagi brosur. Kan banyak tempat lain yang lebih oke. Duh, pakek acara brosur jatuh lagi. Tuh tuh, lihat tuh, motor kita kotor karena terjatuh di parkiran sana." Ken menggerutu.
"Sederhana saja, pasar itu ramai orang, penyebaran brosur juga akan lebih cepat. Akan lebih cepat tersebar andai tidak kau jatuhkan." Mario menjelaskan sambil sesekali meneguk minumannya.
"Haha, maaf. Itu kesalahanku karena maksain diri buat pakek penutup kepala dan lupa nggak pakai kacamata. Tunggu, jadi itu alasanmu ngasih bunga ke cewek tadi?" tanya Ken. Dia terlihat penasaran. Kali ini dia keluar dari kolam dan duduk di dekat Mario.
"Tepat sekali. Kau yang ceroboh, tapi membuat orang lain merasa bodoh."
Sejenak keduanya terdiam sambil tetap meneguk minuman dingin. Beberapa kue pukis yang sempat dibeli di pasar tadi tidak luput dari perhatian. Mereka menikmati kue sambil mencomot asal segala topik pembicaraan.
"Mario, boleh kepo nggak?" tanya Ken membuka topik pembicaraan baru.
"Apa?" tanya Mario singkat.
"Cewek yang bernama Anjani tadi itu siapa? Kayaknya sih bukan tipemu banget. Dari segi penampilan, cewek tadi itu jauh dari kata modis, nggak berkelas, je ...."
"Cukup, hentikan!" Mario memotong ucapan Ken.
"Ciee, kamu belain dia. Jangan-jangan kamu memang ada rasa. Ah, tapi mana mungkin. Dirimu mana mau kenal sama yang namanya jatuh cinta." Ken kembali menyerbu Mario dengan kata-katanya.
"Untuk saat ini, biasa saja. Tidak ada yang tahu kapan hati ini akan bertemu takdirnya."
"Hah? Sejak kapan sahabatku jadi puitis begini? Gawat, nih. Lebih baik aku berenang lagi biar nggak h ...."
Belum sempat Ken meneruskan kata-katanya, kue pukis potongan besar lebih dulu sukses menyumpal mulutnya.
***
Dua mangkuk bakso beberapa menit lalu telah terhidang. Anjani terlihat lahap menikmati bakso miliknya. Sesekali dia tampak menambahkan saos, kecap, juga sambal ke dalam mangkuknya. Tidak lupa, berkali-kali telah terseruput es teh pesanan.
Di seberang Anjani, Meli duduk diam sambil melihat tingkah lucu sahabatnya menikmati bakso pedas miliknya. Meli belum menyentuh bakso miliknya. Sedari tadi dia menunggu waktu yang tepat untuk berbincang.
"Mel, kalau ada yang mau disampaikan lebih baik segera sampaikan. Tuh, baksomu bentar lagi dingin karena dicuekin!" seru Anjani di sela-sela aktivitas menyantap bakso miliknya.
"Ehee ... kamu tahu rupanya. Satu pertanyaan, kau jawab, dan akan kumakan baksoku." Meli membujuk.
"Oke, akan kujawab singkat agar baksomu segera dimakan." Anjani setuju.
"Siapa nama lelaki tampan yang memberimu mawar di pasar tadi?" Meli cepat sekali melontarkan pertanyaannya.
"Namanya Mario," jawab Anjani.
"Siapa dia? Anak mana? Lalu apa hubunganmu dengan Mario?" Meli menyebutkan semua pertanyaan yang tadi disimpannya.
"Mel, itu lebih dari satu pertanyaan. Cepat makan saja baksomu!" tegas Anjani.
"Aku kepo," tutur Meli dengan wajah memelas.
Tak kuasa dengan rayuan sahabatnya, Anjani pun mengalah. Dia perbaiki posisi duduknya, lalu mendekatkan wajah ke arah sahabatnya itu. Meli yang mengetahui tanda dari Anjani pun terlihat senang. Sebentar lagi dia akan tahu siapa sebenarnya Mario. Akan tetapi, Anjani hanya memberikan satu kata saja.
"Rahasia!"
Meli terlihat kecewa dengan jawaban sahabatnya. Melampiaskan kekesalannya, dituangkan banyak-banyak saos sambal ke dalam mangkuk bakso miliknya.
"Aw! Pedas! Haah ...."
Anjani hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Meli. Selang beberapa saat setelahnya, hanya terdengar denting mangkuk dan suara pelayan warung yang lalu lalang. Ini pertama kalinya Anjani jalan-jalan dan makan di luar setelah 3 hari di rumah Paman Sam. Dan ... Anjani benar-benar menikmatinya.
Tidak perlu berlama-lama menghabiskan waktu di sana. Setelah mengosongkan isi mangkuk dan gelas, Anjani juga Meli bergegas membayar lalu keluar. Ada tempat lain yang harus dikunjungi. Toko kosmetik. Anjani harus membeli lipstik seperti yang paman bilang. Ya, daripada paman sendiri yang membelikan dan cerita macam-macam pada pemilik tokonya. Oh, itu tidak boleh terjadi ...!
"Mel, sepertinya aku terlalu awal ya datang ke kota? Kuliah dimulai masih bulan depan, lama." Anjani memulai topik.
"Terus? Mau balik ke desa?" tanya Meli sambil tetap berjalan santai.
"Ya enggaklah. Maksudku, emm ... Yuk cari kesibukan yang bisa dapat uang. Lumayan loh sebulan." Anjani bersemangat memberi ide.
"Yakin?"
"100℅, Mel."
"Ntar keasikan cari uang malah ogah-ogahan lanjut kuliah."
"Mel, kita coba dululah."
"Oke, besok kukenalkan dengan temanku. Aku yakin dia bisa bantu kita. Beberapa hari lalu dia bilang lagi butuh orang buat jaga toko bunganya. Ntar, coba kuhubungi dulu ya."
"Okeh!"
Langkah ringan kembali dilanjutkan. Kini, lipstik dan bedak pun sudah di genggaman. Tidak lupa pula Anjani membelikan 1 untuk Meli, sesuai permintaan pamannya melalui pesan singkat.
---- Anjani, belikan juga kosmetik buat sahabat kau, Meli. Ingat, pelit itu tak baik. Dan, sedekah itu lebih berharga. Kalau sudah selesai jalan-jalannya cepat kau pulang. Nih, ayam jagomu sudah datang. Cepat pulang dan kasih nama buat dia. ----
Meli terpingkal saat Anjani menunjukkan pesan Paman Sam beberapa menit sebelumnya. Sekarang, semua sudah terbeli. Anjani dan Meli pun bergegas untuk pulang.
Beberapa pertokoan mereka lalui. Sesekali ada pula karyawan toko yang membagikan brosur bagi pejalan kaki yang melintas di depan toko mereka. Lebih dari 3 lembar brosur, Anjani menerimanya. Kebanyakan dari mereka terlihat masih muda. Mungkin mereka adalah pekerja paruh waktu. Melihat hal itu Anjani semakin bersemangat menunggu waktu kuliah tiba. Sudah banyak sekali rencana-rencana yang akan segera diwujudkan olehnya.
Setibanya di persimpangan jalan, lampu lalu lintas pejalan kaki berwarna merah. Anjani dan Meli menunggu hingga tanda lampu berubah hijau. Akan tetapi, tiba-tiba ....
"Hai, Bunga!" sapa seorang lelaki yang suaranya datang dari belakang.
"Juno?" Anjani menoleh, memutar badan dan mencari sumber suara. Namun, rupanya sebutan 'Bunga' itu bukan untuknya. Melainkan untuk orang lain yang sepertinya memiliki nama Bunga. Anjani telah salah dengar, sekaligus salah paham.
Melihat gelagat Anjani, Meli tentu saja penasaran.
"Hei, siapa itu Juno?" tanya Meli penasaran.
"Bukan siapa-siapa, kok."
"Bohong, nih. Tadi Mario, sekarang Juno. Besok siapa lagi, hayoo. Ayo, cepat cerita!"
"Biarin aja kepo, wek ...! Hihi." Anjani semakin menggoda Meli. Dia pun seketika berlari menjauh sesaat setelah lampu pejalan kaki berwarna hijau.
"Hei, Anjani. Tungguin!"
***
Bersambung ....
Penasaran dengan lanjutannya. Tunggu update selanjutnya yaa. See You, Readers.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments
ineyyy
like again
2020-08-21
1
Sept September
cemunguttt
2020-08-19
1
ayyona
lanjutin lg 😍😍
2020-07-25
1