Pagi sedikit mendung, tapi tidak menciutkan semangat kawanan burung untuk bersenandung. Tidak terdengar pula kokok ayam yang biasanya bersahutan saling membangunkan tetangga. Ya, ini bukan desa. Nuansa kehidupan kota memang sedikit berbeda.
Anjani terbangun dari tidur lelapnya karena silau sinar matahari pagi yang menerobos dari celah tirai jendela. Sekian detik dia mengucek mata, mencoba untuk segera terjaga. Segera setelah sadar sepenuhnya, jemari tangannya lincah meraih smartphone yang sengaja diletakkan di samping tempat tidurnya.
"Anjani, bangun! Anak gadis bangun siang itu tak baik. Ayo, bangun!"
Terdengar suara gedoran pintu kamar tidur Anjani semakin keras. Sementara suara yang menyuruhnya untuk segera bangun juga semakin gigih meneriakinya. Tidak ada pilihan lagi selain segera bangkit dan membuka pintu kamar.
Seseorang yang membangunkan Anjani adalah Paman Sam. Dia adalah adik kandung dari ibu Anjani. Sudah lama dia hidup sebagai duda, lantaran ditinggal pergi oleh istrinya. Sementara putra Paman Sam satu-satunya tidak jelas di mana keberadaannya.
Paman Sam adalah pria yang gagah dan ramah. Satu-satunya yang membuat dia terlihat menakutkan adalah bekas tato di lengan kirinya. Paman Sam dulunya mantan preman yang memiliki banyak anak buah. Sejak ditinggal pergi anak dan istrinya, dia pun memilih menjalani hidup normal dengan membuka warung kelontong di depan rumahnya.
"Anjani, susah betul kau dibangunkan, ya!" Paman Sam sedikit menegur, meski tidak banyak berpengaruh bagi Anjani.
"Biasanya aku dibangunin sama ayam tetangga. Lupa kalau aku sedang di rumah Paman Sam." Anjani membela diri.
"Ya sudah, nanti sore kubelikan kau ayam jantan. Awas saja kalau bangunnya masih siang."
"Heee?"
Begitulah, suasana pagi Anjani. Sudah tiga hari berlalu semenjak dia meninggalkan desa. Pagi, siang, sore, ataupun malam, selama tiga hari ini ibunya di desa selalu menelepon, tapi sama sekali tidak diangkat olehnya.
Kring ... Kring ... Tulalit Tulalit ...
"Mau sampai kapan tak kau angkat telepon Mami kau." Paman Sam penasaran karena terlalu sering melihat Anjani mengabaikan telepon ibunya.
"Yang menelepon adalah Ma, bukan Mami. Julukan Mami hanya mengingatkanku pada masa lalu." Suara Anjani terdengar lirih.
"Oke oke. Sini biar aku yang angkat telepon dari Ma."
Paman Sam merebut smartphone dari tangan Anjani. Anjani sama sekali tidak keberatan dengan tindakan pamannya. Dia terlihat pasrah.
"Halo, Kak. Ini adikmu, Sam. Anjani tak mau mengangkat telepon dari kau. Masih ngambek dia. Lagian sih pakek ada acara perjodohan segala, mana aku tak kau undang lagi. Sudah-sudah, Kak. Kau tak perlu khawatir berlebihan, dijamin Anjani sehat di sini sama adik kau ini. Kalau rindu kemari saja kau. Adik kau ini juga rindu sama kau. Oke, aku tutup dulu teleponnya ya. Sampai jumpa!"
"Gimana kata Ma?" Anjani langsung bertanya sesaat setelah Paman Sam menutup teleponnya.
"Tuh, kepo kau! Ra-ha-si-a. Lain kali angkat sendiri teleponnya. Sekarang, bantu paman kau ini belanja kebutuhan warung di pasar sana. Ini daftarnya, dan ini uangnya. Oh iya, ada Meli yang akan menemani kau belanja." Paman Sam terdengar bijak.
"Meli?" Anjani masih mengingat nama yang tak asing terdengar di telinganya.
"Teman main kau dulu. Dia juga akan kuliah di jurusan yang sama seperti kau. Jurusan apa itu namanya?" Paman Sam mencoba mengingat nama jurusan yang diambil oleh Anjani.
"Jurusan Ekonomi, Paman. Oke deh, aku bersiap dulu."
"Nah, bagus. Sekalian kau beli make up sama baju baru. Biar keponakan paman yang mau kuliah ini terlihat sedikit cantik. Hahaha .... Jangan lupa beli lipstik kau ntar!" Paman masih bertutur sambil sedikit berteriak meski Anjani sudah pergi ke kamarnya.
***
Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB. Memang sedikit terik jika harus bepergian, apalagi harus berjalan kaki. Namun, teriknya matahari pagi tak menyurutkan langkah Anjani demi memenuhi perintah pamannya untuk belanja.
Pasar memang tidak terlalu jauh dari rumah Paman Sam. Jalan kaki ke sana tidak akan membuat kaki kebas, justru menyenangkan karena ada Meli yang sibuk mengoceh sepanjang jalan.
Meli adalah gadis mungil seusia Anjani. Dia dulu tinggal di desa yang sama seperti Anjani, tapi pindah saat usianya menginjak 7 tahun. Meli dan keluarganya pindah ke kota dengan alasan mengadu nasib demi kesejahteraan.
Kini takdir mempertemukan Anjani dan Meli setelah sekian tahun tak bersua. Meli yang sekarang lebih asyik diajak bicara dan bercanda. Wah, sungguh takdir yang indah.
"Mel, aku boleh tanya?" Anjani tiba-tiba mengubah topik bicara.
"Apa?"
"Kamu nggak sedang dipaksa Paman Sam buat ambil jurusan yang sama denganku, kan?" tanya Anjani.
"Nggak, kok!" jawab Meli singkat.
"Jujur, Mel."
"Ehm, sedikit sih. Tapi itu nggak masalah. Aku senang bisa kuliah sama kamu. Apalagi Paman Sam membiayai penuh. Yah, daripada aku dijodohin sama orang tuaku, mending aku kuliah." Meli mencoba menegaskan.
"Dijodohin? Hahaha, ternyata nasib kita tak jauh beda, Mel."
"Eh, malah diketawain. Sudah-sudah."
***
Perjalanan menuju pasar tidak kurang dari 10 menit. Bukan waktu yang lama bagi Anjani karena perjalanan begitu menyenangkan dengan hadirnya Meli, sahabat masa kecil yang telah kembali.
Setiba di pasar, Anjani ditemani Meli membeli semua bahan yang tertulis di daftar yang diberikan Paman Sam. Dipastikan tidak ada satu pun yang terlewatkan. Selesai semua, Anjani memanggil bentor langganan Paman Sam untuk mengangkut barang belanjaan.
"Bang, diantar ke rumah Paman Sam, ya. Tolong bilangin sekalian, Anjani pulangnya agak siang. Makasih, Bang!" Anjani berpesan pada pengemudi bentor langganan.
"Kita nggak langsung pulang, nih?" tanya Meli.
"Aku disuruh paman beli barang, buat persiapan kuliah bulan depan." Anjani menjelaskan.
"Barang apa?" tanya Meli. Dia jelas penasaran.
"Baju, lipstik ... biar aku cantik, Meli."
"Hahaha, aku setuju sama Paman Sam. Sahabatku ini memang perlu dipoles biar sedikit cantik. Yuk, kuantar." Meli langsung menyeret lengan Anjani
"Tunggu-tunggu. Sebaiknya aku beli tas ransel saja dulu. Gimana?" Anjani menawarkan.
"Tas ransel? Memang kamu mau balik sekolah TK lagi? Yang modis dikit dong, Anjani. Ayo, ikuti aku!" Meli kembali menarik lengan Anjani dan memutar arah tujuan. Akan tetapi ....
Brak!
Meli terlalu bersemangat menarik lengan Anjani, sementara Anjani pun terlihat pasrah saja dengan tingkah sahabatnya. Tanpa sadar, saat mereka berbalik arah, seseorang sukses tersenggol hingga menjatuhkan tumpukan kertas yang dibawa. Sebagian kertas terbang dan jatuh di atas kubangan.
"Aduh, maaf. Saya dan teman saya tidak sengaja. Bagaimana ini, Mel?" Anjani kebingungan sambil memungut kertas-kertas yang berjatuhan. Sementara Meli, dia melongo sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
"Mel, ayo bantu!" Anjani mencoba menyikut lengan Meli.
"Tampan!" Meli berkata singkat.
Mendengar tuturan singkat dari Meli, Anjani langsung mendongakkan wajah ke arah lelaki di hadapannya. Kini, giliran Anjani yang melongo, lebih tepatnya kaget, karena sosok di hadapannya memakai sarung penutup kepala dan hanya terlihat kedua matanya saja.
"Mel, tampan dari mana? Kayak ninja." Anjani berbisik pada Meli sambil menahan tawa.
"Itu, pria yang di belakangnya!" Meli menarik-narik ujung baju Anjani.
Kaget. Reaksi itulah yang pertama kali ditunjukkan raut muka Anjani. Pria yang dimaksud oleh Meli adalah lelaki yang pernah memberinya buket bunga. Ya, dia adalah Mario.
"Nih, sebaiknya kamu bawa pulang brosur-brosur sepatumu. Hah, seharusnya aku tidak membantumu tadi." Lelaki yang memakai sarung penutup kepala terlihat menggerutu pada Mario.
"Mario, masih ingat aku?" Anjani mencoba memotong pembicaraan dua lelaki itu.
"Anjani. Ya, aku ingat." Mario menjawab sambil menampakkan senyuman.
"Tunggu, kalau brosur ini milikmu, berarti kamu sales sepatu, ya!" Anjani mencoba menebak profesi Mario.
Tebakan itu jelas membuat teman Mario yang memakai sarung penutup kepala sukses terbahak. Ya, Anjani memang tidak tahu tentang keluarga kaya Mario. Namun, entah kenapa tebakan itu justru dibenarkan oleh Mario.
"Ya, aku memang sales sepatu." Mario menegaskan.
"What?" Teman Mario terlihat kaget, tapi tidak berlangsung lama karena suasana tergantikan oleh hal lain yang tidak terduga.
"Anjani, ini bunga kedua untukmu." Mario terlihat menyodorkan setangkai mawar putih untuk Anjani.
"What?" tutur Meli dan teman Mario bersamaan.
"Terima kasih, Mario. Tapi, kali ini bunga untuk apa?" Anjani penasaran sambil tetap memasang wajah biasa saja.
"Ambil saja, sebagai permintaan maaf atas kebodohan temanku. Permisi."
Setelah berkata demikian, Mario pergi meninggalkan Anjani, Meli, juga temannya. Reaksi tidak terduga tersebut telah sukses membuat siapa pun dipenuhi tanda tanya.
***
Ups ... Ada yang penasaran sama lanjutan ceritanya? Siapa sih lelaki yang memakai sarung penutup kepala? Apakah setampan Mario? Atau mungkin ketampanannya seperti Juno (ep 1)? Lanjut ke episode selanjutnya, ya. See You.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments
⸙ᵍᵏ 𝓓𝓲𝓲 𝓮𝓲𝓶𝓾𝓽
like
2021-12-26
0
Ishiba Aoi
semangat thor!
2021-03-01
0
Nana chan
❤
2021-01-19
0