Sirine ambulans meraung keras, memberi tanda bagi pengemudi lain agar segera menepi dan memberi jalan. Sirine seketika berhenti meraung sesaat setelah pasien tiba di depan ruang Instalasi Gawat Darurat. Tim medis sigap membawanya ke ruang penanganan dan lekas memberi tindakan.
Ken melihat dari kejauhan, lebih tepatnya dari parkiran rumah sakit. Itu adalah ambulans ketiga yang dilihatnya sejak 25 menit lalu. Tidak sabar lagi, Ken ingin segera pergi. Hatinya sungguh tidak kuasa melihat beragam ekspresi sedih di sana.
"Ken!" sapa Mario yang baru saja kembali. Dia terheran dengan wajah sedih sahabatnya.
"Hei Mario, akhirnya kau kembali. Kenapa lama sekali, sih?" tanya Ken.
"Hm." Hanya itu jawaban Mario.
"Ah, jawaban itu lagi. Terus gimana keadaannya? Membaik atau semakin memburuk? Terus, apa dia tanya aku?" tanya Ken. Dia memberondong Mario dengan pertanyaan.
"Dia mencarimu," jawab Mario singkat sambil membuka pintu mobilnya.
"Benarkah? Terus-terus?" tanya Ken sekali lagi.
"Cukup, kuantar kau ke kampus!" ujar Mario mengubah topik.
"Ah! Hei, tunggu. Hanya aku? Kau mau absen lagi? Hari ini ada rapat penting buat penyambutan mahasiswa baru, Mario."
"Aku akan menyusul nanti." Mario memberi kode agar Ken segera naik ke mobil.
"Ah, selalu seperti ini."
***
Siang itu tidak begitu terik. Awan mendung terlihat menggantung di langit sana. Hembusan angin dingin juga sudah mulai terasa. Sepertinya hujan akan segera mampir membasahi kota.
Anjani dan Meli begitu menikmati hari pertama mereka bekerja. Siang itu mereka berdua kedatangan beberapa mahasiswa tingkat akhir yang telah memesan buket bunga sebagai hadiah wisuda untuk teman mereka.
"Terima kasih banyak, Kak. Silakan mampir lagi ke toko kami!" ujar Anjani. Dia terlihat ramah melayani.
Di sudut lain, Meli sibuk membantu Kak Lisa membuat buket bunga lainnya. Rupanya hari ini cukup banyak yang memesan buket bunga. Kebanyakan dari mereka mengaku akan memberikan bunga itu pada temannya yang hari ini wisuda.
Beberapa jam telah berlalu. Sejak siang tadi hingga mendekati sore hari, mendung di langit masih menggantung. Bedanya, kali ini lebih pekat. Namun, hujan tidak kunjung menjatuhkan rintiknya.
"Anjani, Meli, hari ini kerja kalian bagus. Mulai besok, kalian jaga toko berdua, ya. Selama tiga minggu ke depan, aku mau pergi ke Bali." Kak Lisa menjelaskan.
"Di sana liburan atau gimana, Kak?" tanya Meli.
"Tidak juga. Di sana aku masih memiliki orangtua. Walau di sini aku sudah bisa hidup mandiri, tetap saja aku harus tetap peduli dengan keberadaan mereka. Ya, bisa dikatakan bahwa langkahku saat ini karena dukungan mereka juga. Nah, makanya aku seneng banget kalian bisa bantuin aku di toko." Kak Lisa terlihat bahagia.
"Kak, jangan lupa oleh-olehnya, ya!" seru Meli sambil bercanda.
"Oh iya, kalau misal sewaktu-waktu kalian mendadak harus ada yang diurus di kampus, tidak apa-apa. Tokonya bisa ditutup dulu, dan bisa kalian buka lagi setelahnya. Ini kalian kubawakan kuncinya. Anjani, kamu yang pegang, ya." Kak Lisa sungguh pengertian.
"Oke, Kak. Percayakan saja pada kami," tutur Anjani sambil menerima kunci tokonya.
"Baiklah, kalian bisa pulang sekarang. Mau ikut mobilku sekalian?" tanya Kak Lisa menawarkan.
"Terima kasih, Kak. Kami jalan kaki saja. Lagi pula rumah kami nggak jauh dari sini. Iya kan, Mel?"
"Iya, Kak. Terima kasih banyak sudah memberi kami banyak ilmu hari ini. Kami pulang dulu," pamit Meli.
Anjani dan Meli bergegas keluar dari toko. Begitu sampai di luar, barulah Meli menggerutu.
"Anjani, kenapa tidak di-iyakan saja, sih? Kan enak bisa naik mobil. Tuh, mau hujan juga!" protes Meli.
"Kan hujannya masih mau turun. Iya kalau jadi, kalau enggak?" Anjani menjawab sekenanya.
"Baiklah. Ehm, gimana kalau kita mampir sebentar ke kampus. Pasti kamu cuma tahu depannya saja kan waktu dulu daftar ulang," tebak Meli.
"Boleh juga. Ntar habis dari sana naik angkot saja pulanganya. Eit, tunggu. Aku kirim pesan dulu untuk Paman Sam. Kalau nggak ngasih kabar bisa-bisa nyuruh orang buat nyari aku."
Meli yang mendengar langsung terpingkal, "Itu artinya Paman Sam peduli sama kamu, Anjani. Em, bisa saja diam-diam juga sudah sewa bodyguard. Ahaha."
"Ya tak apalah, itu artinya aku istimewa. Hihi." Anjani pun ikut tertawa sesaat setelah pesan berhasil terkirim.
💌---- Ada seseorang yang peduli padamu? Selamat, itu artinya kamu istimewa.
Tidak ada seseorang yang peduli padamu?
Bodoh, ubah cara pikirmu. Coba lihat sekali lagi.---- 💌
***
"Ken, rapat selanjutnya Mario suruh datang ya. Ketua pengen dia hadir. Ada tugas buat dia. Tolong bilangin, ya!" ujar salah satu teman kampus Ken.
"Oke, ntar kubilangin."
Teman kampus Ken yang tadi mengikuti rapat mulai meninggalkan kampus untuk pulang. Ken masih tetap setia berdiri di depan gedung. Sesekali dia mengintip pesan di smartphone miliknya. Juga, tidak terhitung lagi sudah berapa kali dia menengok jam digital di tangannya.
Ken bukan sedang menunggu hujan turun, mengingat mendung di atas sana sudah sedari tadi menggantung. Ken sedang menunggu sahabatnya, Mario. Sudah lebih dari lima belas menit dia menunggu. Kini, kegelisahan tampak tergambar di raut mukanya.
Lima menit kemudian, dari jauh terlihat sebuah mobil yang amat dikenalnya. Itu mobil Mario. Gelisah yang tadi sempat membuncah, seketika digantikan oleh perasaan lega. Penantiannya tidak sia-sia.
"Maaf Ken," tutur Mario sesaat setelah membuka kaca mobilnya.
"Kamu dicari ketua, tuh." Ken segera menyampaikan pesan temannya.
"Oke, tenang saja. Cepat masuk mobil!" pinta Mario.
Ken sudah bersiap dengan memasang sabuk pengamannya. Namun, Mario tidak kunjung melajukan mobilnya. Mario justru memberi isyarat pada Ken untuk melihat ke arah tiga lelaki tidak jauh dari mobilnya.
"Kaos kuning sepertinya mahasiswa baru. Bisa dilihat dari barang bawaannya." Ken berpendapat.
"Sepertinya dia dalam kesulitan," imbuh Mario.
"Sepertinya. Yuk, per ...." Ucapan Ken terputus.
Belum sempat Ken menambahkan kata-katanya, Mario lebih dulu turun dari mobilnya. Dia bergegas menuju ke arah tiga lelaki itu. Semakin dekat langkah kakinya, semakin jelas obrolan mereka. Benar, yang berkaos kuning adalah mahasiswa baru, sementara dua lelaki lainnya sedang memaksa agar lelaki berkaos kuning kos di tempat yang disarankan oleh mereka.
"Aku nggak mau kalau jauh-jauh, Mas. Maunya yang deket kampus." Sekali lagi lelaki berkaos kuning beralasan.
"Permisi, dia teman saya, dan akan kos bersama kami." Mario tiba-tiba ikut dalam obrolan.
"Ah, mengganggu saja!" protes dua orang tadi, kemudian mereka bergegas pergi.
Lelaki berkaos kuning terheran dengan perkataan Mario yang tiba-tiba. Di sisi lain, dia juga berterima kasih karena akhirnya ditinggalkan oleh dua lelaki yang tadi memaksanya.
"Siapa dia?" tanya Ken pada Mario.
"Junior," jawab Mario singkat.
"Mas, bisa bantu saya cari kos yang dekat sini? Dari tadi saya cari kos nggak dapat-dapat," jelas lelaki berkaos kuning.
"Kalau cari kos sekarang rata-rata penuh yang dekat kampus. Kamu daftar gelombang kedua, ya. Ambil jurusan apa?" tanya Ken lagi.
"Em, jurusan apa tadi. Pertanian apa ekonomi, ya?" Lelaki berkaos kuning terlihat berpikir.
"Aduh, kenapa bisa nggak ingat jurusan yang diambil, sih?" Ken tepuk jidat.
"Soalnya tadi daftar ulang sama ayah saya, Mas. Habis daftar ulang selesai saya ditinggal pulang. Disuruh mandiri mulai hari ini. Oh iya, jurusan ekonomi, Mas." Lelaki berkaos kuning menjelaskan lagi.
Ken terlihat berbisik kepada Mario, "Sepertinya anak ini lugu banget. Kasian kalau dimanfaatin orang."
"Baik, sudah diputuskan. Kenalkan namaku Mario, dan ini Ken. Dia seniormu. Sementara kamu bisa tinggal di tempat Ken. Dia bisa membantumu cari kos nantinya." Mario mantap berbicara.
"What? Kenapa aku?" protes Ken, tapi pada akhirnya setuju juga.
"Beneran, Mas. Wah, terima kasih banyak. Beruntung banget ada orang yang peduli sama saya."
"Udah, ngomongnya jangan terlalu formal. Nggak perlu saya-saya. Yuk, masuk mobil. Dan, siapa namamu?" tanya Ken.
"Namaku, Juno."
***
Anjani tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Meli yang sedari tadi berdiri di sampingnya pun sampai bingung.
"Lihat itu, Mel?" Anjani menunjuk ke arah sebuah mobil.
"Hah, itu kan Pangeran Mario!" ujar Meli terlihat senang.
"Juno!" Anjani refleks berkata.
"Siapa yang Juno?" tanya Meli terheran dengan ucapan Anjani.
"Itu yang tadi masuk mobil. Jangan-jangan, Juno mau dijadikan sales juga!" ujar Anjani menduga-duga. Dia khawatir.
"Heh? Bicara apa, sih? Aku nggak ngerti." Meli sebal.
Anjani tidak menjelaskan lagi. Dari tempatnya berdiri, dia melihat laju mobil yang membawa Juno. Dan .... Mendung yang sedari tadi menggantung, akhirnya tidak kuasa menahan beban. Rintik hujan perlahan turun. Membuat siapa pun berlarian termasuk Anjani dan Meli.
***
Ups, masih ada yang penasaran dengan lanjutannya. Nantikan episode selanjutnya. See You.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments
Daratullaila🍒
Hai author aku mampir lagi membawa like, semangat up nya💪
Jangan lupa baca episode baru CIC
Salam dari Calon Istri Ceo☺💖
2020-12-20
0
👑⁹⁹Fiaᷤnͨeͦ🦂
Aku datang lagi kak, semangat terus ya
2020-10-29
1
Naufazmiza
madih lanjuttt
2020-10-06
1