Masa yang berat bagi seorang perantau adalah menahan rindu saat jauh dari orang tercinta, khususnya keluarga. Lalu, apakah harus serapuh itu karena tergerus rindu? Tidak! Percayalah, dengan dilandasi rasa saling percaya, rindu itu akan berbuah manis saat tiba masanya.
Juno merasakan hal yang sama. Rindu tengah bergejolak di dalam hatinya. Dia merindukan keluarganya, juga suasana desanya. Sesekali bulir air mata membasahi pipinya sesaat setelah bertukar kabar dengan sang ayah di desa. Tidak ada gengsi, meski dia seorang lelaki. Rindu tetaplah rindu.
"Sabar, Jun. Kalau sudah terbiasa nggak akan baper kyak gini lagi," hibur Ken.
"Benar, Mas Ken. Rasanya sudah nggak seberat saat pertama datang di sini. Hehe, mantap!" jelas Juno. Kali ini Juno bisa tertawa lega.
Sudah seminggu ini Juno tinggal di rumah Ken. Kebetulan Ken memang tinggal sendiri bersama dua asisten rumah tangga yang telah ditugaskan orangtuanya. Sementara orangtua Ken tinggal di kota lain. Saat Ken meminta izin agar Juno tinggal di rumahnya, orangtua Ken langsung mengizinkan dengan alasan agar Ken tidak kesepian.
"Mas Mario nggak ke sini, Mas?" tanya Juno.
"Bentar lagi. Kamu ikut juga, ya. Nyebar brosur sepatu." Ken menjelaskan sambil mengunyah kentang goreng.
"Padahal Mas Mario kaya banget ya, Mas. Tapi kenapa mau kayak gitu?" tanya Juno terlihat penasaran.
"Mario punya cara pandang tersendiri. Dia belajar langsung di lapangan, diam-diam meneliti minat masyarakat. Nyebar brosur hanya media, intinya dia akan wawancara. Kadang dia juga iseng ke toko yang menjual produk sepatunya, sekedar ingin tahu. Nggak tiap hari, kadang sebulan bisa sampai dua atau tiga kali. Pernah juga sampai beberapa bulan tidak melakukan. Intinya, saat dia punya ide bagus, langsung dia bertindak dengan pola pikirnya. Contohnya sepatu model baru yang launching dua bulan lalu, itu ide dari Mario. Lihat, banyak peminatnya juga, kan. Buktinya kamu juga punya sepasang. Tuh!" jelas Ken panjang lebar sampai membuat Juno melongo.
Jelas, Ken begitu bangga dengan sahabatnya, Mario. Meskipun seringkali berdebat tentang hal sepele, tetap saja yang namanya sahabat akan tetap terasa dekat.
"Juno, lanjutin lagi cerita tentang desamu. Tuh, yang kemarin belum selesai ceritanya. Kemarin kamu bilang di desa sempat mau menikah. Beneran?" tanya Ken penasaran.
"Bener, tapi gagal. Gadis itu lari ke kota. Di kota ini. Mau kuliah katanya." Juno bercerita sambil menikmati kentang goreng di meja.
"What? Jadi ceritanya kamu nyusulin dia ke sini?" tanya Ken lagi. Dia begitu bersemangat mendengar pengakuan Juno.
"Awalnya begitu. Tapi dipikir-pikir lagi, kuliah itu juga penting, Mas. Buat masa depan." Juno santai menjawab pertanyaan Ken.
"Terus-terus? Kamu nggak mau nyariin dia?" tanya Ken semakin penasaran.
"Nggak perlu dicariin, Mas. Ntar juga ketemu sendiri. Kata ayahku udah pasti satu jurusan." Lagi-lagi Juno menjawab santai.
"Waduh, baru kali ini denger cerita kayak gini. By the way, siapa namanya?" tanya Ken untuk kesekian kali. Rasa penasarannya sudah tidak terbendung.
"Namanya Bunga."
"Hei, kalian. Gosip lagi?" tutur Mario tiba-tiba hingga sukses membuat Ken dan Juno terkaget-kaget.
Kentang goreng di piring kocar-kacir. Gelas yang masih terisi penuh sedikit tumpah isinya. Kekacauan ini karena ulah kaki dan tangan Ken yang refleks kagetnya tidak wajar dan berlebihan.
"Aduh, Mario. Kamu ngagetin aja, sih. Sudah lama berdiri di situ?" tanya Ken sambil mengelus dadanya.
"Hm, sejak sebelum nama Bunga disebut."
Mario melangkah mendekat sambil menuang minuman yang tadi bersanding dengan kentang goreng.
"Hari ini kita naik motor. Juno satu motor denganmu. Agenda kita hari ini ambil buket bunga, pergi ke rumah sakit, dan kita ke kampus," jelas Mario.
"Nggak jadi nyebar brosur?" tanya Juno.
"Tidak perlu untuk hari ini. Dan, Ken .... Kamu yang masuk ambil buket, dan kamu juga yang naik ke ruang rawat inap. Dia merindukanmu." Mario kembali menjelaskan.
"Baiklah." Ken tidak protes.
***
Tiga buket bunga kombinasi, satu buket mawar merah, dan satu buket mawar putih. Semua buket-buket bunga itu telah berhias pita perak. Tidak hanya cantik dipandang mata. Aroma bunganya pun begitu khas, karena memang dipetik langsung dari kebun bunga.
Anjani tersenyum melihat buket bunga yang telah dia rangkai bersama Meli. Sudah seminggu berlalu, kemampuannya dalam membuat buket bunga pun sudah lebih baik. Tidak lagi butuh waktu lama, dalam sekejab dia pun mampu menguasai beberapa hal tentang bisnis toko bunga.
Memandang lamat-lamat buket-buket bunga di sana, dia merasa sedikit aneh. Ada rasa yang sedikit mengganjal di dadanya. Rasa yang tidak biasanya dia rasakan.
Bola matanya berputar. Kini pandangannya tertuju pada gerombolan bunga-bunga yang masih belum dirangkai. Beberapa detik Anjani hanyut menikmatinya. Namun, beberapa detik kemudian dia terheran-heran.
"Bunga? Kenapa aku jadi ingat kenangan di desa?" Anjani bertutur pelan.
"Hei, aku bisa dengar, Anjani. Aku di sebelahmu, nih!" ujar Meli.
Anjani kaget mendengar suara Meli. Mungkin tadi dirinya benar-benar larut dalam lamunan, hingga terlupa bahwa sedari tadi Meli berada di sebelahnya.
"Rupanya, ada yang sedang rindu, nih?" Meli menggoda.
"Siapa yang rindu, Mel?" tanya Anjani. Dia mengelak.
"Itu tadi kamu nyebut 'Bunga'. Itu kan panggilan Juno padamu. Iya kan? Ngaku, deh. Kamu kan udah cerita semua kejadian saat di desa." Meli semakin menggoda Anjani.
"Bukan rindu, hanya ingat!" tegas Anjani pada Meli.
Mendadak obrolan tentang bunga terhenti. Topik lain segera menyembul sesaat setelah Paman Sam mengirim pesan singkat untuk Anjani.
"Mel, ada Ma di rumah Paman Sam. Aku harus pulang sekarang. Tokonya mau ditutup atau gimana?" tanya Anjani.
"Biarkan saja. Aku bisa, kok. Lagi pula hanya sisa satu pesanan saja yang belum dibuat. Kamu pulang saja. Bilangin ke ibumu suruh menginap. Ntar aku susul ke rumah Paman Sam, ya."
"Serius, Mel?"
"100%. Cepat pulang, dan hati hati di jalan." Meli tersenyum penuh semangat.
Anjani bergegas meninggalkan toko. Di jalan, hati dan pikirannya campur aduk. Di satu sisi dia senang karena bisa melepas rindu bersama Ma. Namun, di satu sisi lainnya dia harus menyiapkan mental, karena sampai saat ini belum meluncur permintaan maaf karena telah menyusun rencana untuk kabur ke kota.
***
Setengah jam berlalu, Meli telah selesai membuat satu buket bunga. Kali ini buket bunga mawar merah imitasi. Terlihat cantik dan berani. Tambahan pita keemasan dan parfum bunga, semakin membuatnya istimewa.
Tidak lama kemudian, dua pelanggan datang mengambil bunga pesanannya. Tiga buket bunga kombinasi telah bertemu tuannya. Jeda sepuluh menit, satu pelanggan lainnya terlihat memasuki toko. Kali ini pelanggan yang memesan buket bunga mawar putih minggu lalu.
Lelaki tampan, berpostur tinggi, dan berkacamata, terlihat tersenyum pada Meli. Rupanya dia tidak sendiri, ada lelaki lain di belakangnya. Lelaki berkaos hijau daun, juga tidak kalah tampan.
"Permisi, ini buket bunga yang sudah dipesan." Meli tersenyum. Dia lega karena kalimat yang keluar sudah lebih baik dari minggu lalu.
"Baik, terima ka ...."
"Hei, bolehkah saya tau namamu?" tanya lelaki berkaos hijau daun tiba-tiba.
"Em, boleh. Nama saya Meli. Senang sekali toko kami bisa memiliki pelanggan tetap seperti Anda. Terima kasih." Meli tetap tersenyum ramah.
"Namaku Juno, dan ini Ken. Sen .... Hei hei." Juno memberontak karena lengannya ditarik oleh Ken.
"Pembayarannya sudah kami transfer ke Bu Lisa. Kami permisi dulu. Terima kasih." Ken menarik Juno agar lekas keluar.
"Juno?"
Meli teringat sebuah nama yang pernah diceritakan Anjani. Tidak mau ambil pusing, dia pun mengabaikan. Meli memang tidak melihat jelas wajah Ken dan Juno saat di kampus minggu lalu. Dia hanya mengenali wajah Mario yang saat itu masuk mobil paling belakang.
Dan ... hari ini Juno ke toko bunga, tapi Anjani sedang tidak ada di sana. Suatu kebetulan, ataukah jalan takdir yang digariskan?
***
"Mas Ken, kenapa sih tarik-tarik?" tanya Juno. Dia sedikit kesal karena tiba-tiba lengannya ditarik.
"Kita di sini cuma mau ambil bunga, bukan kenalan sama petugasnya." Ken tidak kalah kesal. Dia pun memberikan buket bunganya pada Juno, sambil memberi isyarat agar dia memegangnya sementara Ken akan menyetir motornya.
"Ken, ayo pergi. Dia pasti sudah menunggumu di sana." Mario mengingatkan.
Motor Mario melaju lebih dulu, disusul Ken dan Juno. Buket bunga mawar putih akan menuju tempat tuannya berada. Bunga itu hanya perantara, bukan sosok utama yang dinantikan. Pertemuanlah yang dinantikan oleh sang tuan. Dengan bertemu, hati pun bisa melepas rindu.
***
Di rumah Paman Sam
"Anjani ....! Mau jadi anak durhaka kau rupanya. Kabur ke kota tak bilang-bilang kau. Sini, minta maaf dulu kau sama Ma."
Anjani baru selangkah masuk ke rumah, Ma sudah meneriaki Anjani. Anjani tidak bisa mengelak lagi. Merasa takut, dia pun melangkah perlahan. Sudah tidak bisa digambarkan lagi betapa berdebarnya hati Anjani melihat Ma yang penuh amarah.
"Ah! Lama sekali kau jalannya. Sini, kupeluk kau, Nak. Ma rindu berat sama kau."
"Maafkan anakmu ini, Ma. Aku pun juga rindu. Rindu pada masakanmu, Ma."
"Hari ini kita masak banyak, ya. Ma akan masakkan kau yang enak-enak. Pecel tempe, terong balado, urap, sayur kelor pakai sambal kau mau kan? Ayo-ayo, kita masak di dapur anakku sayang!" ajak Ma.
Paman Sam yang melihat adegan ibu dan anak itu pun terheran, tapi juga merasa bahagia. "Ah, kubiarkan saja mereka main masak-masakan di rumahku. Asal dapurnya tidak sampai terbakar saja. Hahaha."
***
Kalian menikmati ceritanya? Jangan lupa like dan tinggalkan jejak komentar di bawah ya. Tunggu episode selanjutnya. See You.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments
Sept September
aku mampir yaaaa 🤗
2020-08-26
1
ineyyy
Lanjut dah gasken
2020-08-22
1
Tantie Natalin Purba
like💓💓
2020-07-23
1