Udara pagi ini masih terasa sejuk, meski banyak kendaraan berlalu lalang. Mungkin karena ini masih pukul 06.00 WIB. Masih pagi, dan Anjani siap beraksi.
"Masih tetap mau berangkat kau? Sudahlah, tak usah kau cari kerja. Kalau mau kerja, tuh jaga warung. Sama saja." Paman Sam membujuk Anjani yang sudah bersiap dengan tas selempang dan jaketnya.
"Paman tenang saja. Hanya sebulan ini sambil nunggu masuk kuliah. Lagi pula, aku juga ingin menambah teman di kota." Anjani meyakinkan pamannya.
"Kau pergi buat cari teman. Lah, pamanmu di sini jadi tak ada teman, dong!" protes Paman Sam.
"Nih, sudah aku siapin. Si Miko hari ini akan menemani. Paman bosan, tinggal ngobrol saja. Iya kan, Miko?" tanya Anjani pada ayam jantan peliharaannya.
"Kukkuruyuuuk ...!"
"Tuh, Miko setuju. Kalau begitu aku pergi dulu. Daaa." Anjani melambaikan tangan dan bergegas keluar.
***
Sopir angkot mengemudi pelan. Sesekali dia melongok ke arah jalanan dan meneriakkan arah tujuan. Saat ada calon penumpang melambai ke arah angkot, seketika sang sopir bersemangat menjemput penumpang.
Tidak banyak penumpang yang naik angkot pagi ini. Hanya ada dua penumpang tambahan di angkot yang dinaiki Anjani dan Meli. Tidak berjubel, satu keuntungan tersendiri sembari menikmati perjalanan.
"Mel, masih jauh nggak? Sudah hampir setengah jam ini!" ujar Anjani. Dia terlihat tidak sabar. Maklum, saat di desa dia jarang keluar, apalagi sampai naik angkot. Kalau mau keluar pun, pasti Ma yang akan pesan ojek motor.
"Sabar, bentar lagi juga nyampek. Tuh tuh, tugunya sudah kelihatan. Bang, turun depan tugu putih di sana, ya." Meli memberi kode.
"Siap, Neng."
Angkot menepi perlahan saat sampai di tempat yang diminta Meli tadi. Anjani turun lebih dulu, diikuti langkah Meli yang langsung membayar tarif angkot.
Di luar dugaan. Semula Anjani mengira bahwa tempat tinggal teman Meli berada di kompleks perumahan biasa. Ternyata, tempatnya di kompleks perumahan elit. Baru melangkah masuk, Anjani sudah disuguhkan pemandangan rumah-rumah mewah.
"Serius temanmu tinggal di sini, Mel?" Anjani setengah tidak percaya.
"Emang aku ada tampang pembohong? Ah, kamu ini. Aku seriuslah. Keseringan ke sini juga. Tuh, sampai kenal sama bapak-bapak di pos jaga." Meli menegaskan.
"Eh, ada Meli. Sama temannya, Neng? Mau diantar sampai ujung? Biar nggak jalan kaki." Salah satu petugas jaga yang sudah mengenal Meli menawarkan tumpangan.
"Terima kasih, Pak. Mau jalan kaki saja. Sekalian olahraga, mumpung masih pagi." Meli tersenyum ramah.
"Oke, deh. Hati-hati, Neng."
Meli melangkah mantap, diikuti Anjani yang berjalan lamban di belakangnya. Raut wajah Anjani terlihat terperangah menikmati pemandangan jajaran rumah mewah. Rumah-rumah seperti yang dilihat olehnya saat ini, belum pernah dia temui di desanya.
Terus melangkah, Anjani dan Meli sampai di depan salah satu rumah berpagar besi warna maroon. Menakjubkan. Di halaman depan rumah tertanam rapi macam-macam bunga. Deretan tanaman mawar merah dan putih sungguh memesona. Di sisi lain, kerumunan bunga matahari tampak cerah dan indah dipandang mata. Satu lagi, ada pula tanaman Lily meski jumlahnya tidak sebanyak tanaman mawar dan matahari.
"Meli, masuk saja!" suruh seseorang pada Meli.
"Pagi, Kak Lisa. Ini sahabatku, Anjani." Meli memperkenalkan.
Kak Lisa, terlihat modis dengan setelan kaos putih lengan panjang dan celana kulot. High heels putih semakin mendukung penampilannya. Postur tubuhnya tinggi seperti Anjani. Dia berkacamata dan memasang behel di giginya. Juga, lesung pipit yang muncul saat dia tertawa membuatnya pantas mendapat predikat manis.
"Kalian serius mau bantu aku jaga toko bunga, kan?" Kak Lisa bertanya sambil tetap memasang wajah ramah.
"Tentu saja, tapi hanya sekitar sebulan ini. Sambil nunggu masuk kuliah, Kak." Meli menjelaskan.
"Baik, tidak masalah. Aku justru senang ada yang mau membantu. Oke, kalau begitu mulai hari ini ya. Kukenalkan dulu sama bunga-bunga di tokoku. Gimana?" tanya Kak Lisa menawarkan.
"Setuju, Kak. Kami mau." Kali ini Anjani yang membuka suara.
"Oke. Sekarang kalian berdua naik ke mobilku, ya. Oh iya, Anjani. Sekalian tolong bawakan buket mawar putih itu ya. Hari ini ada pelanggan yang memesan. Itu, di sana!" tunjuk Kak Lisa ke arah salah satu buket bunga di atas meja ukiran.
Anjani bergegas mengambil buket bunga mawar putih yang dimaksud. Iseng, dia pun sedikit mengintip isi tulisan pada pesan yang diselipkan di sana.
Mentari tersenyum cerah menyemangatimu hari ini. Lekaslah sembuh untukku.
Salam
***
"Kak Lisa, buket ini siapa yang memesan?" tanya Anjani. Pertanyaannya memecah lengang di dalam mobil.
"Ada salah satu pelanggan yang sering sekali memesan setangkai mawar putih. Kadang berupa buket seperti saat ini. Seorang pria, tampan rupanya. Lihat dari penampilannya sih sepertinya mahasiswa." Kak Lisa menjelaskan sambil tetap fokus mengemudikan mobilnya.
"Yei, kita sudah sampai!" kata Meli tiba-tiba.
"Hah, beneran di sini tempatnya?" tanya Anjani tidak percaya.
"Hei, memang kenapa?" Meli bertanya sesaat setelah mereka keluar dari mobil.
"Tau nggak. Di toko bunga ini aku dulu pernah kejedot pintu pas mau ngintip dalam toko." Anjani terus terang.
"Hahaha, sial banget!" seru Meli. Dia tidak kuasa menahan tawa.
"Tapi, waktu itu ada Mario dan aku dikasih bunga mawar putih."
"What? Beruntung banget hidupmu." Kali ini Meli memuji.
"Tadi dikatain sial, sekarang dibilang beruntung. Kamu, tuh." Anjani sedikit kesal.
"Hei, Anjani. Jangan-jangan yang pesan buket mawar putih itu Mario. Wah .... Senangnya bisa ketemu dia lagi." Meli terlihat kegirangan.
"Mungkin. Biar sudah, nggak perlu dibahas lagi. Yuk, kita bantuin Kak Lisa!" ajak Anjani.
"Haaah, iya deh."
Kak Lisa tidak hanya modis, ramah, dan manis. Dia pun tidak ragu membagikan semua ilmu tentang bisnis toko bunga, mulai dari stok bunga, cara membuat buket bunga, cara melayani pelanggan, juga ilmu-ilmu lain terkait filosofi bunga. Satu lagi yang penting, Kak Lisa juga mengajari sedikit ilmu tentang pembukuan. Meski hanya catatan transaksi jual beli toko, tapi itu sangat bermanfaat bagi Anjani dan Meli sebagai bekal ilmu untuk persiapan kuliah.
"Udah pukul 9 nih, Kak. Yang pesan buket mawar putih kenapa belum datang juga, ya?" tanya Meli. Dia celingukan memandang ke arah jalan.
"Hei, kenapa jadi kamu sih yang bingung." Anjani terheran.
"Biarin, mau ketemu pangeran." Meli menanggapinya dengan penuh khayal.
"Kalian ini, ya. Tunggu saja, sebentar lagi juga datang." Kak Lisa ikut menanggapi sambil tidak lupa tetap memasang senyum ramah.
"Kak ... ada mobil parkir di depan. Kayaknya pelanggan!" seru Meli bersemangat.
Beberapa menit setelah mobil yang dimaksud Meli berhenti, keluarlah seorang lelaki berpostur tinggi, tampan, dan berkacamata. Dia melangkah ringan sambil memasang senyum ramah.
"Permisi, saya mau mengambil buket mawar putih yang kemarin sudah dipesan." Lelaki itu berkata kepada Meli.
"K-Kak Lisa, ini, buket mawar putih." Meli terbata.
"Hei, selamat pagi. Kali ini sendirian saja, ya. Ini buketnya. Dan, sudah dibayar kok. Terima kasih, ditunggu pesanannya lagi, ya." Kak Lisa terlihat lihai dalam berinteraksi dengan pelanggan.
"Baik, terima kasih. Saya permisi dulu." Lelaki itu pun pamit, keluar dari toko, dan masuk ke dalam mobilnya.
"Mel, kenapa kamu?" tanya Anjani. Dia penasaran dengan tingkah Meli yang tidak biasa.
"Ternyata pelanggannya bukan Mario. Tapi pelanggan yang itu nggak kalah tampan." Meli berkata dengan mata penuh binar.
"Ah, Meli! Sudah, sadar-sadar. Nih, sekarang bantuin aku bikin 4 buket bunga. Kak Lisa bilang mau diambil ntar siang. Buat acara wisuda. Yuk! Tolong sekalian ambilkan pita perak, ya!"
"Siap, laksanakan!"
***
Di dalam mobil
"Nih, buket bunganya, pegang!" ujar Ken. Dia terlihat kesal.
"Okeh!" Mario menjawab singkat.
"Ah, biasanya juga kamu yang ambil bunganya. Kenapa kali ini? Takut karena ada tuh cewek?"
"Buat apa takut." Lagi-lagi Mario menjawab singkat sambil tetap mengemudi.
"Lah terus buat apa nyuruh aku sendirian yang ambil?" tanya Ken.
"Ken, sales sepatu tampan berpakaian keren, mengemudikan mobil mewah, dan memesan buket bunga. Bisa kau tebak sendiri pertanyaan seperti apa yang ditanyakan Anjani padaku jika bertemu." Mario menjelaskan dengan gaya santainya.
"Ahahaha. Aku benar-benar lupa. Anak pemilik tiga pabrik sepatu kan seorang sales. Oke, lupakan saja. Segera berikan bunganya dan antar aku ke kampus." Ken memerintah.
"Kuturunkan kau di sini, karena terlalu berisik dan berlagak seperti bos." Mario berkata tiba-tiba.
"What? Oke-oke. Kita berangkat bersama Tuan Muda Mario."
"Bagus! Tujuan selanjutnya, rumah sakit. Hei, lekas pasang sabuk pengamanmu itu, Ken!"
"Iya-iya!"
***
Rumah sakit? Siapa yang sakit? Dan, akankah Anjani dan Mario bisa bertemu lagi?
Okey, bersambung dulu ya. See You, Readers. Jangan lupa jempolnya 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments
Sept September
pagiii... semangat semangat....
aku datang yaaaaa.... bawa jempollll untukmu 💕
jangan lupa semangat!!!
Sept
💝
2020-08-21
1
ayyona
jejak ku 😍
2020-07-25
1
Srisumarni
lanjut
2020-07-20
1