Pemandangan pagi yang menyejukkan. Tidak sia-sia Arzan memilih berada di rumah pagi ini. Biasanya hari minggu pagi jika tidak ada pertemuan penting, dia akan memilih mengawali hari liburnya dengan bermain tenis dengan teman-temannya sebelum menghabiskan waktu dengan putri semata wayangnya.
Namun semalam dia membatalkan jadwal bermain tenisnya, ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan putri tercintanya karena semenjak kehadiran Tiara sebagai pengasuh tambahan dia sudah sangat jarang direpotkan dengan rengekan-rengekan sang putri dan Arzan ternyata merindukan itu.
Sudah lama dia tidak melihat sang putri tertawa begitu lepasnya. Saat ini dia tengah memandangi sang putri yang berada di taman samping rumah dari balkon kamar tidurnya yang berada di lantai dua. Arzan melihat dengan mata kepalanya sendiri Qiana tertawa begitu lepas karena hal sederhana yang disuguhkan Tiara. Entah apa yang diceritakan oleh pengasuh putrinya itu sehingga membuat sang putri begitu bahagia dan tertawa lepas. Sebelumnya Arzan bahkan tidak pernah melihat putrinya seperti itu.
Hari libur ini Tiara sengaja datang pagi-pagi sekali ke kediaman keluarga El-Malik. Sesuai permintaan majikan kecilnya itu yang meminta agar Tiara menyiapkan sarapan pagi tuan putri sesuai keinginannya. Dengan senang hati Tiara pun menyanggupi, dia mengalihkan shift kerjanya di restoran menjadi siang hari. Biasanya jika hari minggu dia akan lembur dua shift sekaligus dari pagi sampai malam, tapi tidak untuk hari ini.
Cukup lama Arzan memandangi mereka berdua, dia bahkan tidak menyadari jika pandangannya kini telah beralih pada pengasuh putrinya itu. Setiap gerak gerik Tiara tidak lepas dari tatapannya, dia seolah sedang merekam semua yang dilihatnya saat itu dalam memorinya. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna, senyum manis terlukis di wajahnya yang tampan.
Kehadiran seseorang dengan berkendara sedan Civic hitam mengalihkan pandangannya. Arzan mengernyit dengan kehadiran asistennya di pagi-pagi seperti ini. Jika urusan pekerjaan biasanya Arga akan terlebih dahulu menghubunginya.
Arzan penasaran, dia masuk ke dalam kamarnya dan mengambil ponsel dari atas meja kecil di samping tempat tidurnya yang sejak semalam disilent. Nihil, tak ada pesan atau pun panggilan dari Arga di ponselnya.
Arzan kembali berjalan menuju balkon kamarnya dan betapa terkejutnya dia, pemandangan indah di pagi hari yang membuat moodnya sangat baik berubah menjadi sesuatu yang meresahkan. Bagaimana tidak, Arzan melihat Arga duduk tepat di samping Tiara berhadapan dengan Qiana yang sedang disuapi gadis itu. Tanpa ragu Arga bahkan membantu Tiara mengelap sisa makanan yang tertinggal di area mulut putrinya itu. Sekilas mereka terlihat seperti keluarga kecil yang tengah berlibur.
Arzan membalikkan badannya, melangkah dengan segera kembali ke dalam kamar. Dia menjatuhkan tubuhnya dengan cukup keras di atas sofa yang terdapat di kamarnya. Arzan menghembuskan nafasnya kasar. Ada sesuatu yang tiba-tiba membuat dadanya terasa sesak.
Sejak menyatakan diri untuk menyayangi Tiara, Agra semakin gencar menunjukkan perhatiannya walaupun tidak ada pernyataan balasan yang terlontar dari bibir Tiara dia seolah tidak peduli . Arga semakin sering menanyakan kabar Tiara melalui pesan whatsapp. Setiap pagi Arga bahkan menawarkan diri untuk menjemput Tiara namun selalu ditolak dengan sopan oleh gadis itu. Arga mengerti, Tiara gadis yang berbeda sepertinya akan membutuhkan perjuangan yang cukup panjang jika dia ingin menggapai hatinya.
"Lahap bener anak cantik makannya" Arga mengusap kepala Qiana, sedikit gemas melihat gadis cantik itu makan dengan lahapnya.
"Iya dong Om, bubur ayamnya enak banget. Om mau? dijamin ketagihan deh, bubur ayam buatan kakak cantik uenakkk tenan.." gadis kecil yang sebentar lagi akan menduduki bangku sekolah dasar itu pun menjawab dengan panjang lebar. Dia berekpresi dengan wajah yang sangat menggemaskan, menggambarkan betapa enaknya bubur yang sedang dia makan dari suapan Tiara. Tidak lupa acungan dua jempol pun dia sematkan di sela-sela ekspresinya.
"Boleh?" Arga yang dibuat gemas karena ekspresi lucu dan menggemaskan Qiana pun penasaran seenak apa bubur buatan Tiara itu.
"Boleh dong, kakak cantik kan bikinnya banyak. Buat aku, buat papi, buat oma, buat Mbak Ana, buat semuanya deh. Kalau om mau om ambil aja sendiri ke dapur. Jangan minta punya aku" Qiana kembali berceloteh dengan riangnya. Dia bahkan menutupi mangkuk bubur ayam miliknya yang dipegang oleh Tiara karena takut Arga mengambilnya.
"Hahahaa......" tawa Arga pecah, dia semakin gemas dengan tingkah Qiana yang mengira jika dia akan meminta bubur milik gadis itu. Hal itu membuat ide jailnya muncul seketika.
"Tapi omm maunya bubur punya Qiana, mau disuapin juga sama kakak cantik" Arga berbicara tanpa ragu, selain menggoda Qiana dia pun ingin melihat reaksi Tiara.
Tiara menoleh ke samping. Dilihatnya Arga tengah menunjukkan wajah merajuk ke arah Qiana. Mengetahui Tiara menoleh ke arahnya, Arga pun melirik, dia mengedipkan satu matanya kepada Tiara. Sontak Tiara membulatkan matanya memberikan tatapan tajam kepada Arga yang hanya dibalas kekehan oleh laki-laki itu.
"Menyebalkan", batin Tiara.
"Enggak boleh, Om gak boleh minta disuapin sama kakak cantik, kakak cantik cuman boleh suapin Qia. Om Arga minta aja Mbak Ana buat nyuapin" Qiana tidak kalah merajuk membuat Arga semakin tergelak.
Di saat yang bersamaan Ana datang untuk meminta Qiana agar segera membersihkan diri.
"Mbak Ana, Om Arga mau disuapin bubur ayam sama Mbak Ana" pekik Qiana saat melihat Ana mendekat ke arah mereka.
"Hah?" Ana yang tidak tahu apa-apa kaget mendengar permintaan aneh Qiana.
"Hahaha...." Arga semakin tidak bisa menahan tawa ekspresi Qiana.
"Eheumm ..." tawa Arga terhenti karena mendengar deheman dari orang yang tak asing bagi Arga. Dia pun menoleh ke sumber suara.
"Boss...." ucapnya dengan santai, dia tak beranjak sedikit pun dari tempatnya duduk sejak awal di samping Tiara.
"Sayang, sarapannya sudah?" tanpa memedulikan sapaan Arga, Arzan berbicara menatap lekat sang putri yang sedang menikmati suapan bubut ayam terakhir dari tangan Tiara. Sekilas Arzan melirik Tiara yang menunduk membersihkan mangkuk yang masih ada sedikit sisa bubur ayam.
"Sebentar Papi, aku habisin dulu bubur ayamnya" dengan mulut yang penuh Qiana berbicara, dia mengarahkan jarinya ke mulutnya yang mulai kosong meminta Tiara dengan sorot matanya agar menyuapkan bubur ayam yang masih tersisa di sendoknya.
Tiara pun mengerti dia menyuapkan bubur ayam yang tinggal sedikit itu lalu dengan sigap mengelap tepi bibir Qiana yang sedikit belepotan.
"Ayo Non, sekarang kita mandi dulu" Ana mengulurkan tangan, mengajak Qiana untuk ikut dengannya.
"Sebentar Mbak Ana, aku belum berdo'a" setelah menghabiskan minumnya Qiana menolak ajakan pengasuhnya itu.
Arzan mengernyit mendengarnya, baru kali ini dia mendengar jika sang putri mau berdo' a sebelum makan. Selama ini dia terlalu fokus pada asupan gizi sang anak, lupa dengan asupan rohaninya.
"Alhamdulillahilladzi ath'amana wasaqana waja'alana minal muslimin" Qiana mengakhiri do'anya dengan mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. Ada keharuan di hati Arzan saat mendengar sang putri berdo'a. Selama ini dia terlalu fokus pada hal yang dianggapnya sangat penting. Dia lupa jika dibalik apa yang diperjuangkannya untuk sang putri ada sesuatu yang lebih penting yang harusnya dia tanamkan sejak dini yakni sikap spiritual.
"Papi, kata kakak cantik kalau kita enggak berdo'a sebelum dan sesudah makan nanti makanan kita enggak berkah karena kita makannya ditemani setan. Setan juga mengambil sebagian jatah makanan kita, iiii......" Qiana bergidik ngeri, dia berceloteh menyampaikan apa yang didengarnya dari Tiara, setiap akan makan Tiara selalu mengingatkan itu sampai sekarang Qiana sudah terbiasa melakukannya tanpa harus diingatkan.
"Iya sayang" Arzan tersenyum haru mendengar penuturan sang putri, sekilas dia menatap Tiara yang masih menunduk, yang selalu enggan menatap jika berhadapan dengannya.
"Aku juga sudah bisa membaca do'a buat mami di surga, Papi" Qiana kembali berceloteh.
Deg....tiba-tiba hatinya tersentak mendengar sang putri menyebut maminya di surga. Arzan menatap semakin lekat sang putri, menunggu kelanjutan pembicaraannya.
"Kata kakak cantik Mami di surga sudah tenang dan akan semakin bahagia kalau aku selalu mengiriminya do'a, iya kan kakak cantik?" Qiana menoleh ke arah Tiara dia meraih tangan Tiara yang masih menggenggam sendok.
Tiara mendongak, dia hanya menjawab dengan seulas senyum dan anggukan kepala.
"Gimana do'anya?" Arga yang sejak tadi menyimak dengan seksama, tak kalah penasaran dengan kemajuan pengetahuan agama putri bosnya itu. Selama ini dia menjadi salah satu orang yang paling tahu pertumbuhan dan perkembangan putri bosnya itu.
"Bismillahirrahmanirrahim, Allahummaghfirlaha warhamha, wa'afiha, wa'fu'anha. Aamiin" Qiana mengangkat kembali kedua tangannya dan berakhir dengan mengusapkan kedua tangannya itu ke wajahnya.
"Aamiin" serempak semuanya mengaminkan.
Arzan tertegun dibuatnya, selama ini dia bahkan tidak pernah mengucapkan do'a itu untuk mendiang istri tercintanya. Istri yang dia klaim bahwa kedudukannya di hatinya tidak akan pernah terganti, satu-satunya wanita yang bisa membuatnya jatuh cinta dan merasakan indahnya cinta. Wanita yang layak mengandung anak-anaknya dan kini telah pergi untuk selamanya dengan meninggalkan harta yang paling berharga untuknya yaitu Qiana buah cinta dari mereka berdua.
Sampai saat ini, usia Qiana yang sudah akan menginjak bangku sekolah dasar Arzan masih enggan membuka hati. Baginya tidak ada wanita yang lebih baik dari mendiang istrinya, cantik, lemah lembut dan penuh kesabaran. Menantinya dengan setia saat dia harus menyelesaikan studinya di luar negeri. Bahkan setelah menikah pun tak pernah mengeluh jika harus ditinggalkan dalam jangka waktu lama jika dia harus mengurus bisnisnya di luar kota maupun luar negeri.
Keharuan semakin menyeruak dalam dadanya. Menyaksikan putrinya tumbuh dan berkembang dengan baik membuat dia semakin merindukan mendiang istrinya.
"Sayang, kamu lihat kan? putri kita sudah besar sekarang. Dia bahkan sudah bisa mendo'akanmu sekarang padahal aku tidak pernah mengajarkannya" Arzan bergumam dalam hatinya.
"Sekarang Non Qiana ikut Mbak Ana ya, mandi dan dandan yang cantik" suara Tiara tiba-tiba menyadarkan Arzan dari lamunannya.
"Oke kakak cantik, Qia mandi dulu ya. Kakak tungguin di sini, jangan kemana-mana" Qiana berdiri dia meraih uluran tangan Ana yang akan menuntunnya.
"Om Arga mau nyulik kakak cantik ah" ide jail Arga kembali datang, dia selalu gemas melihat ekspresi Qiana.
"Aaaaa......enggak boleh, kakak cantik cuman punya aku" Qiana yang hendak berlalu dengan Ana kembali membalikkan badannya ketika mendengar ucapan Arga, dia berhambur memeluk Tiara yang hampir saja terjatuh karena tidak siap menerima pelukan Qiana yang mendadak. Tiara pun kembali terduduk di kursinya, dia hendak berdiri saat Qiana menubrukkan tubuhnya ke arah Tiara. Refleks Arga pun memegangi kursi taman yang diduduki Tiara dan Qiana karena hampir saja terguling.
Posisi mereka berdekatan, bahkan bahu Tiara menempel di dada bidang Arga. Tiara terhenyak selain kaget karena kedatangan Qiana yang tiba-tiba memeluknya, Tiara pun merasa malu dengan posisinya saat ini. Posisi yang menggemaskan jika diabadikan dengan lensa kamera. Keluarga kecil yang bahagia.
"Pak Arga" Tiara menyadarkan Arga yang masih enggan bergerak karena menahan kursi yang didudukinya memangku Qiana. Dia sendiri kesulitan bergerak karena badannya terhimpit Qiana.
Sementara Arzan diam mematung, melihat adegan di depan matanya membuat hatinya merasakan sesuatu yang tak biasa.
"Ada apa ini? kenapa hatiku kacau begini?" gumam Arzan dalam hatinya. Dia pun memalingkan wajahnya melihat Arga yang tak kunjung merubah posisi. Dadanya semakin sesak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Fitri Dwinda
benih² rasa suka mulai tumbuh nih kayak nya 😂
2024-03-23
1
Endra Endro
hhhhhhhhh betul
2023-09-07
1
Ulil
peh urung* kok wes cemburu
2023-05-21
1