Rion sudah keluar dari rumah sakit. Iyan pun sudah kembali kuliah dan bekerja seperti sedia kala. Pria berusia senja itu pun menatap setiap sudut kamarnya. Bibirnya tersenyum dengan sangat bahagia.
Dia meraih figura yang berada di atas nakas. Echa, Riana, Iyan serta dirinya. Tersenyum menghadap kamera.
"Kalian sudah dewasa sekarang."
Rion memandangi foto itu dengan duduk di pinggiran tempat tidur.
"Dek, kamu adalah anak yang luar biasa sekali," ucapnya. Jarinya mengusap lembut wajah Echa yang ada di dalam figura.
"Riana, Ayah bangga sekali. Kini, kamu seperti kakakmu." Lengkungan senyum terukir di wajahnya. Ada kebahagiaan tak terkira yang Rion rasakan.
"Iyan."
Suara Rion bergetar. Matanya nanar melihat gambar Iyan di dalam foto tersebut.
"Apakah Ayah bisa menemani kamu hingga pelaminan?"
Rion benar-benar takut jikalau nasib Iyan tetaplah malang sama seperti dia ketika kecil. Anak yang diacuhkan oleh ibu kandungnya.
"Apa Ayah masih sanggup membuka mata ketika kamu menjabat tangan penghulu?" Suara Rion terdengar sangat lemah. Dia menunduk sangat dalam. Air matanya pun menetes ke kaca figura.
"Ayah rasa, Ayah tidak bisa mengantarkan kamu menuju kebahagiaan kamu, Iyan." Pesimis, itulah Rion sekarang. Setiap malam dia selalu merasakan kesakitan yang tak tertahan. Namun, gak pernah dia utarakan. Cukup memendamnya sendirian.
Seharian itu Rion tidak keluar kamar. Dia tengah mempersiapkan kado untuk putra bungsunya. Secarik kertas yang di atasnya berisi tulisan bertinta hitam pun ikut dia masukkan ke dalam kotak.
"Bukalah ketika usiamu dua puluh satu tahun." Rion tersenyum sembari menatap kotak kecil nan cantik itu.
Ketika malam tiba, pintu kamar Rion terbuka. Rion yang tengah menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang menatap ke arah pintu. Senyuman manis Iyan berikan kepada ayahnya.
"Baru pulang?" Iyan mengangguk.
"Ayah kenapa belum tidur?" tanyanya.
"Belum ngantuk."
Iyan menghampiri ayahnya dan memeluk tubuh ayahnya dengan sangat erat.
"Kenapa?" tanya Rion.
"Iyan ingin terus bersama Ayah." Rion tersenyum mendengarnya. Dia mengusap lembut rambut sang putra.
"Tidak ada yang kekal di dunia ini, Yan. Ada kelahiran pasti akan ada kematian." Iyan menggelengkan kepalanya.
"Jika, Iyan boleh menawar. Iyan akan meminta Tuhan mencabut nyawa Iyan terlebih dahulu karena Iyan gak sanggup ditinggalkan oleh Ayah."
Ucapan yang sangat tulus. Hati Rion menangis mendengarnya.
"Jadilah anak yang kuat, Yan. Kamu laki-laki satu-satunya dalam keluarga kita. Kamu harus bisa jadi pemimpin sekaligus pelindung untuk kedua kakak kamu. Beban anak laki-laki itu berat."
Rion mengurai pelukannya. Dia menatap serius manik mata putra tercinta. "Takdir seseorang sudah digariskan. Tidak bisa untuk ditawar. Juga tidak bisa untuk menghindar. Cukup menyiapkan bekal agar memperlancar menuju tempat keabadian. Menghadap Tuhan dan meninggalkan semua yang hanya merupakan titipan."
Mata Iyan berkaca-kaca mendengar ucapan ayahnya. Semakin hari ayahnya selalu membicarakan perihal kematian. Sungguh dia sangat takut.
"Ayah jangan pernah mendahului Tuhan, untuk sekarang jangan membicarakan kesedihan. Iyan hanya ingin memberikan kebahagiaan untuk Ayah. Mengukir kenangan yang banyak karena semakin hari waktu kita di dunia semakin berkurang. Iyan sayang Ayah."
Rion memeluk tubuh putranya. Terlalu sakit mendengar ucapan yang keluar dari mulut Iyan. Terdengar sangat pilu.
Ayah dan anak ini akhirnya tidur berdua. Semalaman ini Iyan tidak bisa terlelap. Matanya masih tertuju pada sosok sang ayah yang menjadi pelindung baginya.
"Jika Ayah pergi, Iyan akan seperti apa? Apa Iyan sanggup menerima kenyataan yang ada? Apa Iyan sanggup hidup tanpa Ayah? Ke mana lagi Iyan harus mengadu?"
Air mata menetes begitu saja membasahi wajah Iyan. Sudah dua hari ini hanya rasa takut yang bersarang di hatinya.
"Jika, Ayah memang harus pergi. Iyan mohon ... biarkan Iyan melihat bagaimana Ayah menutup mata. Iyan ingin mendampingi Ayah. Iyan ingin berada di sisi Ayah."
Iyan tidak sanggup menahan gejolak rasa yang ada di dada. Dia memilih untuk keluar dari kamar ayahnya dan menumpahkan semua tangisnya di kamar miliknya.
"Iyan belum siap kehilangan Ayah."
Rasa takut semakin menyelimuti diri Iyan. Apalagi dia bermimpi bertemu dengan ibundanya. Beliau melambaikan tangan dengan tersenyum. Namun, di sampingnya ada seseorang yang ikut pergi bersamanya.
"Biarkan Iyan saja yang menua. Ayah jangan sampai menua dan menutup mata." Iyan mulai menjadi manusia yang egois. Hingga usapan lembut dirasakan oleh Iyan.
Wanita berbaju putih panjang yang sudah tidak pernah datang kini hadir lagi. Tangan halusnya menggantikan sentuhan lembut ibu kandungnya.
"Jangan menangis, Yan."
"Iyan takut, Ibu. Takut.
Semua teman-teman Iyan hanya dapat menatap Iyan dari jauh. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka juga ikut sedih karena ini kali kedua mereka melihat Iyan serapuh ini.
"Jangan jadikan mimpimu itu sebagai pertanda. Ada kalanya mimpi itu hanya bunga tidur." Ibu adalah teman Iyan yang sangat mengerti Iyan. Dia akan hadir ketika Iyan merasa sedang tidak baik-baik saja.
"Kamu punya Tuhan. Berdoalah, meminta kepada Tuhanmu supaya ayahmu panjang umur dan sehat selalu. Hanya kepada Tuhan harusnya kamu berserah juga meminta. Tuhan sangat tahu kondisi kamu. Maka dari itu, mengadulah kepada-Nya."
Seminggu sudah berlalu, Iyan merasa ayahnya semakin sehat dan tak hentinya dia mengucapkan syukur kepada sang pencipta.
"Yan, ulang tahun kamu sepuluh hari lagi, ya." Ayahnya membuka suara ketika mereka semua menikmati sarapan.
"Gak tahu, Yah. Iyan gak tahu tanggal, yang Iyan tahu cuma tanggal satu."
Radit berdecak kesal. "Waktunya gajian mah apal." Iyan pun tertawa.
"Ayah sudah siapkan kado untuk kamu," ucap Rion lagi.
"Gak usah repot-repot, Yah. Iyan bukan anak kecil lagi. Hadiah terindah untuk Iyan adalah kesehatan Ayah." Iyan menatap ayahnya dengan sorot penuh cinta.
Rion pun tersenyum, hatinya mencelos pedih. Sanggupkah dia meninggalkan putra bungsunya?
"Gak ada kata repot untuk anak Ayah," balas Rion. "Tepat di usia dua puluh satu kamu baru boleh buka kadonya." Iyan pun mengangguk. "Hadiahnya ambil di nakas samping tempat tidur Ayah."
"Kenapa gak dibuka sekarang aja, Yah?" tanya Echa.
"Belum waktunya," sahut Rion. Echa pun hanya tertawa.
Sebelum berangkat ke kampus, Iyan mencium tangan pria yang sangat dia sayangi di dunia ini.
"Ada masalah apa kamu sama Beeya?" sergah Rion. Dahi Iyan mengkerut. Kenapa ayahnya menanyakan hal seperti ini?
"Gak ada apa-apa, Yah. Iyan baik-baik aja sama Kak Bee."
Rion menatap lekat manik mata Iyan dan berkata, "Kamu tengah menjaga jarak, sama halnya dengan Beeya. Apa kalian bertengkar?" Iyan menggeleng.
Rion menghela napas berat. pandangannya lurus ke depan. "Ayah kangen anak itu. Ayah rindu Beeya. Ayah ingin bertemu dengan dia." Kini Rion menoleh ke arah Aska. "Apa bisa kamu bawa Beeya bertemu dengan Ayah sebelum hari ulang tahun kamu?"
...****************...
Nulisnya sampai dada sesak. Jangan lupa komen ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 222 Episodes
Comments
Anna Mutia Feranita
yg nulis aja sesak, apalagi yg baca, mewek bombay lah kaka.... 🥲
2023-05-03
0
🍇🍇selllaa🍇🍇
air mata g surut2 baca part ini dada jadi sesek😭😭😭😭
2022-04-18
1
Wiendhiet
Yang Baca, Mata'y Pada Berembun.....
2022-03-16
1