Perlahan mata Rion terpejam. Riana yang melihatnya pun segera membangunkan ayahnya. "Ayah," panggilnya. Dia terus memanggil ayahnya. Dia juga tak segan mengguncang tubuh Rion. Namun, Rion tak jua membuka mata.
"Ayah, jangan buat Ri takut."
Suara Riana sudah bergetar. Dia berteriak sangat keras memanggil sopir. Bukan hanya sopir yang menghampirinya, asisten rumah tangga pun ikut di belakang sang sopir.
"Ada apa-"
"Cepat bawa Ayah ke rumah sakit!" Riana sudah benar-benar panik. Dia terus memeluk tubuh ayahnya. Merasakan denyut jantung ayahnya yang masih berdetak, tetapi sangat lemah.
"Cepat, Pak!" Riana berteriak lagi.
Tanpa Riana minta, asisten rumah tangganya menghubungi Echa perihal majikannya. Namun, sambungan telepon tak kunjung dijawab.
Tibanya di rumah sakit, Riana berteriak histeris meminta dokter dan perawat di sana menolong sang aayah. Wajah ayahnya sudah memucat.
"Ayah, bertahanlah." Air mata Riana menetes begitu deras.
"Ibu tunggu di sini. Kami akan memeriksa pasien."
Riana hanya bisa menyandarkan tubuhnya di dinding. Hatinya terus merapalkan doa untuk kesembuhan pria yang amat dia sayangi. Ponselnya berdering, nama kakaknyalah yang tertera di sana.
"Ri, di rumah sakit-"
Riana menoleh ke arah pintu IGD yang terbuka. Dokter sudah memperlihatkan wajah sedihnya.
"Maaf, pasien sudah tidak tertolong."
Ponsel yang ada di tangan Riana pun jatuh begitu saja. Pecah dan berserakan di lantai.
"Ayah!"
Riana berlari masuk ke ruang IGD dan dia benar-benar histeris melihat ayahnya yang sudah terbaring kaku.
"Jangan tinggalkan Ri, Ayah!" Riana memeluk tubuh Rion dengan sangat erat. Tidak terasa hembusan napas dari hidung ayahnya. Tidak terasa detak jantungnya juga.
"Bangun, Ayah! Jangan bercanda!"
Riana benar-benar tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Baru dia memeluk tubuh ayahnya, kini ayahnya sudah tiada.
"Ri, masih membutuhkan Ayah. Ri, masih butuh bimbingan Ayah. Bangun, Yah! Bangun!" Air mata sudah membanjiri wajah Riana hingga suara orang berlari dan memanggil nama ayahnya terdengar.
"Rion!" teriaknya.
Suasana semakin mengharu biru. Pada perawat juga dokter hanya bisa menunduk dalam melihat adegan tersebut.
"Bangun! Gak lucu cara bercanda lu!" Arya masih menyunggingkan senyum kepiluan. Sedangkan Riana sudah menangis dengan tangan memeluk erat tubuh ayahnya.
"Bangun, Bro!" Arya pun menunduk dalam dan tubuhnya bergetar.
"Di mana Ayah sa-"
Tubuh Echa menegang melihat dua orang menangis di atas tubuh ayahnya. "Enggak, Ayah gak mungkin meninggal."
Mendengar ucapan Echa, Riana menoleh dan berlari memeluk tubuh kakaknya. "Ayah, Kak. Ayah."
Tas yang dibawa Echa pun terlepas dari genggamannya. Kepalanya masih menggeleng, air matanya sudah menganak.
"Kakak hanya mimpi 'kan. Ini gak nyata 'kan."
Riana semakin erat memeluk tubuh Echa. Dua anak ini sama-sama terpukul akan kepergian ayah mereka.
Echa mulai mendekat ke arah jenazah Rion. "Ayah," panggilnya pelan. Dia berharap ayahnya membuka mata kembali.
"Ayah, bangun Ayah! Echa datang," ucapnya lirih. Echa menggenggam tangan ayahnya, mengecek nadinya. Namun, tidak ada yang berdenyut. Malah hatinya yang tengah berdegup sangat kencang.
"Enggak! Mungkin aku salah!" rancau Echa.
Dia mulai meletakkan telinganya di dada jenazah ayahnya dan sama sekali tidak berdetak. "Mungkin aku salah lagi. Iya, aku salah."
Pelukan dari belakang membuat air mata terjatuh dengan begitu deras. "Ayah sudah meninggalakan kita, Sayang."
"E-enggak! Ayah gak boleh pergi!"
Echa menangis histeris dan akhirnya tubuhnya terkulai lemas. Radit segera membawa tubuh istrinya keluar. Echa yang pastinya akan sangat terpukul akan kepergian ayahnya.
"Jangan ditutup, dok! Jangan!"
Aksa yang baru saja datang memeluk tubuh Riana. Menenangkan istrinya yang pastinya sangat syok dengan kepergian ayahnya. Orang tua satu-satunya yang dia miliki.
"Jangan ditutup, Ayah masih hidup," ucapnya lemah dalam dekapan hangat suaminya.
Hanya Arya yang menemani jasad Rion dibawa ke ruang jenazah. Dia dengan setia mendampingi Rion, berada di sisi Rion walaupun hatinya menangis dengan sangat keras.
"Kenapa lu ninggalin gua dengan begitu cepat? Bukankah kita sudah berjanji untuk pergi bersama dari dunia ini? Kenapa lu masih bodoh aja! Gak ngajak-ngakak gua." Hati Arya mengoceh akan kepergian sahabat tercintanya. Dia ingin menjerit dengan sangat kencang.
"Kalau gua gak ada duluan, jaga anak-anak gua, ya. Terutama Iyan. Berikan kasih sayang lu supaya anak gua gak merasa sendiri."
Kalimat itulah yang masih Arya ingat.
"Gua udah capek, Bhas. Jantung gua udah banyak dikasih penopang. Dada gua sesak banget."
Air mata Arya tak kunjung berhenti ketika teringat ucapan Rion pada saat Rion menjalani perawatan lagi dan lagi.
"Bhas, ketika anak gua meminta sesuatu, terutama Iyan. Kabulkan keinginannya, ya. Jangan pernah lu tolak. Buat dia bahagia, jangan sampai buat dia kecewa."
Ada sebuah makna dari ucapan yang Rion berikan. Namun, Arya belum bisa menebak maknanya. Pikirannya kalut, hatinya porak pranda, separuh jiwanya seakan telah pergi. Kepergian Rion lebih sakit dari kepergian ayahnya. Dia merasa sangat kehilangan sahabat yang sudah seperti keluarga. Selalu ada di saat suka maupun duka. Bertengkar karena sayang. Diam karena marah dan berucap kasar karena sudah kebiasaan.
"Kenapa lu gak ajak gua? Kenapa lu gak nunggu gua?" Kemarahan yang membuncah di dasar Arya. Tidak dipungkiri jikalau Rion adalah sahabat sejati Arya.
"Bhas, lebih baik kita pergi satu-satu. Supaya nantinya ada yang kita andalkan jikalau salah satu di antara kita pergi duluan."
Kalimat demi kalimat yang Rion ucapkan ternyata sudah Rion persiapkan sebagai salam perpisahan. Pergi dan tidak akan kembali lagi. Sudah tidak ada lagi gelak tawa, ejekan di antara mereka. Semuanya ini akan menjadi kenangan yang tidak akan pernah bisa hilang dari ingatan.
"Iyan, iya Iyan."
...****************...
Aku benar-benar nangis. 😭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 222 Episodes
Comments
Anna Mutia Feranita
walau telat baca, ini part yg bikin mewek bombay 🥲😭😭
2023-05-03
0
mommy neng
sedih banget deh bacanya
2023-04-09
0
Velza
😭😭😭😭😭
2022-06-05
1