Jodoh Dari Ayah
Rian Dwi Putra tumbuh menjadi anak yang sangat tampan juga tinggi. Di usianya yang baru dua puluh tahun sudah mau membantu sang kakak mengelola toko roti yang sangat besar milik ayah mereka.
"Ayah, bulan ini Ayah mau apa?" tanyanya kepada sang ayah yang tengah duduk sambil membaca berita online.
"Gak ada yang Ayah inginkan," jawabnya seraya tersenyum.
Wajah Iyan terlihat sendu mendengar jawaban dari ayahnya itu. Rion tersenyum dan mengusap lembut pundak sang putra bungsu.
"Bulan ini adalah bulan kelahiran kamu. Bukannya kamu yang memberi hadiah kepada Ayah, melainkan Ayah yang harus memberi hadiah kepada kamu."
Iyan tersenyum, dia menatap wajah senja sang ayah. Namun, dia tidak pernah mengeluh apapun kepada anak-anaknya. Seakan dia memendamnya sendirian.
"Iyan tidak meminta hadiah apapun, Yah. Iyan hanya minta Ayah sehat selalu dan panjang umur. Temani Iyan hingga Iyan menemukan pendamping hidup."
Rion membelai rambut sang putra. Jika, membahas perihal umur dia akan lebih pesimis. Dia takut, Tuhan memanggilnya sebelum Iyan menemukan pendamping. Namun, dia juga tidak bisa mengubah takdir yang sudah Tuhan tuliskan.
.
"Hai, Mas tampan."
Iyan yang tengah menyiapkan minuman untuk pelanggan hanya tersenyum. Dia tahu suara siapa itu. Iyan masih fokus dengan pesanan para customer. Toko roti itu bekerja sama dengan kafe milik sang kakak ipar. Iyan dipercaya sebagai barista di sana juga manager kafe.
"Dih, masa akunya dianggurin." Wanita yang berponi itu bersungut ria karena sudah setengah jam berlalu dia menunggu Iyan, tetapi yang ditunggu malah sibuk dengan pekerjaannya.
"Kasihan deh yang gak diapelin," ejek Iyan dengan tangan yang cekatan tengah membuat minuman.
Perempuan itu memasang wajah jeleknya dan membuat Iyan tergelak. Ketika sudah selesai, dia menghampiri perempuan itu di meja dapur kafe.
"Kenapa sih?" Iyan mengusap lembut rambut poni itu. Bukannya menjawab, perempuan itu malah bergelayut manja di lengan Iyan. Para pekerja di sana sudah tahu siapa perempuan itu. Perempuan yang sesuka hatinya masuk ke dapur kafe juga bermesraan dengan adik dari pemilik kafe tersebut.
"Mau cokelat panas gak?" tawar Iyan. Perempuan itu menggeleng.
"Aku ingin keluar."
Iyan melihat ke arah jam tangannya. Baru jam delapan malam, tetapi dia tidak bisa meninggalkan kafe begitu saja.
"Jam sebelas baru tutup."
"Iyan!" pekiknya. Iyan selalu mengajak perempuan itu bercanda karena dia tidak akan pernah tega melihat perempuan yang dia sayangi bersedih.
Waktu terus berputar dan perempuan itu dengan setia menunggu Iyan. Bermain ponsel sendirian di meja dapur.
"Ke atas aja, di sini mah bau asap," ujar Iyan.
"Enggak ah!"
Iyan hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Jam sebelas malam kafe itu baru tutup. Namun, Iyan baru bisa pulang jam setengah dua belas dan perempuan itu masih setia menunggu Iyan.
"Udah beres semua?" tanya si perempuan.
"Udah." Perempuan itu menggandeng tangan Iyan dan langkah mereka terhenti di motor matic milik Iyan.
"Kebiasaan 'kan gak pake jaket," omel Iyan.
"Dih, pan akunya baru pulang gawe. Berangkat kerja aku gak naik motor," balasnya.
Iyan hanya menggelengkan kepala. Dilihatnya penampilan perempuan itu dari atas sampai bawah. Helaan napas kasar yang keluar dari mulutnya.
"Itu rok kurang bahan?" sergah Iyan.
"Dih, apaan? Orang ini rok yang biasa aku pakai."
"Ini kalo naik motor, roknya semakin menyingkap ke atas. Paham?" Iyan sedikit menekan ucapannya.
Perempuan itu berdecak kesal dan menatap tajam ke arah Iyan. "Bawel ih!"
Kini, Iyan berbalik menatap tajam perempuan tersebut dengan tangan yang dia lipat di depan dada. "Aku itu ngasih tahu dalam hal kebaikan. Itu aurat, aurat itu gak boleh dipertontonkan."
"Iya, iya." Perempuan itu menjawab dengan nada yang sangat malas. "Udah atuh, kita jalan. Aku lapar."
Helaan napas kasar keluar dari mulut Iyan untuk kesekian kalinya. Iyan menyerahkan jaketnya. Ketika hendak dipakai oleh perempuan itu Iyan melarangnya. Sontak perempuan itu mengernyitkan dahi.
"Itu buat nutupin aurat kamu!" Perempuan itu pun tercengang mendengar ucapan dari Iyan.
Tangan putih bersih memeluk perut Iyan dari belakang. Diapun meletakkan kepalanya di punggung laki-laki yang selalu memperlakukannya dengan sangat baik. Walaupun terkadang sangat menyebalkan.
Mereka tiba di angkringan tempat langganan mereka. Iyan memesan apa yang diinginkannya dan juga perempuan yang tengah serius menatap layar ponselnya. Iyan duduk di samping perempuan itu seraya menghela napas kasar.
"Kebiasaan!"
Omelan Iyan membuat perempuan itu menoleh. Tatapan tajam yang dia berikan .
"Kalau ada masalah omongin, bukan malah ngehindar." Begitulah nasihat yang Iyan berikan.
Bukannya menjawab, mata si perempuan itu malah berkaca-kaca. Iyan segera memeluk tubuhnya dengan sangat erat.
"Gak bosen apa nangis mulu," omel Iyan lagi.
Sebuah pilihan, itulah yang tengah dituntut seseorang kepada si perempuan itu. Dia marah, dia kecewa. Kenapa harus memilih? Kenapa tidak bisa menerima keadaannya yang seperti ini?
Makanan mereka telah datang. Iyan mengambil tisu dan menghapus air mata perempuan tersebut. Senyuman manis Iyan mampu membuat hatinya tenang. Iyan mampu membuatnya melupakan apa yang tengah dia hadapi.
Iyan melihat ke arah jam tangan. Sudah jam dua belas lewat. "Pulang, yuk!" Perempuan itu menggeleng. Dia semakin erat memeluk lengan Iyan.
"Papah kamu udah chat aku ini. Gak baik loh anak perempuan pulang kerja bukan langsung pulang ke rumah malah mampir-mampir dulu."
Perempuan itu mendongak menatap wajah Iyan. Anak indigo itu ternyata sudah besar sekarang. Menjelma menjadi pemuda tampan dan juga hangat.
"Kenapa?" tanya Iyan heran.
"Ganteng."
Iyan pun tertawa mendengar jawaban dari perempuan itu. Dia mengusap lembut rambut si perempuan tersebut.
"Pulang, ya." Ucapan lembut Iyan mampu membuat perempuan itu mengangguk pelan
Iyan sudah mengeluarkan dompet, tetapi dicegah oleh si perempuan. "Ini tanggal tua, pasti kamu belum gajian." Iyan tertawa dibuatnya dan perempuan itu mengambil uang di dalam tas untuk membayar semua yang mereka pesan.
"Makasih."
Perempuan itu mengerutkan dahi. Dia tidak mengerti kenapa anak yang menyebalkan ini semakin hari semakin sopan.
"Aku yang ngajak berarti aku yang bayarin."
"Sering-sering aja ngajaknya biar aku dapat makan gratis terus." Candaan Iyan mampu membuat si perempuan itu tertawa lebar. Nyaman, itulah yang dia rasakan.
Dahi Iyan mengkerut ketika melihat ada mobil yang berada di depan pagar rumah perempuan yang tengah berboncengan dengannya. Ketika motornya berhenti untuk menunggu dibukakan pintu pagar, seseorang yang dia kenal mendekat. Menarik paksa tangan perempuan yang tengah bersamanya.
"Lepas!"
Iyan mematikan mesin motor dan dia segera melerai kedua anak manusia itu.
"Gak usah kasar Bang!" bentak Iyan.
"Jangan ikut campur! Ini urusan gua sama cewek gua!" balasnya.
"Lepas. Fa. Sakit!" Tangan perempuan itu masih dicekal dengan cukup keras membuat Iyan geram dibuatnya. Dia mendorong tubuh laki-laki itu dengan cukup kasar.
"Gak usah kasar sama cewek!" Urat-urat kemarahan sudah muncul di wajahnya.
"Sebenarnya ada hubungan apa lu sama cewek gua?" desak laki-laki itu. Dahi Iyan mengkerut mendengarnya.
"Hubungan? Abang sendiri tau gimana hubungan aku sama Kak Bee. Kenapa harus dipertanyakan lagi?" Iyan benar-benar bingung dibuatnya. Hanya decihan kesal yang keluar dari mulut Raffa, nama laki-laki itu Raffa.
"Bee, sekarang kamu pilih ... aku apa dia?" tekan Raffa seraya menunjuk ke arah Iyan.
...****************...
Test pasar dulu, ya. Kalo suka lanjut gak suka aku out.😁
Jangan lupa tekan ikon ❤️ biar gak ketinggalan update-annya. Jangan lupa komen ya, biar semakin semangat nulisnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 222 Episodes
Comments
Ima Ashahri
lanjuutt baca thor
2023-05-17
0
maulana ya_manna
mampir thor
2022-06-20
1
Velza
aku mampir kak😁😁
2022-06-05
1