Netta berdiri di pintu kamarku dengan tante dan kakak perempuanku Eva yang saat ini sedang mengandung anak pertamanya, kak Eva tidak ikut menghadiri pesta pernikahan kami karena saat ini usia kehamilannya memasuki delapan bulan, maka itu ia tidak ikut tidak pulang.
“Lah, kamu bagaimana Than, ini Netta kamu tinggalin, maksud kamu, ia mau tidur dimana?” tanya tante.
“Oh, iya ampun aku lupa,” kataku menepuk jidat sendiri.
“Hadeh, baru kemarin punya istri sudah lupa, bakalan berat ini,” Kata Arnita menimpali
“Tidak tau nih, si Nathan,” kata kak Eva tangannya mengusap-usap perutnya yang Buncit, kak Eva sejak hamil kadar cerewetnya meningkat drastis.
“Aku hanya ingin mandi tante, sini masuk, sana kalian semua…!” kataku mengusir wanita-wanita cerewet itu.
Aku membantunya menarik koper Netta, aku tau ia pasti canggung masuk ke kamar orang lain.
“Masuk Ta, ini kamar kita,” kataku, meletakkan kopernya tanganku yang satu memegang kuat handuk yang aku lilitkan di pinggangku, aku tidak mau handuknya terlepas membuat istri kecilku terkejut nantinya.
Aku tau gadis kecil ini belum siap untuk melakukannya tugasnya sebagai istri.
“Iya bang,” tapi matanya tidak mau menatapku, ia memilih melihat kearah lain.
“Kamu bereskan saja barang-barang mu, itu kemari ku, aku rasa bajumu masih muat didalamnya.”
“Iya bang.”
Kriiiing
Kriiing
Saat aku menjelaskan keadaan kamarku pada Netta, Mikha menelepon.
“Aku mau mandi dulu iya, aku sudah sempat mau mandi tadi.”
“Iya,’ ia mengangguk.
“Tapi kamu boleh mengganti pakaianmu dulu? Baunya tidak enak bikin kepalaku pusing.”
“Iya bang, abang masuk saja dulu nanti aku pasti ganti,” ia menunduk merasa malu.
Karena kejadian di pesawat hari ini sungguh sangat memalukan baginya. Tapi sebenarnya bisa saja kita maklumi kalau saja ia mengatakannya terlebih dulu pada kita kalau itu pertama kali ia naik pesawat.
Tapi sayang, Netta tidak melakukannya.
Aku masuk kembali kedalam kamar mandi.
“Halo sayang.”
“Kamu masih mau menerima telepon ku, aku kira kamu sudah melupakanku,” suara Mikha seperti tangisan, membuat hatiku sedih.
“Aku merindukanmu sayang , tunggu aku di sana, aku datang, iya.”
“Aku juga merindukanmu, datanglah kesini,” kata Mikha di ujung telepon.
Tidak perlu berlama-lama dikamar mandi, aku keluar, Netta duduk di kursi dekat meja kerjaku, lagi-lagi ia membaca buku.
“Hobi bangat baca buku,” kataku.
Ia menoleh ku sebentar, tiba-tiba wajahnya memerah karena aku hanya mengenakan handuk, tapi kegugupannya dan kecanggungan nya bisa ia sembunyikan dengan sikapnya yang tenang.
“Kamu boleh mandi, aku sudah selesai.”
Ia mengangguk lalu membawa pakaian gantinya sekalian ke kamar mandi. Aku sudah membuat janji ingin menemui Mikha.
Tapi saat Netta keluar dari kamar mandi, aku berpikir ini kesepakatan ku untuk minta izin padanya untuk keluar, jika aku minta izin pada kak Eva yang ada ia akan menyelidiki, jika ke tante ia akan merepet dan marah-marah, jika pamit pada si bontot yang ada ia berkokok sampai pagi, cerewetnya minta ampun.
Jalan satu-satunya pada Netta, aku ingin pamit padanya, alasan untuk menemui teman-temanku, baru ingin, mau ngomong.
Tok…Tok...
Suara pintu kamar, si jabir udah berdiri di sana, entah apa yang di pikirkan bocah si jabir itu, matanya menatap kami bergantian, apalagi saat melihat Netta baru selesai keramas rambutnya.
“Apa?”
“Abang sama Eda ditunggu di bawah.”
“Sama siapa?”
“Ada keluarga yang datang, ingin memberi ucapan selamat untuk kalian berdua.”
Oh, seperti itulah tradisinya jika ada famili yang baru menikah di kampung, dan pengantin kembali ke Jakarta. Keluarga dan teman yang tidak ikut menghadiri pesta akan datang dan membawa kado kalau tidak amplop memberi ucapan selamat.
Saat turun ke bawah beberapa sudah menunggu kami. Tidak ingin bersikap tidak sopan. Aku terpaksa membatalkan pertemuanku lagi dengan Mikha dan aku terpaksa mematikan ponselku, karena sudah ada banyak keluarga yang datang hingga malam.
Aku sangat lelah karena perjalan dari kampung hari ini.
“Aku tidur dulu iya, Tan capek bangat,” minta izin tidur duluan.
“Baiklah, sana, bawa Netta sekalian.”
Tapi, tiba-tiba menghampiri dan membisikkan sesuatu, aku pikir ada hal yang penting ternyata ia hanya bercanda.
“Pelan-pelan bro, kasihan bini loe masih kecil,” bisik Agus temanku, ia terkekeh.
“Dasar sudah sana.”
Tidak peduli dengan tatapan keluarga dan teman-teman aku izin tidur duluan, karena memang aku sudah sangat lelah. Lelah hati, lelah tubuh, lelah otak.
Netta juga ikut, tapi aku tau ia terlihat takut-takut.
“Kita perlu bicara sebentar,” mengajak Netta untuk bicara empat mata menyuruhnya duduk. “Kamu masih ingat’ kan perjanjian kita?,” aku menatap dengan tatapan serius, berharap ia mengerti.
“Iya bang, ingat,” katanya tapi dengan wajah menunduk ia terlihat sangat sungkan.
“Seperti yang aku katakan di kampung waktu itu, aku tidak akan mengurusi pribadi kamu dan begitu juga sebaliknya.”
Aku menarik nafas panjang, sebelum meneruskan obrolan kami, aku melihat wajah Netta terlihat pucat dan ketakutan.
Aku tidak tau apa yang ia pikirkan dan apa yang membuatnya ketakutan, aku berharap, ia tidak berpikir macam-macam.
“Netta’ begini… ‘ aku belum bisa mencintai kamu, aku butuh waktu dan membiasakan diriku untuk situasi kita saat ini dan… aku belum bisa melakukan kewajiban ku sebagai seorang suami, kamu tau maksudku kan? Jadi kamu tidak perlu takut, kita akan mencari kampus yang cocok untuk kamu kuliah aku akan menempati janjiku.”
“Aku mengerti bang, aku akan menurut sama Abang.”
“Maksudku bukan begitu, Ta, saat ini situasinya , aku hanya butuh waktu, itu saja,” kataku mencoba menjelaskan.
“Baiklah, aku melakuka semua yang Abang suruh,” lagi-lagi kata itu lagi yang ia ucapkan, aku bisa menangkap kalau ia benar-benar pasrah dan bergantung padaku.
“Netania’ bukan seperti itu maksudku tapi… sudahlah, intinya ini jadi rahasia kita berdua, aku yakin besok pagi orang –orang di rumah ini, akan menanyakan banyak hal padamu termasuk malam…pertama kita, jangan katakan apapun, lebih baik diam kalau tidak suruh tanyakan ke aku saja.”
“Iya bang”
“tidurlah.”
Lagi-lagi ia diam matanya menatapku.
“Aku akan tidur si sofa, kamu saja tidur di ranjang ku, tidak biasa tidur dengan orang lain dalam satu ranjang,” kataku, itu jelas satu kebohongan, aku hanya belum siap tidur dengan Netta.
“Biar aku yang tidur si sofa saja bang , aku sudah biasa, di kampung juga kami tidurnya di papan.”
“Aku tidak ingin berdebat, aku sangat mengantuk dan sangat lelah, tidurlah di ranjang dan aku tidur di sofa, jangan lupa kunci pintunya, jangan biarkan orang lain mengetahui hal ini,” kataku berbaring di sofa panjang di kamarku.
“iya bang.”
Mataku sudah lelah, tapi hati ini ingin pergi ketempat lain, pikiranku masih saja pada MIkha. Aku menghidupkan ponselku kembali pesan Mikha membuatku tidak bisa tidur. Aku terpaksa terbangun lagi Netta sudah tertidur pulas, mungkin karena perjalanan hari ini membuatnya lelah.
Jam sudah menunjukkan 23:00, Tante belum tidur.
Aku mengambil kunci mobil dan turun kebawah.
“Tan, aku ingin bertemu teman tentang proyek kami, ada masalah,” kataku buru-buru.
“Tidak bisa besok? Ini sudah malam.”
“Hari ini batas waktunya, kalau menunggu sampai besok, ia memutuskan hubungan kami,” kataku.
Alis mata tanteku terangkat.
Mobil Porsche cayman berwarna putih menyusuri jalanan hingga tiba di apartemen milik Mikha.
bersambung...
tolong bantu dukungannya ya kak kasih like 🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 283 Episodes
Comments
Melia Gusnetty
prg nyelup lh kau tuu..dasar menjijik kn..ingat kau dh punya bini...😏😏
2024-03-04
0
DFD Mom
daga daga Jonathan hurang ajar.. gatal nai ho.. nga mangoli ho
2022-10-09
0
Joshua Perlindungan
sungguh kejam Jonathan kesel jdinya
2022-09-17
0