Dua purnama Eyang Sindurogo berada di istana Kerajaan Kalingga. Banyak urusan yang membuatnya terpaksa harus tetap berada disana.
Terlihat Eyang Sindurogo sedang termangu duduk sendirian di sebuah pendopo tempat kediaman Mahapatih Lembu Anabrang.
Selang tidak beberapa lama dari kejauhan rombongan iring-iringan prajurit yang sedang mengawal sebuah tandu kebesaran Kerajaan Kalingga milik Baginda Sri Maharaja Wasumurti. Para pungawa-pungawa kerajaan ikut mengiringi dan mengawal. Berpuluh-puluh prajurit bersenjata lengkap berjalan kaki mengikuti dibelakangnya.
"Baginda Sri Maharaja Wasumurti telah jumeneng (datang)!" suara salah satu punggawa terdengar saat memasuki gerbang Kepatihan kediaman Mahapatih Lembu Anabrang.
Para prajurit yang mengangkat tenda segera menurunkan bebannya. Setelah itu dari dalam tenda, Prabu Wasumurti keluar dan berjalan diiringi Mahapatih Lembu Anabrang. Tujuan raja itu adalah hendak menemui Eyang Sindurogo.
Kondisi itu tentu terasa terbalik, seharusnya eyang Sindurogo yang harus sowan menghadap kepada Maharaja Wasumurti. Tetapi raja dari kerajaan Kalingga itu memilih menemui pendekar itu.
Maharaja itu bergegas menemui pendekar itu, setelah mendengar eyang Sindurogo hendak kembali ke Gunung Arjuna.
**
"Ingsun sebagai Maharaja Kerajaan Kalingga mengucapkan terima kasih kepada Eyang Sindurogo karena dengan kehadiran Eyang telah menghentikan semua pasukan yang akan melakukan kraman(pemberontakan) terhadap kedaulatan Kerajaan Kalingga ini."
Prabu Wasumurti duduk berhadapan dengan Eyang Sindurogo. Disampingnya Mahapatih Lembu Anabrang ikut berada dalam pembicaraan itu. Para prajurit berada cukup jauh dari mereka.
"Sembah pangabekti kepada sinuwun prabu Wasumurti, ini adalah bagian kewajiban hamba selaku rakyat dan bakti kami sebagai pendekar yang tidak membiarkan keangka murkaan terjadi.
Sebab jika hamba tidak turun tangan pasti akan terjadi pembantaian besar-besaran yang dilakukan oleh Lembu Jahanam. Seperti yang telah dilaporkan para utusan Kerajaan Kalingga saat menemuiku di Gunung Arjuna."
"Benar sekali Eyang Sindurogo. Ingsun juga menghawatirkan hal itu akan terjadi jika pasukan Kerajaan Kalingga tidak mampu memenangkan peperangan."
"Mengenai para prajurit yang terlibat dalam kraman telah ingsun perintahkan kepada para punggawa untuk penangananya mengikuti saran dari Eyang Sindurogo."
Terlihat Maha Prabu Wasumurti dalam berbicara dengan pendekar satu ini begitu berhati-hati, agar tidak menyinggung dirinya. Hal itu bisa dimaklumi sebab dengan pertolongan pendekar yang bergelar lelananging jagat ini, tahta Kerajaan Kalingga miliknya akhirnya tetap dapat di pertahankan.
"Berkat keberadaan Eyang Sindurogo di kraton ini membuat orang-orang yang akan bermain dalam air keruh tidak berani melaksanakan niatnya." Mahapatih Lembu Anabrang yang sedari tadi terdiam, kini mulai ikut dalam pembicaraan.
"Telik sandi kami sudah mendapatkan kabar dari Kerajaan yang berbatasan dengan kerajaan ini akan mengambil kesempatan untuk menyerang. Tetapi dengan keberadaan Eyang disini telah membuat mereka gentar dan membatalkan niatnya," ungkap Mahapatih Lembu Anabrang.
"Selain berterima kasih mengenai hal itu saya sebagai Mahapatih juga berterima kasih kepada Eyang Sindurogo karena sudah bersedia memberikan pelatihan olah kanuragaan kepada para punggawa-punggawa prajurit kerajaan ini."
"Sesuai saran Eyang setelah para senopati mendapatkan banyak ilmu kanuragaan dari Eyang, mereka akan melanjutkan ilmu itu ke para prajurit dibawahnya dan seterusnya sesuai dengan tingkat keprajuritanya.
Sebagai Mahapatih, saya mengucapkan terima kasih atas semua yang telah eyang Sindurogo lakukan kepada Kerajaan Kalingga ini."
Eyang Sindurogo membalas ucapan Maha patih Lembu Anabrang dengan anggukan kecil sambil mengelus-elus jengotnya.
"Dengan tidak mengurangi rasa terima kasih dan rasa hormat kami kepada Eyang Sindurogo ingsun berkenan memberikan hadiah yang tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang telah Eyang lakukan kepada Kerajaan Ingsun." ujar Maharaja Wasumurti.
"Mohon ampun Mahaprabu, dengan tidak mengurangi rasa hormat hamba dan rasa terimakasih kepada sinuwun atas kebaikan sinuwun memberikan hadiah kapada hamba..."
Dengan lembut Eyang Sindurogo menolak semua pemberian yang hendak dihadiahkan oleh Prabu Wasumurti.
Pendekar itu memang melakukan bantuan kepada Kerajaan Kalingga hanya ingin mencegah pembantaian yang akan dilakukan Lembu Jahanam. Apalagi dia melihat kudeta yang dilakukan pangeran ketiga juga akan berakibat buruk kepada seluruh rakyat Kerajaan Kalingga.
Walaupun sebenarnya dia tidak menyukai dengan urusan yang berhubungn dengan keraton. Seandainya bukan karena alasan demi mencegah pembantaian yang akan dilakukan Lembu Jahanam, tentu dia tidak akan sudi ikut campur tangan dalam urusan perebutan kekuasaan itu.
"Seperti yang telah saya ungkapkan kepada Mahapatih Lembu Anabrang, hamba secepatnya akan kembali ke Gunung Arjuna."
Maharaja Wasumurti dan Mahapatih Lembu Anabrang hampir berbarengan menganggukan kepala. Mereka lalu mengiringi kepergian eyang Sindurogo dengan pandangan matanya.
Sebab setelah selesai berbasa basi kepada Raja dan Mahapatih Kerajaan Kalingga, pendekar itu langsung melesat terbang ke langit.
**
Hal pertama kali yang dia lakukan saat sampai di Gunung Arjuno, adalah mencari Suro bledek murid satulsatunya itu. Tetapi dia menemukan satu hal keanehan hampir seluruh penjuru arah mata angin sekitar Gunung Arjuno, dia tidak menemukan keberadaan muridnya itu.
Meskipun berbagai tempat yang muridnya itu biasa berada telah disambangi, namun dia tidak juga menemukannya.
"Dimana bocah itu berada? Segala tempat digunung ini sudah aku telusuri, tetapi aku masih tidak menemukannya!"
Kecemasannya mulai menghiasi wajahnya. Berbagai pikiran buruk mulai menyelimuti pikirannya.
Kecemasannya semakin menumpuk saat gelap mulai menyeruak berkali-kali ia memutari gunung bahkan Harimau tungganganya ia perintahkan mencari dengan penciumannya yang tajam tetapi sampai sinar matahari tidak meninggalkan bekas cahayanya diangkasa justru Harimau itu juga belum kembali menemuinya.
"Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengannya. Kemampuannya tidak bisa dinggab enteng jika menghadapi seorang jagoan kelas atas sekalipun. Ada apa dengan bocah itu kenapa aku tidak menemukannya?"
Lama dia berusaha mengingat-ingat lebih keras apa yang salah sebelum ia pergi meninggalkan Gunung Arjuno membantu Kerajaan Kalingga.
"Apa ada ucapanku yang salah dimengerti, saat aku pergi?" Kata Eyang Sindurogo bertanya pada dirinya sendiri.
Dia terduduk termangu didepan padepokannya. Dia begitu cemas memikirkan muridnya yang menghilang.
"Tidak mungkin angger Suro meninggalkan gunung Arjuna ini, kecuali dia telah meminta ijin kepada diriku terlebih dahulu. Kemana gerangan angger Suro?"
Eyang Sindurogo mencoba mengingat-ingat kejadian sebelum dia meninggalkan muridnya. Dia kemudian menyadari sesuatu hal.
"Jangan-jangan?" Tiba-tiba Eyang Sindurogo segera teringat sesuatu sambil tangannya menepuk jidatnya.
"Demi Sang Hyang Tunggal ! Sepertinya aku telah mencelakakan muridku sendiri!" Buru-buru dia melesat secepat yang dia bisa. Akhirnya dia menginggat kata terakhir yang dia lontarkan kepada muridnya itu adalah "Kamu tunggu didalam ruangan ini selesaikan semua bacaan diruangan ini.. Hafalkan!"
Jatungnya berdegup kencang semakin kencang setiap kakinya melangkah semakin dalam menuju ruangan rahasia.
Sebab itu artinya muridnya tetap berada didalam perpustakan kecil yang berada dibawah tanah, tanpa makan dan minum.
Seakan rasanya ingin menangis kekhawatirannya membuncah tak mampu membayangkan apa yang terjadi pada muridnya yang tak makan dan minum selama berhari-hari bahkan sudah dua purnama dia pergi meninggalkan Gunung Arjuno. Dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu terjadi pada muridnya itu.
"Bocah cubluk(bodoh), bocah cubluk kenap di menelan mentah-mentah perkatanku!"
Dia bahkan tidak menyangka kata-katanya terakhir sebagai perintah ditelan mentah-mentah oleh muridnya yang sangat penurut dan terlalu polos itu. Tidak meninggalkan ruangan sampai menghafalkan semua kitab dunia persilatan yang ada diruangan itu.
Bahkan seakan dia meruntuk dirinya sendiri bagaimana mungkin dia memberikan perintah sebodoh itu kepada seorang bocah yang belum genap sepuluh tahun bahkan baru berumur hampir tujuh tahun walau dari segi fisik sebesar anak umur enam belasan tahun.
Tetapi memberi perintah untuk menghafalkan berpuluh-puluh kitab tentu suatu perintah yang tidak dimasuk akal. Sebab seorang ahli beladiri sekalipun, mungkin butuh separuh umurnya untuk sekedar memahami secara total satu kitab yang ada diruangan itu.
"Aku tidak akan mengampuni diriku sendiri jika angger Suro celaka!"
Dia tak habis pikir pada dirinya sendiri dengan memberi perintah yang tidak masuk diakal itu. Sebab Suro sendiri masih tahap belajar membaca.
Jadi perintahnya itu bisa dikatakan sesuatu yang mustahil dilakukan. Dia terus mengeleng-geleng kan kepalanya tak mampu memahami yang telah diperbuatnya.
Dia menghabisi Banteng Iblis tanpa membiarkannya menarik nafas karena tiba-tiba dia mengucapkan untuk mencari senjata Deva di Gunung Arjuno. Hal tersebut lah yang membuat keputusan Eyang Sindurogo menghabisinya tanpa ampun.
Karena dia segera menyadari bahaya besar akan terjadi pada Suro, jika dia tidak segera menghabisi makhluk setengah iblis itu. Tetapi sekarang justru dia sendiri yang telah mencelakakan muridnya.
"Aku benar-benar tidak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu kepada thole ku!"
"Sang Hyang Widhi selamatkanlah muridku." Bahkan dia bergumam tanpa sadar.
Hal pertama yang ia lakukan saat didepan pintu ruangan rahasia adalah terperangah. Didepannya sebuh pemandangan yang tak lazim terjadi ditengah ruangan Suro dalam posisi semedi melayang hampir satu depa jarak dia dari lantai ruangan.
Didepannya satu kitab ikut melayang membuka secara otomatis lembar perlembar terus -menerus tanpa ada yang menyentuhnya. Seakan kitab tersebut terhubung langsung dengan Suro bledek.
Sebentuk pusaran energi dari segala arah yang bersumber dari dinding ruangan seakan bersinergi dengan tubuh Suro tak kasat mata, tetapi Eyang Sindurogo merasakannya dengan jelas.
Pemandangan yang membuatnya begitu takjub adalah seberkas cahaya yang membentuk huruf mirip huruf-huruf pallava. Aksara Pallawa atau kadangkala ditulis sebagai Pallava adalah sebuah aksara yang berasal dari India bagian selatan.
Tetapi huruf itu terlihat berbeda, mungkin lebih kuno. Sebab dia tidak mengenalinya dengan jelas.
Huruf-huruf itu keluar dari kitab yang melayang didepan Suro dan bergerak terus menerus seperti tersedot masuk ke dalam dada pemuda itu. Beribu-ribu bahkan berjuta tak terhitung terus-menerus amblas ke dalam dadanya.
Entah sejak kapan kejadian ini telah berlangsung yang jelas sampai beberapa hari kejadian ini terus berlanjut. Eyang Sindurogo tidak berani melakukan tindakan apapun pada muridnya.
Dia takut jika nanti tindakannya itu justru nanti akan mencelakakan muridnya. Sebab dia tidak mengetahui apa yang telah terjadi dalam alam pikiran Suro.
Hal yang membuatnya lega adalah, kondisi organ tubuh muridnya tidak mengalami cidera. Justru dia menyadari semua dalam kondisi terbaik.
Hal yang paling membingungkaan dari kejadian itu adalah, kemampuan muridnya dapat melakukan seperti yang terlihat, yaitu menyerap isi kitab yang setiap halamannya itu tidak memiliki satu huruf pun.
Sebab karena kondisinya itu dia hanya menyebutnya sebagai kitab tanpa aksara. Bahkan sejak pertama kali menemukan kitab itu dia berulang kali mencoba memecahkan rahasia tentang kitab tersebut.
Kitab itu sudah ada sejak pertama kali menemukan ruangan yang berada didalam tanah itu. Sejak pertama kali dia tidak mengetahui apapun tentang kitab itu.
Pernah dia berpikir, jika kitab tersebut adalah cara untuk mengecoh seseorang dengan tujuan hendak menutupi sesuatu rahasia besar yang ada dibalik ruangan tersebut.
Eyang Sindurogo memahami sejak awal jika batu berpedar hijau yang menjadi ruangan itu sangat istimewa. Dia merasakan sebuah kekuatan mengisi tubuhnya saat bersamadhi didalam ruangan tersebut dan sangat membantu dirinya meningkatkan kekuatannya.
Kini eyang Sindurogo memahami tentang apa yang sebenarnya terjadi. Terutama tentang kitab tanpa aksar itu.
Semua itu dia hubungkan dengan sebuah dongeng tentang kitab tanpa aksara"Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu." Sebuah kitab yang berisi tentang Ilmu yang sangat dahsyat milik para dewa.
Bahkan karena kedahsyatannya seorang manusia yang telah memahami dengan sempurna akan mampu setara dengan dewa bahkan legenda disebutkan mampu merubah raksasa menjadi manusia dan merubah manusia menjadi dewa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 542 Episodes
Comments
Semar Bodronoyo
itu aksara jawa bukan bahasa india bos!!! nama aksaranya
HO NO CO RO KO!!! ini ilmu orang jawa yg paling unggul!.
2024-01-29
2
ciru
cakeep.
2023-07-13
1
reflis guci
ini cersiyg palingg saya suka semoga slalu berkaya dg baik
2023-01-28
1