Mimpi Ivan

Keesokan paginya Bi Ai datang ke kosan dengan tergopoh-gopoh. Dia bergegas menuju kamar Dinar dan mengetuk pintu kamar gadis berhijab itu beberapa kali.

"Kunaon, Bi?" tanya Zein yang keluar sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk.

(Kunaon \= kenapa)

Dinar, Triska dan Ayu juga ikut keluar dari kamar masing-masing.

"Eta, Bang. Tetangga pada heboh. Nu ngaronda kamari diganggu sama Neng Rima di dekat taman komplek. Sampai pingsan!" Cerita Bi Ai dengan mata membola.

(Yang meronda kemarin)

Semuanya saling berpandangan satu sama lain. Rama dan Hasni yang baru keluar dari kamar juga ikut mematung mendengar cerita dari Bi Ai.

"Jam berapa itu kejadiannya?" tanya Zein yang sudah pulih dari rasa kagetnya.

"Katanya mah sekitar jam dua belasan. Waktu dilihat itu Neng Rima lagi main ayunan. Bibi jadi ingat kalo Neng Rima memang sering nongkrong di taman kalo sore hari. Main ayunan sama jajan," ujar Bi Ai. Matanya menerawang mengingat mantan penghuni kosan yang periang dan baik hati.

"Hmm ... semoga dia gak nongol lagi deh," ucap Ayu sambil bergidik. Dia takut bakal kesurupan lagi kaya' waktu itu.

"Aamin," sahut yang lain berbarengan.

Saat yang lain sudah berangkat bekerja, di rumah hanya ada Ayu, Isti dan Ary serta Bi Ai.

Ary terbaring di atas kasurnya yang digelar di atas lantai. Di sebelah kasur ada bungkusan plastik sisa sarapannya tadi. Pria bertubuh tinggi tersebut mengeluh sakit perut dari kemarin malam. Bolak balik ke toilet sampai dini hari. Tertidur beberapa jam terus terbangun jam tujuh, saat Bi Ai datang dan bercerita heboh dengan penghuni lain.

Benaknya penuh dengan berbagai pertanyaan tentang sosok Rima yang sekarang gentayangan.

Ada satu poin yang membuatnya bertanya-tanya. Kenapa baru sekarang Rima gentayangan? Kenapa gak dari dulu?

Ada sesuatu yang hilang dari alur cerita yang dia dengar dari Hasni dan Dinar waktu mengobrol malam itu.

Sebagai pembaca dan penggemar cerita misteri dan detektif, otaknya mulai terbiasa merunutkan alur peristiwa sampai selesai.

Suara percakapan ketiga wanita di luar terdengar sangat seru. Ary memutuskan untuk keluar dan ikut bergabung.

Bangkit dan beringsut ke pinggir kasur, kemudian berdiri dan melangkahkan kaki keluar pintu.

"Hai, sini, Ry! Ada gorengan nih!" panggil Ayu.

Ary bergerak menyeberang taman, duduk di lantai berhadapan dengan Isti.

Tangannya mengambil sepotong risoles dari piring yang digeser Ayu ke sampingnya.

"Masih sakit perutnya?" tanya Ayu.

"Gak, Mbak. Udah enakan. Tinggal lemesnya aja," jawab Ary.

"Kemarin makan apa, A'? Sampai diare gitu?" tanya Isti. Gadis berambut sebahu itu menatapnya dengan mata membulat.

"Makan lotek di kantor. Pedas banget emang. Nyebelin itu si Willy, ngerjain aku. Kupesan sedang aja pedasnya. Ehh yang datang pake cabe rawit lima biji katanya," sungut Ary sembari mencebik.

Ayu dan Isti tersenyum melihat gayanya yang lucu.

"Aa', umurnya berapa?" Isti bertanya lagi.

"Dua puluh lima. Bentar lagi dua puluh enam. Kenapa? Mau ngasih kado? Dua bulan lagi aku ulang tahun," jawab Ary seraya tersenyum.

"Dihhh. Udah tua masih ngarep kado!" ledek Isti.

"Gak apa-apalah. Kali aja ada yang beneran mau ngasih kado."

"Aslinya dari mana, Ry?" tanya Ayu. Dia suka mengobrol dengan Ary. Rada humoris. Sama kaya' Mas Rama dan Zein. Kalo Ivan mah konyol.

"Aku lahir di Cianjur. Besar di Bogor. Kuliah di Jakarta. Terus kerja di sini. Kalo Mbak?" Ary balik bertanya.

"Aku lahir dan besar di Surabaya. Beres kuliah dapat kerja di sini sampai sekarang," jawab Ayu.

"Kalo kamu?" Ary menoleh ke Isti.

"Aku sama kaya' Mbak Ayu. Tamat SMU terus lanjut kuliah di sini," jelas Isti.

"Dia mah ngintil aku mulu dari kecil," sela Ayu.

"Biarinlah, Mbak. Kakak perempuanku kan cuma Mbak doang. Jadi wajib dikintilin," sahut Isti sambil tertawa.

Mereka melanjutkan obrolan hingga Bi Ai pamit pulang setelah adzan Dzuhur.

Ary, Ayu dan Isti melangkah bersama menuju warung nasi yang hanya berjarak beberapa rumah dari situ.

"Eh, Neng Ayu. Kamana wae? Tos lami teu kadieu," sapaan hangat meluncur dari mulut Bu Entin, wanita paruh baya pemilik warung nasi.

(Ke mana aja? Udah lama gak ke sini)

"Ada, Bu. Cuma kemaren lagi sakit jadi ngungsi dulu ke rumah sepupu," jawab Ayu.

Setelah berbasa basi sejenak mereka pun memilih lauk pauk yang diinginkan. Kemudian mereka duduk di kursi panjang di sudut ruangan berbentuk bujur sangkar ini.

Warung nasi di jam makan siang seperti ini memang selalu ramai. Selain karena tempatnya bersih, harga makanan juga cukup terjangkau dengan rasa yang memanjakan lidah. Lokasinya yang berada di pinggir jalan raya utama komplek membuat pengunjungnya berdatangan dari setiap penjuru. Bu Entin dan karyawan yang bekerja pun sangat ramah dalam melayani pembeli.

***

Sementara itu, sebuah motor matic tampak berhenti di depan gerbang kosan.

Pengendaranya mematikan mesin, menurunkan standar dan perlahan turun dari motor. Celingukan melihat sekitar sebelum akhirnya membuka pintu pagar yang tidak terkunci.

Dia melangkahkan kaki menuju pohon mangga di ujung pekarangan rumah kosan. Kemudian meletakkan satu buket bunga cantik tepat di bawah pohon.

Dia sempat berdiri beberapa saat sebelum akhirnya berbalik dan melangkah pergi keluar pagar. Menaiki kembali motornya sembari mengangkat standar, menyalakan mesin dan langsung tancap gas dari situ. Menghilang di keramaian jalan raya utama komplek.

***

Selepas Magrib.

Suara wajan serta obrolan para wanita terdengar dari arah dapur. Dinar sedang mengaduk-aduk tumis tauge dan sawi di atas kompor. Di sebelahnya ada Triska yang sedang mengulek sambal tomat.

Di atas lantai tampak Ayu sedang mengelap piring dan sendok yang akan dipergunakan untuk makan malam.

Tia sedang sibuk mencuci berbagai peralatan memasak. Sedangkan Isti sibuk membersihkan tempat parkir motor dibantu Zein dan Chandra.

"Van, bantuin!" teriak Tia pada Ivan yang lagi bermain ponsel di depan kamarnya.

"Bantu apa, Sayang?" tanya Ivan sembari melangkah mendekat.

"Cieeee," ledek Dinar dan Triska bersamaan.

Sedangkan Ayu geleng-geleng mendengar jawaban Ivan.

"Apaan sih manggil sayang!" protes Tia sambil merengut.

Ivan cengengesan. Matanya mengerling pada Triska yang cekikikan.

"Kalo nggak mau dipanggil sayang, berarti aku panggil cinta aja, ya," goda Ivan yang langsung mendapat balasan pelototan dari Tia.

"Jiahhhhh!" teriak Triska. Dia tak sanggup menahan tawa mendengar perkataan Ivan.

"Jangan digodain terus atuh lah, Van. Kamu ditabok Tia baru tau rasa!" ujar Dinar sambil menuangkan tumis sayuran ke dalam mangkuk yang sudah disiapkan Ayu dari tadi.

"Namanya juga usaha, Mbak," sahut Ivan.

"Usaha sih usaha. Tapi kalo digodain terus lama-lama bisa jengah. Ilfil. Usahanya yang kalem. Santun. Jangan grasak grusuk!" lanjut Dinar yang mendapat anggukan kepala yang lainnya.

Ivan garuk-garuk kepala sembari cengengesan.

"Ini, bawa ke depan," ujar Tia seraya mengulurkan piring besar berisi orek tempe.

Ivan segera membawa piring itu dan meletakkannya di atas karpet yang sudah digelar Zein.

"Wuah, udah mau mulai makan, ya?" tanya Satya yang baru saja pulang.

"Yoih. Ayo duduk sini," jawab Ivan.

"Saya mau mandi dulu, lengket banget ini badan," sahut Satya sembari berjalan menuju kamarnya.

Tia dan Ayu datang sambil membawa tumis sayuran dan piring serta sendok. Triska menyusul dengan membawa bakwan jagung. Isti mengekor di belakang sambil membawa rice cooker. Sementara Dinar meneruskan membuat sambal goreng.

Zein bergerak duduk di sebelah Triska yang langsung menuangkan nasi serta lauk pauk ke dalam piring dan mengulurkannya ke depan Zein.

"Nuhun, Geulis," ujar Zein yang langsung mendapat ledekan dari Ivan.

(Terima kasih, Cantik)

"Sirik aja kamu!" sergah Zein ke arah Ivan yang cengengesan.

Tak lama kemudian Chandra dan Ary keluar dari kamar dan langsung duduk bersebelahan dengan Zein.

Dinar datang sambil membawa sambal tomat goreng.

Tiba-tiba Tia berlari ke kamarnya. Keluar lagi sambil membawa toples besar berisi kerupuk.

"Mas Rama sama Bang Hasni belum pulang?" tanya Ayu.

"Belum. Lagi lembur kali. Kita makan aja duluan. Buat mereka udah aku sisihin tadi," jawab Dinar.

Tak lama kemudian Satya keluar dari kamar dan langsung ikut bergabung bersama teman-temannya. Sambil makan mereka tetap bercanda dan saling ledek. Gelak tawa terdengar dari mulut mereka.

"Ehh, tadi sore aku nemu buket bunga di dekat pohon mangga," ujar Tia.

"Bunga? Buat siapa?" tanya Dinar.

"Nggak tau, Mbak. Gak ada namanya," sahut Tia.

"Mungkin penggemar rahasia salah satu penghuni di sini," sela Ary.

"Apa jangan-jangan itu dari fans-ku, ya!" tukas Ivan dengan mimik wajah pura-pura terkejut.

Timpukan sandal langsung terlempar ke arahnya.

Malam pun semakin larut. Ivan yang sedang rebahan di atas kasurnya tiba-tiba mendengar suara benda jatuh di atas kamar.

Awalnya dia mengabaikan suara itu, namun setelah beberapa kali terdengar akhirnya dia mulai penasaran dan bangkit dari kasur.

Tangannya meraih senter yang diletakkannya di dalam laci meja kerjanya. Kemudian berdiri dan berjalan keluar kamar.

"Mau ke mana?" tanya Satya yang duduk di depan teras kamarnya.

"Ke atas. Tempat jemur. Ikut, yuk!" ajak Ivan.

Satya mengangguk dan mengikuti langkah kaki Ivan menaiki tangga yang berbentuk melingkar yang berada tepat di depan kamar Ivan.

Sesampainya di atas mereka mulai mencari sumber suara benda jatuh yang tadi didengar Ivan.

Satya mencari di sebelah kiri. Sedangkan Ivan mencari di sebelah kanan.

"Di sini nggak ada apa-apa," gumam Ivan saat Satya mendekat.

Ivan tampak bingung karena tadi dia jelas mendengar bunyi benda jatuh. Awalnya dia berpikir bahwa itu suara hanger, namun semua hanger tetap berjejer rapi di tiang jemuran dari besi panjang berwarna hitam.

Tiba-tiba Satya menoleh ke arah toren air. Sekelebat bayangan berwarna putih lewat di situ.

"Ayo, kita turun," ajak Satya sambil menarik tangan Ivan.

"Lihat apaan sih?" tanya Ivan sembari mengikuti langkah Satya menuruni tangga.

Satya tidak menjawab. Dia terus melangkah turun. Sesampainya di bawah dia membuka pintu kamar Ivan dan bergegas masuk.

Duduk di atas karpet sambil mengatur napasnya yang terengah-engah.

Ivan yang muncul kemudian langsung duduk di seberang Satya. Berusaha sabar menunggu penjelasan pria kurus itu.

"Di atas toren tadi ada penampakan," jelas Satya setelah lebih tenang.

"Penampakan apa? Rima?"

"Enggak jelas sih. Cuma sekelebat warna putih gitu."

"Hadeuh. Jangan bilang ada hantu lagi di sini. Rima aja udah bikin takut!"

Satya diam sambil mengamati pintu depan kamar yang terbuka.

"Kamu apa nggak pernah diganggu?"

"Belum ada sih. Jangan sampai deh. Chandra kan penakut. Waktu ke sini pertama kali itu dia sampai ikutan lemas. Bi Ai kan pingsan," jelas Satya.

"Kalian lihat apa?"

"Perempuan muda berwajah pucat mengenakan baju putih. Ada hiasan renda di atas kepalanya. Aku cuma lihat bagian atas aja. Kan lihatnya dari jendela depan."

"Yang ini?" Ivan memperlihatkan foto dari ponselnya.

"Iya. Yang itu."

"Berarti benar itu Rima."

"Kasihan, ya. Meninggalnya pas di hari pernikahan. Tragis banget." Wajah Satya terlihat sedih.

Ivan manggut-manggut mengiyakan.

Sejenak mereka saling diam sebelum akhirnya Satya pamit masuk ke kamarnya.

Ivan menutup dan mengunci pintu kamarnya. Kemudian beranjak kembali ke kasur dan merebahkan tubuh lelahnya. Mencoba memejamkan mata sambil miring ke kanan dan memeluk guling.

Lambat laun dia mulai terlena. Bermimpi sedang berada di sebuah rumah besar yang belum pernah ia datangi sebelumnya.

Dia berjalan pelan menyusuri lorong rumah yang panjang. Di kanan dan kirinya terdapat beberapa pintu yang tertutup.

Sesekali langkah Ivan terhenti untuk memastikan bahwa dia mendengar suara dari ujung lorong.

Sesampainya di sana Ivan memasuki sebuah ruangan berbentuk oval bercat biru laut. Tirai berwarna putih membingkai jendela-jendela yang panjang hingga menyentuh lantai.

Ivan menoleh ke kanan, ke tempat suara yang ia dengar itu berasal. Matanya menangkap sesosok perempuan berdiri membelakanginya menghadap ke jendela.

Wanita itu berambut panjang dan mengenakan gaun berwarna putih yang melambai tertiup angin yang berembus dari jendela yang terbuka.

Terdorong rasa penasaran Ivan pun melangkah mendekat. Jarak mereka hanya beberapa langkah saat tiba-tiba wanita itu berbalik.

Ivan terperangah dan tak sanggup bergerak. Wanita itu mengayunkan langkahnya mendekati Ivan dan berhenti sekitar tiga langkah di depannya.

Wanita itu tersenyum. Kedua tangannya terulur ke arah Ivan. Semakin lama lengannya semakin panjang. Kuku-kuku yang panjang dan terlihat tajam mengarah tepat ke leher Ivan.

Ivan berusaha untuk berteriak meminta tolong, tapi tenggorokannya terasa tercekat dan kering.

"Jangannnn!" teriaknya berulang kali.

Gedoran di pintu membangunkannya dari mimpi buruk.

"Ivan! Kenapa?" Terdengar teriakan Dinar dari luar pintu.

"Eng-enggak apa-apa, Mbak," terbata Ivan menjawab.

Tangannya bergerak mengusap wajah dan meremas rambut. Peluh di dahi dan leher disekanya dengan lengan baju.

Matanya memandangi sekeliling ruangan. Mencoba memastikan bahwa dia benar-benar berada di kamarnya.

Ivan mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. Melipat kedua tangan ke belakang kepala. Pandangannya menerawang ke langit-langit kamar. Entah kenapa dia merasa mengenal perempuan dalam mimpinya tadi.

***

"Bang, tadi malam si emak Chubie nongkrong lagi di depan jendela," ujar Triska.

Zein yang sedang menyetir menoleh sekilas dengan alis bertaut.

"Menggeram nggak?" tanyanya.

"Enggak sih. Cuma diam aja. Kupingnya tegak berdiri. Pertanda dia sedang waspada."

"Mungkin dia merasakan sesuatu. Coba nanti malam abang cek," sahut Zein.

Terpopuler

Comments

emy safrida

emy safrida

yaela makan lotek pake' cabe rawit 5aja diare. apalagi kayak aku ya. kalo buat sambal terasi cabe rawit nya hampir segenggam...

2021-03-05

1

Helni mutiara

Helni mutiara

buket sipa itu ya...????

2021-02-19

0

Ayu D'Castro

Ayu D'Castro

Buket bunganya dari Eric kali....makanya Rima muncul terus.......

2020-05-14

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!