Kengerian segeralah berakhir!

Ivan mendekat dan ikut mengintip. Matanya membulat sempurna. Menoleh ke kiri dan beradu pandang dengan Zein.

Ivan menelan saliva untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Tangannya menunjuk ke arah pintu.

"Tenang, Van. Baca ayat kursi," bisik Zein.

Ivan mengangguk dan mengikuti saran Zein. Mulutnya bergerak membaca ayat kursi dengan terputus-putus.

Tengkuknya terasa sangat dingin. Rambut-rambut halus di tangannya juga ikut berdiri. Dalam hati dia berusaha mengendalikan perasaan takut sembari terus memandangi pintu.

Brrraaakkk!

Brrraaakkk!

Brrraaakkk!

Terdengar bunyi benda yang dibenturkan ke lantai teras. Kemudian suara nyanyian seorang perempuan terdengar lirih.

Suaranya yang cukup merdu memancing Zein untuk bangkit dan berdiri. Kakinya melangkah maju ke jendela. Kembali mengintip dari celah gorden.

"Itu ... lagu kesukaan Rima," ucap Dinar seraya menatap Triska. Tangannya terulur, Triska merangkak maju mendekatinya.

"A-aku ... sering dengar lagu ini," ucap Triska pelan. Tangannya memeluk Dinar dengan erat.

"Iya. Penghuni yang dulu juga cerita begitu."

Mereka berangkulan, saling menguatkan. Dinar mengusap air mata yang mengalir di pipi Triska dengan ujung jilbab lebarnya.

"Lawan takutnya. Kamu jangan kalah!"

Triska mengangguk sembari menggosok punggung Dinar.

Suara nyanyian itu berhenti. Kini berganti dengan suara tangisan yang menyayat hati.

Ivan yang ikut mengintip dari celah gorden menyenggol lengan Zein.

"Kelihatan gak, Bang?"

Zein mengangguk.

"Di mana?" tanya Ivan lagi. Dia benar-benar penasaran karena tidak bisa melihat.

"Di dekat tiang penyangga," jawab Zein singkat. Matanya tak lepas memandangi sosok itu.

Dari tempatnya berdiri, punggung perempuan itu terlihat samar. Mengenakan baju pengantin berwarna cempaka atau broken white yang panjang menjuntai hingga menyapu lantai. Rambut digelung dan dihiasi dengan penutup kepala yang indah.

***

Sementara itu di kamar Ayu suasana masih mencekam. Ayu dan Tia berpelukan di atas tempat tidur. Menutupi tubuh mereka dengan selimut dan menangis ketakutan.

Hasni duduk menekuk lutut di pojok ruang tamu. Menutup wajah dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya meremas ujung kaos yang dikenakan.

Rama duduk menyandar ke dinding pembatas kamar. Pandangannya tak pernah lepas dari pintu. Mulutnya tak henti membaca ayat kursi dan doa-doa lainnya.

Ingatannya melayang pada sosok Rima. Perempuan berwajah manis yang selalu ramah pada penghuni lainnya.

Saat pertama kali dia pindah ke kontrakan ini, Rima adalah orang pertama yang mengajaknya mengobrol. Tanpa sungkan gadis berusia dua puluh empat tahun itu nyelonong masuk saat dia sedang beres-beres barang bawaannya yang lumayan banyak.

"Hai, baru pindah, ya?" tanya Rima. Wajah manisnya menyunggingkan senyum kecil. Sosoknya yang mungil tampak lincah bergerak di antara timbunan kardus yang berserakan di lantai kamar.

"Iya. Baru aja masuk," sahut Rama sembari membalas tersenyum menyambut kedatangan Rima.

"Perkenalkan, aku Rima tanpa melati," ujarnya seraya mengulurkan tangan kanan.

"Nama kita mirip. Aku Ramadhan. Biasa dipanggil Rama," jawab Rama. Tangannya menjabat uluran tangan Rima.

"Aku bantuin, ya?"

"Gak usah. Bisa sendiri kok."

"Gak boleh nolak, Mas. Pamali!"

"Iya, deh. Terserah kamu aja."

Rima bergerak cepat membantu Rama berkemas. Tak lama kemudian Dinar dan Afni muncul. Tanpa sungkan mereka ikut membantu hingga selesai. Sesekali melempar canda yang membuat tawa mereka pecah.

Sejak itu mereka berempat semakin akrab. Sering jalan bareng ke mana-mana, terutama dalam rangka menghabiskan waktu di penghujung minggu agar tidak sendu.

Terkadang Hasni juga ikut bersama mereka bila ada waktu luang. Kesibukannya sebagai area manajer di sebuah perusahaan farmasi membuatnya harus sering berkeliling dan melakukan perjalanan dinas ke berbagai daerah.

Keakraban mereka tetap terjalin hingga menjelang hari pernikahan Rima. Sayangnya saat pernikahan semakin dekat, Rama mendadak dimutasi ke Jakarta oleh perusahaan tempatnya bekerja.

Rima mengantar kepindahan Rama dengan berurai air mata. Melambaikan tangan hingga mobil Rama menghilang dari pandangannya. Kemudian menangis sesegukan di pundak Dinar.

Selanjutnya komunikasi mereka tetap terjalin intens. Rima yang menganggap Rama sebagai kakaknya sering mengingatkan untuk menjaga kesehatan dan tak lupa untuk menghadiri acara pernikahannya.

"Mas, deg-degan nih. Dua minggu lagi. Asa cepat pisan ya!" ucap Rima saat mereka teleponan.

(Kaya' cepat banget)

"Cieeee. Yang mau nikah," ledek Rama.

"Apaan sih, Mas! Bukannya nenangin malah ngeledek!"

"Hehehe. Iya. Tenang. Banyakin doa. Tidur cukup. Dan tepat waktu makan. Enggak lucu kan lagi acara pernikahan tapi kamunya malah sakit!"

"Iya, Mas. Siap! Mas juga, ya. Jangan nggak datang. Kutunggu!"

"Sip," ucap Rama sembari memutus hubungan telepon.

Saat itu Rama sama sekali tidak menyangka, hari bahagia yang sangat dinanti Rima malah berubah menjadi hari kematiannya.

Gggrrreeettt.

Gggrrreeettt.

Bunyi cakaran di pintu mengagetkan Rama. Tersadar dari lamunan panjangnya dengan hati yang was-was.

Gggrrreeettt.

Gggrrreeettt.

Brrraaakkk!

Bunyi benda yang membentur pintu membuat Rama spontan melompat mundur. Hasni berlari mendekat dan berjongkok di sebelahnya.

Mereka saling berpandangan. Bingung hendak berbuat apa.

Tangisan Ayu dan Tia semakin keras. Berpelukan erat di dalam selimut rupanya tidak sanggup mengusir rasa takut dalam hati mereka.

Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering dari luar kamar. Ayu mendadak ingat kalau dia meninggalkan ponselnya di taman.

Deringan ponsel tanpa henti rupanya mengalihkan perhatian Rima. Tidak terdengar lagi bunyi cakaran atau benda yang dibenturkan.

"Ponsel kamu, ya?" bisik Tia. Ayu mengangguk. Dalam hati dia penasaran siapa yang menghubunginya.

Perlahan Ayu membuka selimut yang menutupi kepalanya. Matanya melirik ke benda bulat yang tergantung di dinding. Pukul 23.30 wib, sudah mendekati pertengahan malam.

"Sepertinya di luar sudah aman," bisiknya ke Tia yang membalas dengan anggukan.

Perlahan mereka bangun sambil membuka selimut dan mendorong benda tebal itu ke pinggir tempat tidur. Duduk tegak sambil menajamkan telinga.

Rama menoleh dari pintu pembatas ruang tamu. Sejenak tatapan mereka bertemu.

"Sudah pergi?" tanya Tia pelan. Rama mengangguk sambil bangkit berdiri. Maju beberapa langkah menuju jendela dan mengintip dari celah gorden.

Suasana sunyi di luar sana membuatnya penasaran. Tangannya bergerak membuka kunci pintu. Memegang gagang pintu dengan tangan kanan. Menghela napas dan mengembuskan dengan cepat.

"Bismillah," ucapnya sembari membuka pintu.

Wuuuzzzzzz!

Embusan angin dingin menerpa kepalanya yang melongok dari celah pintu. Matanya berputar melihat sekeliling, mencoba mencari keberadaan sosok yang telah membuat mereka ketakutan.

Krrriiieeettt.

Rama membuka pintu lebih lebar, beranjak maju selangkah ke depan. Hasni mengikuti dari belakang.

Krrriiieeettt.

Pintu kamar Zein terbuka. Zein keluar bersama Ivan. Sejenak mereka saling berpandangan sebelum melangkah maju dan bertemu tepat di tiang penyangga tempat Rima tadi duduk.

Tidak ada penampakan apa pun di sana. Ivan berjongkok dan memegang bagian bawah tiang.

"Gak ada apa-apa di sini," gumamnya dengan bingung. Otaknya sibuk menyusun potongan demi potongan kejadian aneh yang beberapa kali terjadi di sini.

Ayu keluar dari kamar sambil melirik takut-takut ke sekeliling. Berjalan pelan menuju taman dan meraih ponsel yang tertinggal di sana.

Triska muncul di depan pintu kamar Zein. Wajahnya yang cantik terlihat pucat pasi. Beradu pandang dengan Rama yang juga terlihat pias.

"Kamu numpang tidur di kamar Ayu aja ya, Ris," ucap Rama pelan. Dia merasa kasihan melihat Triska yang tampak ketakutan.

"I-iya, Mas," jawabnya pelan. Perlahan dia maju beberapa langkah dan ikut berjongkok di sebelah Ayu. Meraih ponselnya yang tertinggal.

"Tadi ponsel siapa yang bunyi?" tanyanya ke Ayu.

"Ponselku. Ayah menelepon. Mungkin beliau tiba-tiba teringat denganku," jawab Ayu pelan.

"Aku nginap di kamarmu, ya? Takut mau kembali ke kamar."

"Iya. Kita ngumpul aja rame-rame di kamar," jawab Ayu seraya berpegangan pada tangan Triska untuk berdiri.

Mereka melangkah bersama menuju kamar Ayu. Tak lama kemudian Dinar dan Afni yang dituntun Ivan menyusul.

"Van, pinjam kasur gulung, ya?" pinta Dinar.

Ivan mengangguk. Setelah mengantarkan Afni masuk ke kamar Ayu, dia segera berlari ke kamarnya. Tak lama kemudian telah kembali dengan membawa kasur gulung.

Tanpa diminta dia segera menggelar kasur di lantai kamar Ayu dan langsung merebahkan diri di tengah-tengah kasur.

"Kamu ngapain, Van?" tanya Dinar dengan dahi mengernyit.

"Numpang tidurlah," jawab Ivan dengan cengiran di wajah.

"Cowok masa' mau ikut gabung sama cewek? Gak boleh!" hardik Dinar. Matanya melotot memandangi Ivan yang masih cengengesan.

"Sekali-sekali atuh, Mbak. Males aku tidur di kamar sendirian."

"Males atau takut?" ledek Tia yang masih duduk di atas tempat tidur.

"Dua-duanya," jawab Ivan sambil menggaruk-garuk belakang kepala.

"Udah, kamu numpang tidur ke Rama aja. Kan dia pake double bed," ujar Dinar. Tangannya menarik lengan Ivan dan mendorongnya ke luar kamar dibantu Ayu. Tak peduli Ivan ngomel-ngomel di depan pintu.

"Yu, temenin mbak ambil selimut sama bantal, yuk?" ajak Dinar yang diiyakan oleh Ayu.

Mereka berdua berjalan cepat keluar kamar menuju kamar Dinar yang terletak di sebelah kamar Ivan. Tidak berani melihat ke seberang taman yang merupakan kamar bekas Rima.

Setelah mengambil selimut dan bantal mereka berlari kembali ke kamar Ayu. Di dalam kamar Triska sudah merebahkan diri di atas kasur gulung. Afni dan Tia sudah berbaring mapan di atas tempat tidur.

"Lampunya jangan dimatikan, ya! Aku takut!" lirih Tia.

Ayu mengangguk sembari merebahkan diri di sebelahnya. Miring ke kanan sambil menatap Tia yang berbaring telentang.

Afni sepertinya sudah tertidur. Tubuhnya miring ke kanan menghadap dinding sambil memeluk guling.

"Mbak, Rima kenapa menghantui kita?" tanya Triska kepada Dinar yang baru keluar dari kamar mandi.

Dinar berjalan mendekat dan duduk di sebelah Triska.

Ayu dan Tia bangun kembali dan turun ke kasur bawah. Mereka berempat duduk bersila membentuk lingkaran.

"Aku juga nggak tau kenapa, Ris. Mungkin dia merasa ini rumahnya selama dua tahun terakhir. Jadi kenangan akan tempat ini begitu membekas baginya," jawab Dinar.

Pandangannya menerawang mengingat sosok Rima. Teman dekat yang sudah dianggap adik olehnya. Demikian juga bagi Afni, Rama dan Hasni.

Speak softly love and hold me warm against your heart

I feel your words, the tender trembling moment starts

We're in a world, our very own

Sharing a love that only few have ever known

Lirih suara perempuan yang bernyanyi merdu terdengar lagi dari luar kamar.

Mata mereka berempat membelalak. Tubuh saling merapat dan menempel erat. Mulut komat kamit membaca doa dengan terputus-putus.

Dalam hati Triska memohon agar kengerian ini segera berakhir. Secepatnya!

***

Sementara itu, para pria yang berkumpul di kamar Rama juga mendengar nyanyian itu sayup-sayup.

Dalam hati Ivan merutuki diri. Seharusnya tadi dia ngotot aja ikut tidur di kamar Ayu. Menggelar karpet di ruang tamu juga gak masalah.

Terbayang saat ini teman-teman ceweknya pasti sedang ketakutan.

"Damn!" serunya kesal. Tangannya meremas rambut dengan emosi.

"Aku mau keluar. Ada yang mau ikut?" tanya Rama sambil berdiri.

"Aku ikut," jawab Ivan cepat.

Hasni terlihat masih berpikir. Menatap wajah Rama dan Ivan bergantian.

Ivan mendengkus, sedikit kesal dengan reaksi lamban Hasni.

Tangannya bergerak cepat memegang gagang dan membuka pintu, namun gagal. Berulang kali dia mencoba pintu tetap tidak bisa terbuka.

"Sini. Biar aku coba!" tukas Rama. Ivan bergeser ke samping dan membiarkan Rama berusaha membuka pintu.

"Kok gak bisa, ya?" gumam Rama. Wajah yang biasanya tenang itu sekarang mulai terlihat panik."Telepon Zein!" perintahnya.

Hasni segera meraih ponsel miliknya dari atas meja. Menggeser layar mencari nomor kontak Zein dengan jari bergetar. Menekan tanda hijau dan menunggu Zein mengangkat telepon.

Dari jendela kamar Rama yang sudah separuh terbuka gordennya, terlihat Zein menyibak gorden dari seberang sana.

"Zein, cepat ke kamar Ayu. Mereka pasti ketakutan!" teriak Hasni dari balik jendela.

"Gak bisa, Bang. Pintu kamarku terkunci. Padahal tadi gak dikunci sama sekali," jawab Zein yang terlihat gusar.

Hasni mematikan telepon dan menatap Rama yang terlihat bingung.

Suara nyanyian itu tiba-tiba berhenti. Hening. Suasana berubah menjadi sunyi dan mencekam.

Empat kepala mengintip dari balik jendela. Melihat lorong dan taman yang tetap kosong.

Tiba-tiba lampu teras tempat parkir motor di depan kamar Rama berkedip-kedip dan kemudian padam. Disusul dengan beberapa lampu di lorong. Seketika gelap. Hanya bias cahaya lampu dari tiap kamar yang terlihat.

Mulut Ivan mulai mengeluarkan sumpah serapah sambil memukul dinding berkali-kali. Kaki dihentak-hentakkan ke lantai.

"Kita pecahin jendela aja," tukas Rama sambil berlari ke dapur dan kembali lagi dengan membawa palu.

Ivan segera mundur dan membiarkan Rama menghantamkan palu ke jendela.

Ppprrraaannnggg!

Ppprrraaannnggg!

Pecahan kaca berhamburan ke luar kamar. Bang Hasni melemparkan selimut tebal di kusen jendela supaya mereka bisa keluar tanpa terluka.

Ivan lebih dulu melompat ke luar. Rama mengekor di belakangnya.

"Hati-hati melangkahnya," ujar Ivan. Dia segera memakai sandal miliknya di depan kamar Rama dan berlari menuju kamar Ayu.

Rama berlari menuju kamar Zein dan segera memecahkan kaca. Hanya Hasni yang masih diam di tempat. Bulu kuduknya tegak berdiri. Mundur dua langkah dari jendela saat dia melihat sekelebat sosok lewat di belakang Rama. Hendak berteriak namun mulutnya seakan terkunci. Kakinya seakan menancap ke lantai. Keringat dingin mengucur dari kepalanya.

"Awas!" teriak Zein sembari melompat keluar jendela dan mendorong tubuh Rama ke samping kiri.

Rama menahan tubuhnya yang kehilangan keseimbangan dengan berpegangan pada tepi jendela.

Menoleh ke Zein dengan mata membola. Perlahan tangan kanannya meraba pundak yang terasa berat.

Zein menatap tanpa berkedip pada bayangan samar yang berdiri di belakang Rama.

Sosok perempuan berdiri menyamping. Kemudian tiba-tiba menghilang. Lenyap tak berbekas.

Terpopuler

Comments

Adinda

Adinda

baca malam-malam mantap🤣

2022-04-11

0

Indah Delima27

Indah Delima27

ngeri kali y filmnnya

2021-10-23

0

Bindah Ndah

Bindah Ndah

bagus tapi bikin merinding 😅👍

2021-09-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!