Semakin Sayang

"Ganteng juga, ya," ujar Triska sembari memandangi foto Eric.

Mata Zein menyipit, kemudian mendengkus sebelum menjauhkan ponsel dari Triska yang tersenyum melihat tingkahnya.

"Apaan sih, Bang? Gitu aja cemburu!" ledek Triska.

"Enggak suka aja kamu muji-muji cowok lain," sungut Zein.

"Hehehe. Maaf, Bang." Triska meraih lengan Zein dan menyandarkan pipinya dengan manja.

Zein mengusap tangan Triska yang melingkari lengannya dengan hati berdebar.

Semakin dekat dengannya perasaan Zein semakin bertambah sayang.

Triska juga demikian, dia sangat menyayangi Zein.

"Hadeuh, ini berdua. Sayang-sayangan mulu," protes Ivan sambil melengos.

"Sirik!" ledek Zein.

"Tau gitu kuajak aja Tia buat ikut ke sini!" sahut Ivan.

Sontak semua mata memandangnya. Sementara Ivan sendiri tidak menyadari omongannya barusan menggelitik rasa ingin tahu teman-temannya.

"Kamu pacaran sama Tia?" tanya Rama seraya tersenyum.

Ivan mendongak, memicingkan mata saat melihat mata yang lain memandangimya dengan radar kepo yang meningkat.

"Kagak!" sahut Ivan.

"Lah! Tadi bilangnya mau bawa Tia supaya bisa nyaingin Zein? Hmm ...." Rama mengetuk-ngetuk botol air mineral yang dipegangnya dengan ujung jari.

Ivan cengengesan. Dia tetap meneruskan memakan sekoteng di tangannya. Sementara itu Dinar memandangi ponselnya dengan dahi mengerut.

"Ini ada pesan masuk dari Karin. Dia sekarang tinggal di Cilebut. Ngajak kita ketemuan besok. Gimana?" Dinar menoleh dan menatap mata teman-temannya.

"Aku besok ada janji sama Irwan. Jam sebelas. Kalo kalian mau berangkat duluan ke Cilebut gak apa-apa. Ntar aku nyusul," tukas Zein.

"Ya udah. Gitu aja. Kita mencar. Ntar ketemu di rumah Karin," sahut Rama.

"Kita sekalian check out dari hotel aja, ya. Kalo udah selesai urusan mending kita pulang aja," sela Dinar yang dibalas anggukan yang lainnya.

Malam pun semakin larut. Satu per satu kumpulan anak muda mulai membubarkan diri. Demikian juga dengan rombongan Rama.

Sesampainya di hotel, Dinar langsung pamit masuk ke kamar untuk beristirahat. Demikian juga dengan Ivan dan Rama. Sementara Zein dan Triska memiih melanjutkan obrolan di kursi lobby depan kamar mereka.

"Kamu besok ikut sama abang, kan?" tanya Zein sembari menggenggam jemari lentik milik Triska.

"Iya. Abang mau ketemuan sama kang Irwan di mana?" Triska bertanya balik. Dia menyandarkan kepala di pundak Zein.

"Di kafe apa gitu namanya. Nanti dia share lokasinya."

"Hmm ... Bang. Aku boleh nanya hal yang pribadi gak?"

"Boleh."

"Yulia itu siapa?"

"Teman kantor abang."

"Pernah pacaran?"

"Gak. Pedekate sih Iya," Zein terkekeh pelan.

"Kenapa gak jadi pacaran?"

"Abang kecantol perempuan lain."

"Siapa?"

"Ada deh."

"Ihh ... Abang!"

"Apaan?"

"Kasih tau siapa orangnya!" Triska mencubit lengan Zein dengan gemas.

"Gak ahh. Ntar kamu cemburu!"

Triska merengut dan menarik kepalanya dari lengan Zein. Memicingkan mata dengan pandangan sinis yang membuat Zein tertawa.

"Ishh! Malah ketawa!" sungut Triska.

"Abisnya lucu kalo merengut gitu. Ngegemesin," sahut Zein sembari menowel dagu Triska.

"Makanya jangan bikin penasaran!"

"Hehehe. Iya deh. Iya. Abang kecantol cewek cantik berambut panjang yang putih dan seksi," jawab Zein sembari terus memandangi Triska dengan sorot mata jahil.

"Cantik mana sama aku?"

"Cantikan ... dia."

Sontak Triska mencubit pinggang Zein dengan kesal.

"Kalo cantikan dia, kenapa malah diputusin dan pacaran sama aku?"

"Abang gak pacaran sama dia. Kecantol doang."

"Kok aku jadi bingung ya?"

"Enggak usah bingung. Ntar puyeng."

"Abisnya aneh. Abang kecantol tapi gak pacaran."

"Gimana mau pacaran sama istri orang? Bisa-bisa abang dihajar suaminya!"

"Ooo. Istri orang. Pantesan." Triska terkekeh.

"Tapi kayaknya dia naksir sama abang lho. Masih nelponin mulu."

"Kayak gimana sih orangnya?"

Zein mengulurkan ponselnya ke Triska yang penasaran. Sontak Triska tersenyum saat melihat foto yang ditunjukkan Zein. Seorang perempuan paruh baya berjilbab putih yang tersenyum manis menghadap kamera.

"Ini ibu Abang, ya?"

"Iya."

"Cantik, ya."

"Yoih. Anaknya aja ganteng kan."

Triska kembali terkekeh pelan. Tersentak kaget saat wajah Zein mendekat. Dengus napasnya terasa hangat di telinga Triska. Perlahan Zein mengecup pipi kirinya. Menggosok-gosokkan bibirnya ke pipi hingga telinga Triska. Kemudian berhenti dengan deru napas yang semakin berat.

Triska terdiam. Tidak berani bergerak. Detak jantungnya terasa menggila. Susah payah dia menahan hasrat untuk membalas ciuman Zein. Jemari sebelah kanannya mencengkram blus yang dikenakannya.

"Abang ... sayang kamu, Ris!" ucap Zein lembut di telinganya. Triska tersenyum sambil menunduk. Semburat merah menghiasi kedua belah pipinya. Membuatnya terlihat semakin cantik.

Zein meletakkan ponselnya ke atas meja. Tangannya merangkum wajah Triska dan mengarahkan padanya. Perlahan dia memajukan bibir dan mengecup bibir mungil Triska yang lembut.

Triska memejamkan mata, menikmati sentuhan demi sentuhan dari kekasihnya itu. Rasa sayang dalam hatinya dicurahkan semuanya dalam kedekatan mereka kali ini.

Tangan Triska beralih memegang pundak Zein dan mencengkramnya sedikit sembari mendesah pelan. Tiba-tiba Zein berhenti dan menjauhkan wajahnya dari Triska yang mengerjapkan mata dengan bingung. Dia tidak mengerti kenapa Zein tiba-tiba memutus ciuman mereka di saat dia sedang menikmatinya.

Zein mengelus pipi Triska sambil tersenyum. Matanya menatap Triska dengan sorot mata penuh rasa sayang.

"Tidur, gih. Udah malam," ujar Zein dengan suara yang berat.

"I-iya," jawab Triska sambil merapikan rambutnya. Terlihat salah tingkah. Kemudian dia bangkit berdiri dan berjalan pelan menuju pintu kamarnya. Menoleh ke belakang sebelum akhirnya membuka pintu dan segera masuk. Sejenak tatapan mereka bertemu sebelum Triska menutup dan mengunci pintu.

Triska bersandar di belakang pintu sambil menutup mata. Senyuman tersungging di wajahnya. Jemarinya menyentuh pelan bibirnya yang tadi dicium Zein. Masih terasa hangatnya ciuman kekasihnya itu. Triska sedikit tidak rela saat Zein tadi memutus ciuman mereka.

Sementara itu di luar kamar, Zein mengusap rambut dan menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Tersenyum kecil saat mengingat ciuman pertama mereka tadi. Teringat tatapan mata Triska yang seakan bertanya kenapa dia memutus ciuman.

"Huft. Andai kamu tahu sayang. Aku hanya berusaha menjaga kesucianmu," lirih Zein sambil tersenyum. Kemudian dia meraih ponselnya dari atas meja dan bangkit berdiri. Melangkahkan kaki menuju kamar yang bersebelahan dengan kamar Triska dan Dinar.

***

Keesokan harinya, tepat pukul sepuluh pagi mereka berangkat menuju tujuan masing-masing.

Ivan yang kembali menjadi supir tetap heboh bernyanyi dengan riang. Tak peduli Dinar yang protes dari kursi belakang.

Perjalanan ke daerah Cilebut ditempuh dengan cukup lancar. Sekitar empat puluh lima menit kemudian mereka sudah sampai di kediaman Karin.

Perempuan berkulit putih dan bertubuh sintal itu menyambut kedatangan mereka dengan pelukan hangat dan mencium pipi kiri dan kanan. Ivan menyengir lebar saat Karin melepas pelukannya dan beralih memeluk Rama dengan gaya manja.

Ivan teringat cerita Dinar tadi di mobil. Dan semua yang dikatakan Dinar ternyata memang benar adanya.

"Rumahmu bagus, Rin," puji Rama sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

"Makasih, Mas. Ini juga pemberian suamiku," sahut Karin. Dia mengajak teman-temannya untuk duduk di bagian tengah rumah yang cukup luas.

Perabotan bergaya modern minimalis menghiasi beberapa sudut rumah bercat kuning lembut tersebut. Di bagian belakang rumah ada taman dan kolam kecil. Gemericik air dari kolam membuat suasana menjadi terasa tenang dan damai.

Ivan dengan santainya merebahkan diri di atas karpet tebal. Kepalanya bersandar di bantal jumbo yang sudah tersedia di situ.

"Nikah kok gak ngundang-ngundang, Rin?" tanya Dinar yang duduk menyandar ke dinding di belakang Ivan.

"Sorry. Cuma akad doang. Gak digedein. Hanya keluarga aja yang hadir," jawab Karin sembari menuangkan minuman sirup dingin ke beberapa gelas.

"Pantesan. Aku aja baru tahu kalo kamu udah nikah itu kemarin. Dari ayahnya Rima," tukas Rama yang langsung meraih gelas dan meneguk minuman dingin itu sambil memejamkan mata.

"Iya. Beliau aku undang juga. Kebetulan suamiku itu berteman dengan Yusran. Kakak kedua Rima. Karena Yusran masih di Kalimantan, jadi kami mengundang orang tuanya dan kang Fahmi aja," jelas Karin.

"Padahal kalo diundang kami pasti datang," sungut Dinar. Dia seakan masih tidak terima tidak diundang ke acara pernikahan teman yang terbilang cukup dekat semasa mereka masih di kosan dulu.

"Hehehe. Maaf. Udah deh gak usah ngambek gitu," ujar Karin sembari merangkul pundak Dinar dan mengkitik-kitik pinggangnya.

"Kamu ada dengar kabar dari Amanda?" tanya Rama.

"Gak ada, Mas. Terakhir kami sempat kontak itu tiga bulan yang lalu waktu dia pamit mau berangkat ke Singapura. Terus putus kontak sampai sekarang. Sepertinya dia ganti nomor ponsel," jawab Karin.

"Ehm ... kalian pernah didatangi Rima, nggak?" Karin bertanya balik.

Rama dan Dinar saling pandang sebelum akhirnya mereka mengangguk.

"Huft! Ternyata sama aja, ya," keluh Karin.

"Rima ganggu kamu juga?" tanya Dinar dengan mata membulat.

"Iya. Tapi bukan di sini. Melainkan di kosanku dulu. Sebelum pindah ke sini," jawab Karin.

"Kapan itu?" tanya Ivan sembari berbalik dan tengkurap. Tangannya menopang dagu sembari memandang Karin.

"Sekitar dua bulan yang lalu. Seminggu sebelum aku nikah," jawab Karin.

"Ceritain dong," pinta Ivan yang sudah beranjak untuk duduk bersila di sebelah Rama.

"Waktu itu aku lagi beres-beres barang. Masukin ke dalam kardus gitu. Kosan di Ciganitri lebih sepi dari kosan kita dulu. Penghuninya juga gak terlalu ramah. Penyendiri. Kalo gak mikir waktu itu buat lebih dekat jarak ke kantor, sebetulnya aku lebih suka di kosan kita." Karin berhenti sejenak untuk meminum sirup dingin.

"Lagi beres-beres gitu, terdengar sayup-sayup suara perempuan lagi nyanyi. Aku pikir itu suara penghuni kamar sebelah yang seorang penyanyi kafe. Terus aku ingat, dia masih kerja dan belum pulang jam segitu. Kalo gak salah sekitar jam sepuluh malam," lanjut Karin. Matanya menatap kosong ke arah televisi yang menyala tapi tidak ada yang menonton.

"Terus?" tanya Rama. Dia terlihat sangat penasaran.

"Aku tetap meneruskan mengepak barang karena besok pagi udah mau pindahan ke sini. Makin lama kudengar nyanyian itu, aku merasa yakin itu suara Rima. Kita kan dulu sering nyanyi bareng di kosan atau tempat karaoke. Dan Rima pasti nyanyi lagu itu," jelas Karin.

"Speak softly love!" tukas Ivan.

"Iya, betul. Lagu itu. Ihhh aku jadi merinding nih," Karin menggosok-gosok lengannya.

"Terus gimana?" tanya Dinar sambil mengunyah keripik pisang yang disuguhkan Karin.

"Tiba-tiba suara nyanyian itu berhenti. Berganti dengan tangisan lirih. Aku gak berani ngintip. Akhirnya ngumpet di dalam selimut sampai akhirnya ketiduran," jelas Karin.

Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

***

Setelah pertemuan dengan Irwan selesai, Zein dan Triska segera masuk ke dalam mobil.

Di luar langit terlihat gelap. Titik-titik air hujan mulai turun dan menimpa atap mobil.

Memasuki daerah pinggir Kota Bogor hujan pun mengguyur dengan lebatnya. Suasana jadi mirip hujan badai.

"Jalannya kelihatan gak, Bang?" tanya Triska yang melihat Zein mulai mengenakan kacamata minusnya.

"Agak buram nih. Terlalu lebat hujannya," keluh Zein. Tangannya bergerak mengelap kaca depan mobil dengan menggunakan tisu.

"Mau gantian nyetir?"

"Enggak usah. Kamu juga belum terlalu lancar kan. Ntar nabrak lagi," goda Zein.

"Dihhh!"

Zein tersenyum melihat kekasihnya yang cantik ini merengut. Tangan kirinya bergerak mengusap jemari Triska.

"Kita berhenti aja dulu, Bang. Itu di depan ada minimarket. Aku sekalian mau numpang ke toiletnya," tunjuk Triska pada plang minimarket yang berjarak sekitar lima puluh meter di depan.

Sesampainya di sana Triska langsung turun setelah Zein menghentikan mobil secara sempurna di parkiran hotel. Dia berlari menembus hujan dengan menggunakan tasnya sebagai penutup kepala.

Zein menggelengkan kepala melihat ulah Triska. Padahal di belakang ada payung, tapi kekasihnya itu mungkin lupa dengan keberadaan payung tersebut.

Sekitar sepuluh menit kemudian Triska kembali lagi dengan dipayungi oleh petugas parkir.

"Di belakang kan ada payung, Sayang. Kenapa gak dipake tadi?" tanya Zein sambil tersenyum.

"Hehehe. Lupa, Bang. Udah kebelet banget sih tadi. Jadi buru-buru," jawab Triska.

Tangannya terulur memberikan minuman soda favorit Zein.

Kemudian mereka terdiam sembari sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Bang, kata Mbak Dinar, di sana juga lagi hujan badai," ucap Triska sambil memperlihatkan ponselnya.

"Berarti merata, ya, hujannya," jawab Zein sembari melihat ke luar kaca mobil.

"Untung tadi kita udah makan, ya. Kalo nggak pasti kelaparan sekarang."

Zein menoleh dan memandangi Triska dengan sorot mata yang jahil.

"Tapi aku masih lapar nih," tunjuknya ke perut.

"Mau beli roti?"

"Bukan lapar makanan. Tapi lapar pengen makan kamu!"

Sontak mata Triska melotot. Tangannya terulur mencubit paha Zein dengan gemas.

Zein tertawa sambil menarik tangan Triska untuk mendekat. Kecupan lembut mendarat di dahi Triska. Kemudian Zein mengusap kepala perempuan itu dengan sayang.

Triska menarik tubuhnya kembali menyandar ke jok kursi. Tangannya bergerak merapikan rambut sambil tersenyum malu-malu.

"Abang, nih. Suka bikin kaget," ujarnya.

"Kaget kenapa?"

"Tiba-tiba nyium."

"Abisnya gemas," sahut Zein sambil terkekeh.

Triska ikut-ikutan tertawa. Tangan Zein terulur dan memegang bahu Triska.

"Ris, ngadap sini!" ujarnya.

Triska menoleh. Tanpa sadar dia mendekat ke arah Zein. Dua pasang mata saling menatap dalam diam. Hangat napas Zein yang mulai mendekat membuat Triska seakan terhipnotis.

Saat bibir mereka menyatu, Triska seakan merasa melambung. Jutaan kerlip bintang seakan menyinari sekeliling mereka.

Tangan Zein perlahan menarik kepala Triska untuk lebih mendekat. Deru napasnya semakin berat dan tidak terkendali.

Triska mendesah, tangannya menarik lengan Zein dan meremasnya dengan lembut.

Kemudian Zein berhenti dan melepaskan penyatuan mereka sembari menatap mata Triska yang mendadak membuka.

Zein mengelus pipi Triska dengan tangan yang sedikit gemetar. Sekuat tenaga dia menahan hasrat untuk menarik tubuh Triska kembali dan meletakkannya di pangkuan.

Mata Triska mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menunduk sambil menyembunyikan semburat merah di pipinya.

Entah kenapa belakangan ini imajinasinya menjadi sedikit liar. Kadang dia berharap Zein tidak memutus ciuman mereka.

Terpopuler

Comments

Mrs.Kang Chi

Mrs.Kang Chi

dikirain novel islami 😅

2021-03-28

2

🐝⃞⃟𝕾𝕳ᴹᵃˢDANA°𝐍𝐍᭄

🐝⃞⃟𝕾𝕳ᴹᵃˢDANA°𝐍𝐍᭄

haredang,,,🥵

2021-03-20

0

Ambu Nya Mentari Bintang

Ambu Nya Mentari Bintang

jadi Abah anak2 dulu... gitu... hhahaah

2020-07-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!