Pacaran

Triska mendekati Rama yang gemetaran. Tangannya menepuk-nepuk punggung dan mencoba menenangkan Rama.

Blllaammmm!

Tiba-tiba terdengar bunyi pintu yang tertutup keras. Zein dan Triska sontak berdiri dan melangkah ke luar kamar menuju ruang tamu.

Zein membuka gorden hingga terbuka separuh. Matanya menatap nyalang keluar kamar, hingga akhirnya menangkap sekelebat bayangan putih melintas di balik jendela kamar kosong.

"Abang, lihat apa?" tanya Triska yang berdiri di sampingnya.

"Rima sudah kembali masuk ke kamarnya," jawab Zein.

"Kupikir dia tidak akan muncul lagi. Padahal kemarin aku sudah lebih tenang," ucap Triska sambil berbalik dan menyandarkan tubuh ke jendela. Matanya terpejam. Sekuat tenaga dia menahan rasa takut yang mulai merambat di dada.

"Gak usah takut, Ris. Ada ... abang!"

Triska membuka mata. Zein tengah menatapnya dengan pandangan yang teduh. Membuat Triska merasa tenang kembali.

"Iya, Bang," ucapnya sambil tersenyum.

Zein mengangkat tangan kanan dan mengusap rambut Triska pelan. Tatapannya tak lepas memandangi Triska yang terlihat malu. Semburat merah di pipinya yang putih menambah rona kecantikannya yang alami.

"Ehem ... ehem ..." deheman Ivan dari balik jendela mengagetkan Zein dan Triska.

Zein sontak berhenti mengusap rambut Triska. Tangannya turun dan meraih jemari Triska dan memegangnya dengan lembut.

"Lagi pada takut sempat-sempatnya sayang-sayangan," ledek Ivan yang melangkah masuk setelah membuka pintu.

"Rese!" ucap Triska.

"Tutup lagi pintunya, Van!" tukas Zein.

Ivan bergerak menutup pintu dan mengempaskan pantat ke lantai. Duduk bersandar di dekat pintu pembatas dan melongok ke kamar.

"Udah gak ada, Yu!" ujarnya pada Ayu yang terlihat mengintip dari balik tubuh Tia.

Ayu beringsut ke pinggir kasur, berdiri dan berlari cepat ke kamar mandi. Tak lama kemudian dia kembali dengan wajah basah oleh air. Menarik handuk di gantungan dan mengusap wajahnya sampai kering.

Menggantungkan handuk kembali dan duduk di depan Rama.

Dinar yang sudah lebih dulu turun sedang mengusap-usap punggung Rama.

Pria itu masih pucat wajahnya, tetapi tidak lagi gemetaran. Dia menutup wajah dengan tangan dan berkali-kali menarik napas serta mengembuskan cepat.

"Ustaznya nggak bisa dipercepat apa ke sininya?" tanya Tia yang ikut turun ke lantai dan duduk di samping Ayu.

"Besok kutanyain lagi deh. Dia pamannya Rizwar, temanku di kantor," jawab Rama. Matanya memandangi wajah teman-temannya yang sama takutnya dengan dia.

Triska masuk ke dalam dan duduk di sebelah Ivan. Zein menyusul dan duduk di sampingnya.

"Semoga setelah dirukiah Rima nggak muncul-muncul lagi deh. Kalau masih muncul aku mau pindah aja," sela Tia.

"Ho oh. Aku juga. Takut!" tukas Ayu.

"Kita cari rumah aja, urunan ngontrak bareng," celetuk Ivan sambil menguap.

"Boleh juga. Tetapi aku gak mau sekamar sama kamu, Van. Ngorokmu kencang banget!" keluh Zein yang dibalas delikan mata Ivan. Zein tersenyum lebar melihat Ivan sewot.

"Nanti aja kita pikirin lagi. Tuntasin satu-satu," ujar Rama.

"Bang Hasni mana?" tanya Ivan.

"Udah tidur kali," jawab Tia.

"Curiga pingsan dia," ujar Ivan sembari terkekeh.

Malam itu kembali mereka tidur bersama-sama tanpa menyadari sesosok perempuan berjalan mendekat dan berdiri lama di teras depan kamar Ayu. Sosok itu berulang kali mencoba memasuki kamar namun selalu terpental karena pagar gaib yang dipasang Zein.

***

"Kenapa, Mak? Kok gelisah banget?" tanya Tia sambil membelai Emak Chubie. Kucing tua berwarna abu belang hitam itu beberapa kali menggeram ke arah taman.

"Jangan nakut-nakutin dong. Masih pagi juga," ujar Ayu yang sedang berdandan di depan cermin meja rias.

"Apa dia sakit, ya?" gumam Dinar. Tangannya sibuk memasang jilbab berwarna pink yang lebar.

"Kubawa ke klinik aja deh. Sekalian diperiksa. Maklum kucing tua kadang penyakitnya aneh-aneh," tukas Triska sambil menyisir rambut panjangnya dan memasang sirkam mutiara di bagian tengah rambut.

"Harus pakai taksi kan, ya, bawanya? Mau kupesenin?" tanya Tia ke Triska.

"Boleh."

Triska berjalan pelan keluar kamar. Melintasi taman dengan berlari kecil menuju kamarnya.

Tersentak kaget saat membuka pintu kamar dan melihat sepatu-sepatunya sudah berserakan di lantai.

"Siapa yang melakukan ini? Apa Rima?" batinnya sembari membereskan sepatu yang berserakan. Kemudian dia melangkah masuk ke kamar, mengambil tas kerja dan menyempatkan diri melongok ke kamar mandi karena mendengar suara tetesan air.

Keran yang terbuka kecil hingga air di ember besar meluber membuat Triska bingung. Karena dia yakin sekali sudah menutup keran setelah mandi kemarin sore.

Tangannya bergerak menutup keran, kemudian ke luar menuju depan kamar. Nyaris menabrak Zein yang melongok ke dalam kamarnya.

"Ehh ... Abang! Ngagetin!" pekiknya.

"Sorry. Cuma mau nanya, mau kuantar ke klinik, nggak? Tadi kata Tia, kamu mau sekalian bawa si Emak," ujar Zein seraya tersenyum manis.

Sejenak Triska terpukau melihat penampilan Zein yang sangat rapi. Kemeja lengan panjang berwarna hitam dengan dasi berwarna krem, dipadukan dengan celana panjang warna hitam dan sepatu pantofel mengilat. Harum parfum lembut yang menguar dari tubuhnya menambah ketampanannya menjadi seribu persen.

"Ditanya kok malah bengong?" Zein menjentikkan jari di depan wajah Triska yang melongo.

"Ehh ... iya. Mau, Bang. Mau!" jawab Triska gelagapan.

"Mau apa? Nikah sama aku?" goda Zein. Senyumannya melebar saat melihat semburat merah di pipi Triska.

"Ayo, kita berangkat. Aku mau nyari sarapan dulu. Kutunggu di mobil, ya!" ujar Zein sambil berbalik dan melangkah menuju depan rumah.

Triska menutup pintu kamar dan berjalan kembali melintasi taman.

"Aku duluan, ya, semua. Assalamualaikum," pamit Triska ke yang lainnya. Tangannya bergerak menggendong Emak Chubie dan berjalan ke depan rumah.

Zein sudah menunggu di dalam mobil. Triska langsung masuk ke mobil dan memasang sabuk pengaman.

"Enggak ada yang ketinggalan?" tanya Zein.

"Enggak ada, Bang," jawab Triska.

Zein mengangguk dan mulai menyetir mundur keluar parkiran. Bibirnya bersenandung mengikuti irama lagu di radio.

Beberapa kali dia menoleh dan tersenyum pada wanita cantik di sebelahnya.

Wanita yang belakangan ini sering mengganggu konsentrasinya.

"Bang, mampir ke situ, yuk. Kita sarapan bubur dulu," ajak Triska sambil menunjuk ke sebuah lapak bubur ayam yang terlihat ramai.

Zein mengangguk dan segera menepikan mobil ke pinggir jalan.

Triska bergerak membuka pintu dan turun lebih dulu setelah meninggalkan Emak Chubie ke atas jok mobil. Kucing itu sedang tertidur pulas.

Zein ikut turun dan tak lupa mengunci pintu mobil. Berjalan menuju meja panjang dan duduk di kursi plastik di sebelah Triska.

"Bang, di kamarku tadi ada yang aneh," ucap Triska pelan.

"Aneh gimana?" jawab Zein sembari mengunyah sate usus yang tersedia di tengah meja.

"Sepatunya berantakan. Keran air terbuka sampai airnya luber. Padahal kemarin udah kututup dan atasnya kutaruh gayung. Tadi gayungnya udah di lantai dekat pintu. Aneh pisan," jelas Triska.

Bubur pesanan mereka tiba. Zein mengambil dua tusuk sate usus dan memasukkannya ke mangkuk bubur. Tak lupa menambahkan dua sendok sambal ke atasnya. Kemudian mengaduk rata bubur ayam hingga tercampur aduk semuanya.

"Nanti malam kita bacain doa di kamar Rima. Ngaji bareng-bareng. Itu pagar gaib juga. Kali aja dia bisa tenang," tukas Zein sambil menyendok bubur dan menyuapkannya ke mulut.

"Jangan di situ ahh. Aku takut!" ujar Triska sambil bergidik.

"Kan ada abang!" sela Zein sambil menaik turunkan alisnya dan tersenyum lebar. Triska bergerak mencubit lengan Zein. Kemudian mereka tertawa pelan sembari meneruskan makan.

Selesai sarapan dan membayar, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan ke klinik tempat Triska bekerja.

Sesampainya di klinik suasana masih sepi. Seorang cleaning service sedang bekerja membersihkan ruangan dalam. Setelah memasukkan Emak Chubie ke dalam kandang, Triska keluar lagi dan memilih duduk di undakan tangga sambil menunggu teman-temannya datang.

Zein yang tidak tega meninggalkannya sendirian akhirnya ikut duduk di sebelah Triska.

"Bang, aku tuh bingung, kenapa Rima mengganggu kita?" tanya Triska sambil bertopang dagu.

"Menurutku, dia merasa punya ikatan batin dengan kosan. Mungkin juga ingin menyampaikan sesuatu," jawab Zein seraya menatap Triska lekat-lekat.

Desiran halus di dadanya berubah lebih kencang saat dia meraih jemari Triska dan menggenggamnya erat.

"Kita omongin yang lain aja. Misalnya, apa kamu udah punya pacar?" ujarnya.

Triska menggeleng.

"Kalo gitu, mau jadi pacar abang?" tanya Zein lagi.

Triska terlihat tertegun sejenak sebelum mengangguk malu-malu.

"Makasih, ya," lanjut Zein lagi. Tersenyum lebar saat melihat Triska mengulum senyum. Sementara rona merah jambu semakin terlihat di wajahnya yang putih.

"Tetapi jangan ngomong ke teman-teman, ya, kalo kita pacaran. Aku enggak enak," ucap Triska.

"Enggak usah diomongin juga semua udah pada tau kali," tukas Zein. Terkekeh pelan sembari terus mengusap jemari Triska.

"Ivan pasti ngeledekin aku mulu nih," keluh Triska, namun tak urung tersenyum juga.

"Awalnya kupikir Ivan itu naksir kamu, lho. Sering curi-curi pandang melihatmu kalo kalian nongkrong di taman," lanjut Zein.

"Kok Abang tau? Ngintip, ya?" Triska tertawa pelan membayangkan Zein mengintip saat dia dan teman-teman berkumpul di taman.

"Habisnya penasaran. Pengen gabung tapi gengsi. Padahal aku pengen juga bisa dekat sama kamu, dari sejak kamu pindah sebulan yang lalu."

"Kenapa harus gengsi, Bang? Padahal awalnya kukira Abang itu jaim. Tipe penyendiri. Agak kaget waktu kuajakin gabung waktu itu Abangnya langsung mau."

"Aku udah nunggu-nunggu kamu ngajak. Momennya pas!" Zein terus tersenyum.

"Beuhhh. Meni kudu diajak segala. Padahal tinggal buka pintu dan ikut nongkrong. Ckckck!"

"Sepertinya aku harus berterima kasih pada Rima. Berkat dia muncul kembali kita bisa lebih dekat kayak gini."

"Abang ihh ... ngingetin lagi!" protes Triska.

Zein menepuk-nepuk tangannya sambil kembali menatapnya lekat.

Sejenak mereka saling berpandangan sebelum akhirnya Zein pamit dan meninggalkan Triska untuk berangkat ke kantornya.

"Nanti sore Ku jemput, ya!" teriak Zein dari dalam mobil. Triska mengangguk sambil melambaikan tangan. Menunggu mobil Zein menghilang dari pandangan sebelum melangkah masuk ke klinik.

***

Selepas Isya mereka pun berkumpul di tengah taman untuk melakukan pengajian.

Hasni memimpin doa dengan suara bergetar. Ada perasaan haru dalam dadanya saat mengingat Rima.

Sosoknya yang ceria sering tiba-tiba muncul di balik pintu kamarnya. Tanpa sungkan langsung masuk dan menumpang menonton video.

"Bang, download film-film baru dong. Yang ini udah kutonton semua," rajuk Rima pada suatu malam.

"Iya. Besok deh. Tadi banyak kerjaan di kantor sampai lupa mau download," jawab Hasni sembari merapikan janggut dengan gunting.

"Ehh ... Bang! Sabtu nanti Kang Irwan mau ke sini. Boleh numpang nginap sama Abang gak? Cuma sehari. Sayang duit kalo nginap di hotel," tanya Rima. Matanya mengedip-ngedip memohon.

"Boleh. Kebetulan aku hari Jumat mau ke Jakarta. Minggu baru pulang. Pakai aja kamarku. Tapi gak boleh dipakai infeksi, ya!" jawab Hasni sembari nyengir.

"Ihh Abang nih. Kang Irwan mah cowok soleh. Jangankan gituan, nyium aku aja jarang banget!"

"Masa'? Apa kamu yakin dia cowok normal?" ledek Hasni yang membuat Rima merengut.

"Normal lah, Bang. Makanya dia ngajak aku nikah!"

Hasni terkekeh pelan. Hatinya senang bisa menggoda Rima. Gadis mungil yang sudah dianggap sebagai adik bungsu olehnya dan juga teman-teman kos lainnya.

Ingatan Hasni mengabur seiring dengan lantunan doa yang terputus. Dinar sedang menangis di pelukan Ayu. Mungkin juga dia teringat kenangan tentang Rima.

Wuuuuzzzzz.

Wuuuuzzzzz.

Wuuuuzzzzz.

Tiba-tiba embusan angin kencang menerpa mereka. Sontak para cewek segera berlarian memasuki kamar Ayu. Disusul Hasni dan Rama. Sedangkan Zein dan Ivan masih bertahan di tempat mereka.

Zein sudah bertekad untuk menghadapi sosok Rima bila dia muncul. Sedangkan Ivan bertekad untuk menemani Zein. Dia sudah lelah dan bosan terus lari dan ketakutan.

"Baca ayat kursi, Van. Jangan sampai putus!" perintah Zein.

Ivan mengangguk. Mulutnya mulai melantunkan ayat kursi dengan lantang sembari melihat sekeliling.

Zein memulai gerakan tangan seakan membangun pagar di sekeliling tubuh mereka. Matanya menatap kamar bekas Rima. Lampu di dalam kamar yang tadi sengaja dihidupkan tiba-tiba berkedip-kedip.

Sosok samar mulai terlihat di balik jendela yang sudah dibuka gordennya.

Ivan yang sempat melihat penampakan sosok itu semakin mengencangkan bacaan ayat kursi. Dari dalam kamar Ayu pun terdengar lantunan ayat kursi. Wajah Rama dan Triska mengintip dari balik jendela kamar Ayu.

"Jangan ke sana, Ris. Bahaya!" ujar Rama saat melihat tangan Triska yang hendak membuka pintu.

"Aku nggak bisa begini terus, Mas. Kasihan juga mereka berdua doang di luar," jawab Triska. Rasa takut di hatinya perlahan mulai menghilang. Dia malah ingin keluar dan ikut menghadapi Rima.

"Takutnya kamu gak kuat. Nanti kerasukan kayak Amanda dulu," tukas Rama. Sementara di belakang mereka yang lain terus melantunkan ayat kursi tanpa henti.

Triska terkesiap mendengar ucapan Rama. Dia belum pernah mendengar cerita ini sebelumnya.

"Amanda itu yang tinggal di kamar ini kan?" tanya Triska.

Rama mengangguk. Kemudian melanjutkan ceritanya sambil terus mengawasi luar kamar.

"Dua bulan setelah Rima meninggal, aku dipindahkan lagi ke sini. Kebetulan kamar bekasku dulu belum ada yang mengisi. Jadi aku menempati kamar itu lagi."

"Di sini saat itu jadi sepi. Hanya tinggal Afni, Dinar, Amanda, Hasni dan Yono. Lainnya pada pindah dengan berbagai alasan. Terutama karena ketakutan. Barang-barang milik mereka sering berpindah tempat tanpa tahu siapa yang memindahkan."

"Pada suatu malam, kami mendengar suara tangisan dari kamar Rima. Aku dan Yono keluar untuk mengecek. Namun belum juga sampai ke kamar Rima, tahu-tahu terdengar jeritan dari kamar ini."

Sejenak Rama menghentikan ceritanya sembari menelan ludah.

Terpopuler

Comments

Cimutz

Cimutz

👍👍❤

2021-02-25

0

Helni mutiara

Helni mutiara

👍👍👍👍👍❤

2021-02-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!