Dua penghuni baru

"O iya, bagaimana kabar Davin?" Rama bertanya lagi.

Winda menghela napas sambil melengos.

"Gak tau. Kami kan udah putus."

"Oh. Sorry. Aku nggak tahu."

"Enggak apa-apa. Memang belum banyak yang tahu sih."

"Aku boleh tahu kenapa kalian putus?"

"Dia selingkuh. Dan gilanya selingkuhannya itu teman kos-ku," wajah Winda terlihat memerah menahan emosi.

Hening sejenak. Rama memilih untuk diam dan meneruskan makan. Sedangkan Winda tampak fokus menonton televisi.

Tok, tok, tok!

Terdengar ketukan di pintu. Winda bangkit dan berdiri dari sofa. Kemudian berjalan menuju pintu. Mengintip sekilas sebelum membuka pintu lebih lebar. Tampak Anto berdiri di depan pintu dengan tersenyum lebar.

"Hai, Win. Ada Rama nggak?" tanya Anto.

"Kagak ada. Sinta ada," jawab Winda sambil terkikik geli.

Dia memberi kode dengan dagu supaya Anto masuk.

"Nih, pesenan lu," ujar Anto. Tangannya mengulurkan sebungkus plastik berisi sate padang pesanan Rama.

"Thank's, ya. Lebihnya buat lu aja," jawab Rama sambil menerima bungkusan dari tangan Anto dan bergegas membukanya.

"Yaelah, lebihnya cuma lima ribu," sungut Anto. Dia mengempaskan bokong ke sofa di sebelah Rama.

"Segitu juga bisa buat bayar parkir." Tawa Rama pecah saat melihat bibir Anto yang mencibir.

"Ehm, Ram. Lu masih lama kan di sini?"

"Kenapa emang?"

"Gue mau pake kamar kita dulu bentar, yak. Sejam gitu." Anto mengedip-ngedipkan mata kremian.

"Beuhhh. Pasti lu bawa cewek, ya? Vangke!"

Anto tertawa, kemudian dia bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu. "Ntar kalo udah beres gue telepon lu, yak!"

"Kumaha' maneh waelah!" omel Rama.

(Gimana kamu aja deh!)

Winda memandangi punggung Anto sampai menghilang di balik pintu kamar yang ditutupnya. Kemudian dia dan Rama saling bertatapan sebelum akhirnya tawa mereka pecah.

Rama meneruskan makan hingga habis tak bersisa. Kemudian dia menyandarkan tubuh di sandaran sofa. Kekenyangan.

"Ehh, Mas. Kenal sama Zainal?" tanya Winda.

"Zainal? Yang mana, ya?" Rama bertanya balik.

"Yang ini orangnya," jawab Winda sambil menunjukkan sebuah foto di ponselnya.

"Ini mah Zein. Teman satu kosan," ujar Rama.

"Zainal itu nama lengkapnya, Mas. Panggilannya Zein."

"Hehehe. Aku gak tau namanya Zainal. Dari awal kenalan taunya Zein doang."

"Temanku pernah didekatin ama dia. Terus tau-tau ngilang. Patah hati itu temanku."

"Hmm. Yang teman sekantornya itu, ya? Dia pernah bawa cewek ke kosan. Bilangnya teman kantor. Cantik. Tapi cantikan ceweknya yang sekarang."

"Oh. Udah punya pacar?"

"Udah. Namanya Triska."

"Hmm. Mungkin karena kepincut sama Triska jadi dia ninggalin temanku."

"Namanya juga nggak jodoh, Win. Mau digimanain lagi."

Winda manggut-manggut. Tanpa sengaja tatapan mereka beradu.

"Win, aku boleh jadi teman dekat kamu nggak?" tanya Rama sembari menatap Winda dengan lekat.

"Sedekat apa?" goda Winda seraya tersenyum.

"Sedekat-dekatnya."

"Hmm ... boleh. Tapi ada syaratnya, Mas," ujar Winda dengan wajah serius.

"Apaan?" Rama bertanya sambil menegakkan tubuh.

"No kiss. No sex!"

"No sex-nya sih oke. No kiss ini yang susah," ujar Rama sembari menggaruk-garuk belakang kepalanya.

Winda tertawa sambil terus menatap Rama dengan pandangan menggoda.

Rama ikutan tertawa. Selanjutnya mereka terus mengobrol hingga tidak sadar bahwa malam semakin larut.

"Aku balik ke kamar dulu, ya. Udah jam sebelas nih," ujar Rama. Dia bangkit berdiri dan merapikan baju sebelum berjalan menuju pintu.

"Iya, Mas. Besok pulang ke Bandung bareng, ya," sahut Winda seraya tersenyum.

Rama mengangguk, tangannya bergerak membuka pintu. Namun ketika hendak melangkah keluar, tubuhnya mendadak membeku. Perlahan dia berbalik dengan mata membelalak.

Winda berjalan mendekat dan memegang lengan Rama sambil melongok keluar pintu.

Lorong di depan kamar cukup terang. Namun di ujung lorong samar-samar terlihat bayangan seseorang.

Winda bergegas menutup dan mengunci pintu. Berbalik dan bersandar di balik pintu dengan mata terpejam.

Rama terduduk di lantai dengan menekuk kedua kakinya dan menutup wajahnya dengan tangan.

Winda berjalan mendekat dan duduk di sebelah Rama. Benak mereka penuh dengan berbagai pertanyaan.

***

Sinar matahari pagi menerpa mata Rama dari gorden yang terbuka. Dia mengerjapkan mata beberapa kali hingga akhirnya terbiasa dengan sinar terang.

Kemudian dia merentangkan tangan dan menggeliat di atas sofa. Tubuhnya agak sedikit pegal karena tidur di sofa.

Perlahan dia bangkit, duduk sebentar untuk mengumpulkan nyawa yang masih beterbangan.

"Udah bangun, Mas?" sapa Winda yang sepertinya baru selesai mandi. Rambut panjangnya basah terurai. Wajah yang polos tanpa make up membuatnya terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya.

"Iya. Aku mau ke kamarku, ya," sahut Rama sambil berdiri. Kakinya melangkah melewati Winda yang bersiap dandan di depan cermin besar.

Setelah membuka pintu kamar, Rama melangkahkan kaki turun ke lantai satu. Mengetuk pintu kamar tempat dia menginap bersama Anto.

Tak lama kemudian pintu terbuka. Rama dan perempuan yang membuka pintu itu sama-sama terkejut. Tangan mereka saling menunjuk sebelum akhirnya Rama maju dan merangkul wanita itu dengan hangat.

"Kok bisa di sini, Nan?" sapa Rama hangat. Tangannya melepas rangkulan dan mencubit pipi Nani yang chubby.

"Aku udah beberapa bulan tinggal di sini, Mas. Ponselku yang lama hilang dicuri orang. Semua nomor kontak teman-teman lama juga ikut raib. Baru tadi malam aku ngobrol sama Anto, kaget waktu dia bilang nginap sama kamu di sini. Kutungguin tapi kamunya nggak datang-datang," cerocos Nani sambil menepuk-nepuk lengan Rama.

"Ayo, kita masuk. Aku mau mandi dulu. Habis itu kita lanjut ngobrol," ajak Rama sambil melangkah masuk dan menutup pintu.

***

"Jadi gitu, Nan. Rima sering datang ke kosan. Dua hari yang lalu malah ngikut ke mobilku. Terus tadi malam juga kayak ada dia di lorong atas. Makanya aku nggak berani turun. Daripada pingsan di tangga kan nggak lucu," jelas Rama sambil bergidik.

"Ke rumah kakakku juga pernah datang, Mas. Tapi diusir sama kakak ipar yang kebetulan pemberani. Terus sekeliling rumah ditanam pohon bidara. Sampai sekarang gak pernah datang lagi," sahut Nani. Dia pun ikut merinding.

"Kapan itu kejadiannya?" tanya Anto yang ikut mendengarkan cerita mereka.

"Kita-kira sebulan yang lalu deh," jawab Nani.

"Kalo di kosan sekitar tiga mingguan. Afni sampai pindah. Ketakutan banget dia," sahut Rama.

"Mungkin bisa dicoba pake bidara, Mas. Tanam di depan rumah. Sama di taman tengah itu. Kali aja bisa menangkal dia supaya nggak nakutin lagi," saran Nani.

Rama mengangguk. Dalam hati dia berjanji akan segera membeli pohon bidara saat tiba di Bandung nanti.

***

Sore itu hujan turun dengan sangat deras. Triska berlari turun dari ojek online dengan menggunakan tas sebagai penutup kepala. Sesampainya di dalam rumah ternyata Tia juga baru sampai. Tubuhnya basah kuyup kehujanan.

Mereka masuk ke kamar masing-masing.

Setelah mandi dan berganti pakaian, Triska merebahkan diri di atas tempat tidur sambil memeluk Emak Chubie yang sudah lebih dulu tertidur.

Tok, tok, tok.

Terdengar pintunya diketuk. Triska bangkit dan beringsut ke pinggir tempat tidur. Kemudian berdiri dan melangkahkan kaki menuju pintu yang tadi dikunci.

Senyumannya mengembang saat melihat Zein datang sambil mengacungkan bungkusan plastik. Kemudian mereka masuk ke kamar dan duduk di lantai. Duduk berdekatan sambil menyandar ke pinggir tempat tidur.

Triska membuka bungkusan yang Zein bawa dan seketika gembira saat melihat roti bakar dan pisang keju coklat kesukaannya. Dengan cepat tangannya membuka plastik mika pembungkus dan mulai menyuap pisang ke dalam mulutnya.

Matanya terpejam saat menikmati makanan favoritnya tersebut. Zein terkekeh melihat tingkah kekasihnya itu.

"Kenapa ketawa, Bang?" tanya Triska sambil terus mengunyah.

"Gaya makan kamu itu lho. Kayak enak banget," jawab Zein.

"Emang enak. Nih!" Triska mengulurkan pisang yang langsung disuap Zein dengan pelan.

"Kamu ingat nggak? Kita dulu suap-suapan mie," ujar Zein.

"Iya. Malam pertama dia muncul," jawab Triska. Tangannya beralih mengambil sepotong roti bakar dan menyuapkannya ke Zein, baru menyuap ke mulutnya sendiri.

"Aku nekat aja nawarin kamu. Ehh taunya diterima." Zein terkekeh lagi mengingat peristiwa yang menjadi awal kedekatan mereka.

"Habisnya emang lapar, tapi malas mau bikin sendiri," Triska pun terkikik geli.

"Woi! Pacaran mulu!" teriak Ivan dari depan pintu kamar Triska yang terbuka. Tanpa permisi dia langsung masuk dan duduk bersila di depan Zein. Mencomot sepotong roti dan menyuapkannya ke mulut.

"Kok kamu bggak basah?" tanya Triska.

"Aku udah pulang dari sebelum hujan. Terus ketiduran. Pas bangun itu laper. Ngetuk kamar Ayu sama Mbak Dinar tapi nggak ada jawaban. Melongok ke sini ehh lagi pada suap-suapan. Ya udah, aku masuk," jawab Ivan.

"Panggil Tia, gih! Kali aja mau ngemil," perintah Zein. Ivan mengangguk dan beranjak keluar kamar. Mengetuk pintu kamar Tia. Kaget sendiri saat Tia tiba-tiba membuka pintu tanpa mengenakan jilbab.

Sejenak Ivan tertegun saat menyadari penampilan Tia yang sangat berbeda.

"Apaan?" tanya Tia.

"Ooo. Itu. Ke kamar Triska, yuk. Ada cemilan," ajak Ivan.

Tia mengangguk dengan semangat dan langsung membuka pintu lebih lebar dan hendak beranjak keluar kamar.

"Ehh. Jilbab kamu nggak dipake?" Ivan menunjuk kepala Tia.

"Aih. Pantesan kok kepala ringan banget," sahut Tia sambil berlari masuk ke kamar. Tak lama kemudian keluar lagi dan sudah mengenakan jilbab berwarna hitam.

Tangannya bergerak menutup pintu dan berjalan bersisian dengan Ivan. Sejenak ada perasaan aneh saat Tia menyadari kalau Ivan sedang memandangi dirinya.

"Kenapa liat-liat?" tanya Tia.

"Ehm. Tadi kaget lihat kamu gak pake jilbab. Pangling aku," jawab Ivan sambil tersenyum.

Tia menunduk malu. Entah kenapa belakangan ini dia sering melupakan beberapa hal. Seperti tadi, lupa gak pakai jilbab.

"Kamu ... cantik!" puji Ivan sambil cengengesan. Tak peduli Tia mendelik dan meninggalkannya sendiri di teras.

"Kamu apain Tia? Sampai cemberut gitu?" tanya Triska sambil melototi Ivan yang baru masuk.

"Dipuji kok malah cemberut. Aneh!" Ivan malah menggerutu.

"Udah. Gak usah berantem depan makanan. Pamali! Ayo, buruan dimakan," tukas Zein.

Dia melanjutkan makan sambil memperhatikan tingkah kedua temannya itu. Entah kenapa dia punya firasat kedua orang di depannya ini nantinya akan jadi sepasang kekasih.

Menjelang Magrib dua buah mobil bergerak memasuki pekarangan depan rumah yang luas. Dari mobil Rama terlihat Ayu dan Dinar keluar dengan memakai payung berdempetan bertiga dengan seorang perempuan yang membawa tas besar. Disusul Rama keluar dengan berlari menembus hujan.

Dari mobil Hasni, Chandra dan Satya keluar sambil berlari hingga teras. Hasni terakhir muncul dengan memakai payung kecil. Mereka tertawa-tawa sambil mengibas-ngibaskan air dari tubuh mereka.

Zein dan yang lainnya keluar dari kamar saat mendengar suara orang tertawa-tawa di teras.

"Lho, kok bisa barengan?" tanya Zein sambil bersalaman dengan Rama. Demikian juga Ivan.

"Nyampe ujung jalan situ, mereka lagi berteduh di depan toko. Angkut sekalian," jawab Rama sambil memasuki tengah rumah yang berfungsi sebagai garasi.

"O iya, kenalin, ini Nani. Yang dulu tinggal di sini juga," sambung Rama memperkenalkan Nani dengan yang lainnya.

"Hai. Salam kenal semuanya," sapa Nani hangat. Matanya menyapu sekeliling ruangan. Tidak banyak perubahan pada struktur bangunan. Yang berubah hanya wajah-wajah penghuninya.

Setelah mengobrol sebentar akhirnya semua kembali ke kamar masing-masing karena azan Magrib telah berkumandang.

Nani sendiri berjalan berangkulan dengan Dinar menuju kamarnya di sebelah kamar Ivan.

Hujan lebat masih mengguyur Kota Bandung di malam itu. Membuat udara semakin bertambah dingin.

Setelah menunaikan salat Magrib, Rama kembali keluar rumah bersama Ivan untuk mengambil tas dan barang-barang lainnya.

Hasni menggeser motor Ivan ke samping kiri. Kemudian Dinar dan Nani membersihkan garasi dan menggelar karpet besar di tengah ruangan tersebut. Triska dan Ayu sibuk memasak mie instan di dapur milik Ayu yang paling komplit isinya. Sedangkan Tia membuat seteko teh manis hangat.

Setelah mie instan siap dan dihidangkan di tengah rumah, mereka semua duduk berkumpul untuk menikmati makan malam seadanya ala anak kosan.

Saling ledek dan canda tawa memenuhi seisi ruangan. Ivan beberapa kali mendapat cubitan dari Tia karena meledeknya terus.

"Kalo naksir itu diomongin, Van. Bukannya diledekin gitu. Ntar Tia jadi ilfil baru nyaho'!" ujar Zein sambil tergelak.

"Dihhh. Ogah pacaran sama Ivan. Rese!" sungut Tia sambil merapatkan tubuh ke Ayu yang duduk di sebelahnya.

"Siapa juga yang mau pacaran sama kamu!" tukas Ivan sambil menjulingkan mata.

"Iya, Van. Gak usah pacaran. Langsung nikah aja. Kami siap mengantar ke Depok," sela Rama seraya tersenyum yang langsung dibalas pelototan Tia.

"Udah deh. Jangan digodain terus. Pipi Tia udah merah tuh," celetuk Dinar.

"Seru, ya. Zaman kita dulu nggak seramai ini," ujar Nani sambil memandangi wajah teman-temannya.

"Dulu yang suka bikin heboh itu Rima. Kalo sekarang biang keroknya itu Ivan," sahut Hasni dengan tersenyum lebar.

"Iya, Rima dulu suka bikin panik. Dia kan pelupa akut," lanjut Nani dengan pandangan menerawang mengingat sosok temannya itu.

"Tapi dia nggak lupa masa-masa tinggal di sini. Kata Irwan, kalian terus yang jadi bahan cerita Rima semasa hidupnya," tukas Zein yang membuat semua orang terdiam.

"Acara haul jadinya kapan, Zein?" tanya Rama.

Kemungkinan dua minggu lagi. Nanti kutanyakan ke Irwan lagi deh," jawab Zein.

"Kalian mau ke Bogor lagi?" sela Nani.

"InsyaAllah. Kalo yang lain gimana?" Rama bertanya balik ke yang lain.

"Aku sih ikut. Kita berangkat pagi terus sorenya pulang. Jadi nggak usah nginap," ujar Dinar yang disetujui yang lainnya.

"Berarti kita ketemu di sana. Aku sekalian pengen ketemu sama Karin," tukas Nani.

"Nanti aku ajakin Hasan dan Yono," sela Hasni.

"Masih ketemuan ama dua pendiam itu?" Nani bertanya lagi sambil menggeser layar ponselnya.

"Sama Yono sering. Kantor kami cuma beda lantai. Kalo Hasan pernah ketemu pas lagi belanja. Udah nikah dia. Sekarang tinggal di Ujungberung," jelas Hasni.

"Minta nomor ponselnya, Bang. Ponselku dicuri orang. Aku kehilangan nomor kontak kalian. Untung ketemu sama Mas Rama," ucap Nani seraya tersenyum.

Terpopuler

Comments

Hasya Syafazea Hafizah I

Hasya Syafazea Hafizah I

jadi kangen am anak " kok sumur tulak mereka sekarang gimana kabarnya ya

2023-09-01

0

Helni mutiara

Helni mutiara

jadi inget jaman jadi anak cosant ..😁😁👍

2021-02-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!