"Ayu! Mbak Dinar! Triska! Tia! Teh Afni! Buka pintunya!" teriak Ivan sembari menggedor-gedor pintu. Wajah tampannya berkeringat dan terlihat panik.
Gorden tersibak, wajah Dinar yang pucat pasi mengintip dari balik jendela.
"Buka, Mbak!" teriak Ivan lagi dari luar.
Bergetar tangan Dinar saat mencoba membuka kunci pintu. Berkali-kali dicoba tapi selalu gagal.
"Gak bisa!" pekiknya dari dalam. Bulir bening mulai mengalir di pipinya.
Triska yang tak kalah paniknya muncul dari belakang Dinar. Tangannya mengambil alih gagang dan berusaha untuk membuka kunci pintu. Dalam hati dia membaca ayat kursi. Kemudian menggumamkannya melalui bibir. Kian lama suaranya kian lantang
Cetreeek.
Kuncinya berhasil dibuka. Dengan cepat tangannya membuka gagang pintu bersamaan dengan Ivan yang membuka pintu dari luar dan menerobos masuk.
"Kalian nggak apa-apa?" tanya Ivan dengan gugup. Menatap wajah Dinar dan Triska bergantian. Mereka mengangguk.
"Dia ... sudah pergi?" tanya Tia yang mengintip di pintu pembatas kamar dan ruang tamu.
"Enggak tau. Aku lihat dulu," jawab Ivan. Tubuhnya berbalik dan mendadak kaku.
Di depan pintu kamar bekas Rima yang masih terbuka lebar, terlihat bayangan samar sosok perempuan berdiri menyamping.
Bergaun pengantin berwarna cempaka yang panjangnya entah berapa meter. Kepalanya terbungkus dengan hiasan berenda dan cadar transparan. Di tangannya memegang buket bunga yang telah layu.
Mulut Ivan membuka dan menutup, tidak mampu bersuara karena tenggorokannya terasa sangat kering.
Bbllaaammm!
Tiba-tiba pintu itu tertutup bersamaan dengan hilangnya sosok samar perempuan itu.
Tubuh Dinar merosot ke lantai. Dengan cepat Triska menangkap tubuhnya sebelum jatuh terkulai. Pingsan.
Tia bergerak maju dan membantu Triska memapah tubuh Dinar ke dalam kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur.
Ayu bergegas mengambil minyak kayu putih dari dalam laci. Menuangkan isinya ke telapak tangan dan menggosokkannya ke ujung hidung Dinar dan leher.
Aroma minyak kayu putih yang menyerang hidung membuat Dinar tersadar. Matanya membuka dan bergerak memutar melihat sekeliling.
Afni yang terbangun karena bunyi ribut-ribut di belakangnya, terlihat sangat kaget.
"Dinar kunaon?" tanyanya panik.
(Kunaon \= kenapa)
"Pingsan." jawab Ayu. Tangannya masih menggosok-gosok tangan Dinar. Sementara Tia menggosok kaki Dinar.
"Kok bisa?" tanya Afni lagi sambil mengerjapkan mata beberapa kali.
"Mbak Dinar melihat sosok Rima di seberang sana," jawab Ivan lirih dari pintu pembatas.
Dia duduk menyandar ke dinding. Menekuk kaki dan mimijat dahi yang mendadak pusing.
Derap langkah kaki mendekat. Zein dan Rama muncul dan langsung masuk ke ruang tamu kamar Ayu.
"Kalian enggak apa-apa?" tanya Zein.
"Aku sih gak apa-apa, Bang. Tapi Mbak Dinar sempat pingsan tadi," jelas Ivan.
Zein melongok dari pintu pembatas, kemudian mengempaskan pantat ke lantai di sebelah Ivan.
Sedangkan Rama memilih berbaring telentang di atas karpet ruang tamu. Tangan kanan ditekuk hingga menutupi mata. Tangan kiri diletakkan di atas perut. Kakinya saling tumpang tindih. Berusaha mengatur napas yang masih tidak beraturan.
"Nyusul juga, Bang?" ledek Ivan pada Hasni yang baru tiba.
Pria berusia tiga puluh tahun itu tidak membalas ledekan Ivan. Melainkan langsung melangkah masuk ke dapur. Menuang minuman untuk dirinya sendiri, dan menenggaknya hingga habis. Kemudian dia melangkah kembali masuk ke kamar.
"Din, sepertinya kita harus ke rumah Ibu kos besok. Hal kayak gini nggak bisa dibiarin. Harus ada solusinya," ujarnya sembari duduk di pinggir tempat tidur, tepat di sebelah Tia.
Dinar yang sudah duduk itu pun mengangguk lemah. Sebagai penghuni paling lama, dia menjadi orang kepercayaan Ibu kos untuk mengelola tempat ini. Termasuk mengawasi asisten rumah tangga yang dipekerjakan di sini, Bi Ai.
"Yu, kami boleh kan nginap di sini? Takutnya Rima muncul lagi," ucap Hasni pelan. Dalam hati dia memang masih merasa takut. Namun rasa takut itu berusaha dia tekan agar teman-teman ceweknya ini tidak tambah panik.
"Iya, Bang. Boleh. Memang lebih baik begitu sih. Takutnya ...." Ayu tidak meneruskan ucapannya. Pandangannya menerawang menatap pintu yang terbuka.
"Van, tutup pintunya!" perintah Rama yang ternyata belum tidur.
Ivan bergerak menutup pintu sambil mengawasi sekitar. Lampu di lorong teras sudah menyala lagi. Hanya dua tempat yang terlihat gelap sekarang. Kamar bekas Rima dan kamar Triska.
Ayu bergerak menuju lemari, menarik beberapa bed cover dari bagian atas dan membentangkannya di ruang tamu dibantu oleh Tia.
Rama segera berpindah ke atas bed cover dan mencari posisi paling enak agar bisa tidur. Benaknya penuh dengan kelebatan momen bersama Rima dulu.
"Yu, ada mie instan, nggak?" tanya Ivan.
"Ada. Cari aja di lemari makan. Masak sendiri terus bekasnya juga dicuci sendiri, ya," jelas Ayu.
Ivan bangkit dan berdiri tegak, kemudian melangkahkan kaki menuju dapur. Membuka pintu lemari makan. Mengacak-acak isinya.
"Buatku satu, ya, Van," ucap Zein sambil melintas dan masuk ke kamar mandi.
"Iya," jawab Ivan. Tangannya mengambil lagi sebungkus mie dan mulai memasak untuk dirinya dan Zein.
Hasni melangkah ke ruang tamu, kemudian duduk menyandar ke dinding sembari memejamkan mata. Perlahan tubuhnya mulai melemah, dia pun merebahkan diri di dekat Rama yang sudah tertidur pulas.
Para perempuan juga sudah mapan di tempat masing-masing. Ayu memilih pindah ke kasur bawah agar Dinar bisa tidur di tempat tidur.
"Ayu" bisik Triska.
"Hmm?"
"Besok malam aku tidur di sini lagi, ya."
"Iya. Ayo sekarang kita tidur. Ada cowok-cowok yang jagain kita," ucap Ayu sambil menguap.
Tak berapa lama kemudian Ayu sudah terlelap. Tinggallah Triska yang masih menatap kosong pada langit-langit kamar.
"Ris, mau mie, nggak?" ujar Zein sambil mengacungkan mangkok di tangan kiri.
Triska bangun lagi, beringsut ke pinggir kasur, menggeser tubuhnya hingga duduk berdekatan dengan Zein dan Ivan.
"Nih," ujar Zein sambil menyodorkan sendok ke depan wajah Triska.
Ragu-ragu perempuan itu membuka mulutnya, namun setelah menikmati suapan pertama, rasa ragu itu lenyap. Berganti dengan desiran halus dalam dada. Sambil mengunyah dia beberapa kali beradu pandang dengan Zein yang tersenyum tipis.
Pria berambut cepak ini masih terlihat tampan walaupun sedang lelah.
Ivan memandangi kedua temannya itu sambil memutar bola mata. Ada rasa jengah melihat adegan romantis bak film tersebut.
"Udah, Bang. Cukup. Aku udah kenyang," ucap Triska menolak suapan terakhir Zein dan mendorong sendok dengan tangan kanan.
Zein mengangguk, kemudian melanjutkan makan hingga habis tak bersisa.
Triska bangkit berdiri dan melangkah menuju dapur. Menuangkan air untuk dirinya dan Zein. Kembali masuk ke kamar dan mengulurkan gelas buat Zein.
"Nuhun," ucap Zein singkat.
(Makasih)
"Buatku mana?" protes Ivan.
"Ini aja, kita bagi dua," jawab Triska sambil tersenyum.
Ivan mengambil gelas sambil mengoceh tak jelas. Makin kesal waktu melihat Zein dan Triska yang duduk berdekatan.
"Tidur, Ris!" ujarnya sambil mendelik.
Triska terkekeh pelan seraya mengangguk dan menuju kasur lantai. Merebahkan diri di samping Ayu yang sudah berlayar ke samudera mimpi.
Selesai makan Zein pun memilih untuk berbaring di ujung bed cover. Tepat menghadap ke jendela. Mulutnya bergumam doa sembari menempelkan telapak tangan ke dinding. Mencoba membuat pagar gaib dengan mengusap dinding dan menyalurkan tenaga dalam hasil olah napasnya selama beberapa tahun terakhir.
Ivan berbaring di sebelahnya. Menatap Zein sambil memiringkan tubuh.
"Lihat jelas nggak tadi?" bisik Ivan.
"Cuma bayangan samar. Wajahnya nggak jelas." Zein balas berbisik.
"Sama. Aku juga lihat begitu."
"Udah. Enggak usah diomongin lagi. Ayo kita tidur aja!"
Ivan berbaring telentang. Mencoba menutup mata dan tidur tapi ternyata sulit.
Telinganya mulai mendengar dengkuran yang lainnya. Tak lama kemudian dia mulai terlena. Terlelap dalam mimpi yang aneh.
***
Keesokan paginya semua bangun kesiangan. Dinar dan Afni yang masih merasa lemas akhirnya memutuskan untuk izin tidak masuk kantor. Sedangkan yang lain tetap berangkat bekerja walaupun terlambat.
"Af, ntar ke rumah Bu Wahyu habis Maghrib aja, ya. Biar bisa bareng sama yang lain," ucap Dinar sembari mengunyah makan siang yang mereka beli di warung nasi dekat kosan.
"Aku nggak ikut deh. Mau ke rumah sodaraku aja. Ngungsi," jawab Afni pelan. Dia memang sangat ketakutan. Tidak sanggup berada di sini lebih lama lagi.
Dinar terdiam sambil menatap Afni yang sedang memainkan sendok di atas piring.
"Kalo begini terus, aku juga mikir lebih baik pindah kosan," ujarnya. Menghela napas dan mengembuskan dengan cepat.
Setelah makan siang dan menunaikan salat Zuhur, mereka pun memutuskan untuk melanjutkan tidur di kamar Afni.
Suasana siang hari yang sepi membuat tidur mereka menjadi sangat pulas. Hingga tak menyadari hari mulai beranjak sore.
Dinar terbangun karena suara ketukan di pintu kamar Afni.Bergegas memakai jilbab dan melangkahkan kaki menuju pintu.
Mengintip sebentar lewat jendela, di depan kamar sudah ada Triska. Tangannya bergerak membuka pintu.
"Mbak," sapanya.
Dinar tertegun melihat Triska berdiri sambil menggendong seekor kucing berwarna abu belang hitam.
"Kucing siapa, Ris?" tanya Dinar sembari mulai mengelus kepala kucing yang mendengkur pelan.
"Kucing senior di klinik. Kasian, udah tua. Namanya Emak Chubie. Enggak ada yang mau adopsi. Sedangkan di klinik lagi banyak pasien wabah flu kucing. Daripada dia tertular, mending dibawa ke sini," jelas Triska.
"Ooo ... gitu. Iya, enggak apa-apa. Biar di sini aja. Lumayan ada tambahan penghuni," canda Dinar.
Triska tersenyum," Makasih, ya, Mbak."
Dinar mengangguk dan beranjak keluar kamar. Duduk di lantai teras sambil selonjoran. Triska ikut duduk di sebelahnya.
Mereka mengobrol tentang banyak hal. Tak lama kemudian Ayu dan Tia muncul. Disusul Zein dan Ivan. Sedangkan Rama dan Hasni baru pulang menjelang Magrib.
***
Dalam perjalanan ke rumah Bu Wahyu, pemilik kos, Dinar lebih banyak diam. Hanya sesekali ikut nimbrung dalam obrolan bersama Triska, Rama, Ivan dan Zein. Yang lainnya memilih tinggal di kosan.
Sesampainya di rumah Bu Wahyu ternyata beliau telah menunggu. Perempuan paruh baya itu tersenyum menyambut kedatangan anak-anak kos-annya.
Saat Dinar menyampaikan maksud kedatangan mereka, beliau sontak terperangah.
"Astagfirullahhaladzim! Kenapa jadi begitu, ya?" ucap beliau sembari menggeleng-geleng.
Sejenak suasana hening. Bu Wahyu mengelus dada berkali-kali sambil terus beristighfar.
"Jadi gimana, Bu? Apa boleh kami memanggil orang untuk meruqiah kamar bekas Rima?" tanya Rama.
"Iya, Nak. Boleh," jawab Bu Wahyu pelan. Pandangannya menerawang mengingat sosok Rima, gadis mungil yang ceria.
Setelah mengobrol basa basi akhirnya mereka pun berpamitan dan beranjak pulang.
Rama menyetir dengan pelan. Otaknya sibuk berpikir tentang langkah mereka ke depannya seperti apa.
"Aku mau ke Bogor. Ke rumah orang tua Rima. Ada yang mau ikut?" tanyanya.
"Untuk apa ke sana?" Dinar balik bertanya dari kursi belakang.
"Untuk menuntaskan misteri ini. Kenapa Rima muncul tiba-tiba. Di kosan pula. Kenapa nggak di rumahnya atau di kantornya dulu? Aku penasaran. Enggak bakal tenang kalo nggak tuntas!" jelas Rama.
"Kapan mau berangkat?" tanya Zein dari kursi sebelah Rama.
"Sabtu pagi. Senin sampai Rabu aku cuti. Sekalian dari Bogor nanti mau langsung ke Jakarta. Ada kerjaan di sana."
"Oke, aku ikut!" ujar Zein.
"Aku juga!" sahut Ivan dan Triska bersamaan.
Kemudian hening. Dinar masih menimbang-nimbang apakah akan ikut atau tidak. Namun, akhirnya kata hatinya lebih dominan. Dia memutuskan untuk mengikuti jejak teman-temannya.
"Oke. Aku juga ikut!" sahut Dinar.
🦉
Malam itu para perempuan melaksanakan salat Isya berjamaah di kamar Ayu. Afni sudah berangkat ke rumah saudaranya sejak habis Magrib tadi.
Tinggallah mereka berempat yang duduk bersila membentuk lingkaran di ruang tamu.
"Mbak, ceritain dong sosok Rima itu kayak apa. Aku penasaran!" ucap Triska sembari mengunyah pie susu yang tadi dibuatnya bersama Ayu.
Dinar menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Matanya terlihat menerawang. Berusaha mengingat kenangan tentang Rima.
"Rima itu mungil, tingginya sekitar 155 centimeter. Berat badan proporsional. Berkulit kuning langsat dan halus. Matanya besar dengan iris berwarna hitam. Bulu mata panjang tapi gak lentik. Hidung kecil gak terlalu mancung. Bibir tipis dan mungil. Ada pup lalat di dekat kuping sebelah kiri."
"Orangnya ramah dan ceria. Paling cepat akrab dengan siapa saja. Di sini dulu dia menjadi penghuni termuda. Otomatis jadi adik bagi semua penghuni."
"Dulu yang menempati kamar Tia itu namanya Hasan. Pria muda berumur dua puluh lima tahun. Sosok yang pemalu. Yang menempati kamar Triska dulu namanya Nani, orang Sumedang yang pelupa. Kelakuan konyolnya selalu jadi bahan candaan kami. Penghuni kamar Zein dulu namanya Yono. Pria asli Solo. Tutur bahasanya lembut dan sangat sopan. Paling rajin bersih-bersih. Penghuni kamar Ivan dulu namanya Karin. Perempuan cantik asli Manado. Gayanya yang centil membuatnya banyak penggemar. Hampir tiap minggu dia bergonta ganti pasangan."
"Nah, kalo penghuni kamar ini dulu namanya Amanda. Cewek cantik keturunan Tionghoa yang berasal dari Kalimantan. Kakak lelakinya, Ko Eric. Pria ini menaruh hati pada Rima, namun ditolak." Mendadak wajah Dinar terlihat aneh. Matanya mulai berembun.
Ayu yang duduk di sebelahnya menggosok punggung Dinar dengan lembut.
"Kalau suami Rima itu siapa?" tanya Tia.
"Calon suami. Mereka belum melaksanakan ijab kabul saat Rima terbunuh," ucap
Dinar sembari mengusap bulir bening yang luruh dari matanya.
Perlahan isak tangisnya semakin kencang. Ayu memeluknya dengan erat sembari menyeka air matanya sendiri. Tia dan Triska pun ikut menangis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Yun'@_Miu
like 👍
2021-08-04
0
maniak cogan
yang kuat ya dinar😢😢
2021-07-03
0
Cimutz
❤❤
2021-02-25
0