"Kami mengejar ke sini, waktu mau dibuka ternyata pintunya terkunci. Terpaksa kami dobrak karena Amanda terus menerus berteriak. Setelah berhasil didobrak kami pun masuk. Amanda terlihat duduk di lantai dapur, wajahnya seperti sedang marah. Tangannya menggenggam pisau." Raut wajah Rama semakin suram.
Sementara itu di luar Zein bergerak maju ke kamar Rima diikuti Ivan. Belum juga sampai tiba-tiba pintu kamar Rima terbuka dan terbanting dengan keras.
Blllaaammm!
"Ya, Rabb. Kuatkan kami," lirih Zein.
Dia menoleh ke belakang, Ivan mengangguk.
Perlahan mereka maju. Langkah kaki berhenti tepat di pintu kamar. Semua lampu yang menyala di dalam mulai berkedip-kedip lagi.
"Tunggu!" Terdengar teriakan dari depan kamar Ayu. Triska terlihat hendak keluar namun tangannya ditarik Rama.
"Jangan ke sini, Ris. Tetap di sana!" perintah Ivan sambil menoleh ke belakang.
"Tapi ...." Triska hendak berbicara namun tidak diteruskannya saat melihat Zein berbalik dan mengangkat kelima jari seakan menyuruhnya untuk diam. Triska akhirnya menurut dan tetap diam di tempatnya.
Rama berdiri di sebelahnya setelah sebelumnya menutup pintu. Mata Triska tak henti memandangi saat Zein dan Ivan melangkah masuk ke kamar Rima.
Ssrrreeekkk.
Brrruuukkk!
Bunyi kursi yang diseret dan dibenturkan ke dinding terdengar dari dalam kamar.
Dengan menahan rasa takut Ivan melangkah mengikuti Zein dari belakang.
Tangan Zein terlihat melakukan gerakan seakan mendorong sesuatu diiringi dengan embusan napas dari mulutnya.
Sesampainya di kamar suasana sangat sunyi dan mencekam. Bulu kuduk Ivan mulai berdiri. Hawa kamar terasa panas dan berat.
Tiba-tiba terdengar suara tangisan lirih seorang perempuan dari arah pojok kamar. Ivan menajamkan mata untuk melihat sosok Rima. Namun, dia tidak melihatnya sama sekali.
Sepasang mata yang memancarkan kesedihan menatap Zein dari sudut kamar. Bayangan samar itu perlahan terlihat semakin jelas.
Sesosok perempuan bergaun pengantin berwarna cempaka (broken white) itu menatap Zein lekat. Ada tetesan air mata di pipinya yang putih pucat.
"Kamu ... Rima?" tanya Zein pelan.
Ivan terperangah mendengar Zein berbicara dengan sosok yang tidak terlihat. Dia semakin maju hingga nyaris menempel di samping Zein yang masih berdiri tegak sambil menatap ujung kamar.
"Kamu, Rima, kan?" ulang Zein.
Sosok itu perlahan mengangguk.
"Kenapa muncul di sini?" tanya Zein lagi.
Namun, sosok itu hanya diam dan terus menangis.
"Pergilah, Rima. Kasihan teman-teman di sini. Mereka ketakutan," Zein terus berbicara pada sosok di depannya.
Tiba-tiba sosok itu berdiri dan menatap Zein tajam. Perlahan wajahnya berubah menyeramkan. Ada noda darah dari bagian perut yang semakin melebar hingga membasahi bagian bawah gaun pengantin. Buket bunga yang dipegangnya pun terjatuh. Kemudian sosok itu tiba-tiba menghilang seiring dengan munculnya kabut tipis.
***
Keesokan harinya, semua bangun kesiangan. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak bekerja pada hari itu.
Triska dan Ayu mempergunakan waktu luang tersebut untuk membereskan kamar Triska. Demikian juga Dinar dan Tia. Mereka sibuk membereskan kamar masing-masing.
Menjelang siang tiba-tiba Afni datang dan langsung membereskan barang-barangnya. Dua orang yang disewanya sibuk mengangkut perabotan ke atas mobil pick up.
"Teteh, mau pindah?" tanya Ayu.
"Iya. Kebetulan teman kosan sepupuku pindah kemarin. Jadi aku memutuskan untuk pindah ke sana. Sewa kosan ini juga cuma nyisa beberapa hari," jawab Afni sambil memasukkan barang-barangnya ke dus besar.
Ayu dan Triska bergerak membantu. Disusul dengan Dinar dan Tia. Para cowok ikut membantu mengangkut dus ke mobil. Dalam waktu kurang dari satu jam akhirnya semua barang sudah dipindahkan ke mobil.
Afni berpamitan ke semua penghuni. Memeluk para perempuan sembari menangis sedih.
"Main-main ke sini, ya, Af," pinta Dinar sambil mengusap air matanya dengan ujung jilbab.
"Iya, Mbak. Kutunggu juga kedatangan kalian di kosanku yang baru, ya. Enggak terlalu jauh dari sini," balas Afni.
Setelah acara perpisahan yang mengharukan, akhirnya Afni pun pergi dengan mengendarai motor matic miliknya mengikuti mobil pick up.
"Ris, pindah ke sini aja. Daripada kamu tetap di ujung situ!" ujar Ayu yang dibalas anggukan bersemangat Triska.
Sekali lagi para pria bekerja mengangkut perabotan milik Triska ke kamar bekas Afni. Sebelumnya Dinar sudah menghubungi Bu Wahyu untuk meminta izin dan langsung diizinkan oleh Bu Wahyu.
"Curiga nih. Habis ini Zein bakal bikin celah di dinding untuk keluar masuk dengan bebas ke sini," canda Ivan yang membuat Triska melotot.
Zein hanya tersenyum sembari meneruskan memasang tempat tidur yang tadi terpaksa mereka lepas rangkanya karena tidak muat masuk ke pintu kamar.
"Pesenin makan siang, dong. Laper nih!" tukas Rama yang duduk menyandar ke lemari.
"Mau makan apa?" tanya Triska sambil mengambil ponselnya.
"Mie ayam bakso sama jus mangga," jawab Rama dan Ayu berbarengan.
Saling melirik, sejurus kemudian mereka tertawa.
***
Saat yang dinantikan pun tiba. Pak ustaz Marwan akhirnya datang bersama Rizwar dan Aris. Keduanya adalah keponakan beliau.
Setelah salat Isya berjamaah, mereka mulai mengaji di taman didampingi keempat penghuni pria dan Hamid, anak tertua Bu Wahyu yang sudah hadir setelah Magrib.
Para penghuni perempuan bersama Elsa, istrinya Hamid memilih untuk berada di dalam kamar Ayu. Mereka juga turut mengaji.
Tak lama berselang beberapa lampu di rumah itu mulai berkedip kedip. Angin yang tiba-tiba berembus kencang menambah suasana kengerian saat itu.
Ustaz Marwan sepertinya tidak terpengaruh dengan gangguan itu, beliau tetap meneruskan mengaji dengan khusyu'. Yang lain pun akhirnya mengikuti langkah yang beliau lakukan.
Sesekali mata Zein menangkap sekelebat bayangan putih yang melintas di jendela bekas kamar Rima yang sengaja dibiarkan terbuka sejak pagi.
Hasni mulai merasakan ada hawa dingin yang aneh dari samping kiri. Dia yang duduk paling belakang mulai merinding. Tangannya bergerak mengusap tengkuk sambil tetap berusaha terus mengaji.
"Cukup sampai di sini dulu. Sekarang mari kita mencipratkan air doa ini ke setiap bagian rumah," ujar ustaz Marwan seraya bangkit berdiri sambil berpegangan pada Aris.
Yang lain pun mengikuti beliau sambil mengambil beberapa botol air minuman kemasa yang sudah dipersiapkan sejak tadi.
Ivan membuka tutup botol yang dia pegang kemudian menenggak isinya beberapa teguk. Rama dan Hasni pun melakukan hal yang sama.
Kemudian mereka semua mulai mencipratkan air ke sekeliling rumah hingga sampai ujung pekarangan.
Sementara itu para perempuan masih bertahan di dalam kamar. Triska sebetulnya ingin keluar, tapi dia berusaha memenuhi perintah ustaz tadi agar mereka tetap berada di kamar sampai semuanya selesai.
Triska mengintip dari balik jendela. Suasana di luar sangat sepi karena semua pria berada di luar rumah.
Tiba-tiba pandangannya bertemu dengan sepasang mata dari balik jendela kamar Rima.
"Astagfirullah!" pekik Triska sembari menutup mulutnya dengan tangan.
Dinar bergegas menarik tangan Triska untuk kembali duduk di lantai.
"Dibilangin diam malah ngintip!" omel Dinar pelan.
"Lihat apaan?" bisik Tia yang duduk di sebelah kanan Triska.
"Ada sepasang mata di balik jendela," Triska balas berbisik sambil bergidik ngeri.
"Abaikan! Jin memang suka menakut-nakuti manusia. Mengajak manusia untuk lebih mempercayai rasa takut. Padahal manusia itu sebetulnya punya kekuatan sendiri yang bisa membuat jin tidak berani mendekat," tegas Elsa sambil mengusap lengan Ayu yang merapatkan diri ke sebelahnya.
"Kekuatan apa, Teh?" tanya Triska. Dia terlihat sangat penasaran.
"Hawa tubuh manusia itu panas. Jin tidak berani mendekat karena takut hancur oleh panas itu. Beda halnya kalau manusia takut, hawa panas itu diserap oleh jin. Mereka tambah semangat untuk menakuti kita," jelas Elsa.
Triska bangkit lagi dan mengintip, sepasang mata itu sudah tidak ada. Dia menarik napas lega sembari mengusap-usap dada.
Sementara itu di luar rumah para pria sudah selesai menyipratkan air ke setiap penjuru. Angin kencang yang berembus tidak mereka pedulikan.
"Sudah selesai, Mang," ujar Rizwar dari sebelah kanan. Di sebelah kiri kelompok yang dipimpin Hamid pun sudah selesai.
Mereka berkumpul kembali di teras rumah.
"Ayo, kita masuk," ajak ustaz.
Yang lain manggut-manggut. Kemudian mereka melangkah masuk kembali ke dalam rumah dan duduk kembali di taman.
Elsa dan yang lainnya segera keluar dari kamar Ayu dan bergabung dengan para pria.
"Pengajian ini sebaiknya diadakan secara rutin. Selain untuk menjaga tempat ini dari gangguan setan, sekaligus juga mengirimkan doa buat almarhumah Rima dan kerabat kalian yang sudah wafat," nasehat ustaz sembari menikmati kue suguhan.
"Harus setiap hari atau bagaimana, Ustaz?" tanya Rama.
"Setiap malam Jumat boleh. Akan lebih bagus kalau setiap hari. Sebisanya kalian aja."
"Minggu depan bisa ke sini lagi, Ustaz?" tanya Hasni.
"InsyaAllah. Nanti ingatkan saya lagi, ya."
"Ustaz, setelah pencipratan air doa tadi, ada efeknya nggak ke kami?" tanya Zein.
"Biasanya udara akan terasa lebih panas selama beberapa hari. Tetapi nanti akan kembali lagi seperti biasa."
"Pantesan, dari tadi saya keringatan terus," ujar Zein seraya mengusap keringat di dahi.
Ustaz Marwan mengangguk, matanya tak lepas memandangi Zein. Dia bisa melihat aura yang kuat dari anak muda ini.
"Ini, Bang," Triska mengulurkan tisu ke Zein. Suitan Ivan membuat keduanya tersenyum malu.
"Udah atuh, Van. Digodain melulu. Dikepret Zein baru tau!" seloroh Rama. Tangannya menjitak kepala Ivan yang cengengesan.
Malam itu para perempuan masih tidur bareng di kamar Ayu. Sementara para pria menempati kamar masing-masing.
***
Hari Sabtu pagi semua sedang menikmati sarapan di taman. Sinar matahari pagi yang hangat membuat mereka merasa lebih sehat. Gelak tawa terdengar saat Ivan tak hentinya menggoda Bi Ai yang sering latah.
Perempuan paruh baya itu sampai duduk kelelahan dikerjai Ivan.
"Ivan! Berhenti atuh. Kasihan Bi Ai!" hardik Dinar.
"Tau tuh si Ivan. Ngerjain orang tua ntar kena karma lho!" tukas Tia sembari mengacungkan jari telunjuk ke wajah Ivan yang masih cengengesan.
"Atuh da lucu pisan latahnya," ujar Ivan membela diri.
"Neng Dinar, perginya berapa lama?" tanya Bi Ai. Tangannya mengipas-kipas wajahnya yang berkeringat dengan kertas bekas promo minimarket.
"Hari Selasa atau Rabu pulang, Bi," jawab Dinar sambil terus menyuap nasi uduk.
"Sepi atuh di sini."
"Bibi datangnya dua hari sekali aja. Kan cuma bersih-bersih."
Bi Ai mengangguk. Kemudian dia berdiri dan melanjutkan menjemur pakaian.
"Kalian berangkat jam berapa?" tanya Ayu pada Triska.
"Bentar lagi. Nunggu Mas Rama beres mandi," jawab Triska. Tangannya mencomot bakwan dan cabe rawit dari piring lebar.
"Kalian berangkat ke rumah saudaramu kapan?" tanya Dinar ke Ayu.
"Ntar siang. Sekalian minta antar sama Bang Hasni. Dia langsung berangkat ke Sumedang."
Rama keluar dari kamar dan berjalan mendekat. Duduk di undakan teras. Tangannya mengambil piring berisi nasi uduk yang diberikan Dinar.
"Zein, mana?" tanya Rama sambil mulai makan.
"Lagi beres-beres baju," jawab Triska.
"Punya kalian udah siap?"
"Udah, Mas," tunjuk Triska ke dua buah ransel di dekat pintu kamarnya.
Tak lama kemudian Zein keluar kamar sambil menenteng ransel dan tas kerja dan tali kamera digantung di leher.
"Kamu bawa laptop?" tanya Rama.
"Iya, mau beresin naskah novel kalo sempat," jawab Zein.
Sejenak hening. Yang terdengar hanya bunyi mesin cuci yang berputar.
"Bi, titip kunci kamar, ya," ujar Dinar.
"Iya, Neng. Nanti satuin aja sama kunci yang lainnya. Simpan di laci ini," tunjuk Bi Ai ke meja tempat nyetrika.
Setelah Rama selesai sarapan, mereka pun berpamitan pada Hasni dan yang lainnya.
Ivan masuk ke mobil milik Rama. Sedangkan Triska dan Dinar masuk ke mobil Zein.
Mereka berkendara dengan santai sambil menikmati pemandangan.
Sesampainya di kota Bogor mereka mampir dulu ke sebuah rumah makan untuk makan siang dan menunaikan salat Zuhur.
"Habis ini kita ke mall dulu, ya. Kan masuk ke hotelnya ntar jam tiga," ujar Ivan.
"Oke. Aku sekalian mau beli parcel buah buat keluarga Rima," jawab Dinar.
"Masih jauh kah rumahnya dari sini?" tanya Triska.
"Lumayan. Rumahnya kan di Kedunghalang."
"Kapan kita ke sana?" Kali ini Zein yang bertanya.
"Ba'da Magrib aja ya. Atau mau besok pagi?"
"Besok aja. Sekalian ziarah ke makam Rima," ucap Rama dengan wajah sedih.
***
Rencana ke mall cuma sebentar akhirnya menjadi lama karena Ivan mengajak mereka untuk nonton film di bioskop.
Setelahnya baru mereka berangkat ke hotel yang sudah dipesan Triska sejak beberapa hari yang lalu.
Sesampainya di hotel mereka segera mandi dan beristirahat.
"Mau ke mana?" tanya Dinar kepada Triska yang sedang merias wajah.
"Mau jalan lagi sama Abang. Mbak mau ikut?"
"Gak deh. Aku capek. Mau tidur aja."
"Mau nitip cemilan?"
"Ehm ... martabak keju susu, ya."
"Oke."
"Jangan terlalu malam pulangnya, Ris."
"Iya, Mbak. Tenang aja," jawab Triska seraya tersenyum.
Tok, tok, tok.
Terdengar bunyi pintu diketuk. Triska bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu. Membuka pintu dengan pelan agar tidak mengganggu Dinar yang sudah berbaring mapan di atas kasur.
"Udah siap?" tanya Zein dari balik pintu.
Triska mengangguk. Melangkah cepat mengambil tas di meja rias dan menyusul Zein yang sudah menjauh.
Triska berjalan pelan. Suasana di lorong hotel ini sepi. Namun di lobby dan restorannya ternyata banyak pengunjung lainnya.
Beberapa pasang mata pria mengikuti langkah kaki Triska ke tempat parkir. Penampilannya yang sederhana tidak menutupi kecantikan alaminya.
Zein sudah menunggu di dalam mobil. Triska pun langsung duduk di sebelahnya.
Zein menatapnya dari atas kepala hingga kaki sembari berdecak kagum.
"Apaan sih?" tanya Triska.
"Pantesan itu cowok-cowok pada ngelihatin kamu," jawab Zein.
"Emang kenapa?" Triska memandangi pakaiannya dengan bingung. Gaun berwarna lavender yang dikenakannya sangat sopan. Tidak ada bagian yang terbuka atau ketat.
"Warnanya cocok banget sama kulitmu yang putih. Jadi semakin terlihat glowing."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
🐝⃞⃟𝕾𝕳ᴹᵃˢDANA°𝐍𝐍᭄
sampai part ini masih belum di katahui ya kenapa rima masih gentayangan
2021-03-20
0
🐝⃞⃟𝕾𝕳ᴹᵃˢDANA°𝐍𝐍᭄
next thor
2021-03-19
2
Helni mutiara
lanjut tor...👍👍❤
2021-02-09
0