Amanda

"Kenapa, Bang?" tanya Triska lirih.

"Kenapa apanya?" Zein malah balik bertanya. Tangannya bergerak mengusap rambut dengan salah tingkah.

"Kenapa selalu diputus pas lagi ...." Triska tidak sanggup meneruskan omongannya karena rasa malu yang tiba-tiba muncul. Dia membuang muka dan melihat keluar kaca mobil.

"Aku harus bisa mengontrol diri, Sayang. Takutnya ... kebablasan," sahut Zein sambil menoleh ke arah Triska.

Tangannya terulur menyentuh bahu kekasihnya. Triska menoleh lagi ke arahnya dan nyaris menjerit karena Zein ternyata sedang menjulingkan mata.

"Abang! Ihh ... ihh!" rajuknya sembari memukul lengan pria yang sedang tertawa terbahak-bahak itu. Mungkin mereka puas telah mengerjainya.

Dering ponsel Zein membuyarkan acara pukul-pukulan itu. Zein meraih ponsel dari saku celana, melirik sebentar ke layarnya sebelum akhirnya mengangkat telepon.

"Ya, Mas?" sapa Zein.

"Udah nyampe mana?" tanya Rama dari seberang sana.

"Udah deket sih. Bentar lagi baru bisa jalan. Tadi kan hujan badai. Penglihatan jadi buram."

"Oke. Ditunggu."

Zein memutus sambungan telepon. Tangannya bergerak menyalakan mesin mobil. Perlahan mobil mundur dari tempat parkir minimarket dan mulai melaju membelah jalanan yang basah.

Hujan hanya tersisa gerimis sekarang, sehingga Zein bisa mengemudi dengan cepat.

Tidak berapa lama kemudian mereka pun tiba di rumah Karin.

"Lama amat sih? Curiga check in dulu di hotel terdekat," ledek Ivan sambil memutar tubuh Triska ke kanan dan ke kiri. Pura-pura mengecek apakah Triska sudah dikerjai oleh Zein.

"Nu gelo!" Triska menjitak kepala Ivan yang cengengesan.

"Disamain dengan dia kali!" sungut Zein sambil menarik tangan Triska menjauh dari Ivan.

"Jangan dekat-dekat pacarku, Van. Ntar dijadiin kripik baru tahu!" ancam Zein. Matanya pura-pura memelototi Ivan yang semakin tergelak.

"Aduh, senangnya kalo rame dan akrab gini. Jadi kangen tinggal di kosan," ujar Karin. Tangannya mengulurkan dua gelas sirup buat Zein dan Triska.

"Sekarang lebih rame, Karin. Nih biang ributnya!" tunjuk Rama pada Ivan yang disambut lemparan bantal sofa.

"Ehh, kalian nginap di sini kan?" pinta Karin.

"Enggak. Habis ini kami mau pulang. Sedangkan Mas Rama mau ke Jakarta," jawab Dinar yang baru muncul setelah menunaikan salat Zuhur di kamar tamu.

"Yahhh. Nginep dong! Aku masih pengen ngobrol. Udah lama kan kita gak ngumpul," pujuk Karin sambil memeluk Dinar.

Mereka berlima saling berpandangan sebelum akhirnya mengangguk. Karin melompat kegirangan seperti anak kecil.

***

Matahari sore mulai membiaskan cahaya jingga di langit yang mulai menggelap. Suasana sekitar kosan bu Wahyu terlihat sangat sepi.

Dua orang pemuda terlihat celingukan di depan pintu garasi. Salah satu dari mereka mengetuk pintu. Sedangkan yang satunya lagi menelepon ke nomor ponsel yang tertera di balik kaca jendela kosan.

"Maaf, Mbak. Saya mau nanya tentang kosan. Ada kamar yang kosong?" tanya pria yang tadi mengetuk pintu.

Sementara temannya berhenti menelepon dan menoleh ke jendela.

Di dalam sana seorang perempuan muda berjalan mendekati pintu. Namun, hanya memandangi mereka dengan wajah yang pucat pasi.

"Maaf, Mbak. Ada kamar kosong?" ulang pria yang mengetuk pintu.

"Dek, neangan saha'?" teriak seseorang dari belakang mereka.

(Dek, nyari siapa?)

"Nyari kosan, Bu," jawab Satya, pria yang mengetuk pintu.

Bi Ai berjalan mendekati kedua pria itu sembari tersenyum.

"Telepon aja ke nomor itu," tunjuknya ke kaca.

Wajahnya mendadak pias saat melihat sosok perempuan yang berdiri di dalam. Tiba-tiba tubuh Bi Ai rubuh dan jatuh ke lantai teras. Satya dan Chandra segera menahan tubuh wanita tua itu dan mendudukkannya ke kursi teras.

"Chan, lu cari bantuan gih. Gue bingung ini Ibu-ibu tiba-tiba pingsan begini," pinta Satya. Tangannya bergerak mengipasi wajah Bi Ai.

Chandra mengangguk dan segera berlari menuju warung yang tidak terlalu jauh dari tempat itu. Tak berapa lama kemudian dia kembali lagi dengan seorang Ibu tua dan dua orang pria tua yang merupakan pemilik dan pengunjung warung kopi tersebut.

"Kunaon, Bi Ai teh?" ujar Ibu pemilik warung.

(Kenapa dengan Bi Ai?"

"Gak tahu, Bu. Tadi Ibu ini ngelihat ke jendela, terus tiba-tiba pingsan," jelas Satya.

"Emangnya di dalam ada siapa? Kan penghuni kosan lagi pada pergi semua," tanya bapak tua berbaju hitam.

"Tadi di dalam ada mbak-mbak. Masih muda sih. Wajahnya pucat," jelas Satya.

Sontak ketiga orang dari warung itu saling berpandangan. Wajah mereka mulai memucat.

"Kenapa, Pak?" tanya Chandra yang keheranan melihat ketiganya terdiam.

"Oh, enggak. Enggak ada apa-apa," sahut bapak berbaju putih. Beliau tidak berani menceritakan tentang gosip yang beredar, bahwa belakangan ini kosan dihantui oleh penghuni lama yang telah meninggal dunia.

***

Keesokan harinya, Satya dan Chandra kembali lagi ke kosan. Mereka sudah janjian untuk bertemu dengan bu Wahyu, pemilik kosan.

Sekitar pukul 10 pagi Bu Wahyu tiba bersama Vera, anak bungsunya. Setelah obrolan berbasa-basi akhirnya mereka masuk ke dalam rumah yang sangat sepi tersebut.

"Kamar yang kosong ini ada dua. Harganya sama. Perabotan dibawa sendiri. Listrik, air dan gas sudah termasuk dalam harga. Begitu pula dengan cuci setrika. Di belakang ada dapur kecil. Tapi penghuni yang lain jarang pakai kompornya. Di sini boleh terima tamu maksimal sampai jam sepuluh malam. Semua dapat kunci pagar dan garasi sendiri-sendiri. Di sini warung nasi ada dua. Yang satu dekat warung kopi itu, satunya lagi dekat toko yang di ujung belokan depan," jelas Bu Wahyu.

Satya dan Chandra manggut-manggut. Mereka setuju dengan harga kosan yang terjangkau bagi kantong mereka. Untuk lebih hemat mereka menyewa satu kamar untuk berdua. Dan pilihan mereka jatuh pada kamar bekas Rima.

Sementara itu Zein dan teman-teman sedang dalam perjalanan menuju Bandung kembali. Kali ini mereka memutuskan untuk melewati jalur puncak yang lengang karena bukan penghujung minggu.

Mereka sempat mampir ke sebuah restoran untuk makan siang dan menunaikan salat Zuhur.

Sedangkan Rama melakukan perjalanan ke Jakarta sendirian. Sepanjang jalan dia terus berdzikir. Entah kenapa dari awal berangkat perasaannya sedikit tidak enak. Semakin jauh dari Bogor rasa tidak enak itu semakin terasa. Dia mencoba tetap tenang dan fokus menyetir.

Dia menyempatkan diri untuk mampir ke kontrakan milik sepupunya, Yudi di bilangan Jakarta Pusat.

Yudi yang kebetulan punya kemampuan untuk melihat mahluk tak kasat mata seperti halnya Zein, sontak kaget saat melihat sesosok mahluk yang ikut menumpang di mobil Rama.

"Mas, nhgak ngerasa aneh selama dalam perjalanan?" tanya Yudi sambil terus memperhatikan sosok yang masih duduk di jok tengah mobil Rama.

"Kerasa pundak agak berat sih. Terus merinding. Memangnya ada apa, Yud?" Rama bertanya balik sambil melihat arah pandangan Yudi.

"Ada perempuan yang ngikut di jok tengah. Pakai baju pengantin panjang gitu. Mukanya sedih banget," jelas Yudi.

Sontak Rama terperangah. Sekali lagi dia memperhatikan jok tengah, namun dia tetap tidak bisa melihat sosok itu.

"Bisa komunikasi sama dia?" tanya Rama.

"Aku coba. Apa yang mau disampaikan?" tanya Yudi sembari maju ke arah mobil yang terparkir di halaman kontrakannya.

"Tolong sampaikan ke dia, aku dan teman-teman lain akan berusaha mencari Eric. Minta dia agar bersabar karena pencarian ini tidak lah mudah."

"Dan tolong sampaikan juga, berhenti menakut-nakuti kami. Jangan mencoba masuk ke kamar Ayu. Karena Amanda sudah tidak lagi tinggal di sana," lanjut Rama sambil menahan rasa sesak dalam dada.

"Dan satu lagi. Aku ... sangat menyayanginya!" sambung Rama lagi sembari memandang jok tengah dengan sorot mata penuh kerinduan.

"Iya, Mas. Ada lagi?" tanya Yudi.

"Enggak ada," sahut Rama pelan.

"Mas, dia menangis!" ucap Yudi dengan wajah yang juga ikut sedih.

Sementara Rama mengusap bulir bening yang luruh dari sudut matanya.

"Mas sayang kamu, Rima," batinnya.

***

Hujan yang mengguyur kota Bandung sejak sore hari membuat penghuni kosan semakin malas bergerak. Mereka sudah mapan di tempat tidur masing-masing.

Selepas Magrib mereka dikejutkan dengan kedatangan Chandra dan Satya yang hendak pindahan.

Dinar dan yang lainnya saling beradu pandang saat melihat kedua saudara sepupu itu memasuki kamar bekas Rima.

Ivan, Zein dan juga Hasni turut membantu mengangkut barang-barang milik keduanya ke dalam kamar.

"Mas, di sini penghuninya ada berapa orang?" tanya Satya pada Ivan. Mereka sedang duduk selonjoran di teras depan kamar setelah beres pindahan.

"Jangan panggil mas. Aku masih muda," protes Ivan sambil nyengir.

"O iya, Mas ... ehh Ivan."

"Di sini ada delapan orang. Yang di pojok seberang itu kamarku. Sebelahnya itu kamar Mbak Dinar. Terus kamar Ayu. Zein dan Triska," jelas Ivan sambil menunjuk ke seberang.

"Nah, yang di sebelah ini kamar Tia. Sebelahnya lagi kamar Bang Hasni dan Mas Rama yang sekarang lagi ke Jakarta," sambung Ivan.

"Ooo gitu. Cuma delapan orang, ya. Terus mbak-mbak yang pakai baju putih panjang itu siapa? Enggak tinggal di sini?" tanya Satya lagi.

Sontak Ivan terkejut. Menatap Satya dengan mata membola. Kemudian dia memandangi Zein yang duduk tidak jauh darinya yang hanya tersenyum tipis sambil mengangkat bahu.

"Itu ... Rima. Dia sudah tidak tinggal di sini lagi," jelas Ivan. Dia bingung harus menjelaskan tentang Rima kepada Satya.

"Ooo begitu. Jadi wakru itu mbak Rima cuma lagi main ke sini ya?" tanya Satya lagi.

"Hmm ... Sat. Rima itu sudah meninggal." Akhirnya Zein yang menjelaskan.

Satya melongo. Sementara Chandra yang baru keluar dari kamar juga ikut terperangah.

"Ceritanya panjang. Kalian siap mendengarkan?" tanya Zein sambil menatap Satya dan Chandra bergantian.

Mereka berdua mengangguk mengiyakan. Duduk tegak bersila dengan wajah tegang.

Sementara itu di kamar Triska para penghuni perempuan sedang berkumpul sambil mengunyah roti unyil oleh-oleh khas Bogor.

"Jadi, Amanda dan keluarga juga menghilang?" tanya Tia yang duduk bersila di lantai sambil menyandar pada lemari.

"Iya. Tapi kemungkinan besar bisa ditemukan. Zein sudah menghubungi pamannya yang seorang perwira polisi di Riau, untuk mencari informasi tentang Amanda dan keluarga," jawab Dinar. Dia menghela napas dan mengembuskan cepat bila mengingat Amanda yang pernah kesurupan.

"Terus mencari Eric gimana?" tanya Ayu yang sedang memakan bolu rainbow.

"Itu dia masalahnya. Harapan kita cuma pada Amanda dan keluarga. Kalau mereka ditemukan, kemungkinan Eric juga bisa ditemukan," sahut Triska.

"Mbak Dinar, ceritain dong waktu Amanda kesurupan dulu itu," pinta Tia.

Dinar mengangguk. Matanya menerawang mengingat peristiwa yang terjadi hanya beda beberapa hari dari saat Rima wafat.

"Waktu itu aku lagi salat Isya. Terus terdengar teriakan dari kamar Amanda. Mas Rama dan yang lainnya mencoba membuka pintu kamarnya namun ternyata dikunci dari dalam."

"Akhirnya mereka memutuskan untuk mendobrak pintu. Setelah terbuka dan mereka masuk ke dalam, terlihat Amanda sedang duduk di lantai dapur sambil memegang pisau. Mas Rama langsung bergerak cepat merebut pisau dari tangan Amanda dibantu Mas Yono. Setelah berhasil merebut pisau Mas Rama segera menyuruhku membawa pisau jauh-jauh."

"Sementara itu Afni berlari keluar meminta bantuan warga yang biasa berkumpul di warung kopi di depan itu. Beberapa orang bergegas masuk ke sini dan membantu menenangkan Amanda. Akhirnya kami pun memanggil ustad yang biasa menjadi imam di masjid dekat sini."

"Setelah dibacakan doa dan diusapkan air ke wajahnya, akhirnya perlahan Amanda pun sadar dan menangis sesegukan. Dia bilang didatangi arwah Rima terus menerus hingga dia merasa sangat ketakutan."

"Sejak malam itu Amanda tidak mau lagi tidur di kamarnya. Beberapa hari kemudian dia pindah ke Jakarta, berhenti kerja dan kembali tinggal bersama kedua orang tuanya. Aku sempat berbalas chat di awal-awal dia pindah. Dia bilang, Rima masih sering datang namun tidak bisa masuk karena sekeliling rumah telah ditaburkan bubuk bidara. Dan di beberapa sudut rumah juga ada tempat pemujaan ala Kong Hu Chu. Menurut kepercayaan yang mereka anut, benda-benda pemujaan itu bisa mengusir roh jahat yang hendak mengganggu penghuni rumah."

Dinar menghentikan ceritanya saat mendengar langkah kaki mendekat. Dari arah luar tiba-tiba kepala Ivan muncul.

"Beuhhh. Lagi pada makan tapi nggak ngajak-ngajak," protes Ivan sambil melangkah masuk ke kamar. Di belakangnya Zein dan dua penghuni baru ikut menyusul. Sedangkan Hasni terlihat sedang menerima telepon di depan kamarnya.

"Sini masuk, Satya dan Chandra. Kita kumpul bareng," ajak Triska dengan ramah.

Tangannya mengulurkan kotak kue ke depan kedua penghuni baru tersebut.

"Yang, suapin!" pinta Zein dengan manja sambil duduk di sebelah Triska yang tersenyum menyambutnya.

"Huuuuuu!" ledek Ivan dengan wajah sebal. Sementara yang lain hanya tertawa melihat gaya Ivan yang merengut kesal.

Sementara itu di pohon mangga depan rumah seorang perempuan terlihat duduk di bawahnya.

Tatapannya menatap lurus ke arah rumah. Perlahan dia menangis sedih. Semakin lama semakin kencang hingga terdengar ke dalam kamar Triska.

Sontak mereka semua saling berpandangan dalam diam. Zein menutup mata dan mencoba melihat keluar dengan menggunakan mata batinnya.

Sementara para perempuan saling merapatkan diri sambil membaca doa-doa yang telah diajarkan ustaz yang berkunjung minggu lalu.

Hasni berdiri mematung di depan jendela yang mengarah keluar. Menatap tajam pada sosok perempuan yang sedang menangis itu dengan hati yang tersayat.

Satya melangkah mendekati jendela kamar Triska yang menghadap keluar. Di sebelahnya Zein telah lebih dulu membuka gorden dan melihat keluar.

Terpopuler

Comments

Sisillianovitasari Sisil

Sisillianovitasari Sisil

ceritany serem tpi bkin greget gmes2 gmn gtu klo lg pas moment si zein sma triska..uhuuyyy

2020-12-06

6

Dhiendha Ndutz

Dhiendha Ndutz

aq penasaran apa hubungan antara Rima, Amanda, am Eric

2020-04-29

8

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!