Si Potty..

Selang beberapa menit kemudian. Si Kunti pun datang kembali dan ngasih baju kebesaran Pocong.

“Pakai nih, baju kebesaran Pocong," Ucap si poli.

“Gue masih hidup!”

"Susah banget di bilangin nya. Loe itu sudah mati. Loe sekarang sudah jadi bagian dari kita-kita,"

"Kalau memang gue sudah mati, lebih baik gue seperti ini. Bebas bergerak dan gue juga bisa ngupil. Coba kalau pocong, bisa ngupil enggak?" Gertak gue.

"Iya bos, benar apa kata dia, gue aja kalau ngupil minta bantuan sama si Kunti," Ujar si Betty anak buahnya si Poli.

"Iya juga, ya. Tapi, tetap aja, setiap penghuni yang tiba di komplek ini, harus jadi Pocong!" Ujar Poli. Karena kesal, gue pun langsung pergi ninggalin mereka.

“Potty, ikutin dia." 

“Oke, Bos!”

Saat itu malam terasa dingin, badan gue juga terasa gatal-gatal. Rasanya ingin banget mandi.

Di saat gue lagi jalan di salah satu gang, gue melihat ada Sundel Bolong yang sedang asyik merokok di bawah pohon nangka. Baru kali ini gue melihat Sundel Bolong. Karena, saking takutnya, gue pun langsung pergi ninggalin si Sundel bolong itu dengan tergesa-gesa.

“Setan kok, takut setan," Ujar sundel bolong.

Baru hari pertama mati sudah seperti ini. Malam itu gue sangat lapar dan kebetulan saat itu ada tukang nasi goreng keliling.

“Bang, nasi gorengnya dong,” Namun, bukannya di buatin pesanannya, tukang nasi goreng itu malah ketakutan dan pergi gitu aja ninggalin gerobaknya.

“Setaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan,” Teriak tukang nasi goreng.

Sekarang gue ngerti, kenapa tukang nasi goreng itu ketakutan. Berarti benar, gue sudah mati.

Gue terus jalan menyusuri jalan komplek.

Malam itu gue melihat ada seorang lelaki sendirian sedang duduk santai di pos ronda. Sepertinya lagi banyak masalah. Dari jauh gue perhatikan dia hanya nunduk aja.

“Malam-malam gini berani banget tuh orang. Pasti lagi banyak masalah," Gue pun langsung menghampirinya.

"Sendiri aja bang?" Tanya gue. Lelaki itu hanya menunduk.

"Iya, bang. Saya lagi ada masalah sama istri,"

"Masalah apa, Bang?" Lelaki itu hanya menunduk terus.

"Istri saya tega benar, saya lagi enak-enak tidur, kepala saya di pukul sama palu. Wajah saya sampai hancur," Lelaki tu memperlihatkan wajahnya dan benar, sebagian wajahnya hancur.

“Setaaaaaaaaaaaaaaaaaann!!!” Teriak gue lari ketakutan.

“Setan kok, takut setan!" Ucap setan muka hancur.

Karena lelah, gue pun istirahat sejenak di bangku taman komplek. Baru aja gue duduk. 

“Gimana, enak gak jadi setan?”

“Loe lagi, mau loe apa sih, cong?” Tanya gue kesal.

"Gue punya nama,"

"Siapa nama loe?''

"Gue Potty. Sudah, gabung aja sama gue jadi pocong, pasti gak akan nyesel, ada dana pensiunnya kok!”

“Masa?”

“Pocong juga cari nafkah untuk keluarga."

Baru kali ini gue tahu kalau Pocong punya keluarga. Apa memang benar, Pocong itu mantan manusia yang bisa menghasilkan keturunan.

“Gimana, mau gak?”

“Lebih baik gue seperti ini, jadi setan. Masih bisa bebas bergerak,"

“Jadi Pocong itu gak sesusah yang loe bayangin, tinggal lompat-lompat aja,"

"Justru itu, lompat lompat itu capek!"

"Gue kasih tahu ya. Derajat pocong itu lebih tinggi dari pada setan,"

"Eh Cong, yang namanya setan atau pun pocong itu sama aja, setan-setan juga,"

"Beda lah, Pocong itu kasta tertinggi di dunia Persetanan, sedangkan setan ada di kasta yang paling bawah," Jelas si Potty.

“Terserah Loe aja, Cong,"

"Loe serius nih, gak mau jadi Pocong, kan alamat Loe sekarang tinggal di komplek Pocong," Jelas si Potty. Gue pun semakin BT sama Pocong yang satu ini. Rasanya ingin gue tendang aja. Tapi, gue kasihan. Soalnya, Pocong kan termasuk setan yang teraniaya. Lihat aja, badannya aja di bungkus dan jalannya pun harus lompat, benar-benar teraniaya.

"Ya sudah kalau itu keputusan loe, gue mau laporan dulu ke bos gue,"

"Terserah loe, Cong," Jelas gue kesal. Dan entah kenapa saat itu gue jadi keinget sama si Rahel.

“Gue kangen banget sama loe, Hel,” Gue merasa seperti sayur tanpa garam, hambar banget. 

Malam itu gue pun mutusin untuk melihat keadaan si Rahel.

Sesampainya di rumahnya. Rasa sedih semakin menyelimuti hati gue.

Seandainya waktu bisa dapat di putar kembali.

Di saat gue mau masuk ke rumah si Rahel gue merasa ada yang aneh.

"Gue kan setan. Tapi, kenapa gue gak bisa nembus benda padat, ya,"

Gue pun mutusin untuk manjat gerbang. Tapi, sial. Ada tiga warga yang lagi ronda bisa melihat gue. Alhasil, gue di sangka maling.

“Maling, maling!" Teriak warga. Seketika gue langsung lompat dari atas pagar. Naas nya, gue ketangkap dan langsung dapat bogeman mentah, yang bisa gue lakuin hanya merintih kesakitan.

“Tunggu dulu deh, kayaknya gue kenal sama ini orang. Loe kan Dika yang sering main ke rumahnya Pak Warno?"

"Iya pak, saya Dika,"

"Emang dia siapa pak Rohim?"

"Sudah, sudah, jangan di pukuli lagi, kasihan. Saya kenal dia, dia namanya Dika, gebetannya si Rahel. Kemarin kan dia meninggal dunia,"

Ketiga warga itu pun mulai sadar. Dan saling bertatap muka.

"Setaaaaaaaan.” Teriak warga ketakutan dan Langsung pergi dengan tergesa-gesa.

Malam itu gue benar-benar gak tahu lagi tujuan hidup gue mau di bawa kemana.

Dalam gelapnya malam gue terus menelusuri jalan. Dan seketika gue melihat ada anak kecil yang sedang menangis di pinggir jalan komplek.

"Kamu kenapa nangis, Dek?"

“Saya tersesat om,” Tapi, anehnya dia gak takut sama gue. Gue kan setan.

“Ya sudah, biar Kakak antar kamu pulang,"

"Om serius mau antar saya pulang?"

"Iya, Dek!"

"Makasih ya, Om!"

Setelah berjam-jam mencari rumah anak itu. hasilnya pun nihil. Tiap blok komplek sudah gue telusuri. Gue pun sudah mulai menyerah. Namun, tiba-tiba.

“Gender?"

“Ibu!"

“Kamu kemana aja, ibu benar-benar panik nyariin Gender,"

“Tadi, Gender habis main, Bu. Tapi Gender, terlalu jauh mainnya, jadi gak tahu arah pulang, untung ada Kakak ini yang mau ngantar Gender pulang,"

“Makasih ya, Om. Sudah mau antar anak saya pulang,"

“Sama sama, Bu,"

“Rumah kami dekat di ujung sana, mampir saja dulu ya,"

“Gimana, ya," Gue bingung banget, gue kan setan. Kok, mereka gak sadar.

“Mampir ya, Kak,"

Malam itu gue mutusin untuk mampir kerumah mereka. Dan gue di sambut hangat sama keluarga nya, gue juga sempat di kasih makan. Karena, takut mengganggu waktu mereka, setelah kenyang, gue pun mutusin untuk pulang.

"Makasih ya, Bu. sudah mau menerima saya,"

"Justru saya yang harus berterima kasih, karena kebaikan om, anak saya bisa pulang,"

Gue pun langsung pamit pergi. Namun, sesampainya gue didepan pintu rumah. Gue kesandung sesuatu sampai terjatuh, pas gue bangun. Ternyata, gue sudah berada di bawah pohon beringin yang sangat besar.

“Jangan-jangan, gender. Genderuwo?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!