🍀🍀🍀🍀 Maaf, cerita Tomy memang tidak selamanya lucu. Btw ada yang menyangka tidak, sebenarnya novel ini sudah sekitar 35.000 kata. Nah, jumlah episode 19, biasanya satu episode novel yang lain, rata-rata 1000 kata perchapter.
Dalam artian 19 episode yang kalian baca, sama dengan 35 episode novel lain. Karena satu episode yang aku buat 1500-2500 kata.
Jadi jika ada yang merasa baca satu episode ngos-ngosan, atau terasa jenuh. Aku akan memotong satu episode menjadi dua. Tuliskan di kolom komentar, apa tiap chapter terlalu panjang?🍀🍀🍀🍀
🍀🍀🍀🍀 Happy Reading 🍀🍀🍀🍀
Vincent menghela napas kasar, menjemput putrinya, menatap gadis kecil itu menunduk, berjalan menghampirinya.
"Gea," Vincent tersenyum, mengelus rambut putrinya. Namun sejenak, pria itu membulatkan mata, meraba tubuh kecil Gea yang panas.
"Kamu sakit? Badanmu panas," ucapnya panik.
"Bunda..." Gea menangis menitikkan air matanya, memeluk tubuh ayahnya erat.
Berusaha tidak menemui Frea beberapa hari ini. Mungkin egois, dirinya tetap menginginkan Frea menjadi ibunya. Tidak dapat menerima, ayahnya tidak dapat bersama dengan Frea.
"Kita ke dokter ya!?" ucap Vincent menggendong tubuh putrinya ke dalam mobil.
***
Beberapa hari berlalu, demam Gea belum kunjung turun juga. Hingga akhirnya dirawat di rumah sakit. Tangan kecil itu, terhubung jarum infus, matanya menatap ke arah luar jendela.
"Makan ya?" Lidia (ibu Vincent) mencoba menyuapi cucunya. Gea menutup mulutnya, menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bunda..." ucapnya lirih, namun tidak dapat meminta bertemu dengan Frea, setetes air matanya mengalir, melalui pelipisnya, hingga bermuara di rambut hitamnya.
Bibirnya memutih, wajahnya memucat, tubuhnya nampak sedikit lebih kurus. Wajah ceria anak itu tidak ada lagi, bagaikan kehilangan semangat hidupnya.
Lidia meletakkan piringnya di meja, sebelah tempat tidur pasien,"Vincent?" tanyanya seolah bertanya tentang kata bunda yang keluar dari mulut Gea.
"Aku menemukan Frea. Gea menyukainya, menganggap Frea ibunya..." ucapnya Vincent menghela napas kasar.
"Lalu? Kenapa masih disini saja!! Jemput dia, mintalah maaf, kalian saling menyukai bukan!?" ucap Lidia meninggikan intonasi suaranya.
Vincent menggelengkan kepalanya,"Tidak bisa, Frea menikah satu bulan yang lalu. Sebelum kami kembali bertemu..."
Lidia menghela napasnya, menatap wajah putranya yang tertunduk,"Apa kamu masih mencintainya? Tidak, ibu ganti pertanyaannya, apa dia masih mencintaimu?" tanyanya.
"Tidak tau, dia terlihat menyayangi suaminya. Tapi disisi lain, dia memberikan kasih sayang seperti seorang ibu pada Gea," jawab Vincent masih tertunduk.
Lidia memijit pelipisnya sendiri,"Hubungi Frea, saat ini kesembuhan Gea lebih penting,"
***
Sementara itu di tempat lain, lilin-lilin indah berjejer. Lampion berbentuk teratai diapungkannya, berharap rumah besar di tempatnya berdiri saat ini akan segera dihuni istri dan anak-anaknya.
Rumah yang indah, dengan kebun pribadi, dilengkapi kolam renang, serta area bermain anak-anak. Beberapa pelayan sudah direkrutnya untuk rumah yang baru rampung dua bulan yang lalu. Rumah mewah yang luas bagaikan istana, dengan banyak kamar dan lorong. Pemandangan halaman yang indah.
"Tuan..." seorang pelayan menunduk, memberi hormat.
"Hidangan sudah, pemusik sudah, kamar utama sudah ditaburi kelopak bunga," Tomy menghela napas kasar, mundar-mandir berfikir apa yang kurang.
"Apa kapal Ferry-ku sudah di pelabuhan?" tanyanya memastikan.
"Sudah, berlayar selama seminggu, rute mengelilingi beberapa objek wisata di pulau lain. Kamar, alat selam, bahkan tujuan, semua sudah diatur sesuai keinginan anda," jawab sang pelayan menunduk.
"Bagus, rumah ini akan segera dipenuhi anak-anak yang manis," ucapnya tersenyum.
Dipenuhi anak-anak? Meja makan luas dengan banyak kursi, sudah dipersiapkannya. Tomy tidak ingin hidup seorang diri lagi, membangun keluarganya perlahan. Jemari tangannya menyentuh kolam renang yang telah berhiaskan lampion.
Candle like dinner, kamar utama, bulan madu mereka yang tertunda, semua sudah dipersiapkan olehnya. Selepas Frea telah mencintainya atau belum, dirinya hanya ingin Frea tersenyum, saat masih belajar mencintainya.
***
Sayang? Panggilan yang sudah biasa bagi Frea saat ini, tidak terasa canggung lagi. Tersenyum-senyum sendiri membaca pesan dari suaminya.
'Sayang, kita makan malam di luar. Ada sesuatu yang ingin aku katakan'
Itulah isi pesan dari suaminya. Frea tersenyum penuh semangat, seakan tidak sabar menunggu matahari terbenam.
***
Makeup tipis rambut digerai tertata rapi, memakai pakaian kasual tidak terlihat memiliki perbedaan usia dengan suaminya. Frea tersenyum menatap ke arah cermin, selepas apapun pekerjaan suaminya, atau berapapun perbedaan usia mereka.
Namun, hatinya telah sepenuhnya luluh, tinggal bersama selama sebulan, memegang janji pernikahan mereka, berusaha mencintai Tomy.
Frea mulai berjalan keluar dari salah satu tokonya. Menunggu kedatangan Tomy, dengan wajah berseri-seri bagaikan anak SMU yang baru pertama kali pacaran.
Sejenak terdiam, handphonenya berbunyi,"Vincent?" gumamannya menatap nama pemanggil. Frea mengenyitkan keningnya, mulai mengangkat.
"Halo..." ucapnya.
"Halo, Frea? Ini aku, bisa ke rumah sakit menemui Gea?" tanya Vincent terdengar ragu.
"Gea sakit?" cemas, begitulah perasaan Frea saat ini. Sudah menganggap Gea bagaikan putrinya sendiri.
"Iya, badannya seminggu ini panas. Dia ingin bertemu denganmu," jawabnya.
"Rumah sakit mana?" ucap Frea seolah melupakan janjinya dengan suaminya.
"Cipta Sejahtera, ruang Mawar nomor 5," Vincent menghela napas kasar, tidak memiliki cara lain. Selain menghubungi Frea.
"Aku akan segera kesana," Frea mematikan panggilannya, berjalan menuju pangkalan ojek di dekat sana.
***
Frea melangkah dengan cepat, seolah dirinyalah ibu dari Gea. Berjalan melewati beberapa lorong, setelah bertanya pada resepsionis. Dengan ragu, mengetuk pintu memasuki ruangan.
Lidia dan Vincent berdiri disana, pipi chubby anak yang tengah terbaring bagaikan tergerus. Kini semakin kurus saja dengan wajah pucatnya,"Bunda..." ucapnya lirih berusaha tersenyum.
Frea berjalan, memeluk Gea erat,"Kenapa bisa begini?" tanyanya menangis lirih.
"Gea tidak mau makan dan minum obat," Vincent menghela napas kasar.
"Gea sayang, makan ya? Kalau Gea cepat sembuh, nanti bisa bermain dengan bunda di toko lagi..." ucap Frea, menyeka air matanya meraih piring di atas meja. Gea mengangguk, mulai duduk meminum air, mulutnya terbuka kala Frea menyuapinya.
"Pahit..." ucapnya tersenyum dengan bibir putihnya. Namun tetap memaksakan diri memakan suapan berikutnya.
Wajah hangat seorang ibu, kembali dilihat sang anak. Anak yang bahkan tidak mengetahui senyuman ibunya yang meninggal saat melahirkannya. Menatap wajah Frea yang menyayanginya dengan tulus.
Tangannya yang masih terhubung jarum infus terangkat, membelai pipi Frea,"Bunda..." ucapnya kembali, seolah tidak percaya, menganggap semuanya mimpi. Menatap wajah wanita yang dianggapnya sebagai ibu menyuapinya.
"Makan yang banyak, supaya cepat sembuh..." Frea tersenyum lembut, membelai rambut Gea. Anak itu mengangguk mengiyakan.
***
Penampilan yang sempurna, dianggap sebagai gigolo? Tidak lagi, bahkan jika Frea tidak percaya, Tomy akan membawanya ke kantor JH Corporation.
Memakai setelan putih, wajahnya nampak tersenyum, membawa buket bunga diletakkan di kursi sampingnya. Hingga akhirnya mobilnya terhenti tepat di depan toko.
"Frea..." panggilannya membuka pintu depan.
"Bu Frea, keluar dari tiga puluh menit yang lalu," ucap seorang pegawai, menatap kedatangan suami bos-nya.
Tomy menghela napas, mengira istrinya menunggu di apartemen. Mobilnya mulai melaju, bersenandung sendiri penuh kebahagiaan.
***
Lift apartemen dinaikinya, menekan lantai tempatnya tinggal satu bulan ini. Melangkah perlahan, penuh senyuman. Menekan kode akses.
"Kejutan..." ucapnya, namun apartemen nampak kosong.
"Frea...? Frea....? Frea...?" Panggilannya, menelusuri seluruh ruangan, termasuk kamar mandi, namun hasilnya nihil.
Tomy mulai memasang earphone di telinganya, berjalan dengan cepat berusaha menghubungi Frea. Mobilnya mulai melaju meninggalkan parkiran. Namun berkali-kali menghubungi, sembari menyetir, panggilannya belum diangkat juga. Melajukan mobilnya penuh kecemasan, mencari keberadaan Frea. Tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada istrinya.
***
Handphone yang hanya terpasang mode getar, diletakkan di dalam tas. Phonecell itu bergerak, bercahaya, tanpa ada yang menyadarinya.
Frea tersenyum, menyuapi obat pada anak yang membalas senyuman tulusnya. "Bunda, aku ingin, bunda membacakan cerita," ucapnya menyodorkan buku cerita anak-anak.
"Frea kelelahan, biar ayah saja ya?" Vincent menawarkan dirinya, sembari tersenyum.
"Tidak mau, ayah akan menceritakan buku tentang petualangan. Aku ingin tentang putri!!" ucapnya merajuk.
"Bagaimana jika tentang kesatria naga..." Vincent tidak menyerah, menyodorkan buku dengan sampul naga.
"Tidak mau, bunda, aku ingin tentang putri. Ayahku hanya tau cerita bertempur menggunakan pedang," Gea berucap penuh kekesalan.
"Sering bercerita tentang bertempur menggunakan pedang. Mungkin pedangnya sendiri sudah berkarat karena tidak pernah digunakan bertempur lagi..." Lidia berucap dengan suara kecil, menipiskan bibir menahan tawanya. Mengingat, semenjak terakhir kali ketahuan berhubungan dengan Dona, putranya bagaikan jera, tidak pernah dekat dengan wanita lagi.
"Ibu bilang apa?" Vincent mengenyitkan keningnya.
"Tidak, kalian urus Gea, ibu pergi dulu," ucapnya menahan tawanya. Namun sekitar dua langkah, tiba-tiba langkahnya terhenti.
"Frea, bibi dengar kamu sudah menikah. Berapa lama kalian menjalani hubungan sebelum akhirnya menikah?" tanyanya.
"Kami langsung menikah, tanpa sempat pacaran..." jawab Frea jujur.
Lidia menghela napasnya, "Frea, kalian belum saling mengenal. Mungkin saat pertama kali mengenalnya, melihat penampilan fisik kamu menyukainya,"
"Tapi lambat laun, mengenal karakter aslinya, atau jika dia tidak dapat menerima kekurangan dan kelebihanmu, rasa suka akan memudar. Sesuatu yang berjalan tanpa landasan akan sulit bertahan. Karena itu, tanyakan pada dirimu, apa kamu mencintainya atau sekedar rasa suka?" tanyanya, memberikan nasehat.
"Aku sudah menikah dengannya, karena itu harusnya aku mencintainya," jawab Frea tegas.
Namun, wajahnya tertunduk. Ragu? Iya, dirinya ragu, mendengar kata-kata Lidia. Apa karena wajah Tomy yang rupawan hatinya berdebar? Atau karena memang mencintainya?
Rasa takut akan perceraian kembali menghinggapinya, mengingat kedua orang tuanya yang menikah cukup lama, bercerai meninggalkannya seorang diri.
Menunda untuk mempunyai seorang anak, mungkin lebih baik. Tidak ingin, jika suatu hari nanti Tomy jenuh dengannya, anak malang hasil pernikahan mereka, akan bernasib sepertinya menjadi korban perceraian kedua orangtuanya.
Menginginkan seorang anak, namun takut untuk memilikinya.
Sejenak Frea menghela napasnya, berjalan mengambil handphone, mengingat janjinya untuk makan malam bersama dengan suaminya.
Belasan panggilan tidak terjawab terlihat di layar phonecell, dengan nama pemanggil Tomy. Frea mulai menghubunginya, panggilan segera tersambung, seolah orang yang dihubunginya juga tengah menunggu panggilan darinya.
"Halo, Sayang kamu dimana?" tanyanya.
Tangan Frea mengepal, berbohong menjadi pilihannya. Tidak ingin suaminya memendam rasa sakitnya lagi, jika mengetahui dirinya membatalkan janji untuk menemui Vincent, tepatnya menemui Gea.
"Aku sedang ada di tempat pelatihan judo, ada murid yang meminta bantuan ku melatihnya. Murid yang akan mengikuti kompetisi," dustanya, berharap Tomy akan percaya. Melirik kearah Vincent dan Gea yang tengah tertawa bersama bermain ular tangga.
"Apa kamu bisa datang malam ini? Apa kita jadi makan malam? Tidak akan lama, aku janji," tanyanya dengan nada ceria.
"Maaf, lain kali saja ya? Aku akan pulang larut," ucapnya melihat Gea yang belum tertidur juga.
"Tidak apa-apa, aku akan menunggu. Jam berapapun kamu pulang aku akan tetap menunggu," suara antusias yang terdengar benar-benar ceria.
"Jangan menunggu, makan malamlah duluan. Aku akan makan diluar..." Frea menghela napas kasar, tidak ingin merasa bersalah lebih banyak lagi, jika membiarkan Tomy menunggunya.
"Makanlah yang banyak, jangan lupa pulang. Aku mencintaimu..." kata-kata manis yang terdengar dari mulut Tomy, mematikan panggilannya tanpa menunggu jawaban.
Namun, apa benar nada suara antusias yang ceria itu sesuai dengan kenyataan? Tomy menonggakkan kepalanya, menatap ke arah bintang yang bersinar di atas tempat parkir yang luas.
Tempat parkir pelatihan judo, itulah tempatnya berdiri saat ini. Tubuhnya menyender di mobil berjongkok mulai menitikkan air matanya ketakutan.
Takut? Apa dirinya dapat merasa takut? Tentu saja, Tomy sudah berkeliling area pelatihan judo. Namun bayangan istrinya sama sekali tidak terlihat.
Suara tawa Vincent didengarnya samar-samar, di sela panggilan istrinya. Berbohong? Frea berbohong padanya, mungkin lebih mencintai pria lain.
Dirinya saat ini ketakutan, ketakutan kembali hidup sendiri, setelah sebulan ini ada yang menemani hari-harinya. Tomy menghela napasnya, kembali memasuki mobil.
Melajukan mobilnya kembali ke apartemen.
***
Pintu dibukanya, ruangan kosong itu terlihat lagi. Sama seperti 17 tahun yang lalu saat ibunya meninggalkannya, untuk hidup bahagia tanpanya.
Frea cepat atau lambat mungkin juga akan mengejar kebahagiaannya. Meninggalkan dirinya seorang diri. Tempat bahagia, dimana dirinya hanya akan menjadi penghalang kebahagiaan istrinya.
Kompor mulai dinyalakannya, terdiam tanpa ekspresi, dua bungkus mie instan dibuatnya. Disajikan dalam dua mangkuk yang berbeda.
Kursi kosong yang biasa di duduki Frea mulai diletakkan salah satu mangkuk mie. Satu mangkuk lainnya, mulai dimakannya, tersenyum menitikkan air matanya, menatap kursi yang kosong.
Siapa yang menduga anak korban kekerasan yang tidak mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya, memiliki rasa trauma yang mendalam.
Jemari tangannya yang memegang sendok gemetaran, "Frea akan pulang..." gumamannya, dengan bulir air mata yang menetes.
Hujan deras mengguyur, lampion yang mengapung di atas kolam mulai mati, para musisi berkemas berteduh, meja yang dihias indah dengan ratusan lilin mengiringi jalannya. Hampir semua lilin mulai padam. Meja dan dua buah kursi telah basah.
Salah satu pelayan rumah besar yang dimiliki Tomy, mulai menghubungi majikannya,"Tuan, apa perlu acara makan malam saya pindahkan ke dalam ruangan?" tanyanya segera setelah panggilannya diangkat.
"Tidak, biarkan saja. Persilakan musisi untuk pulang, kalian (pelayan rumah) istirahatlah..." ucapnya, mematikan panggilannya.
Setelah tiga suapan, Tomy segera bangkit, membuang dua makhluk mie instan kedalam wastafel. Meletakkan kedua mangkuk kotor begitu saja, mungkin sudah terlalu lelah baginya. Terdiam menatap ruangan apartemen yang kosong.
***
Tengah malam telah berlalu, Gea baru dapat tertidur, mungkin memaksakan dirinya untuk tetap terjaga. Mengingat keberadaan Frea disana, terlalu merindukan sosok yang bagaikan seorang ibu baginya.
Frea menghela napas kasar, meninggalkan Vincent yang tertidur di sofa, ruangan VIP rumah sakit tersebut. Berjalan mengambil tasnya, menelfon taksi online.
Ada rasa bersalah dalam dirinya, membatalkan makan malam bersama suaminya. Tapi ini demi kemanusiaan bukan? Selain itu Gea sudah dianggapnya bagaikan putrinya sendiri.
Tombol lift ditekannya, menuju apartemennya. Kode akses dimasukkannya, perlahan mulai berjalan menuju kamar. Terlihat wajah suaminya yang bagaikan tengah tertidur. Frea menghela napas kasar, melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul satu dini hari.
Mulai mandi, menghilangkan rasa lelahnya. Berjalan menuju tempat tidur setelah memakai piyamanya. Tidur di sisi ranjang yang jauh dengan suaminya. Menatap wajah rupawan itu dari jauh.
Apa benar ini cinta? Atau hanya rasa kagum yang akan menghilang seiring mengenal sifat dan kepribadian masing-masing...
Pernikahan yang terlalu mendadak, belum saling begitu mengenal. Apa benar cinta dapat tumbuh? Kata-kata yang diucapkan Lidia membuatnya tidak yakin dengan perasaannya sendiri.
Jemari tangannya terulur, hendak menyentuh wajah suaminya. Tanpa diduga, Tomy membuka matanya, menarik Frea menindih tubuhnya. Bibir wanita itu dijelajahinya, terasa penuh hasrat tidak seperti biasanya, kancing piyama Frea dilepaskannya satu persatu. Jemarinya merayap, memberi sensasi aneh, berusaha memainkan benda yang ditemuinya.
Tangan Frea refleks mencegahnya, Tomy menghentikan pangutan bibirnya,"Kenapa?" tanyanya.
"Kita belum saling mengenal, terlalu dini untuk memiliki anak..." ucap Frea.
Tomy tersenyum, tepatnya berpura-pura tersenyum, "Tidurlah, tidak apa-apa, lain kali saja. Aku akan menunggumu..." ucapnya, memeluk tubuh Frea seperti biasanya, bagaikan tidak terjadi apa-apa.
Frea tersenyum, menatap wajah tenang suaminya yang mulai tertidur. Ikut memejamkan matanya, masuk ke alam mimpinya.
Tapi apakah benar Tomy sudah tertidur? Tidak, dari awal dirinya tidak tidur sama sekali menunggu kepulangan Frea. Pemuda itu, kembali membuka matanya, menatap wajah tenang istrinya yang tertidur. Kunci mobil diraihnya, terdiam tanpa ekspresi, tidak tersenyum ataupun menangis.
Masuk kedalam swalayan yang buka 24 jam. Tissue, perawatan wajah untuk wanita, sikat gigi baru, deterjen, bahkan bahan makanan serta keperluan rumah lainnya, yang membuat troli belanjaan pria yang masih memakai piamanya itu penuh.
Sang kasir mengenyitkan keningnya, menatap belanjaan yang lumayan banyak, memenuhi dua buah troli.
"Bantu aku membawa ke mobilku..." ucapnya, menyodorkan kartu debitnya.
***
Harum aroma masakan tercium, satu meja penuh dengan hidangan terlihat. Tomy tersenyum membangunkan istrinya.
"Sarapan..." ucapnya mencium kening Frea.
Frea mulai terbangun, makan bersama suaminya yang terlihat bercanda, tertawa seperti biasa.
Namun ada yang aneh, pemuda itu tidak menggodanya atau tiba-tiba menciumnya lagi. Pemuda yang tetap tersenyum padanya, Frea kembali makan, menepis semua anggapan anehnya.
Hari ini juga sama, dirinya harus menjenguk Gea sepulang kerja. Kembali membohongi suaminya, mengatakan melatih seorang murid di arena pelatihan judo, berharap tidak melukai hati Tomy.
Seperti hari sebelumnya, Tomy telah tertidur, saat dirinya pulang. Bangun pagi-pagi sekali, tetap tersenyum membuatkannya sarapan dengan porsi yang banyak tidak seperti biasanya.
Gorden, dapur, kamar mandi, semuanya terlihat bersih. Bahkan memperbaiki lubang kecil di dinding, saat pagi buta.
Tiga paket produk krim perawatan wajah, tissue dan bahan makanan di lemari pendingin yang menumpuk. Beras yang entah berapa banyak diletakkannya.
"Kenapa kamu membeli begitu banyak? Kamu dapat uang dari mana?" tanya Frea menyadari barang yang menumpuk di apartemennya.
"Untuk stok, kita harus menyetok barang seperti semut, bersiap untuk musim kemarau..." hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Tomy, sembari tertawa kecil.
Frea tersenyum, menatap wajah suaminya, hanya duduk bergurau dengannya seperti ini. Tapi entah kenapa hatinya terasa hangat, menatap senyuman dan tawa palsu dari wajah pemuda yang mencintainya.
Bersambung
...Mencintaimu terasa seperti matahari musim kemarau. Jalanan aspal yang panas berusaha aku tapaki, panas menyengat kulit yang terasa terbakar, melangkah mengharapkan hujan segera turun....
...Namun, apabila hujan turun, bukankah matahari akan menghilang? Aku hanya dapat menonggakkan kepala, menatap matahari dari bawah. Mencintainya tidak ingin kehilangan sinarnya....
...Sinar yang perlahan akan menyakitiku, berjalan tertatih hingga jenuh menunggu. Hingga tiba saatnya hujan menghapus rasa kasihku, melepaskanmu bahagia, jika kebahagiaanmu di tempat lain......
Tomy...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Labib Firda
kunci y komunikasi yg baik
2024-06-30
0
Sulaiman Efendy
LO MAIN PERGI2 TNP MNUNGGU TOMY.. DN GK IZIN LGI..
2024-01-20
1
mamae zaedan
😢😢💪
2023-12-24
0