Begitu mas Dika mengatakan kalau dia sudah tidak mencintai mantan istrinya, bahkan sekarang yang dicintainya hanya aku seorang, perasaanku seperti melayang-layang entah kemana, antara senang dan bimbang.
Perasaan senang beradu dengan rindu membuat hatiku bergetar. Jantungku berdetak kencang tak menentu. Rasanya ingin menyeret mas Dika ke dalam pelukanku.
Merasa bimbang, karena mantan istri mas Dika masih mengharapkan mas Dika lagi.
"Ra...."
Aku hanya diam membisu saat mas Dika menyebut namaku pelan. Keringat dingin mulai bercucuran, tanganku dingin sedingin udara malam ini.
Aku hanya terdiam dan bermain dalam pikiranku.
"Maukah kamu menjadi mama Isha?"
Tidak terasa bulir-bulir hangat mengalir dari sudut mataku. Aku hanya terdiam dan tak sanggup menjawab pertanyaan mas Dika.
Mas Dika kemudian mengangkat daguku dengan kedua tangannya untuk meminta kepastian padaku. Begitu dilihatnya aku menangis, dia pun menghapus air mataku dengan ujung jarinya. Tatapannya sangat lekat di wajahku sehingga aku tertunduk malu. Aku dapat merasakan napas hangat menyentuh wajahku, dan akhirnya mas Dika mencium keningku dan kemudian mendarat di bibirku. Diciumnya bibirku dengan lembut. Aku memejamkan mata penuh kepasrahan. Sedangkan jantungku berdetak tidak menentu, merasakan ciuman untuk pertama kalinya dalam hidupku.
Setelah beberapa saat, mas Dika menarik aku dalam dekapannya dan berbisik di telingaku.
"Mas tidak akan memaksa kamu Ra. Mas sadar kalau yang Mas lakukan ini salah, karena telah menjadi orang ketiga dalam hubungan kamu dengan kekasihmu. Tapi Mas tidak bisa membohongi perasaan Mas sendiri. Apalagi Isha sangat mengharapkan kamu untuk menjadi mamanya"
Begitu dikatakan tentang Isha, air mataku semakin deras bak air sungai yang mengalir.
Mas Dika langsung memperkuat pelukannya dan aku menangis dalam pelukannya. Kemudian mas Dika membelai lembut rambutku. Perasaaku semakin tak menentu. Aku merasa tenang dan damai bersandar di dada mas Dika yang bidang. Rasanya seperti berada dalam mimpi yang indah tapi hanya sesaat.
Setelah aku dapat mengontrol emosiku, aku pun segera melepaskan pelukannya.
Kami pun terdiam sesaat dan larut dalam pikiran kami masing-masing.
Akhirnya kuberanikan diri untuk cerita semuanya pada mas Dika bahwa mas Dika terlambat mengungkapkan perasaannya karena aku sudah terlanjur janji akan menikah dengan mas Dodi. Mas Dika mendengarkannya dengan tekun.
Setelah selesai aku cerita semuanya, dia pun tersenyum padaku. Dipegangnya tanganku yang masih dingin.
"Semua ini tergantung sama kamu Ra. Kalau kamu masih ragu dan bimbang, kamu sholat istikharah. Mintalah petunjuk pada Allah, karena hanya Allah yang bisa membantu kita sebagai umatnya. Mas juga gak mau memaksakan kamu Ra, walaupun kamu bilang kamu berat berpisah dengan Isha. Mas akan hargai keputusan kamu. Mas akan tetap menunggu jawaban kamu."
Setelah diam beberapa saat, aku pun pamit pulang.
"Mas, aku pamit pulang ya."
Aku pun menarik tanganku dari genggamannya. Tapi mas Dika bukan melepaskannya, dia semakin erat memegang tanganku.
Setelah aku merengek manja, barulah mas Dika melepaskan tanganku.
"Kamu gak malu pulang sekarang dengan keadaan seperti ini. Mata yang merah dan sembab. Sebentar lagi ya Ra, Mas gak enak sama ayah kamu, dikiranya entah Mas apa-apakan kamu di sini. Lagian Mas masih kangen."
Mas Dika kemudian merangkul pundakku dari belakang dan membenamkan kepalaku di pundaknya. Perasaanku sangat tenang saat berada di sampingnya. Ingin rasanya aku berlama-lama berada di sampingnya.
"Kamu masih manja ya sama Bunda?"
Mas Dika memulai berbicara yang sempat terhenti beberapa saat.
"Enggak ah, Mas...."
Aku merasa malu mendengar pertanyaan mas Dika.
"Kalau mau bermanja-manja sama Mas saja, Mas senang kok."
Mas Dika sambil tersenyum menatapku. Aku hanya tertunduk dan tersenyum sendiri. Ternyata saat bermanja dengan bunda, mas Dika melihatnya. Aku jadi tersipu malu.
Cubitanku pun langsung mendarat di pinggang mas Dika dan dia pun langsung menyengir kesakitan.
"Aduh, Ra....." Ucapnya sambil menarik tanganku.
"Mas, lepaskan!"
Mas Dika hanya tersenyum tanpa melepaskan tanganku.
"Tangan kamu kenapa dingin kali Ra?"
"Udara malam yang membuat dingin."
"Yang benar....., tangan mas kok gak dingin ya?" Ucap mas Dika becanda.
"Mas...., lapaskanlah." Sambil merengek aku memohon mas Dika untuk melepaskan tanganku.
"Kamu belum jawab pertanyaan Mas, jadi belum Mas lepaskan."
"Mas......!"
"Kamu semakin cantik kalau marah seperti itu."
Ternyata mas Dika suka juga kalau becanda.
"Kamu takut dan malukan?" Mas Dika pun bertanya sambil tersenyum padaku. Kemudian mas Dika melepaskan tanganku lembut selembut hatinya.
Aku hanya tertunduk malu mendengar ucapan mas Dika barusan.
Kemudian aku pun pamit pulang.
"Mas antar sampai depan rumah ya Ra?"
"Gak usah mas, aku berani kok."
"Nanti kalau ada orang yang menculik kamu gimana, Mas yang susah loh?"
"Ya gak apa-apa, mudah-mudahan penculiknya ganteng."
"Kamu itu ya!" Ucap mas Dika sambil mencubit pipiku.
Aku pun tersenyum sambil meninggalkan mas Dika yang masih berdiri melepas kepergianku.
Sampai kamar, segera kurebahkan tubuhku di tempat tidur dan membayangkan kejadian yang baru terjadi antara aku dengan mas Dika. Kuingat saran mas Dika untuk sholat istikharah, aku pun langsung sholat istikharah sekalian sholat isya yang belum aku laksanakan.
Selesai sholat, pikiranku pun sangat tenang. Aku sudah tidak bimbang lagi. Inikah jawaban dari doa-doaku selama ini.
Pikiranku telah bulat untuk memilih mas Dika menjadi pendamping hidupku.
Kalau mas Dodi pulang nanti, aku akan membicarakan ini baik-baik padanya.
Setelah menghayal beberapa saat, aku pun mulai tertidur.
*****
"Tok, tok...., Ra ikut joging gak?"
Suara bunda membangunkan aku yang tertidur nyenyak sekali tadi malam. Setelah sholat istikharah tadi malam, aku pun lebih tenang sampai-sampai tidurku sangat nyenyak sekali.
"Bunda duluan saja, nanti Ira nyusul." Jawabku sambil bergegas ke kamar mandi.
*****
Aku pun pergi joging sendirian karena ayah dan bunda sudah pergi duluan.
"Kalau jalan lihat ke depan Ra, nanti kesandung loh." Ucap mas Dika di balik gerbang rumahnya.
Aku pun sangat terkejut mendengar ucapannya. Berarti mas Dika memperhatikan aku saat aku akan tersandung. Karena saat berjalan, mataku hanya tertuju ke rumah mas Dika. Mengharap akan bertemu pemiliknya, karena melihat rumahnya saja sudah senang, apalagi melihat orangnya. Ternyata orang yang kuharapkan sudah di depan mataku. Aku jadi malu sendiri.
"Mas, ngapain berdiri di depan situ?"
"Mas kangen, ingin melihat kamu makanya nunggu di sini." Ucapnya sambil tersenyum. Senyumnya membuat jantungku deg-degan.
"Dasar Mas suka gombal!" Aku pun meninggalkannya yang masih berdiri seperti patung memandangku.
*****
Pulang joging, kami pun langsung sarapan di meja makan.
"Gimana kabar Dodi, Ra. Apa sudah sampai?"
Tanya bunda padaku.
"Gimana kabar abangnya Ra?"
Belum sempat kujawab pertanyaan bunda, ayah sudah memberi pertanyaan baru.
"Tadi sehabis subuh, mas Dodi ngasi kabar katanya sudah sampai di rumah sakit. Katanya kondisi abangnya sangat kritis Bun."
"Ya Allah, kasihan kali Dodi," ucap bunda prihatin.
"Gimana jadi nasib keponakannya?" Tanya ayah penasaran.
"Ira juga bingung Yah. Mudah-mudahan gak terjadi sesuatu pada abang mas Dodi ya Bun."
"Aamiin..." Ucap bunda dan ayah bersaan..
*****
Selesai mandi, aku masih di kamar untuk istirahat. Kulihat jam dinding di kamarku menunjukkan pukul sepuluh pagi.Mau tidur siang masih terlalu pagi. Lebih baik membaca novel yang belum selesai kebaca.
Kuraih novel yang ada di meja di samping tempat tidurku. Kubuka dan kubaca isinya. Tidak lama kemudian aku terhanyut dengan isi novel tersebut yang menceritakan seorang kekasih yang meninggal karena kecelakaan mobil. Aku pun meneteskan air mata saat melihan andingnya sangat menyedihkan. Aku kembali teringat akan abang mas Dodi yang sedang kritis.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan telepon mas Dodi. Segera kuangkat, dan mas Dodi pun terdengar sangat sedih. Mas Dodi tidak dapat berbicara sesaat, dia hanya diam saja tapi kedengarannya seperti menangis. Aku pun menunggu sampai dia mulai berbicara lagi. Akhirnya dia pun mulai berbicara setelah diam beberapa saat.
Ternyata abangnya kritis dan harapan untuk hidup sangat kecil, sehingga abangnya meminta mas Dodi untuk menikahi istrinya kalau abangnya tidak panjang umurnya.
Mas Dodi minta pendapatku, karena saat ini mas Dodi seperti makan buah simalakama.
Aku pun terdiam beberapa saat. Hatiku sangat sedih mendengar kondisi keluarga mas Dodi seperti ini. Walaupun aku tidak mencintainya seperti seorang kekasih, tapi aku menganggap dia seperti saudaraku sendiri. Rasanya kasihan sekali melihat mas Dodi sedih seperti ini.
Akhirnya kuberanikan diri untuk memberikan solusinya.
Setelah pembicaraan kami selesai, aku pun menutup hpku dan menangis di tepi tempat tidurku.
Kasihan kali kamu mas, kalau harus kehilangan abang kamu yang telah menjadi tulang punggung keluarga.
Tidak lama kemudian aku pun keluar kamar menjumpai bunda dan menceritakan semuanya.
"Bunda bangga sama kamu Ra. Kamu mengambil keputusan yang tepat. Walaupun kamu gak jadi menikah dengan Dodi, tapi jangan pernah putuskan tali silaturahmi antara kalian." Ucap bunda mengelus kepalaku dengan lembut.
Aku hanya bisa terdiam beberapa saat. Tiba-tiba notifikasi Whatsapp dari mas Dodi membuyarkan lamunanku. Segera kubuka isinya, ternyata abang mas Dodi meninggal dunia.
'Innalillahi wa Innalillahi rojiun. Semoga kamu kuat ya mas Dodi.'
Tidak terasa air mataku menetes di pipi. Terbayang dalam pikiranku kondisi istrinya yang sedang hamil tua.
Tentu istrinya sangat sedih sekali kehilangan orang yang dicintainya disaat-saat akan melahirkan anak kedua mereka. Aku gak dapat membayangkan kalau hal itu menimpah diriku.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Nasywan Nabil
keren.. lanjut thor
2022-01-31
0
Sri Suryani
Mantap ceritanya Thor
2021-10-19
4