Bergegas aku masuk ke kamar. Disana aku termenung sendiri memikirkan kejadian barusan. Gimana aku bisa ketemu mas Dika nanti, padahal rencananya nanti malam aku akan menjenguk Isha yang baru pulang dari rumah sakit.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kumandang adzan magrib di mesjid. Segera aku beranjak dari tempat dudukku dan bergegas masuk kamar mandi untuk mandi dan berwudhu.
*****
Selesai makan malam, kubereskan meja makan seperti biasa. Meja kubersihkan dan piring-piring kucuci bersih. Setelah semuanya bersih, aku pun bergegas menuju rumah Isha.
Kulihat ayah dan bunda sedang asik menonton TV di ruang tengah. Aku pun segera pamit pada ayah dan bunda.
"Bunda, Ayah...., Ira ke rumah Isha dulu ya."
"Tapi jangan lama-lama ya. Kasihan Isha, dia perlu banyak istirahat." Ucap ayah mengingatkan aku.
"Iya Yah." Ucapku sambil berlalu pergi.
Sambil berjalan menuju ke rumah Isha, pikiranku tidak tenang. Memikirkan saat nanti bertemu mas Dika.
Saat kuinjakkan kakiku di teras rumah Isha, aku mendengar samar-samar suara mas Dika. Semakin dekat, suaranya semakin terdengar jelas. Aku pun tertarik untuk menguping pembicaraan mereka, karena ada disebut-sebut namaku.
"Mulai sekarang, Isha tidak boleh sering ketemu dan main dengan tante Ira ya?"
"Memangnya kenapa Pa?" Tanya Isha.
"Karena tante Ira banyak pekerjaannya di kantor."
"Memangnya apa pekerjaan tante Ira, Pa?"
"Pekerjaannya menulis, mengetik, pokonya tante Ira sangat sibuk sayang."
"Tapi kalau tante Ira sudah tidak sibuk lagi, Isha bolehkan main dengan tante Ira, Pa?"
Mas Dika hanya terdiam.
"Bolehkan Pa?" Tanya Isha lagi.
Karena mas Dika diam saja, akhirnya Isha pun merengek dan hampir menangis.
Kenapa mas Dika melarang Isha bertemu dengan aku. Apakah ada hubungannya dengan kejadian tadi sore.
Mendengar Isha hampir menangis, segera kuketuk pintu rumah Isha.
Begitu kuketuk, mas Dika yang membukakan pintunya.
"Tante......"
Kemudian Isha dari dalam berlari memelukku, aku pun balas memeluk Isha erat sekali. Tidak terasa air mataku menetes dari sudut mataku.
"Kenapa tante nangis?"
"Tante senang sekali Isha sudah sehat." Ucapku terbata-bata.
Aku sangat bersyukur karena harapanku Isha untuk sehat, ternyata dikabulkan Allah. Aku tidak mengharap terlalu besar, hanya sekeping harapan supaya Isha dapat sehat kembali seperti biasa.
Kulihat mas Dika hanya diam sambil berdiri di depan pintu.
"Tante, kita duduk di sana ya?" Ajak Isha.
Isha pun menarik tanganku sambil berjalan menuju kursi tamu. Sedangkan mas Dika yang sedang berdiri di depan pintu, mengikuti kami menuju ruang tamu.
"Tante, kata Papa, Tante lagi banyak pekerjaan ya?"
"Memangnya kenapa sayang?" Tanyaku.
"Papa bilang, Isha tidak boleh sering ketemu dan main dengan Tante, karena Tante sedang banyak pekerjaan."
Aku tidak dapat menjawab 'iya' atau pun 'tidak.' Aku hanya tersenyum. Kulirik mas Dika, tapi mas Dika hanya terdiam.
"Tapi kalau Tante sudah tidak sibuk lagi, Isha bolehkan main dengan Tante?" Tanya Isha lagi.
"Iya sayang." Jawabku agar Isha senang.
Kulihat Isha sangat ceriah dan banyak yang diceritakannya.
Setelah Isha mulai ngantuk, kuelus-elus kepala Isha dan dia pun mulai tertidur di pangkuanku.
"Mas, Isha sudah tidur." Ucapku pada mas Dika.
Mas Dika yang duduk di samping tempat dudukku pun terkejut mendengar ucapanku. Kulihat dari tadi mas Dika banyak diam dan termenung. Paling sesekali dia tersenyum dan tertawa saat mendengar ocehan Isha.
Segera dibopongnya Isha dari pangkuanku, dan dibawa masuk ke kamarnya. Sedangkan nek Ijah kulihat sudah masuk kamarnya dari tadi dan mungkin juga sudah tertidur.
Setelah Isha dibawa masuk ke kamar, mas Dika pun langsung keluar menjumpai aku yang masih duduk di ruang tamu.
Begitu melihat mas Dika datang, aku pun bangkit dan berdiri dari tempat dudukku.
"Mas...., aku permisi pulang ya." Ucapku yang sudah berdiri dan hendak melangkahkan kakiku.
Tiba-tiba mas Dika menarik tanganku dan mengajak untuk duduk kembali. Aku pun duduk kembali, dan mas Dika pun duduk tepat di sampingku. Kami duduknya berdampingan dan sangat dekat sampai siku kami bersenggolan.
Jantungku berdetak kencang. Perasaanku melayang entah kemana.
"Ada yang mau Mas bicarakan Ra." Ucap mas Dika sambil membalikkan badannya ke arahku.
Aku pun menoleh ke arahnya hingga kami duduk saling berhadapan. Mas Dika menatapku sangat tajam, sedangkan aku hanya tertunduk karena tidak sanggup melihat tatapan mas Dika yang begitu dalam sampai menembus jantungku.
"Tentang apa Mas?"
"Sebelumnya Mas minta maaf ya. Mas minta mulai sekarang kamu jauhi Isha." Ucap mas Dika pelan.
"Memangnya ada apa Mas, kenapa aku tidak boleh dekat dengan Isha?" Tanyaku sambil menatap wajahnya tidak mengerti.
"Ini semua demi kebaikan kita, demi Isha, demi kamu dan juga demi Mas sendiri."
Aku pun tidak dapat menahan tangisku. Aku sangat sedih bila jauh dari Isha, karena aku sangat menyayanginya.
Tidak terasa mengalir air mataku.
"Maksud Mas apa, aku tidak ngerti Mas." Ucapku sambil terbata-bata.
Mas Dika langsung menghapus air mataku yang mengalir deras seperti aliran sungai yang meluap. Dihapusnya air mataku dengan ujung jarinya dengan lembut.
"Maaf ya Ra sebelumnya. Selama ini Mas telah salah paham sama kamu. Mas pikir kamu belum punya pacar, sehingga Mas berharap suatu saat kamu akan menjadi pengganti mama Isha. Mas lihat kamu sangat menyayangi Isha. Tapi ternyata kamu sudah punya pacar. Mas tidak mau menjadi orang ketiga dalam hubungan kalian. Begitu juga dengan Isha. Isha sudah sangat dekat dan sayang sama kamu. Mas tidak mau kalau Isha akhirnya kecewa karena tidak dapat menjadikan kamu mamanya. Apalagi kesehatan Isha belum benar-benar pulih. Maafkan Mas ya Ra, karena sudah jatuh cinta diawal kita bertemu." Ucap mas Dika pelan.
Deg.....
Jantungku seperti berhenti sesaat. Sendi-sendiku seperti tidak dapat digerakkan.
Aku hanya bisa menangis, menyesali semua ini. Kenapa mas Dika tidak pernah mengatakannya dari awal. Saat ini hatiku semakin bimbang. Melanjutkan hubunganku dengan mas Dodi yang tidak aku cintai atau dengan mas Dika yang telah aku cintai. Tapi bagaimana perasaan mas Dodi kalau kupilih mas Dika? Semua ini salahku. Kenapa aku terima lamaran mas Dodi, sementara aku tidak mencintainya. Aku hanya mengharap cinta setelah menikah nanti. Tapi belum sempat aku mencintai mas Dodi, ternyata mas Dika telah membuat aku jatuh cinta. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
"Maafkan Mas ya Ra." Ucap mas Dika sekali lagi sambil memegang tanganku.
Aku hanya bisa menangis dan membiarkan tangan mas Dika memegang tanganku.
Yang kusesalkan saat ini, kenapa mas Dika baru mengungkapkan perasaanya sekarang. Aku juga menyesal dengan tindakkan aku yang terlalu terburu-buru untuk menerima lamaran mas Dodi. Kalau tidak kuterima lamaran mas Dodi, pasti tidak akan seperti ini.
Melihat aku masih menangis, mas Dika langsung memeluk aku dan tangisku pun semakin pecah dalam pelukan mas Dika..
"Mas sebenarnya tidak sanggup menerima semua ini, karena Mas sangat mencintai kamu Ra. Tapi Mas juga tidak mau merusak hubungan kalian. Biarlah Mas yang merasakan semua ini. Karena semua ini salah Mas yang telah mencintai kekasih orang lain." Bisik mas Dika di telingaku.
Setelah aku dapat mengontrol emosiku, kulepaskan pelukan mas Dika.
"Mas, maafkan aku juga ya." Ucapku sambil meninggalkan mas Dika yang masih duduk di ruang tamu.
Mas Dika hanya terdiam sambil memandang kepergianku. Dengan tergesa-gesa kutinggalkan mas Dika yang masih duduk termenung di ruang tamu.
*****
Sesampainya di kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Aku bingung dengan perasaanku saat ini.
Menikah dengan mas Dodi, tapi mengorbankan perasaan mas Dika dan Isha. Atau menikah dengan mas Dika, tapi mengorbankan perasaan mas Dodi. Ya Allah, berilah aku keputusan yang terbaik dalam mengatasi masalah ini.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments