Triiing ...."
Aku tersentak saat mendengar jam weker di samping tempat tidurku berbunyi. Kuraih jam weker tersebut dengan tangan kananku dan kulihat jam sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi.
Setelah kuletakkan jam weker tersebut, aku pun duduk dan menggeliat sebentar melonggarkan otot-ototku. Setelah menemukan nyawaku sepenuhnya, aku pun segera berlalu menuju kamar mandi.
Setelah hampir lima menit di kamar mandi, aku pun keluar. Kuraih mukena yang tergantung di balik pintu kamarku dan kebentangkan sajadah tepat menghadap kiblat yaitu searah dengan tempat tidurku. Akupun mulai menjalankan kewajibanku yaitu sholat subuh.
Setelah kubereskan tempat tidurku, aku pun segera keluar menuju dapur. Belum sampai dapur, terdengar suara peralatan masak berbunyi, pertanda bunda sudah di dapur menyiapkan sarapan pagi.
Seperti biasa, tugasku setiap pagi membersihkan rumah. Mulai menyapu sampai mengepel lantai kulakukan setiap pagi.
"Jam berapa kamu berangkat kerja Ra?" Kudengar suara bunda dari arah dapur.
"Lebih cepat sedikit dari biasa Bun. Hari ini Ira upacara."
"Lantainya biar Bunda saja nanti yang ngepel, cukup kamu sapu saja. Takutnya nanti kamu terlambat loh."
"Tidak kok Bun, Ira kan bangun lebih cepat dari biasanya."
"Oh....ya sudah, yang penting kamu jangan sampai terlambat ya."
Sayup-sayup kudengar suara sapu lidi bergerak. Ternyata ayah sedang menyapu halaman. Pulang dari mesjid tadi, ayah langsung menyapu halaman tanpa masuk ke rumah dulu.
Hari ini aku dan ayah lebih cepat mengerjakan aktivitas rutin bersih-bersih, karena hari ini kami akan menghadiri upacara perayaan kemerdekaan Indonesia. Hari ini tepatnya tanggal tujuh belas Agustus.
Ayah seorang kapolsek. Biasanya kalau sudah perayaan hari kemerdekaan, ayah selalu sibuk.
Walaupun sibuk, setiap pagi ayah tidak pernah lupa melaksanakan tugasnya bersih-bersih halaman.
"Kalau sudah selesai menyapu halamannya, Ayah cepat mandi ya, nanti terlambat loh."
Perintah bunda seperti perintah atasan pada bawahan.
"Sebentar lagi Bun, masih keringat nih." Ayah pun meraih kursi yang ada di teras dan duduk untuk menghilangkan keringat.
Selesai sudah pekerjaanku, sekarang waktunya mandi, batinku dalam hati.
Sambil berlari kecil, aku segera menuju ke kamar mandi.
Begitu keluar dari kamar mandi, kubuka lemari pakaianku untuk mencari pakaian korpri yang akan kupakai saat upacara nanti.
Aku hampir panik karena pakaian yang kucari tidak dapat kutemukan. Setelah kubolak balik setiap pakaian yang ada di hanger, barulah terlihat pakaian korpriku. Ternyata ada di dalam jas almamater kuliahku. Pakaian korpri dengan jas almamater jadi satu hanger.
Alhamdulillah...ketemu juga.
Aku pun segera bersiap-siap supaya tidak terlambat.
Kuhampiri ayah yang sudah rapi dengan pakaian dinasnya. Ayah sedang menonton TV di ruang tengah.
"Yah, ayo kita sarapan. Nanti terlambat loh."
"Memangnya ayah seperti kamu yang sering terlambat." Walaupun dalam keadaan terburu-buru, ayah masih sempat becanda.
"Ayah loh...suka kali ngeledek."
"Sudah..... sudah....cepat sarapannya, nanti pada terlambat."
Bunda selalu menjadi penengah kalau kami berdebat.
*****
"Kenapa kamu lama sekali Ra, upacara akan dimulai loh."
Yuyun dan Winda menghampiri aku yang baru sampai di lapangan.
"Yang pentingkan belum terlambat." Sahutku santai.
"Memang sih belum terlambat, tapi jadi perhatian orang yang sudah hadir. Apalagi orang yang hadir di lapangan ini cukup banyak." Yuyun berbisik ditelingaku sambil menunjuk pegawai yang sudah pada berbaris semua.
Kulirik peserta upacara yang ada di lapangan. Ternyata benar apa kata Yuyun. Sudah banyak yang datang, dan sebagian besar perhatiannya tertuju padaku, karena aku baru saja sampai.
"Memang kalau artis selalu begitu, jadi perhatian banyak orang." Sahutku becanda.
"Kalau kamu ya Ra, suka kali jadi perhatian." Ucap Winda sambil mencubit pinggangku.
"Auuu..." Jeritku spontan.
Semua perhatian pegawai yang ada disitu tertuju padaku. Aku pun tertunduk malu.
"Ra, kulihat Dodi dari tadi memperhatikan kamu saja loh.
"Mana si Dodi?" Tanya Yuyun pada Winda.
"Coba kamu lihat barisan di depan kita yang sebelah kanan. Dia berbaris no empat dari depan." Jawab Winda.
"Yang mana sih?" Tanya Yuyun lagi.
"Itu loh." Ucap Winda sambil mengerucutkan bibirnya.
Kulihat ke arah yang dikatakan Winda, ternyata memang benar Dodi perhatiannya ke barisan kami saja. Aku senyum-senyum sendiri.
"Iya ya.... perhatian Dodi kemari saja. Lihat, sekarang dia lagi lihat kemari. Dia lagi lihat Ira." Ucap Yuyun lagi.
"Biar sajalah dia lihat kemari. Namanya punya mata, ya bebas lihat kemana saja." Jawabku santai.
"Benar Ra, yang penting tidak lihat cewek lainkan?" Winda sambil tertawa kecil berbisik di telingaku.
Tiba-tiba terdengar instruksi dari panitia upacara bahwa upacara akan segera dimulai. Kami pun menghentikan tawa canda kami dan mulai mengikuti upacara.
*****
Begitu upacara selesai, aku dan teman yang lainnya menuju ke parkiran sepeda motor. Begitu juga dengan Winda dan Yuyun.
"Kamu mau langsung pulang Ra?" Tanya Yuyun yang sudah berada di sampingku.
"Rencananya sih iya. Kamu sendiri mau kemana?"
"Ya langsung pulang. Maklumlah punya anak kecil, tidak bisa berlama-lama, selalu ditunggu-tunggu." Jawab Yuyun sambil tersenyum.
"Yang menunggu, anaknya apa bapaknya?" Winda yang baru muncul langsung meledek Yuyun.
"Ya dua-duanya lah."
Kemudian Yuyun melangkahkan kakinya mendekati sepeda motornya. Dalam hitungan detik, dia sudah menghidupkan sepeda motornya.
"Aku duluan ya?" Ucap Yuyun pada kami berdua.
"Hati-hati ya, kalau jatuh bangun sendiri," ucapku sambil tertawa. Winda pun ikut tertawa.
"Kamu naik apa Win?" Tanyaku pada Winda yang masih berdiri di dekatku.
Kulihat sepeda motor Winda tidak ada di parkiran.
"Aku tadi pagi diantar suamiku. Rencana selesai upacara kami mau pergi ke rumah nenekku."
Belum sempat ngobrol panjang lebar, suami Winda sudah muncul.
"Ra, aku duluan ya. Daaa......"
Setelah pamit denganku, Winda segera menghampiri suaminya yang baru sampai.
Dia pun segera masuk ke mobil. Dari dalam mobil, Winda melambaikan tangannya. Aku pun membalas lambaian tangannya.
Saat aku akan menghidupkan sepeda motorku, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara yang datang dari belakangku.
"Sudah mau pulang Ra?"
Segera aku menoleh ke belakang, dan kulihat Dodi dengan senyumnya yang khas menyapaku.
Sok akrab gitu sih, si Dodi, batinku dalam hati.
"Eh...iya," dengan sedikit gugup aku menjawab pertanyaannya.
"Tidak ada rencana mau pergi Ra?" Tanya Dodi lagi yang kelihatannya penasaran.
Sok lebih tua gitu sih, padahal dia lebih muda lima tahun dari aku, batinku. (karena Dodi menyapaku dengan panggilan nama).
"Saat ini belum ada. Memangnya ada apa Dodi ?" Gantian aku bertanya yang membuat Dodi tersenyum sendiri.
"Gimana kalau kita pergi makan bakso?"
"Makan bakso dimana?"
Mendengar kata 'bakso' seleraku memuncak.
"Bakso di jalan Kartini, bakso Deli, gimana?"
Aku pun mengernyitkan dahi sambil berpikir.
"Ayo, aku mau."
"Sepeda motor kamu biar disini saja. Kamu biar aku bonceng naik sepeda motor aku. Kan gak enak kalau naik sepeda motor sendiri-sendiri."
Aku pun mengikut apa kata Dodi. Kami pun pergi ke jalan Kartini dengan naik sepeda motornya.
"Kamu pegang pinggang aku saja Ra, jangan segan-segan."
Sepertinya Dodi memberikan lampu hijau padaku, tapi aku masih segan untuk memegang pinggangnya.
Jangan-jangan nanti dibilangnya aku perempuan murahan. Baru kenal sudah berani pegang pinggang. Mungkin saja Dodi mau mengetes aku, aku perempuan murahan atau tidak, batinku.
Hanya Tariq yang pernah aku pegang pinggangnya. Itu pun setelah aku resmi menjadi kekasihnya.
Teringat Tariq, hatiku jadi sakit sekali. Luka lama yang hampir sembuh, tergores kembali. Sudah banyak kenangan yang kudapat darinya. Sudah cukup lama aku bersamanya. Tapi kenapa kamu tega meninggalkan aku demi wanita yang tidak pernah kamu cintai, batinku. Hatiku sakit sekali kalau mengingatnya.
Tidak terasa mengalir bulir-bulir hangat di sudut mataku. Untuk apa aku menangisinya. Aku sungguh bodoh, menangisi orang yang telah menyakiti hatiku, batinku lagi.
"Ra....kok bengong saja. Kita sudah sampai loh. Kamu baru nangis?" Dodi terkejut melihat mataku yang merah.
Spontan aku terkejut mendengar ucapannya. Ternyata sewaktu diatas sepeda motor, aku banyak melamun.
"Ah...enggak kok. Banyak abu di jalan tadi."
Untuk menghindari tatapannya, aku pun tertunduk sambil mengusap mataku dengan tissue.
"Lain kali kalau pergi naik sepeda motor, kamu harus pakai kacamata. Lihat itu mata kamu merah."
Ternyata Dodi sangat perhatian juga sama aku. Atau mungkin karena aku belum jadi pacarnya, makanya perhatiannya sangat besar. Pusing ah mikirnya.
Kami pun masuk beriringan.
"Kita duduk dimana Ra?"
Setelah kulihat ke kanan dan ke kiri, akhirnya aku menemukan tempat duduk yang strategis.
Kalau saat kuliah, tempat duduk menentukan IP. Tetapi untuk situasi saat ini, tempat duduk menentukan lama tidaknya pelanggan di tempat itu.
"Kita duduk di pojok sana saja ya Dodi?"
Aku pun menunjuk tempat duduk yang ada di pojok. Kulangkahkan kakiku ke tempat duduk yang ada di pojok, diikuti oleh langkah kaki Dodi.
Tidak lama kemudian, makanan yang kami pesan pun datang. Dengan lahap aku menyantap bakso yang ada dihadapanku. Maklumlah bakso adalah makanan favoritku.
"Kamu tidak mau nambah Ra?"
Dilihatnya aku makan baksonya lahap sekali, Dodi pun menawari aku untuk nambah.
"Gak ah, aku sudah kenyang."
"Kulihat kamu makan baksonya lahap kali."
"Oh....aku memang suka makan bakso," jawabku sedikit malu.
Selesai makan makso, Dodi pun mulai bertanya-tanya tentang hal yang sifatnya pribadi. Intinya Dodi ingin hubunganku dengannya menjadi hubungan yang spesial, layaknya hubungan sebagai sepasang kekasih.
"Kita jalani saja dulu hubungan ini. Kalau dalam waktu dua bulan ini kita merasa cocok, ya kita lanjutkan ke level yang lebih serius. Artinya menuju pernikahan."
"Aku setuju dengan pendapat kamu Ra."
"Aku memang sudah tidak mau yang namanya pacaran, karena aku sudah pernah pacaran dan sudah capek. Umur aku juga sudah banyak. Tapi bukan berarti begitu kenal, kita langsung menikah. Paling tidak kita saling mengenal kepribadian kita dulu selama dua bulan ini. Karena pernikahan itu perlu direncanakan dulu. Itulah permintaanku kalau kamu benar-benar serius sama aku".
"Kalau memang itu keputusan kamu, aku hargai Ra."
Kulihat wajah Dodi tersenyum bahagia. Akankah Dodi jadi pendamping hidupku kelak? Semuanya kuserahkan pada Allah SWT. Kalau memang Dodi jodohku, pasti hubungan ini akan berlanjut kepelaminan.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Sri Suryani
Lanjut Thor
2021-10-19
1