Begitu sampai kantor, Winda teman kantorku buru-buru menghampiri aku. Ditariknya kursi yang ada di sudut ruangan dan diletakkan tepat di depan meja kerjaku dan kami pun duduk saling berhadapan.
"Kamu masih ingat dengan Dodi, Ra?"
Aku mengernyitkan dahi sambil berpikir.
"Dodi yang mana nih. Temanku banyak yang namanya Dodi. Ada Dodi Sanjaya, ada Dodi Syahputra, ada Do...."
Winda langsung memotong omonganku sambil menatapku serius.
"Aduh Ra....baru tiga hari yang lalu kita pergi ke Prapat bareng Dodi, eh kamu kok sudah lupa sih?"
Sebenarnya aku pura-pura lupa karena aku sudah tau kemana arah pembicaraanannya. Waktu di Prapat, Winda berusaha mendekatkan aku dengan Dodi hingga Winda banyak promosi tentang Dodi.
"Oh...Dodi teman kerjanya Ginda?"
Dodi dengan Ginda sama-sama PNS di kantor BKD. Sedangkan Ginda teman dekat Winda sewaktu SMA dan Winda banyak tau tentang Dodi tentu dari Ginda.
Winda mulai tersenyum lebar mendengar jawabanku. Terlihat dari raut wajah Winda, senyum puas karena aku sudah mengingatnya.
"Ha...itu maksud aku."
"Memangnya ada apa dengan si Dodi?" Aku pura-pura gak mengerti.
"Kamu tau Ra, Dodi itu naksir berat sama kamu loh. Dia kirim salam sama kamu."
Winda penuh semangat nyampaikan salam dari Dodi.
"Memangnya kenapa kalau dia naksir aku." Jawabku jutek.
"Ira ! Aku serius loh!"
Terlihat wajah Winda mulai merah karena aku cuek saja.
"Jadi, aku harus bagaimana Win?" Tanyaku pada Winda yang sedang penasaran.
"Kamu mau kan jadi pacarnya? Mau kan Ra?"
Winda sangat penasaran menunggu jawabanku.
"Sebentar ya kupikir-pikir dulu." Jawabku sudah mulai serius juga.
Aku mulai terdiam memikirkannya. Kuterima apa enggak ya. Usia Dodi masih jauh lebih muda dari usiaku. Kami beda usia lebih kurang lima tahun. Itulah yang menjadi pertimbanganku.
"Usia aku sudah tidak muda lagi loh Win. Yang pasti aku sudah gak mau yang namanya pacaran. Paling gak langsung nikah. Sekarang yang sedang kupikirkan, usia Dodi jauh lebih muda dari aku. Apakah aku bisa menjalani rumah tangga kami nantinya?"
Tanpa aku sadari, terlontar kata-kata yang sedang mengganjal di hatiku.
"Perbedaan usia tidak masalah Ra. Yang terpenting saling sayang, saling setia, dan saling pengertian. Usia suami yang lebih tua gak jadi patokan rumah tangga seseorang itu bahagia. Banyak juga orang yang suaminya jauh lebih tua, tapi gak bahagia. Bahkan banyak juga orang yang suaminya jauh lebih muda, rumah tangganya bahagia. Jadi, itu semua kembali pada pribadi kita masing-masing."
"Aduh Winda, kalau sudah ceramah kalah ustad Somad kamu buat." Ucapku becanda.
Winda hanya mengerucutkan bibirnya.
"Gini saja Ra, nanti malam kamu sholat Istikharah biar bisa ngambil keputusan yang tepat."
Begitu Winda pergi dari hadapanku, pikiranku gak tenang. Beribu pikiran hinggap di kepalaku. Jawabannya antara diterima atau enggak. Walaupun jawabannya singkat, tapi menyita pikiranku juga.
*****
Saat istirahat siang tiba, aku malas untuk pergi ke kantin. Pikiranku saat ini lagi gak tenang memikirkan omongan Winda barusan.
Yuyun menghampiri aku dan ngajak ke kantin
"Ayo kita ke kantin Ra," ajak Yuyun sambil menarik tanganku lembut.
Tanpa bicara sepatah kata, aku ngikuti Yuyun ke kantin.
Sampai di kantin kulihat sudah ramai pegawai yang makan siang.
"Kita duduk di sana ya Yun." Pintaku pada Yuyun yang masih mencari tempat duduk
"Kamu duduk duluan saja ya, biar aku yang pesan makanannya. Oh ya...kamu pesan seperti biasakan?"
Aku hanya mengangguk dan melangkah ke tempat duduk yang ada di sudut ruangan.
Tidak lama kemudian, makanan yang dipesan Yuyun pun datang. Biasa kalau makan nasi dengan lauk telur dadar, aku makannya lahap. Tapi hari ini, ***** makanku hilang sama sekali.
"Kamu kanapa Ra, kok aku lihat dari tadi banyak diam. Cerita dong sama aku," Yuyun menatapku tajam.
Aku pun mulau menceritakan hal yang ada dalam pikiranku.
"Kalau menurutku Ra, itu semua kembali pada dirimu. Jangan kamu paksakan kalau hati kamu gak bisa nerimanya. Kamu harus cari informasi dulu tentang Dodi, baik statusnya maupun prilaku kesehariannya. Baik tidaknya kepribadian Dodi, bisa kamu tanya sama teman dekatnya. Jangan sampai salah pilih. Kalau perkara cinta, belakangan saja, karena cinta bisa tumbuh setelah kita menikah. Aku rasa, ini sekedar saran saja dari aku sebagai teman dekat kamu."
"Terima kasih ya Yun atas masukannya."
Aku pun meneguk air putih yang masih tersisa digelasku.
Saat ini beban pikiranku suda mulai ringan setelah dengar masukan dari Yuyun.
"Ayo kita sholat zuhur dulu." Ajak Yuyun sambil menarik lenganku.
Kemudian kami meninggalkan kantin dan menuju ke musholah.
***
Sampai di rumah, seperti biasa aku disambut oleh bunda dan ayahku. Sekarang yang menyambut aku sudah bertambah satu lagi, yaitu Isha.
"Tante capek ya?" Tanya Isha sambil megang tanganku dan ngajak masuk ke dalam kamar.
Setiap aku pulang kerja, Isha selalu nyambut aku dengan senyuman yang ceriah. Dia selalu nyalam tanganku, kemudian megang jemariku dan ngajak masuk ke kamarku.
Kalau sudah sampai ke dalam kamar, berbagai macam pertanyaan yang diajukannya. Terkadang aku sampai bingung jawabnya.
Semakin hari hubunganku dengan Isha semakin dekat. Hampir setiap hari Isha main ke rumah.
Walaupun usianya baru tiga tahun, tapi sifatnya seperti orang dewasa. Kalau aku sudah rebahan di depan TV, Isha selalu menawarkan diri untuk mengusuk kaki dan tanganku.
Ayah dan bunda sangat menyayanginya. Apalagi di rumah selalu sunyi karena gak ada anak kecil.
Setiap ayah pulang kerja, yang pertama ditanya pasti Isha. Kalau Isha belum datang ke rumah, pasti bunda menjemputnya.
"Tante cepatlah mandi, biar Isha kusuk kakinya." Isha menghampiri aku yang sedang duduk di depan tiolet.
"Ok bos..." Jawabku sambil berjalan menuju kamar mandi yang ada di kamarku.
Kutinggalkan Isha yang sedang berdiri di depan tiolet. Biasanya kalau di depan tiolet, Isha selalu membongkar tas make up yang kubawa kerja. Dia selalu mengambil sisir yang ada ditas make up, kemudian menyisir rambutnya yang panjang sebahu.
Begitu aku keluar kamar mandi, aku disambut dengan ocehan Isha.
"Tante....coba tante lihat Isha. Isha cantikkan pake bando." Isha pun memperlihatkan bando yang dipakainya.
"Wah cantik kali Isha." Aku tersenyum sambil memegang kepalanya dengan lembut.
Isha berdiri di depan kaca sambil nyisir rambutnya. Dia selalu memakai bando dan jepit rambut yang ada di depan tioletku.
Aku senyum sendiri melihat pola tingkah laku Isha yang mentel.
"Siapa yang mandikan Isha tadi di rumah?" Aku bertanya sambil memegang pundaknya dengan lembut.
"Tadi yang mandikan Isha, papa tante. Papa tadi cepat pulang."
Isha masih tetap menyisir rambutnya walaupun sudah rapi.
"Memangnya papa Isha kerja apa?"
"Kata oma, papa kerja di kantor. Papa kerja di kantor untuk mencari uang, biar bisa Isha sekolah sampai tinggi setingga pohon kelapa tante."
Spontan aku tertawa geli. Isha juga ikut tertawa.
Bunda yang ada di ruang tengah segera masuk ke kamar aku, begitu mendengar tawa kami berdua.
"Ada apa kok ketawanya kedengaran sampai ruang TV?" Tanya bunda saat sampai pintu kamarku.
"Eyang, tante yang ketawanya kuat kali. Isha saja ketawanya pelan-pelan." Ucap Isha dengan pedenya.
"Apa kamu bilang?" Sambil jari jemariku menggelitiki ketiak Isha. Isha pun tertawa terpingkal-pingkal.
"Sudah tante.....geli...." Pinta Isha manja.
Aku pun melepaskan jariku dari ketiaknya. Segera kugendong Isha dan membawanya keluar kamar. Kamipun menuju ruang TV. Disana Isha sudah disambut oleh ayah. Langsung Isha digendong ayah dan dipangkunya sambil nonton TV.
*****
Menjelang magrib, Isha segera kuantar pulang. Biasanya Isha nunggu dijemput nek Ijah dulu baru pulang. Tapi hari ini nek Ijah tidak ada menjemput.
Makanya akulah yang disuru bunda untuk mengantar Isha ke rumahnya. Kebetulan rumah kami bersebelahan.
Kata bunda, rumah yang sekarang ditempati Isha dan papanya adalah rumah oma Isha yang dibeli untuk papanya. Tetapi papa Isha yaitu mas Dika tidak mau. Jadi sekarang papa Isha sedang membangun rumah di jalan Kenangan yang tidak jauh dari rumah bunda.
"Ayo tante antar pulang."
"Sebentar lagi ya tante, Isha masih mau main disini."
"Sudah mau magrib sayang, nanti papa marah loh." Dengan lembut aku membujuk Isha agar mau kuantar pulang.
Dengan wajah yang sedikit cemberut, Isha akhirnya mau juga kuajak pulang. Dengan lembut kuraih dan kupegang tangannya.
Tiba-tiba dia menarik tangannya dan berjalan mendekati ayah bunda yang sedang melihat ke arah dia. Ternyata disalamnya ayah dan bunda.
Setelah itu, dia pun berjalan mendekati aku dan memberikan tangan mungilnya padaku.
Segera kupegang erat jemarinya yang lentik. Aku dan Isha berjalan menuju rumah Isha.
Begitu akan mengetuk pintu rumahnya, papa Isha tiba-tiba membuka pintu rumahnya. Kami sama-sama terkejut, begitu juga Isha. Akhirnya kami bertiga tertawa.
"Papa baru mau kesana jemput Isha." Ucap mas Dika.
"Isha tadi belum mau pulang Pa, tapi kata tante sudah mau magrib."
"Iya sayang....ini kan sudah mau magrib. Ayo...bilang apa sama tante?" Ucap papanya.
Isha segera menyalam tanganku.
"Terima kasih tante." Sambil setengah berlari Isha masuk ke dalam rumahnya.
"Maaf ya mbak, sudah merepotkan."
"Gak apa-apa kok mas, aku justru senang. Maaf mas, panggil saja aku Ira. Jangan mbak, kesannya tua kali."
Kulihat mas Dika sedikit tersenyum.
"Oh iya Ra, sekali lagi terima kasih ya sudah merepotkan. Maklumlah, nek Ijah tadi sore pergi ke tempat kemanakannya yang sedang sakit."
"Kapan pulangnya mas?" Tanyaku penuh khawatir.
"Malam ini juga pulangnya."
"Oh....sudah ya mas, aku permisi dulu."
Kulihat mas Dika mengangguk sambil tersenyum. Melihat senyumnya, dadaku berdebar tidak karuan. Pertanda apa ya, kok jantungku berdetak kencang. Apakah mas Dika merasakan hal yang sama?
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Sri Suryani
Mantap Thor
2021-10-19
3