Bukan Papa, Tapi Papa

"Apa-apaan sih? Lepaskan." Rania menggoyang-goyangkan badannya agar Kaaran segera melepaskan pelukannya.

"Kalau aku tidak mau bagaimana?" Kaaran malah semakin mempererat pelukannya.

Percuma saja aku bicara pada pria mesum ini. Dia memang tidak berubah sedikit pun, masih saja seperti dulu, suka berbuat seenaknya.

Rania kembali melanjutkan pekerjaannya. Dia tidak mau mempedulikan keberadaan Kaaran lagi.

Anggap saja dia celemek yang menempel di badanku saat aku sedang memasak.

"Kamu mau masak apa, Sayang?" tanya Kaaran.

"Berhenti memanggilku seperti itu. Aku bukan siapa-siapa kamu." Rania berkata dengan ketus, tapi dia tidak mengeraskan suaranya, takut Zoe dan Zack mendengarnya.

"Siapa bilang kamu bukan siapa-siapa aku? Kamu itu adalah calon istriku." Kaaran semakin mengeratkan pelukannya. "Beberapa hari ke depan, aku akan memboyongmu pulang ke kota Merkurius, bersama anak-anak kita. Aku sudah merencanakan pernikahan kita paling lambat bulan depan."

Rania sangat terkejut. Dia menoleh tapi Kaaran malah mencium pipinya. Cup.

Ih, dasar laki-laki mesum. Enak sekali dia mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Memangnya siapa yang mau menikah dengan kamu? Aku tidak mau." Rania kembali melanjutkan pekerjaannya. Dalam hatinya sudah berkecamuk. Dia sangat tidak ingin pria itu memaksanya menikah.

"Mau tidak mau, kamu harus mau. Aku paling tidak suka ditolak. Auwh, auwh ... sakit, Sayang." Kaaran mengaduh kesakitan ketika Rania menginjak kakinya lalu menyikut dadanya dengan keras. Pria itu melepaskan pelukannya sambil mengelus dada dan kakinya secara bergantian.

"Rasakan itu. Dasar tukang pemaksa." Rania bergeser dari tempatnya berdiri sebelumnya. Semakin lama rasanya dia semakin ingin menghajar Kaaran, tapi tidak bisa karena Zoe dan Zack ada di sana.

"Papa, Papa kenapa?" Zoe dan Zack berlari menghampiri papanya yang terlihat sedang kesakitan. "Apa Mama memukul Papa?"

"Iya, Sayang. Sepertinya Mama kalian memang sengaja ingin membunuh Papa." Kaaran berpura-pura lemah di hadapan kedua anaknya. Dia ingin menarik simpati Zoe dan Zack agar kedua anaknya itu mau membelanya di depan Rania.

"Kenapa kalian suka sekali bertengkar?" Zoe menatap papa dan mamanya secara  bergantian.

Rania terdiam. Dia tidak menghiraukan pertanyaan putrinya dan lebih memilih fokus pada makanan yang sedang dia buat. Kaaran? Jangan ditanya lagi, dia pasti sedang memasang wajah dengan ekspresi yang sangat menyedihkan.

Zoe kembali berkata, "Mama, kenapa Mama suka sekali menjahati Papa? Bukankah Mama sendiri yang sudah mengajari anak-anak Mama, kalau jadi orang itu tidak boleh jahat. Mama juga 'kan yang sudah mengajarkan anak-anak Mama agar jangan bertengkar. Kenapa sekarang Mama yang suka bertengkar dengan Papa?"

Rania masih terdiam dan tetap fokus pada pekerjaannya. Dia memilih untuk tidak menggubris pertanyaan dari putrinya itu. Semakin lama Rania merasa kalau cara berpikir Zoe terlihat semakin dewasa. Zack juga demikian.

"Papa, ayo kita duduk di sana." Zack mengajak Kaaran untuk duduk di salah satu kursi meja makan.

Sementara itu, Zoe berjalan menghampiri mamanya. Gadis kecil itu memutuskan untuk berbicara baik-baik dengan sang mama karena dari tadi mamanya itu hanya terdiam saat diajak berbicara.

"Mama, ada apa dengan Mama? Kenapa Mama tidak mau berbicara." Zoe mendongak menatap Rania.

"Mama tidak apa-apa, Sayang." Rania akhirnya menjawab, tapi sambil fokus dengan pekerjaannya yang sudah hampir selesai.

Zoe menarik celemek yang sedang dipakai oleh Rania. "Mama, lihat Zoe sebentar."

Rania kemudian berjongkok di hadapan Zoe. "Iya, Sayang. Ada apa? Cepat katakan, karena sekarang Mama sedang memasak."

"Mama, Mama tidak boleh jahat pada Papa, ya? Zoe dan Adik tidak mau Papa pergi karena Mama selalu menjahati Papa. Kami sayang pada Papa, sama seperti kami sayang pada Mama. Kami tidak mau berpisah lagi. Kami mau keluarga yang utuh, seperti anak-anak yang lainnya. Ada mama, papa, kakak, dan juga adik."

Rania merasa hatinya tercubit ketika mendengar putrinya berkata seperti itu. Kehadiran sosok figur ayah yang asli tentu saja sangat didambakan oleh kedua anaknya. Rania bisa mengerti itu, karena dulu pun dia pernah merasakan betapa pentingnya peran kedua orang tua bagi anak-anaknya. Setelah ayahnya meninggal, Rania merasakan patah hati yang teramat dalam.

Mungkin mulai sekarang aku harus belajar untuk meredam keegoisanku. Aku mungkin bisa hidup tanpa papa mereka, tapi tidak dengan anak-anakku. Mereka sejak lama memang sangat mendambakan kehadiran sosok papa di dalam kehidupan mereka.

Rania memeluk Zoe. "Mama minta maaf ya, Sayang. Sekarang, kembalilah ke meja makan karena sepertinya masakan Mama sebentar lagi akan matang."

Zoe mengangguk. Dia memang anak yang penurut. "Tapi Mama mau berjanji 'kan kalau Mama tidak akan jahat lagi pada Papa?"

Rania tidak langsung menjawab. Sejenak dia menatap Kaaran bergantian dengan Zack.

Kaaran dan Zack tersenyum ke arah Rania. Sedari tadi mereka berdua memang menyimak percakapan antara Rania dan Zoe.

Meski pun aku sangat membenci papa kandung mereka, tapi demi kebahagiaan kedua anakku, aku rela hidup dan tinggal bersama dengan pria brengsek itu. Batin Rania.

Rania tersenyum paksa sambil mengelus lembut pipi Zoe menggunakan ibu jari kanannya. "Iya, Sayang. Mama berjanji."

Kaaran, Zoe, dan Zack sangat senang mendengarnya.

Terima kasih nak. Kalian berdua adalah pahlawan papa. Papa sangat bersyukur bisa memiliki kalian. Kaaran berkata dalam batinnya.

...----------------...

Usai makan malam bersama, Kaaran meluangkan waktunya untuk bermain bersama Zack dan Robot Papa di ruang keluarga, sedangkan Rania dan Zoe sudah naik duluan ke kamar mereka masing-masing.

"Ayo kita coba terbangkan, Papa." Zack berkata sambil mulai mengetes lebah robotik yang baru saja selesai dia buat.

Robot lebah itu fungsinya mirip seperti drone. Hanya saja ukurannya ratusan bahkan ribuan kali lipat lebih kecil dari benda tersebut. Jadi, robot lebah itu sangat cocok digunakan untuk memata-matai seseorang tanpa perlu khawatir akan ketahuan.

Kaaran kebingungan. Dia tidak mengerti apa maksud ucapan Zack. "Apa maksudnya, Sayang? Papa tidak mengerti."

"Bukan Papa, tapi Papa." Zack menunjuk Robot Papa.

"Oh." Kaaran menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia pikir Zack berbicara padanya, ternyata bukan.

"Ayo kita mulai sekarang Zack," kata Robot Papa.

"Siap, Papa." Zack mulai mengendalikan lebah robotiknya menggunakan remote kontrol khusus yang sudah dilengkapi dengan monitor berukuran 5 inch, sehingga Zack bisa mengontrol robot lebah tersebut kemana pun robot serangga itu terbang.

Zack mulai menerbangkan robot lebahnya di dalam ruangan, kemudian terbang menuju dapur.

Kaaran sangat kagum melihat kehebatan putranya dalam membuat robot. "Kamu sangat hebat, Zack. Papa sangat bangga padamu, Nak."

"Terima kasih atas pujiannya, Papa, tapi robot lebah ini masih dalam tahap uji coba." Setelah robot lebahnya terbang selama hampir 1 menit, Zack pun mencoba melihat hasil rekamannya.

"Wah, keren. Gambar dan suaranya lumayan jernih," kata Zack, setelah melihat hasil rekaman uji coba dari robot lebahnya. "Sebaiknya aku mencoba mengambil gambar dari tempat yang lebih jauh dari sebelumnya. Ahha, aku akan mencoba menerbangkannya ke lantai atas."

Zack mulai menerbangkan robot kecil itu menuju lantai atas. Dari layar monitor, Zack bisa melihat pintu studio Zoe terbuka, Zack pun mencoba mengendalikan robot lebah tersebut agar masuk ke dalam sana.

Tidak lama kemudian, Zoe tiba-tiba berlari turun dari studionya. "Papa, jaringan internet di studioku tiba-tiba terganggu, bisa minta tolong perbaiki sekarang? Aku sedang meng-upload konten, tapi jaringannya sangat lambat sekali."

"Papa tidak bisa melakukannya, Sayang," kata Kaaran. Dia memang tidak mengerti dengan hal semacam itu.

Zoe menggeleng sambil menunjuk Robot Papa. "Bukan Papa, tapi Papa."

"Baik, Papa akan ke atas sekarang." Robot Papa segera bangkit dari duduknya lalu segera naik ke lantai atas menuju studio Zoe.

Kaaran  memanyunkan bibirnya. Kejadian seperti ini sudah terjadi dua kali. Dia tidak suka anak-anaknya memanggil orang lain dengan sebutan 'Papa'. Dia memang belum tahu kalau dari dulu Zack dan Zoe memang memanggil robot pintar itu  dengan sebutan 'Papa'.

Aku pikir tadi Zoe dan Zack berbicara padaku, ternyata mereka berbicara pada robot itu. Aku tidak suka anak-anakku memanggil orang lain dengan sebutan papa, karena hanya aku satu-satunya yang pantas mereka panggil seperti itu. Panggilan 'papa' untuk robot itu harusnya di ubah, karena sekarang papa Zoe dan Zack yang asli sudah ada di sini.

Terpopuler

Comments

Rizky Anindiya

Rizky Anindiya

kalo gitu jgn panggil Papa tapi Daddy..🥰

2023-12-10

0

Shakila Rassya Azahra

Shakila Rassya Azahra

yg sabar ya papa karna papa memang sudah menjadi kesayangan mereka..

2022-05-28

0

Kastinah

Kastinah

papa jadi bingung🤣🤣🤣🙃🙃🙃papa tapi bukan papa,panggil saja papa robot

2021-12-13

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!