...Perhatian : Part ini memiliki banyak kata. Jadi saya minta untuk membaca pelan-pelan supaya apa yang saya tuliskan tersampaikan dengan baik dan jelas. Bila lelah? Baiknya berhenti dulu. Jangan memaksa. Kalau sudah tidak lelah? Silakan lanjut membacanya....
...Kejadian di bawah mungkin mencakup part 3-13 dalam sudut pandang Jafar. Dan akan saya bagi menjadi dua part....
...Untuk bagian note penting akan saya kasih di Part II POV Jafar....
...Terima kasih....
...Ini untuk kalian ❤️...
...•••...
...Part I Jafar POV...
Kecelakaan hebat dua tahun yang lalu, menyirnakan kebahagiaan yang keluarga saya miliki. Kehilangan seseorang yang begitu saya sayangi sangatlah menyakitkan. Bahkan saya sempat mempertanyakan keadilan Tuhan kepada kehidupan ini. Mengapa Sang Pencipta hanya mengambil Abi dan Paman Aziz saja? Sedangkan dengan jelas-jelas ada saya di dalam mobil itu. Mengapa tidak mengambil saya juga?
Supaya memori buruk tidak terus menerus menghantui saya, dan berputar tanpa henti di dalam otak ini. Suara rintihan kesakitan Abi dan Paman Aziz masih terdengar jelas, bau anyir darah, suara sirene ambulans, tangisan Ummi dan Bibi Sarah, semuanya. Semuanya tidak ingin hilang dari kepala saya!
Dan ... setelah saya bangun dari koma. Dokter menyatakan bahwa saya mengalami trauma kepala, sehingga mengakibatkan kebisuan, dan hilangnya beberapa ingatan saya. Demi Allah, saya menerima ini. Tetapi ... Ummi---beliau sangat sulit menerima keadaan yang saya alami. Ratap tangisnya akan kepergian Abi belum mereda, cobaan telah mendatangi beliau lagi.
Sungguh Ummi ... kita hanyalah manusia. Tidak bisa menolak takdir yang sudah seharusnya terjadi.
Sejak saat itu, orang-orang mengasihani saya. Berpikir seolah-olah saya adalah orang yang lemah, dan ... tidak berguna? Bahkan seorang anak dari teman Abi memilih untuk membatalkan pernikahan yang telah ditetapkan saat itu. Tentu alasannya---karena saya bukanlah Jafar yang dulu. Saya tidak bisa mengajar lagi, saya tidak bisa meneruskan usaha Abi dan Paman Aziz---karena lagi-lagi ini tentang komunikasi, orang-orang yang bertemu dengan saya pasti akan kesulitan. Tetapi dengan adanya adik saya Lutfan, pasti mudah. Sungguh saya sangat mempercayai dia.
Dan untuk menjalani hubungan lagi dengan seseorang ... harusnya saya ini lebih tahu diri.
Tidak ada yang ingin memiliki suami bisu.
Dan, tidak berguna seperti saya.
"Jafar ..."
Suara Ummi spontan membuat saya tersadar dari lamunan. Saya menuliskan note secepatnya untuk membalas Ummi.
"Dalem, Ummi?"
"Habis ini ikut Ummi ya, Nak?" ucap beliau.
Saya tersenyum melihat Ummi sedang sibuk membenarkan kerudung yang beliau pakai. Kemudian saya menulis lagi di sebuah kertas. "Ke rumah Bibi Sarah?"
"Iya, Nak."
Sungguh sebenarnya untuk menulis note terus menerus awalnya cukup lamban dan melelahkan. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak semua orang memahami bahasa isyarat, dan saya memilih untuk tidak melakukannya saat sedang berbincang dengan Ummi. Karena sebagai anak saya tidak ingin beliau merasa kesulitan. Maka saya memilih setiap saat membawa pena dan kertas saja, di bandingkan membuat orang lain kesulitan.
"Ayo, Nak!"
Kita pergi. Seperti biasa diantar oleh Cak Yanto mengunakan mobil, dan saat memasuki mobil jantung saya berdebar kencang, lantas tangan pun basah---sudah dua tahun berlalu tapi tetap saja trauma ini sulit sekali hilang.
Saya sudah mencoba.
Segala pengobatan telah saya lalui, ke psikiater tetap secara rutin, bahkan pemeriksaan terakhir ke dokter bedah pun juga. Semua sudah. Tapi memang saya yang perlu lebih berniat lagi dan terus berusaha. Karena segala pengobatan akan sia-sia jika saya tak berusaha untuk sembuh.
"Ayo, Nak turun," ucap Ummi.
Sudah sampai? Ah, ternyata saya lupa jika jarak pesantren dan panti asuhan cukup dekat. Sebenarnya pun mengunakan motor juga bisa, tapi lagi-lagi saya merasa sedikit takut dan tidak bisa menggunakan motor. Padahal jelas-jelas trauma saya hanya pada mobil tapi ternyata mempengaruhi semua kendaraan.
Aneh memang. Saya pun tidak mengerti.
"Lho? Sarah kok nggak ada?"
Mbok Isna---seorang wanita tua yang membantu Bibi Sarah membersihkan rumah tiba-tiba saja datang. "Itu Ummi, Umma Sarahnya belum pulang."
"Ternyata belum pulang? Ya udah Mbok, matur suwon. Saya sama Jafar nunggu di kantor aja. Tolong nanti njenengan bilangin ke Sarah, Mbok."
Saya dan Ummi ke kantor Bibi Sarah. Di tengah perjalanan saya memandangi sekeliling. Dan melihat asrama panti asuhan Al-Hikmah cukup banyak, bahkan suasananya pun nyaman. Bibi Sarah dan orang-orang yang tinggal di sini benar-benar merawatnya dengan baik.
"Di kunci. Duduk di sini saja ya, Nak?"
Ada dua kursi kayu di depan kantor Bibi Sarah. Ummi menduduki kursi kanan dan saya yang kiri, tiada perbincangan---karena saya pun akan menyulitkan beliau lagi jika terlalu banyak bertanya.
Kita sudah menunggu sekitar dua puluh menit. Bahkan sebentar lagi magrib Bibi Sarah pun belum datang. Ummi terlihat sekali lelah menunggu, saya mengambil pena dan buku catatan di saku dada dan menuliskan sesuatu untuk Ummi.
Saya menggoyang lengan Ummi pelan---sehingga beliau terbangun. "Bibimu sudah datang, Nak?"
Saya menggeleng. Dan menyerahkan note kepada beliau. "Ummi, lebih baik istirahat di ruang kesehatan. Atau kalau tidak, Ummi ingin pulang?"
"Sebentar lagi, Bibimu pasti datang."
Saya hanya bisa mengangguk. Semua ini permintaan Ummi---beliau memang selalu seperti ini.
"Ya Allah, Kak Sal!"
Suara seruan itu terdengar dari Bibi Sarah. Alhamdulillah. Setidaknya Bibi Sarah sudah datang dan Ummi jelas bisa segera masuk ke dalam.
"Kakak kenapa nunggu di kantor, sih?" ucap Bibi Sarah dengan membuka kunci kantor.
Ummi tersenyum. "Ya nggak pa-pa kan, Sar. Kakak suka nunggu di sini, adem gitu banyak pohon-pohon."
"Monggo Kak masuk. Jafar juga ayo, Nak," ucap Bibi Sarah.
"Kakak ke sini mau ketemu Alma?"
Ummi terlihat mengangguk. "Iya, Sar."
"Habis ini magrib. Kalau gitu kita sholat dulu ya Kak? Habis itu aku suruh anak panti panggil Alma."
Siapa Alma yang dibicarakan oleh Ummi dan Bibi?
Azan magrib berkumandang. Saya, Bibi dan Ummi bersiap pergi ke mushola. Dan sekitar tiga puluh menit, kami telah kembali ke kantor Bibi Sarah. Saya dan Ummi duduk bersebelahan. Sedangkan Bibi Sarah duduk berseberangan, tidak lama kemudian datang seorang perempuan yang ... mengantar makanan untuk Ummi waktu itu?
"Alma ..."
Ummi memanggilnya dengan nama itu. Jadi perempuan dengan gamis hitam dan kerudung maroon ini ... Alma?
Dia membalas panggilan dengan senyuman dan meletakkan beberapa minuman serta camilan di atas meja. Kemudian dia berujar, "Silakan, Ummi Salamah."
Tidak lama dia beralih tatap kepada Bibi Sarah. "Bibi Sarah ... memanggilku?" ucapnya.
Bibi Sarah terlihat mengangguk dan menarik perempuan itu untuk duduk bergabung dengan beliau. "Kamu duduk sebentar, ya?"
"Umma, mau menyampaikan sebuah amanah dari Bibi Maryam." Bibi Sarah lanjut berucap dengan menatap perempuan itu.
Dia menjawab, "Amanah apa?"
Sekitar lima detik akhirnya Bibi Sarah berucap, "Ini tentang pernikahanmu."
Pernikahan? Pernikahan dia?
"Lalu?" ucap dia.
Bibi Sarah membeo, "Lalu?"
"Alma sudah bilang waktu di rumah Ummi Salamah, kalau Alma belum siap untuk menjalani hubungan pernikahan," ucap dia.
Terlihat sekali dia sangat menolak hubungan pernikahan. Padahal jika saya lihat-lihat dia sudah sepantasnya untuk menikah.
"Tapi ini amanah dari Ibumu, Nak," sahut Ummi.
Kenapa saya tidak tahu jika Ummi di amanahkan mencarikan suami untuk perempuan ini?
"Alma akan menikah tapi nggak sekarang."
Dia menjeda sejenak dan lanjut berucap, "Lagi pula Alma belum menemukan laki-laki yang pantas."
Pantas? Pantas menurutmu itu yang bagaimana?
"Sudah ada," ucap Bibi Sarah.
"Jafar."
Seketika saya menatap Ummi. Jadi ... beliau akan menikahkan saya dengan perempuan ini? Apa maksud Ummi?
"Dia laki-laki yang di amanahkan Ibumu untuk menikahimu."
Bibi Sarah berucap lagi. Jadi pada akhirnya pun Ummi tidak menyerah mencarikan saya seorang pendamping. Tapi ... Bibi Sarah bilang itu amanah?
"Tapi dia bisu Umma."
Jeda tiga detik dia berucap lagi, "Alma nggak mau punya suami bisu."
Sungguh saya baik-baik saja mendengar penghinaan ini. Tetapi Ummi tidak akan pernah merasa baik-baik saja. Tega sekali perempuan ini menyakiti Ummi! Di mana nurani dia terletak?
"Almahyra!" Bibi Sarah menghardiknya.
Dari samping saya bisa melihat beliau hendak menangis. Maka secepatnya saya menggenggam tangan beliau erat.
"Kenapa kamu tega berbicara seperti itu, Alma?"
Berhenti Ummi, jangan berbicara lembut dengannya.
"Karena Ummi dan Umma memaksaku untuk menikah," jawab dia.
Perempuan ini sudah benar-benar keterlaluan. Saya mengambil buku dan membuka pena, menuliskan sesuatu di sana untuk di bacanya---dan menaruhnya di atas meja.
"Berhenti berbicara."
Dia menatap saya? Apa dia tidak terima karena saya menuliskan sesuatu untuknya? Setelah membaca itu, seperdetik kemudian dia berdiri meninggalkan kantor Bibi Sarah tanpa berucap apa-apa.
Tidak sopan.
"Jangan dengerin ucapan Alma, Kak Sal," ucap Bibi Sarah untuk menenangkan Ummi.
"Sarah ... jelas-jelas itu adalah amanah Ibunya. Dulu Kakak sempat menolak karena Jafar sudah menjalani ta'aruf dengan anaknya Hasan. Tapi ternyata---"
Saya berdiri, membiarkan Bibi Sarah duduk di samping Ummi untuk menenangkan beliau. "Udah, Kak udah."
"Tapi kenapa dia menolak Jafar seperti itu Sar? Kakak tahu Jafar memang nggak bisa bica--"
Bibi Sarah terlihat menggeleng dan menyanggah, "Ya Allah, Kak udah. Nanti kita bicara lagi sama Alma."
Saya memilih keluar---meletakan buku di atas meja untuk tumpuan menulis. "Berhentilah mengucapkan sesuatu hal yang bilamana diucapkan untukmu. Kamu sendiri pun tidak bersedia mendengarkannya."
Saya berharap dia bisa sadar setelah membaca tulisan di secarik kertas ini. Saya menyobek dan melipat menjadi dua bagian serta menggenggam secarik kertas itu. Mungkin perempuan itu tidak jauh dari sini. Mata saya menangkap dia masih berjalan di koridor kantor panti asuhan, lantas secepatnya saya berjalan mendekati dia dan menarik lengannya---membawa perempuan itu di samping dinding kantor yang redup.
"Le-pas." Dia mengerjap berkali-kali. Dia tidak percaya bahwa saya bisa sekasar ini?
Tolong katakan kepada saya. Bagaimana seharusnya saya bertindak saat melihat dia terang-terangan melukai hati Ummi? Walaupun yang di hina saya, tetap saja, tidak bisakah dia menolak secara halus?
"Lepasin saya!"
Melepaskanmu? Bagaimana jika saya lebih memilih mendorongmu lagi tanpa berniat memberi kelonggaran? Setidaknya ini bisa membuatmu sadar.
"Saya bakalan teriak kalau kamu nggak lepasin tangan kamu, Jafar!"
Kamu mengancam saya? Maka, baik. Saya juga mau mendengar, kamu berani berteriak atau tidak. Saya mengikis jarak kita berdua, mata dia terpejam. Bahkan dia seperti menahan napas. Apa dia takut? Jadi siapa yang mengertak dan siapa yang ketakutan? Perempuan ini aneh. Saya melihat dia menggunakan gamis bersaku samping---surat dalam genggam tangan ini saya masuk perlahan di sakunya.
Demi Allah, saya usahakan untuk tidak menyentuhnya. Sudah cukup, saya melonggar cengkeraman pada lengan. Mata dia terbuka---sekilas saya menatapnya dan melenggang pergi.
"Kurang ajar."
Itu yang saya dengar sebelum benar-benar meninggalkan dia sendiri.
...🌺...
Sekitar pukul 06.00 WIB biasanya perempuan bernama Alma itu akan mengantar makanan. Saya ingin melihat apa di masih bertanggung jawab dengan tugasnya atau tidak?
"Nak sebentar, ya? Kalau kamu nunggu makanan dari Bibimu. Sebentar lagi pasti datang."
Saya hanya mengangguk dan tersenyum. Saya meraba bagian saku atas dada ternyata lupa tidak membawa pena dan kertas. Secepatnya saya kembali ke kamar, sebelum keluar saya duduk sejenak---mengeluarkan kembali pena dan kertas dari saku. Lantas menulis sesuatu untuk ... Alma?
"Saya pun juga tidak mau menikahi perempuan yang memiliki lisan buruk sepertimu."
Samar-samar saya mendengar suara perempuan mengucapkan salam. Apa itu Alma? Secepatnya saya menyobek kertas tersebut dan menggenggam. Saat keluar dari kamar tatapan mata saya beradu sejenak dengannya kemudian saya menatap Ummi dan mengerakan bibir berucap, "Jafar saja, Ummi."
"Ini," ucap dia dengan memberi salah satu rantang. Dan saat mengambil rantang terakhir saya menyelipkan secarik kertas di antara jari-jarinya.
"Baca."
Saya menggerakkan bibir sesuai dengan apa yang saya bisa. Entah dia paham atau tidak, tetapi yang pasti dia menggenggam secarik kertas itu dengan erat.
"Alma permisi, Ummi. Assalamualaikum," pamitnya.
Saya berjalan mendekati Ummi dan meletakkan kedua rantang di atas meja.
"Kamu makan, ya Nak?"
Saya menggeleng dan menggerakkan bibir. "Nanti saja."
Saya mengeluarkan pena dan kertas dari saku. Lantas menuliskan sesuatu yang ingin saya bicarakan sendari malam, setelah pulang dari rumah Bibi Sarah.
"Ummi tidak perlu mencarikan Jafar istri."
Setelah membaca note yang saya berikan beliau menatap saya dengan sendu. "Putri Ustaz Hasan memang akhirnya menolak kamu, Nak. Tapi Ummi yakin. Alma ... dia tidak akan menolakmu. Lagi pula ini juga tentang amanah dari Ibunya. Dia pasti mau menikah denganmu," ucap beliau.
"Dia yatim piatu, Mi?"
Ummi mengangguk dan meletakkan note kedua saya di pangkuannya beliau. "Ayahnya meninggal waktu dia berumur 10 tahun dan Ibunya meninggalkan dia saat umurnya 14 tahun."
Apakah dia ... baik-baik saja? Semua manusia memang memiliki kesedihannya sendiri-sendiri. Tidak hanya saya yang hidup menyedihkan, dia pun juga.
Dan saya merasa ... bersalah atas dirinya.
...🌺...
Malam setelah kita pulang dari rumah Bibi Sarah. Beliau nampak berseri-seri bahagia, ada apa gerangan dengan Ummi saya itu?
Saya mengambil pena dan buku catatan dalam saku dan menuliskan sesuatu. "Ummi bahagia sekali. Apa ada kabar baik?"
"Alma mau menikah denganmu, Nak. Dan dia meminta maaf atas ucapannya waktu itu padamu," ucap Ummi.
Dia meminta maaf? Saya ... akan memaafkannya juga. Tetapi bagaimana Ummi bisa bertemu dengan Alma? Sedangkan saat saya ingin ke kantor Bibi Sarah jelas-jelas dia sedang menangis dan tidak sengaja menabrak saya. Bahkan Ummi bilang, bahwa Alma merasa kecewa dengan saudaranya sendiri.
"Tapi dia minta waktu tujuh bulan. Dan Ummi tetap setuju."
Sekarang, apa-apaan dia menerima pernikahan ini? Dan meminta waktu tujuh bulan?
"Kamu dengar sendiri kan waktu Ummi lagi video call kamu di ruang penyimpanan berkas tiba-tiba saja Tantenya Alma datang?"
Saya mengangguk.
"Tantenya mau bawa Alma tinggal bersama. Tapi ya ... seperti yang kamu dengar. Alma kecewa, bahkan dia minta Bibi Maryam untuk memindahkannya dari panti asuhan, Nak."
Ummi menggeleng cepat. "Ummi bener-bener nggak setuju. Lebih baik menantu Ummi itu tinggal di pesantren aja. Kenapa harus pindah-pindah kan?"
Saya menulis lagi dikertas, untuk meralat ucapan Ummi. "Calon menantu, Ummi. Belum menjadi menantu."
"Sama aja udah!"
Saya tertawa kecil melihat Ummi mengelak.
"Minggu bersama bulan ini kamu ditugasi apa sama Bibimu?"
Saya menulis beberapa kalimat dan menyerahkan kepada Ummi. "Tugasnya sama seperti bulan lalu, Ummi. Jafar dan Lutfan akan menjaga stan koin dan Banyu menjaga stan permainan."
"Banyu anaknya Pak Cipto ya? Itu adiknya Ustadzah Aini."
Saya mengangguk dan menggerakkan bibir. "Iya, Ummi."
[.]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Atun Suwito Rejo
sdh lama masuk daftar favorit tapi baru smlm mulai baca
dan langsung suka
trima kasih ka
semangat slalu kak
2021-11-24
1
Nona Bucin 18294
semangat updatenya kak 💜😊🤗
2021-11-21
0
Khafida II
next kaka..
salam dari sepupuku, suamiku
2021-10-18
2