...Bagian 6 : Alasan Mengapa Ia Menyembunyikan Semua Ini....
"Hernia umbilikalis."
Umma Sarah adalah orang awam yang tidak begitu mengetahui bahwa penyakit hernia memiliki banyak jenis. Begitu pula dengan Alma yang baru mengetahui itu saat terakhir kali mengantar Ibunya---Anggraini ke rumah sakit dan ternyata dokter mengatakan bahwa jenis hernia yang ia derita semenjak bayi adalah hernia umbilikalis.
"Kenapa saat kamu masih bayi nggak sesegera mungkin di operasi?" tanya Umma Sarah.
Alma menunduk dengan memilin jari-jari kedua tangannya, saat-saat seperti ini yang paling tidak ia sukai. Seseorang akan menanyai sebab dan alasan mengapa tidak sesegera mungkin prosedur operasi itu dilakukan saat ia masih bayi.
"Dokter tidak menyarankan, Umma," jawab Alma.
Umma Sarah terlihat mengerutkan kening. Kemudian mengambil duduk di kursi kantor putarnya, netra itu menatap Alma dengan iba. Tatapan yang sangat Alma hindari selama ini akhirnya terealisasi. "Bukan karena biaya operasi itu mahal kan, Nak? Sehingga kamu ... maksud Umma, Ibumu---"
Alma menggeleng. Kemudian ia menyanggah, "Ibu ada uang, Umma. Saat aku umur delapan tahun Ibu menjual tanah yang ada di Menganti, atas persetujuan Ayah."
"Biaya operasi itu ... berapa kira-kira?" tanya Umma Sarah.
"Sekitar tujuh juta sampai sepuluh juta. Antara itu yang aku tahu, Umma."
Usai menjawab pertanyaan Umma Sarah, Alma mengusap wajah dengan kedua tangannya lantas menghela napas berat. Semua ini akhirnya terungkap. Netra miliknya tiba-tiba berubah menjadi sendu, entah mengapa untuk membahas masalah ini dengan orang lain membuat ia mengingat kembali Ibu dan Ayahnya. Kedua orang tua baik hati yang dengan ikhlas menerimanya pada waktu itu. Ia menyakini pasti dulu begitu banyak gunjingan yang telah Ibu dan Ayahnya terima. Karena akhirnya pun hernia itu tidak beranjak hilang saat ia semakin bertumbuh besar.
Hernia itu menetap.
Membuat Alma memiliki ketakutan berdasar akibat terlalu seringnya ia kembali ke rumah sakit.
"Jadi karena ini alasanmu bersikap seperti itu waktu membahas pernikahan?" tanya Umma Sarah.
Alma mengangguk pelan. "Iya. Tapi enggak sepenuhnya, Umma. Bagi Alma menjalani kehidupan pernikahan berarti menemani seseorang yang Alma cinta seumur hidup," ucap Alma.
Netra sendunya menatap Umma Sarah dengan begitu dalam dan kemudian Alma berucap lagi, "Lantas bagaimana bisa Umma memaksaku menemani laki-laki yang sama sekali belum aku cintai?"
Umma Sarah terdiam sejenak. Apa yang telah diucapkan oleh Alma cukup untuk dipertimbangkan kembali. Karena dasar dari sebuah pernikahan selain cinta adalah kesediaan menerima. Alma tidak mencintai Jafar dan Alma belum tentu bersedia menerima Jafar. Umma Sarah mencoba memahami sebaik-baiknya pernikahan memang tidak seharusnya berdasarkan dengan paksaan.
"Umma mengerti, Nak."
Jeda tiga detik Umma Sarah berucap lagi, "Tetapi ada satu hal yang ingin Umma minta darimu."
Alma menghela napas sejenak, tangan kanannya membetulkan kerudung yang entah mengapa tidak ia sadari sedikit tersikap.
"Sedikit pun aku nggak bisa berjanji untuk memenuhi permintaan, Umma," ucap Alma.
Jeda tiga detik Umma Sarah berucap, "Jangan pernah merasa rendah karena bertambah satu orang lagi yang mengetahui keadaanmu saat ini, Nak."
Alma sudah merasa rendah. Cukup sulit rasa-rasanya mengendalikan diri untuk kembali percaya bahwa keadaan ini akan segera membaik setelah dilakukannya operasi. "Insya Allah, Umma."
Dengan senyum simpul ia menatap Umma Sarah kembali dan melanjutkan ucapannya, "Bertambah dua orang, Umma. Ummi Salamah juga tahu, kan?"
"Iya. Beliau juga tahu."
Seperdetik Umma Sarah menjawab pintu kantor panti asuhan di ketuk dengan cukup nyaring dari luar. Dan di susul dengan suara bariton yang memanggil Umma Sarah. Saat mendengar itu Umma Sarah sigap berdiri melangkah menuju pintu dan membukanya.
"Ya Allah ... Lutfan?" ujar Umma Sarah.
Dari samping Alma bisa melihat bahwa nerta serta senyum Umma Sarah melukiskan suatu hal yang begitu membahagiakan. Lantas tiba-tiba saja Umma Sarah memeluk lelaki yang ia panggil dengan nama Lutfan itu. Entah mengapa rasa-rasanya Alma melihat pertemuan kembali seorang anak dan Ibu yang saling merindu selama bertahun-tahun.
Apa lelaki itu juga anak panti asuhan ini?
Pelukan itu terlepas perlahan. Netra Lutfan bertemu tatap dengan Alma. Kemudian Lutfan mendekatkan bibirnya di telinga Umma Sarah---mungkin berniat berbisik. Namun alih-alih berbisik lirih, Lutfan berucap dengan lumayan keras sehingga sama saja Alma tetap bisa mendengar.
"Iya, dia. Dia siapa, Umma?" ucap Lutfan, lagi.
"Anak asuhan, Umma," jawab Umma Sarah.
Alma berdiri melangkah menuju ambang pintu, ia merasa bahwa ada tamu baru yang harus Umma Sarah sambut. Maka baiknya ia sesegera mungkin pergi agar tidak menganggu perbincangan kedua orang yang telah lama tidak bertemu sapa. "Umma, Alma permisi."
"Eh, bentar! Gue mau---" Ucapan itu terdengar dari Lutfan. Sebelum Umma Sarah menutup rapat mulut lelaki itu dengan tangan kiri beliau.
Umma Sarah menggeleng saat melihat Alma berbalik menatap Lutfan. "Sudah nggak usah di landeni mulut anak ini! Umma minta tolong nanti sore ajak belanja Inayah ya ke swalayan, Nak?"
"Iya, Umma. Alma permisi."
...🌺...
Alma sudah sangat berlapang dada.
Segala cara ia yakinkan bahwasanya takdir hidup yang telah diberikan Tuhan memang sedemikian rupa. Tidak ada yang buruk, mungkin hanya sedikit menyakitkan. Derita yang berawal dari kelahirannya, di susul dengan kehilangan seorang Ayah di usia sepuluh tahun karena menderita penyakit diabetes mellitus. Dan Alma kira mungkin duka kehidupan ini telah berakhir, namun nyatanya salah. Empat tahun kemudian Ibu yang begitu ia cintai menyusul sang Ayah karena menderita penyakit paru obstruktif kronis. Lantas siapa yang bersedia menampung anak remaja usia empat belas tahun yang menyedihkan ini?
Sanak saudara?
Tiada.
Semua menghilang saat Alma benar-benar membutuhkan rasa iba dari para saudara Ibu dan Ayahnya.
"Kalau di ingat-ingat kata Bibi Maryam benar. Aku bukan lagi anak remaja 14 tahun yang bakalan nangis kalau nggak ditemani sebentar," gumam Alma.
Dulu ketakutannya adalah sendiri. Saat terbangun dari tidur melihat Bibi Maryam tidak berada di sampingnya saja ia akan berteriak histeris dan menangis sejadi-jadinya. Untuk sekarang ia tidak akan mungkin menangis atau berteriak bila ditinggalkan sendirian. Ia akan senang. Karena semakin beranjak dewasa ia semakin menepi dan tidak ingin terusik.
"DOR!" Suara yang cukup nyaring itu terdengar dari Kirana di susul punggungnya yang di sentuh oleh kedua tangan mungil adik panti asuhannya.
Alma tertawa pelan. "Kakak nggak kaget, Na. Kelihatan tadi dari jendela."
Kirana berdecak. "Kok bisa, sih?! Padahal capek-capek Kirana jalan pelan supaya Kak Alma kaget," jelasnya.
Alma menghidupkan gawainya dan melihat jam digital menunjukkan pukul 12:15 WIB ternyata sudah waktunya para adik-adik panti yang bersekolah dasar pulang. "Inayah mana?" tanya Alma.
"Kayaknya masih sama Kak Salsa. Nggak tahu bicara apa gitu, Kirana di suruh balik dulu ke kamar. Terus Kirana nggak sengaja lihat Kak Alma ngelamun gitu dan Kirana punya niat buat ngangetin Kakak tapi Kakak sama sekali---"
"Bernapas, Kirana," ucap Alma. Kirana memang selalu seperti ini, Alma harus sering-sering mengingat supaya adik kecilnya ini tidak lupa untuk bernapas karena terlalu banyak berbicara.
Diperhatikannya Kirana yang beberapa kali mengambil dan membuang napas dengan cepat. "Sudah ini sudah napas Kirana, Kak!" seru Kirana.
Dengan wajah cemberutnya Kirana menyusul Alma untuk duduk di tepi pelataran asrama tepat di samping kakak asuhannya itu. Kemudian kedua tangan kanan serta kirinya menarik ujung kerudung putih yang senada dengan seragam sekolahnya "Kak Alma ini kerudung Kirana sudah rapi, kan?" tanya Kirana.
"Sudah, Kirana. Rapi. Bersih. Cantik lagi."
Mendengar pujian yang begitu banyak dari Alma, Kirana tersenyum dengan lebar. "Kirana emang cantik, Kak. Alhamdulillah," ucap Kirana.
Terdengar suara menggelegar di langit. Alma dan Kirana spontan menengadah melihat awan-awan hitam telah menjadi satu kesatuan dan rinai hujan pun mulai menjatuhi bumi secara bersamaan. "Wah, hujan, Kak!" seru Kirana.
"Iya, nih. Sudah lama nggak hujan. Ayo masuk ke kamar Kak Alma, Na," ucap Alma dengan berdiri terlebih dahulu dan di susul mengapai tangan Kirana untuk membuat adik kecilnya tersebut ikut berdiri.
Setelah memasuki kamar Alma menutup pintu itu dengan rapat. Untuk menghindari hawa yang mulai mendingin akibat penurunan celsius, meskipun masih ada sedikit celah di atas pintu setidaknya tidak terlalu membuat ia menggigil.
"Dingin nggak, Kak?" tanya Kirana.
Alma mengusap lengan kanan dan kirinya bersamaan dengan menjawab, "Lumayan dingin, Na."
Kirana yang tadi berdiri menyusul Alma duduk di tepi ranjang. "Kirana duduk sini ya, Kak?"
"Iya."
Deru napas Kirana terdengar berkali-kali. Seperti begitu banyak kegelisahan yang tengah adik kecil asuhannya itu sembunyikan. "Kamu sakit, Na?" tanya Alma.
Kirana menggeleng. "Enggak, Kak. Kirana alhamdulillah sehat."
Jeda tiga detik Kirana berucap lagi, "Kak Alma udah berapa tahun tinggal di panti asuhan?"
Saat tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari bibir merona alami Kirana. Netra Alma tepat menatap Kirana yang seperdetik kemudian menunduk dalam. Ada tatapan sendu di netra elok dengan bulu lentik nan panjang tersebut, yang sesekali terlihat samar menyiratkan duka dibalik canda tawa juga ceria di paras milik Kirana.
Apa itu cuma kedok?
"Di sini baru dua minggu lebih tiga hari. Kalau ditanya berapa tahun, sudah sekitar tujuh tahunan, Na," jawab Alma.
Terdengar Kirana menghela napas berat. Di tatapnya Alma dengan senyuman lebar yang menunjukkan deretan gigi yang ujungnya menggingsul. "Kalau Kirana dari umur lima tahun dan sekarang umur Kirana sepuluh tahun, berarti lama Kak Alma ya? Padahal kalau di ingat-ingat Kirana berasa lama banget di sini. Eh, ternyata lama-an Kakak."
Kirana mengambil dan membuat napas sejenak untuk menjeda percakapan ini. Karena Kirana tidak mau Alma mengingatkannya terus menerus dan berakhir membuatnya kesal. "Kadang Kirana tuh bosan, Kak. Gimana ya rasanya jalan-jalan ke mall bareng Mama Papa? Terus juga gimana rasanya di siapin bekal sama Mama. Kirana tuh pengen banget, terus di antar ke sekolah sama Papa. Kak Alma pernah, nggak?"
"Pernah," jawab Alma.
Kirana mengangguk paham. "Asik nggak, Kak?"
"Asik."
Kirana terdiam sejenak. Kemudian berucap lirih, "Kirana jadi pengen."
Mendengar segala ocehan Kirana membuat Alma sadar bahwa setiap kebahagiaan yang manusia alami pasti akan menyisihkan kesedihan bagi manusia lainnya. Ia pernah merasa bahagia dengan hidup bersama Ayahnya selama sepuluh tahun dan bersama Ibunya empat belas tahun. Sedangkan, Kirana? Hanya lima tahun hidup di bersamai oleh kedua orang tuanya.
Maka, mana yang lebih beruntung dan merasa bahagia dengan lama?
Dirinya.
"Sama Kakak aja gimana? Kita keliling swalayan sama Inayah juga," ujar Alma.
Kedua sudut bibir Kirana tertarik. Adik kecilnya itu tersenyum lebar hingga deretan gigi gingsulnya mencuit keluar sedikit. "Boleh! Ayo, Kak!"
"Nanti sore kalau hujannya udah reda, ya?" Alma menjeda sejenak. Ia berdiri menuju jendela lantas menyikap tirai dan melihat area luar kamar. Lalu berucap, "Inayah kayaknya udah datang. Sekarang kamu kembali ke kamar dulu. Nanti sore temui Kakak, kita jalan-jalan ke swalayan. Oke?"
Kirana mengangguk.
...🌺...
Bakda magrib hujan mereda. Sudah dipastikan rencana sore untuk berjalan-jalan di swalayan terpaksa batal. Kini Alma hanya mendekam di kamar sunyi dan redup ini. Di nakas terdapat sisa makanan yang diberikan oleh Kirana tadi---batagor dengan bumbu kacang. Alma yang semula selonjor, tiba-tiba tegak duduk di tepi ranjang lantas berdiri mengambil meja belajar dan membukanya di atas ranjang.
Netra Alma menangkap keyboard mini putih di laci susunnya. Kemudian di ambil dan mendudukkan diri kembali ke ranjang. Di utak-atik gawai hingga terbuka aplikasi baca tulisnya dengan segala ide serta imajinasi tangan kiri dan kanannya lihai mengetik karya yang sedang berlangsung itu.
Kling!
Notifikasi masuk saat Alma sedang asik-asiknya menulis. Tertera nama kontak: Mardiyah panti asuhan Al-Hikmah. Lantas keningnya mengerut, karena sangat tidak biasanya Mardiyah mengirim pesan singkat.
Mardiyah panti asuhan Al-Hikmah
Di suruh ke kantor sama Umma Sarah
Alma menghela napas berat, setiap ada urusan di kantor Umma Sarah pasti akan berhubungan dengan Ummi Salamah. Dan ia tidak benar-benar menyanggupi untuk bertemu dengan Ummi Salamah lagi, selain karena kesal dengan surat yang Jafar tulis. Alma juga merasa bahwa mungkin saja Ummi Salamah menganggap ia adalah gadis yang tidak beradab.
Masalahnya tetap sama, karena Alma belum meminta maaf pekara lisan buruk yang ia katakan.
^^^Ba'da Isya aku ke sana^^^
Mardiyah panti asuhan Al-Hikmah
Sekarang
Beliau nungguin, Alma
^^^Oke^^^
Beranjak Alma dari tempat tidur, tangan kanannya mengambil kerudung navy paris di gantungan baju. Lantas ia memakainya sesegera mungkin, langkah kaki kecilnya berjalan menyamping untuk melihat penampilan diri di depan pantulan cermin. Ia sedikit menunduk untuk melihat beberapa deretan skincare yang dibutuhkannya saat keluar agar setidaknya paras ayu ini tak pucat. Bedak dan lip balm telah menjadi pilihan, dengan lihai ia memoles tipis di bagian wajah serta bibir secara merata.
"Sempurna. Lumayan bagus lah, nggak sepucat tadi," gumam Alma.
Langkah kaki itu berjalan menuju pintu. Di bukanya perlahan dan di tutupnya kembali. Setelah benar-benar memastikan pintu itu terkunci, Alma berbalik melihat halaman asrama satu dan dua yang cukup sepi. Netranya melihat ke samping---kamar Inayah dan Kirana juga tertutup. Alma berjalan lamban agar tidak membuat kebisingan, saat telah sampai di depan perpustakaan netra indah itu juga tidak menangkap anak-anak yang sedang membaca.
"Habis hujan. Makanya sepi kali, ya?" monolog Alma.
Alma melangkahkan kakinya dengan sedikit tergesa. Berpikir mungkin Umma Sarah sudah menunggu. Sekian menit, saat tiba di pelataran kantor Alma mendengar suara bising dari teriakan seorang bayi yang terus menerus menangis. Di susul suara lembut wanita yang berusaha menenangkan bayi tersebut.
Ada tamu?
"Alma kok lama, ya Umma?" Suara lembut itu terdengar saat Alma baru tiba di ambang pintu.
Netra milik Umma Sarah menatapnya dengan begitu riang. "Itu, Alma!"
"Assalamualaikum, Umma."
Wanita dengan surai hitam sebahu serta kerudung maroon pashmina yang di selempangkan saja, di antara bahu kiri dan kanannya menatap Alma dengan semringah. "Alma sayang," ucapnya.
Alma terbelalak melihat wanita itu. "Tan-te Bunga?"
"Kamu masih ingat Tante, Alma?"
Note :
• Di kutip dari www.kodebpjs.com : secara umum operasi hernia secara mandiri bisa memerlukan biaya sebesar Rp 7.000.000 sampai Rp 20.000.000. Bahkan bisa lebih dari itu tergantung dengan parahnya hernia dan cara penanganannya.
• Alma bilang 7 - 10 juta karena perkiraan yang ia ketahui segitu.
• Kenapa nggak langsung di operasi waktu bayi? Di kutip dari www.sehatq.com : karena sebagian besar kasus hernia umbilikalis pada bayi akan sembuh dengan sendirinya, maka tindakan operasi tidak disarankan pada bayi. Dokter akan menyarankan Anda untuk memantau tonjolan tersebut hingga bayi berusia sekitar 4 tahun.
• Lah terus kok di usia 4 tahun Alma nggak segera di operasi? Ibu Anggraini nggak punya uang (belum ngurus KIS). Dan setelah berpikir-pikir akhirnya menjual tanah di Menganti saat umur Alma menginjak 8 tahun. Dan saat umur 8 tahun, Alma sudah tahu akan kembali ke rumah sakit lagi dan jelas itu membuatnya takut.
• Menganti adalah Kecamatan yang ada di Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Xianlun Ghifa
next
2021-10-08
1
Senja Merona🍂
surai itu apa ya thor?
2021-10-08
1