...14 : Surat Perantara...
Satu bulan berlalu.
Setelah pertikaian hebatnya terjadi, orang-orang sebaya dan usia lanjut di panti asuhan atau pesantren, terus menjadikan dirinya dan Mardiyah sebagai buah bibir. Karena sungguh tidak mungkin, ucapan keras dari Mardiyah tidak terdengar sampai ke dinding-dinding yang bertelinga---pasti ada yang mendengar.
Untuk ke rumah sakit pun, harus di batalkan. Karena Ummi Salamah dan Umma Sarah harus meredakan situasi ini, supaya tiada gunjingan yang ia dan Mardiyah terima secara terang-terangan. Dan mengenai janji yang telah ia sepakati dengan Ummi Salamah, akan segera terlaksana enam bulan ke depan. Tiada lagi penolakan. Ia sudah meyakinkan diri, bahwa pilihan seorang Ibu untuk anaknya adalah yang terbaik.
"Kak Alma!"
Lamunan Alma hilang saat mendengar suara panggilan yang cukup keras dari Kirana.
"Apa, Na?"
Secarik kertas diserahkan kepadanya. "Ini, Kak," ucap Kirana.
Kening Alma mengerut. "Ini apa, Na?"
"Surat dari Ummi Salamah, Kak. Tapi yang ngasih tadi Umma Sarah, terus Umma Sarah bilang akunya suruh ngasih ke Kak Alma," jelas Kirana.
"Makasih, Na."
Setelah menerima surat itu. Alma beranjak dari tepi lapangan. Sungguh ia termenung di sini karena sangat menyayangkan bulan lalu ia harus melewatkan acara minggu bersama, untuk pertama kalinya. Meskipun bulan ini ia mengikuti, tetap saja terasa berbeda. Tentu karena ada perasaan tak nyaman yang melibatkan dirinya dan Mardiyah.
"Hei, ukhti!"
Alma menatap ke samping, melihat Lutfan duduk di kursi batu taman dengan senyum lebar dan tangan yang melambai-lambai. "Ukhti, lo tega banget nggak bales sapaan gue?!"
"Hei, Kakak ipar!" seru Lutfan, lagi.
Alma berhenti berjalan. Ia berbalik dan berucap, "Waalaikumussalam, Adik ipar."
Alma menekankan kata panggilan Adik ipar. Supaya kalau-kalau Mardiyah mendengar, tidak lagi menyimpulkan bahwa ia telah merebut seseorang dari kehidupannya lagi.
"Iya maksud gue itu tadi. Assalamualaikum, waalaikumussalam. Ukhti, kenapa kok lo akhir-akhir ini jarang ke kantor lagi?" ucap Lutfan.
"Berarti itu artinya, saya bukan lagi orang penting," jawab Alma.
Mata Lutfan melebar. "Apaan! Justru elo itu penting karena sebentar lagi mau jadi Kakak ipar gue, harusnya lo itu sering-sering ke kantor, bukannya---"
"Lutfan, tolong berhenti. Kamu ini banyak omong," sanggah Alma.
Lutfan menggeleng-gelengkan kepala, dengan tangan kanan yang mengelus dada berkali-kali. "Astagfirullah, ukhti. Lo tega banget menistakan Adik ipar lo sendiri! Lo bener-bener nggak punya perasa---"
"Jangan mendramatisir, Lutfan. Kamu ini sebenarnya umur berapa, sih? Nggak bisa banget gitu tingkahmu ini sedikit dikondisikan?" sanggah Alma dengan berbagai tanya.
"Dua puluh. Kenapa? Lo nggak nyangka kan?"
Dua puluh? Pantesan agak tengil.
Alma tidak mengindahkan dan melenggang pergi. Lantas seperti biasanya, segala ocehan akan keluar dari bibir Lutfan dengan tidak tahu malu.
Alma menunduk, melihat surat yang diberikan oleh Ummi Salamah. Kemudian menatap lurus kembali, saat telah sampai di pelataran asrama. Secepatnya ia masuk ke dalam kamar, mengunci pintu dan membuka kerudung, juga duduk di tepi ranjang.
"Jadi ... Ummi Salamah yang ngirim?" gumam Alma, saat melihat surat yang sekarang berada di pangkuannya.
Dengan perlahan tangan kirinya menyobek amplop kertas itu, dan tangan kanan mengeluarkan secarik kertas di dalamnya. Kening Alma sedikit mengerut saat melihat ada dua kertas di sana. "Dua-duanya dari Ummi?" monolognya.
Lipatan kertas pertama yang menjadi dua itu dibuka perlahan oleh Alma---setelah benar-benar terbuka lebar, ia membacanya.
Ini Tante Bunga, Alma Sayang.
Tolong terima cek yang Tante berikan ke kamu. Mungkin uang itu nggak seberapa, tapi Tante yakin pasti bisa membantu. Jangan menolak, Sayang. Dan jangan pernah menganggap uang itu sebagai tanda permintaan maaf Tante ke kamu. Karena sampai kapan pun kata maaf nggak bisa tergantikan oleh uang.
Segera ke hospital ya, Sayang? Segera lakukan operasi. Dan Tante akan menunggu kabar baiknya dari Ummi Salamah dan Umma Sarah.
Sekali lagi, tolong maafkan Tante, Alma.
Alma melihat amplop lagi, yang ternyata di dalamnya masih terdapat satu kertas . Yaitu, cek sebesar sepuluh juta. Ia terdiam menatapi cek tersebut.
Harusnya Tante datang. Supaya aku bisa minta maaf atas tindakan kurang ajarku waktu itu.
Alma menghela napas, tangan kanan dan kirinya kembali melipat surat yang diberikan oleh Tante Bunga, serta menyimpannya bersama cek tersebut. Di atas ranjangnya masih terdapat secarik kertas lagi, yang Alma yakini mungkin ini memang dari Ummi Salamah. Ia membuka surat kedua itu secara perlahan dan membacanya.
Assalamualaikum, Alma.
Enam bulan lagi. Apakah kamu sudah berubah pikiran? Atau justru kamu tetap memutuskan menerima laki-laki bisu ini?
Tolong jangan memaksakan diri, Alma.
Pernikahan adalah ibadah yang harus dijalani dengan segala keridaan. Dan bilamana kamu merasa bahwa saya bukanlah laki-laki yang pantas untuk kamu patuhi. Maka tolak saya dengan tegas dihadapan Ummi, seperti waktu itu.
Saya sudah cukup menderita dengan kehidupan ini. Maka jika saya bisa meminta, tolong tolak pernikahan ini secepatnya. Supaya Ummi tidak berharap lebih dan merasa kecewa atas keputusanmu nantinya.
Saya hanya memiliki Ummi untuk sandaran hidup ini. Dan sungguh saya tidak rida bilamana ada orang yang melukai Ummi lagi.
Untuk waktu, tolong maafkan saya.
-Jafar
Ingatan Alma berputar pada kejadian di mana Jafar mencengkeram lengannya dibawah lampu redup. Bahkan saat sampai asrama lengannya sedikit membiru karena cekalan yang begitu erat. Sungguh memang sakit, namun ia sadar yang bersalah adalah dirinya, bukan Jafar.
"Kamu bilang, pernikahan adalah ibadah yang dijalani dengan segala keridaan ..." Surat itu dilipatnya kembali oleh Alma, dan di simpan pada sebuah kotak yang berisi surat-surat Jafar lainnya. Kemudian ia berujar, "Maka jika saya rida miliki suami seperti kamu. Apa kamu juga akan rida memiliki istri ... seperti saya?"
Alma berdiri mengambil pena dan kertas. Kemudian sedikit berjongkok mengambil meja belajar---lalu membuka meja di atas ranjang. Dan menyusul duduk di sana, mulai membuka pena dan menuliskan surat balasan untuk Jafar.
Waalaikumussalam.
Saya rida menikah denganmu, Jafar.
Keputusan saya akan tetap sama sampai kapan pun. Dan saya tidak akan pernah mengecewakan Ummi Salamah lagi.
Seperti yang kamu tuliskan, hidupmu sudah cukup menderita. Maka saya tidak ingin menambah deritamu dengan menolak pernikahan yang sudah seharusnya ada.
Dilipatnya surat itu. Ia berdiri membuka nakas kedua mengambil amplop putih dan memasukan secarik kertas di dalam sana. Kemudian ia duduk kembali di ranjang, mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
"Pasti. Pernikahan ini pasti akan terjadi. Dan aku nggak akan pernah mengecewakan Ibu, Bibi, dan juga Ummi lagi," gumam Alma.
Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu dari luar. Secepatnya Alma berdiri, mengambil kerudung bergo hitam dan memakainya. Saat telah sampai di ambang pintu, ia membukanya.
"Iya, Sal?" ucap Alma saat melihat Salsa berada di depannya.
"Sampean sudah makan?" ucap Salsa.
Kening Alma mengerut. Kenapa Salsa bertanya seperti itu? Padahal jarum jam telah menunjukkan pukul setengah dua, di mana makan siang bersama telah dilakukan pukul 12.00 WIB tadi. "Sudah, Sal. Tadi waktu makan bersama aku makan di situ juga," jawab Alma.
"Jadi sekarang sampean nggak laper?"
"Enggak."
Jeda lima detik Salsa berujar lagi, "Sampean mau ikut aku bentar ndak Mbak?"
"Ke mana?"
Salsa terlihat menunduk sebentar. Kemudian menatap Alma lagi dan berujar lirih, "Ke Pesantren."
...🌺...
Alma menyetujui untuk ikut ke pesantren. Entah apa yang ingin Salsa lakukan, ia hanya menunggu di depan pesantren---karena jikalau ia masuk sudah pasti akan bertemu dengan Ummi Salamah.
Tiba-tiba sebuah mobil daihatsu hitam berhenti tepat di depannya, bukan di pagar pesantren. Dan tidak lama kaca mobil terbuka menampakkan sosok Salwa dan Bibi Sulis di dalamnya.
"Kak Alma! Kakak ngapain di depan?" ucap Salwa dengan membuka pintu mobil. Salwa keluar menarik Alma untuk ikut masuk ke dalam.
"Udah, Kakak masuk di mobil aja. Nanti sekalian kita keluar bareng di parkiran pesantren," lanjut Salwa.
Bibi Sulis melukis senyumnya saat menatap Alma dari kaca spion dalam mobil. "Iya, bener kata Salwa. Kamu ini kenapa kok nggak masuk?"
"I-itu, Bi. Saya---maksudnya aku nungguin temen, Bi."
"Nungguin temen kan bisa di ndalemnya Bibi Salamah, Kak," sahut Salwa.
Alma hanya tersenyum kikuk dan mengangguk. Sesegera mungkin ia mengirim pesan singkat ke Salsa, untuk mengabarkan bahwa ia menunggu di rumah Ummi Salamah.
"Iya, Sal," jawab Alma.
Sekitar satu menit di dalam mobil tiba-tiba mesinnya berhenti, dan ternyata telah sampai di tempat parkir. Netra indahnya menatap ke jendela luar terlihat santriwati begitu ramai berlalu-lalang. Ia sedikit menunduk dan menghela napas berat, sebagai bentuk persiapan diri untuk mendengarkan bisik-bisik lirih dari orang-orang yang melihatnya nanti.
"Ayo, Kak turun!" seru Salwa dengan menariknya turun.
Alma, Salwa dan Bibi Sulis turun. Dan benar, di dalam perjalanan menuju kediaman Ummi Salamah orang-orang yang berlalu-lalang berbisik-bisik tentangnya. Salwa dan Bibi Sulis mungkin tidak tahu akar permasalahannya serta mungkin juga tidak tahu, kalau ia dan Mardiyah bertengkar hebat saat itu.
"Bibi Salamah! Assalamualaikum," ucap Salwa dengan riang.
Saat hendak memasuki kediaman Ummi Salamah langkah kaki Alma berhenti di ambang pintu. Netranya menatap lurus di ruang tamu yang terdapat Mardiyah di sana. Ia bergeming, tidak tahu harus bagaimana.
"Masuk, Nak," ajak Ummi Salamah yang entah kapan sudah berada di sampingnya dan menganggandeng tangan kanannya.
Mardiyah terlihat menunduk, setelah menatapnya sekilas. "Kamu duduk samping Ummi sini, Nak," ucap Ummi Salamah.
Di ruang tamu itu juga ada Umma Sarah. Lantas beliau tiba-tiba saja berdiri dan menatap Ummi Salamah. "Kak Sal, aku sama Mardiyah pulang dulu."
"Lutfan sudah datang?" tanya Ummi Salamah.
"Sudah, Kak."
Umma Sarah menarik pelan tangan Mardiyah dan mengajaknya keluar. Sedangkan Alma, hanya duduk diam tak bergeming dengan menunduk dalam.
"Itu tadi calon istrinya Mas Lutfan, ya Bi?" tanya Salwa.
"Iya, Salwa." Ummi Salamah menatap Bibi Sulis dan berkata, "Sulis, Putri sama Putra jalan-jalan sama Ustadzah Aini, Dek."
"Iya, Mbak. Kalau gitu aku permisi."
Bibi Sulis dan Salwa telah pergi. Tinggal Alma sendiri dan Ummi Salamah di sini. Sungguh ia tidak tahu harus membicarakan apa dengan calon mertuanya ini. Ada sedikit rasa canggung karena beliau tahu pertengkarannya dengan Mardiyah saat itu.
"Kamu sudah makan, Nak?"
Alma mengangguk. "Sudah, Ummi."
"Sudah baca suratnya Tantemu?"
Alma mengangguk. "Sudah, Ummi."
"Surat Jafar sudah dibaca juga?"
Lagi-lagi Alma mengangguk. "Sudah, Ummi."
"Di balas juga?"
Alma mendongak tidak lagi menunduk dan mengangguk. Ia sedikit tersenyum dan berucap, "I-ini Alma bahwa surat balasannya, Ummi. A-apa Alma kasih surat ini ke Ummi?"
"Boleh. Ummi perantaranya," jawab Ummi Salamah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
~~~~~~~~
Lanjut
2021-10-22
0
Senja Merona🍂
mengsedih🥺
2021-10-22
0