...10 : Kesediaan Yang Tertunda (2)...
Bakda subuh Alma diberi tugas dadakan oleh Umma Sarah. Yaitu, memotongi tempe guna dibuat kering tempe untuk makan malam bersama, sebelum acara dimulai.
"Kak Alma!"
Suara itu jelas berasal dari Kirana. Karena tidak ada yang memanggilnya sekeras dan seceria itu selain adik pantinya yang menggemaskan ini.
"Ada apa, Na?" jawab Alma.
Kirana tersenyum lebar, saat telah berdiri dihadapannya. "Aku bantuin, ya Kak? Boleh ya? Biar cepet di goreng, terus di oseng-oseng pakai bumbu terus Kirana cobain terus selesai deh! Terus nanti bisa ke swalayan cepat-cepat. Oke, Kak?"
Alma tertawa kecil. Kirana tetap Kirana. "Oke. Asal nggak ngerepotin kamu. Dan kamunya ikhlas bantuin Kakak."
"Ikhlas, Kak!"
Alma telah usai memotongi tempe menjadi empat bagian tipis kotak-kotak. Dan dilanjutkan oleh Kirana memotongi tempe menjadi beberapa bagian dengan bentuk memanjang. Netra Alma menatap wajan yang tergantung diantara panci serta capit. Kemudian mengambilnya, lantas menaruh di atas kompor, menuang minyak dan menyalahkan api.
"Na, nanti kalau udah taruh sini, ya?" ucap Alma dengan telunjuknya yang mengarah di wadah kecil samping kompor.
Kirana mengangguk. "Iya, Kak."
Tangan Kirana makin lihai memotong-motong tempe. Seperkian detik terjadi kebisuan diantara mereka, karena Alma fokus menggoreng. Akhirnya Kirana membuka suara. "Kak Alma," ucap Kirana.
"Apa, Na?"
"Uhm ... Papa sama Mamanya Kak Alma meninggal gara-gara apa?" ucap Kirana.
Jelas itu spontan membuat Alma yang baru memasukan tempe ke wajah menengok ke belakang. "Ke-kenapa kamu tanya gitu, Na?"
Kirana mendongak menatap Alma dan menghentikan aktivitas memotongnya. Kemudian kening Kirana mengerut dan berucap, "Kirana nggak boleh tanya tentang itu ya Kak? Nggak sopan ya? Ka-kalau gitu Kirana minta maaf. Kirana nggak bakalan---"
"Nggak, Na. Enggak. Bukannya nggak boleh. Maksud Kakak kenapa kamu tanya?" sanggah Alma.
Jeda tiga detik Kirana beucap, "Cuma pengen tahu aja. Apa Papa sama Mamanya Kak Alma itu meninggalnya karena kecelakaan juga?"
"Orang tua Kakak meninggal karena sakit, Na."
Mendengar jawaban Alma, Kirana terdiam. Bahkan hanya terdengar suara pisau dan talenan kayu yang saling bertabrakan karena Kirana terlalu menekankan saat memotong tempe.
"Pelan-pelan, Na. Suara motongnya itu terlalu nyaring," tegur Alma.
"Iya, Kak."
Limat menit kemudian Kirana berdiri. Usai sudah memotong tempe dan meletakkannya menjadi satu di wadah samping kompor. Kirana menaruh itu dengan berucap, "Ternyata, di sini yang Papa sama Mamanya meninggal karena kecelakaan cuma Kirana aja. Yang lainnya nggak, sama sakit juga."
"Semua itu kehendak Allah, Na. Cukup kamu do'a in orang tuamu. Semoga Allah memberi tempat terbaik di sisi-Nya," ucap Alma.
Kirana mengangguk. "Pasti, Kak. Setiap habis sholat Kirana selalu do'a, selalu minta Papa sama Mama masuk surga, selalu minta supaya kalau Kirana meninggal di satuin sama Papa Mama, biar ketemu lagi, terus satu rumah lagi di surga sama Papa Mama."
Tangan kanan Alma berhenti bergerak. Netranya tiba-tiba memanas, bukan akibat terpapar asap dari minyak di wajan yang panas ini. Melainkan, karena ucapan Kirana. Sungguh entah mengapa sekarang Kirana selalu saja membahas tentang kedua orang tuanya saat mereka bersama. Alma merasa bahwa dalam wajah Kirana tiada lagi terlukis duka, namun beberapa saat terkadang air mukanya berubah sendu, lalu sekejap kemudian senyum ceria tercetak lagi diwajahnya.
Memang benar.
Manusia pandai dalam berpura-pura.
"Pinter. Jadi anak yang sholehah, ya Na? Supaya nanti kalau ketemu sama Papa Mamamu, beliau-beliau ngerasa bangga punya anak kayak kamu," tutur Alma.
Kirana tersenyum simpul. "Iya, Kak."
"Mbak Alma!"
Suara panggilan tersebut spontan membuat Alma dan Kirana menoleh. "Eh, Kak Sal!" ucap Kirana.
Salsa melukis senyumnya untuk Kirana. Kemudian menatap Alma dan berucap, "Sampean di panggil sama Umma Sarah, Mbak. Biar aku yang ngelanjutin masak kering tempenya. Kata beliau penting, jadi Mbak langsung ke kantor ndak usah mampir-mampir lagi."
"Eh? Iya, Sal. Ini tinggal satu gorengan tempe. Nanti bumbunya kamu siapin sendiri, ya Sal?" ucap Alma.
"Iyo, Mbak. Gampang."
Langkah kaki Alma tergesa-gesa menuju ke kantor. Karena ada kata penting di sana. Ia tidak ingin membuat Umma Sarah menunggu. Setelah lari sekitar satu menit karena jarak dapur dari kantor lumayan dekat. Ia telah sampai di ambang pintu. "Assalamualaikum, Umma."
"Waalaikumussalam, Alma."
Seulas senyuman tercekat. Alma melangkah perlahan mendekati Umma Sarah, kemudian menyambut permintaan Umma Sarah yang menyuruhnya duduk di kursi kayu seberang. "Umma Sarah, memanggilku ada apa?" tanya Alma.
"Tantemu sudah menghubungi---"
Alma menyanggah, "Iya. Beliau menghubungi Alma tadi malam."
"Memang baiknya kamu harus sesegera mungkin menjalani operasi, Nak."
Mendengar ucapan Umma Sarah, Alma menunduk melihat perutnya yang terbalut gamis hitam. Jika seperti ini, tidak ada benjolan. Namun jika disentuh akan sangat dipastikan bahwa benjolan itu terasa. "Satu minggu, Umma. Tolong beri Alma satu minggu untuk meyakinkan diri," pinta Alma.
"Baik. Umma bakalan kasih kamu setidaknya satu minggu. Setelah satu minggu Umma harap kamu sudah bersedia ke rumah sakit, dan menunggu keputusan dokter kapan baiknya operasi itu dilakukan," tutur Umma Sarah.
Alma mengangguk.
"Nak ... Umma senang mendengar bahwa kamu bersedia menikah dengan Jafar," lanjut Umma Sarah.
Alma menatap lurus pada wajah Umma Sarah. "Suatu amanah memang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, Umma. Selama laki-laki yang dipilihkan Ibu untuk Alma itu ... baik. Kenapa Alma harus menolak?"
"Ya ... ya walaupun dulu, Alma sempat menolak," lirih Alma.
"Umma paham, bahwa semua itu membutuhkan waktu."
Seperdetik Umma Sarah selesai bicara. Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu, lantas itu membuat Umma Sarah menoleh. Kemudian disusul olehnya, untuk melihat siapa gerangan yang datang sepagi ini.
Ja ... far?
"Jafar kamu---"
Ucapan Umma Sarah tersanggah, karena tiba-tiba putra semata wayang beliau---Lutfan datang dan berbicara dengan cukup nyaring. "Ya Allah, Gus Jafar!" seru Lutfan.
Dengan menaikkan alisnya bergantian Lutfan lanjut berucap, "Gus-gus sampean ingat sama adik gantengnya Gus ini nggak?"
Jafar menatap datar Lutfan. Kemudian bibirnya berucap tanpa terdengar, "Lupa."
"Lutfan kamu ini! Masmu itu suruh masuk dulu. Jangan bicara di depan pintu gitu, Nak!" tegur Umma Sarah. Kemudian menatap keponakannya---Jafar dengan lembut dan kembali berujar, "Jafar sini kamu masuk, Nak."
Jafar dan Lutfan masuk. Ada dua kursi di dekat lemari susun, dan dipilih oleh mereka untuk duduk di sana. Saat netra Alma bertemu tatap dengan Lutfan. Tatapan datarnya disambut lambaian tangan juga senyuman lebar dari lelaki tengil itu.
"Ukhti ini sering banget ke kantor Umma. Jangan-jangan lo orang penting, ya?" ucap Lutfan.
"Lutfan!" Umma Sarah menegur. Dan mata beliau memelototi Lutfan sedemikian lama. Kemudian berucap, "Jangan pake lo-lo atau apa itu. Kamu ini bukan di Jakarta atau di kota besar lainnya. Dan juga perempuan yang kamu panggil lo-lo ini calonnya Mas---"
Mata Lutfan melebar. Bahkan spontan menyanggah, "Calonnya Mas? Ya Allah, jadi ukhti ini calonnya Gus Jafar yang sholeh? Waduh! Umma kok bisa Mas punya calon istri aku nggak dikabari, sih? Mana waktu pertama kali ketemu sama dia, Umma bilang anak asuhan Umma, bukan--"
"Maaf Lutfan, kamu terlalu banyak bicara," sahut Alma tiba-tiba dan jelas membuat Lutfan berhenti berbicara. Netranya menatap Umma Sarah dan berucap lagi, "Alma pamit, Umma. Karena masih banyak tugas yang harus Alma selesaikan."
"Assalamualaikum."
Usai ucapan salam, Alma keluar. Dan sudah jelas, Lutfan mengomel seketika, di susul dengan Umma Sarah yang berbicara mengenai tugas yang beliau berikan kepada Jafar untuk acara nanti malam. Lantas selebihnya, ia tidak mendengar karena jaraknya sudah semakin jauh.
Brak!
"Astagfirullah."
Spontan Alma menunduk mengambil beberapa kertas minyak yang jatuh berceceran di tanah.
"Mata sama kakimu kalau jalan bisa sinkron nggak, sih?"
Alma mendongak. Dan benar bahwa yang ia tabrakan adalah Mardiyah. Selalu saja Mardiyah jika berbicara dengannya menggunakan ucapan keras dan kasar.
"Jadi jatuh semua, ini!" lanjut Mardiyah.
"Maaf. Nggak sengaja," ucap Alma.
Kening Mardiyah mengerut dengan tangannya yang mengumpulkan beberapa kertas minyak. "Ceroboh. Sini kertas minyaknya!" sentak Mardiyah.
Kamu terlalu pemarah, Mardiyah.
Namanya juga aku nggak sengaja.
"Maaf sekali lagi," ucap Alma, lagi.
Mardiyah pergi meninggalkannya. Teringat dalam pikiran Alma atas apa yang dikatakan oleh Salsa, bahwa Mardiyah menyukai Jafar. Sungguh ia tidak bisa membayangkan bagaimana nanti jikalau Mardiyah mendengar kabar bahwa Jafar akan menikah dengannya.
Takdir ini membuat setiap manusia saling berhubungan. Entah untuk saling mencintai atau ... saling membenci pula. Ia pun tidak memahami bagaimana kelak hubungan yang akan dijalaninya dengan Jafar setelah menikah. Apakah saling mencinta? Atau justru saling membenci?
Gawai yang berada di saku gamis Alma tiba-tiba berbunyi. Sontak membuatnya merogoh gamis langsung. Dan melihat bawa ada panggilan masuk dari Bibi Maryam. Netra indah itu menatap sebuah kursi batu taman, lantas ia memutuskan duduk dan mengangkat panggilan tersebut.
"Assalamualaikum, Alma."
"Waalaikumussalam, Bibi."
Terdengar suara batuk yang cukup nyaring dari seberang. "Alma ... Bibi senang membaca pesan yang kamu kirim."
"Aku setuju menikah dengan Jafar, karena permintaan Ibu, Bi," jawab Alma.
Sekali lagi terdengar suara batuk yang cukup nyaring.
"Bibi nggak pa-pa?" tanya Alma.
Terdengar Bibi Maryam menghela napas. "Bibi baik-baik saja, Alma. Di Malaysia Bibi ditangani dengan baik."
"Alhamdulillah. Bibi harus segera sembuh, biar nanti kalau aku menikah Bibi bisa datang," ucap Alma.
"Pasti, Nak. Do'a in Bibi ya, Alma? Bibi kangen banget sama kamu. Pengen peluk anak Bibi yang cantik ini kalau menikah."
Alma tersenyum mendengar ucapan Bibi Maryam. "Do'a terbaik untuk Bibi."
...🌺...
Pukul 06.15 WIB. Seusai Bibi Maryam menghubunginya, Alma pergi ke lapangan. Tempat di mana acara nanti malam di mulai, dengan tangan kanan yang membawa lakban dan gunting. Ia menyusuri setiap stan permainan barangkali ada yang membutuhkan barang yang dibawanya.
"Mbak-mbak!"
Seseorang lelaki dari arah kiri---tempat bermain semacam memanah sebuah bola tiba-tiba saja memanggilnya.
"Masnya manggil saya?" tanya Alma dengan menunjuk dirinya sendiri.
Lelaki itu tersenyum dan mengangguk. Alma ingat bahwa lelaki itu adalah senior pesantren yang membantu Salsa kemarin malam. "Saya boleh pinjem gunting yang sampean bawa, Mbak?"
"Boleh. Silakan, Mas." Alma menyerahkan gunting yang dibawanya. Setelah di ambil Alma kembali berucap, "Nggak sekalian sama lakban, Mas?"
"Ndak usah, Mbak."
"Oke. Saya permisi, nanti Masnya kasih ke yang butuh aja, barangkali ada yang pinjem."
Sekitar lima menit mengelilingi lapang, dan dirasa bahwa tidak ada yang membutuhkan lakban. Alma kembali duduk di kursi batu yang kebetulan ada di tepi lapangan. Ia menengadah ke langit, melihat mentari tak lagi malu-malu menyinari bumi pagi ini.
Ia sedikit menunduk, tangannya meletakkan lakban di sisi kiri yang kosong. Kemudian Alma mengedarkan pandangannya, dan melihat begitu ramai orang-orang yang sedang berlalu-lalang.
"Aku nggak nyangka. Ternyata ... panti asuhan ini punya kegiatan satu bulan sekali, sebagai bentuk saling mengenal dan penghilang rasa bosan," gumam Alma.
Seorang anak kecil perempuan tiba-tiba saja menghampirinya---yang Alma yakini pula adalah seorang anak panti asuhan dari asrama lain. "Mbak Alma, ya?"
"Iya. Ada apa, ya Dek?" ucap Alma.
Secarik kertas yang dilipat menjadi dua bagian diberikan kepadanya. Ia sedikit mengerut kening sebelum menerima surat tersebut. "Ini buat Mbak?" tanya Alma.
"Iya, Mbak."
"Dari siapa?" tanya Alma, lagi.
Anak kecil yang sedang memakan lollipop itu terdiam sejenak. Sepertinya sedang mengingat-ingat surat ini dari siapa. "Laki-laki, Mbak. Kalau ndak salah Gus. Iya, Gus. Aku inget, pokoknya Gus dari pesantren, Mbak."
Alma mengulas senyumnya. "Makasih, ya."
Gus dari pesantren?
Kenapa ... pikiranku tertuju ke Jafar.
Dia juga Gus, kan?
Setelah melihat anak kecil itu benar-benar pergi. Tangan kanan serta kirinya lihai membuka lipatan secarik kertas tersebut. Ia hanya berharap, jikalau surat ini benar dari Jafar. Semoga saja tiada tulisan yang bilamana diucap akan terdengar buruk untuknya. Karena ia sudah berusaha menerima pernikahan yang akan segera terlaksana, dan ia hanya berharap Jafar setidaknya juga sedemikan rupa.
"Assalamualaikum, Alma.
Saya dengar kamu berubah pikiran dan bersedia menikah dengan lelaki bisu ini. Apakah kelak kamu benar-benar tidak akan menyesal bersuami bisu seperti saya?
Tujuh bulan. Waktu yang kamu minta. Apakah cukup untukmu berpikir bahwa saya adalah lelaki yang pantas?
Saya rasa waktu itu sangat kurang untukmu.
Karena sejujurnya, saya benar-benar tidak ingin seseorang memaksamu menikahi laki-laki cacat ini. Maka sebelum kamu menyesali semuanya dan merasa malu memiliki suami yang tidak berguna seperti saya. Sebaiknya kamu batalkan pernikahan ini dan carilah suami yang berguna serta tidak mempermalukanmu didepan umum.
-Jafar.
(Kamu tidak perlu membalas surat ini)" tulis Jafar, dalam secarik kertas tersebut.
Sakit.
Entah mengapa hatinya serasa tertusuk sesuatu saat membaca surat yang dituliskan oleh Jafar. Bahkan netranya tiba-tiba memanas, seperkian detik kemudian air mata jatuh di pipi kirinya. Mengapa ada seseorang yang begitu memandang diri sendiri serendah itu? Seakan-akan bahwa satu orang pun tidak pantas untuk di miliknya. Jafar---lelaki itu. Mengapa surat yang selalu kasar dan berupa hina serta bernada keras berubah menjadi secarik kertas yang mengundang tangis kesedihan.
Kenapa kamu berpikir bahwa saya akan merasa malu bersuami bisu sepertimu, Jafar?
Bagaimana jikalau sebaliknya, kelak kamu yang merasa malu memiliki istri seperti saya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Farida Wahyuni
yah wajarlah kalau jafar bilang begitu, kan awalnya dia ditolak, alasannya alma kan karna jafar bisu.
2021-11-10
0
Senja Merona🍂
Jafar 💔
2021-10-12
2
Khafida II
lanjut thor.. 😁
2021-10-12
1