...12 : Pembahasan Tentang Si Bisu (2)...
Alma melewatkan sarapan bersama anak-anak panti asuhan. Setelah berganti pakaian dengan; kerudung segitiga army serta abaya hitam, sekitar pukul 06.41 WIB sesegera mungkin ia pergi ke pesantren yang mana jaraknya, lima rumah dan satu persawahan dari panti asuhan.
Panti asuhan Al-Hikmah terletak di tepi perkotaan. Jadi, bukanlah sepenuhnya di desa. Saat melewati persawahan langkah kaki Alma melamban, seorang wanita paruh baya tiba-tiba saja memanggilnya.
"Iya ada apa, ya, Bu?"
Di dahi beliau terlihat sedikit kerutan, tangan kanan yang membawa sayur-sayuran. Kemudian Ibu itu berucap, "Nduk, bisa bantuin Ibu sebentar ndak?"
"Bisa, Bu. Insya Allah bisa."
Terlihat beliau menghela napas. "Alhamdulillah. Akhirnya ada orang yang mau bantuin Ibu."
"Ini Ibunya mau ke mana?" tanya Alma.
"Pesantren, Nduk."
Pesantren?
Ini pesantren yang beliau maksud pesantren Al-Hikmah 'kan?
Wanita paruh baya itu menyambut tangan Alma yang langsung diberikannya sayur-mayur. Alma berpikir memang pesantren Al-Hikmah, karena jarak yang sedekat ini tidak mungkin beliau berjalan jikalau tujuannya itu jauh.
"Itu lho Nduk, pesantren Al-Hikmah yang punyanya Kiai Bashir," ucap wanita paruh baya itu.
Kiai Bashir? Itu ... Ayahnya Jafar?
Alma mengangguk. "Iya, Bu. Saya juga mau ke sana."
"Alhamdulillah, sejalan kalau gitu Nduk. Mau ketemu sama siapa toh?" tanya beliau, lagi.
Alma berdeham sejenak. "Mau ketemu Ummi Salamah, Bu."
Beliau mengangguk, mengakhiri pembicaraan. Langkah kaki Alma serta wanita paruh baya itu sejajar memasuki pelataran pesantren. Seorang ustazah menyambut beliau dengan mengambil alih sayur-mayur dari tangan Alma.
"Ibu gimana bisa berangkat sendiri? Aini cariin Ibu ke mana-mana." Ustazah yang menyebut diri sendiri Aini itu beralih tatapan kepada Alma dan kembali berucap, "Kamu Alma, ya? Yang dari panti asuhan?"
Alma mengangguk. "Iya."
"Makasih ya, sudah bantu Ibu saya," ucap Ustazah Aini, lagi.
Alma membalas dengan senyuman. Kemudian berpamitan untuk ke kediaman Ummi Salamah. Saat telah sampai di ambang pintu, Alma mendengar Ummi Salamah berbicara dengan seorang lelaki tua---yang entah siapa. Ia memilih membatalkan niatnya untuk masuk dan mengucapkan salam, takut-takut tak sopan memecah pembicaraan kedua orang tua tersebut.
"Ya Allah, Alma! Kok kamu di sini, Nak?"
Suara lembut itu memecahkan lamunan Alma. Ia benar-benar tidak menyadari seseorang berdiri di ambang pintu. "U-ummi?" ucapnya.
"Kamu ngapain di sini?"
Alma menunduk. "I-itu nungguin Ummi selesai bicara sama tamu. Takutnya nanti Alma ganggu Ummi."
"Justru tamu itu nungguin kamu, Sayang. Ayo, masuk Nak!" ajak Ummi Salamah dengan menarik pelan lengan Alma dengan membawanya masuk, untuk ikut duduk bersama tetamu tersebut.
Aku kira cuma satu tamu aja, ternyata lumayan banyak.
Ummi Salamah duduk di sampingnya. Lantas memperkenalkannya kepada Kakek tua dihadapannya. "Beliau Kiai Bashir, Kakeknya Jafar sama Lutfan. Dan kamu bisa memanggil beliau dengan panggilan Kakek juga."
Berarti ... Ayahnya Ummi sama Umma?
"Iya, Ummi."
Kemudian Ummi Salamah menunjukkan satu persatu orang-orang yang berada di rumah tamu. Wanita paruh baya dengan abaya hitam seleret cokelat susu serta kerudung hitam adalah Bibi Sulis---menantu Kiai Bashir dari anak lelaki satu-satunya, gadis remaja dengan gamis hitam serta kerudung segitiga merah muda adalah Salwa---anak Bibi Sulis, dan satu anak perempuan dalam gendongan beliau serta anak laki-laki dalam gendongan Ummi Salamah adalah Putri dan Putra, adik Salwa.
"Jadi-jadi ini calon istrinya Mas Jafar, Bi?" tanya Salwa kepada Ummi Salamah yang dipanggilnya dengan sebutan Bibi.
Ummi Salamah mengangguk. "Iya. Namanya Alma. Kamu bisa panggil---"
"Aku mau panggil Kak Alma aja. Kan kayaknya Kakak ini dari kota, nggak pa-pa kan kalau aku panggil Kak?" Salwa menyanggah, kemudian beralih tatap kepada Alma.
"Nggak pa-pa. Kakak atau pun Mbak sama artinya," jawab Alma.
Kiai Bashir menatapnya dengan sedemikian dalam. Ia benar-benar merasa salah tingkah dan kembali menunduk lagi. Kemudian Kiai Bashir berucap, "Alhamdulillah, Kakek senang punya cucu-mantu baru. Besok kalau sudah menikah tinggal di sini ya, Nduk?"
Alma mengangguk. "I-iya Kia--maksud saya. Iya, Kakek."
Terdengar Kiai Bashir tertawa kecil. "Salamah, cucu-mantu Ayah ini pemalu sekali. Kelihatan ndak nyaman kalau bicara sama laki-laki. Kalau begitu Ayah pamit pulang, ya Nduk."
Kayaknya aku salah ngomong. Aduh, Ya Allah!
"Sa-saya nggak maksud gi-gitu. Kok tiba-tiba Kakek pulang?" ucap Alma sekenanya. Kemudian ia membungkam mulutnya dengan tangan.
Ummi Salamah berdiri menuntun Kiai Bashir. Dan Ummi Salamah berucap, "Beliau sudah lama di sini, Nak. Jadi setelah melihat kamu beliau pamit ingin segera pulang."
"Ma-maaf sudah membuat Kakek menunggu lama," sesal Alma.
Kiai Bashir menggeleng. "Ndak lama, Nduk. Kakek saja yang datangnya dadakan gini. Kakek pamit, ya? Kapan-kapan kita ketemu lagi."
Kiai Bashir telah pergi. Bibi Sulis dan anak-anaknya memilih tinggal, karena ingin ikut kegiatan satu bulan sekali di panti asuhan Al-Hikmah.
"Kak Alma habis ini mau ke panti, kan?" tanya Salwa.
Alma mengangguk. "Iya, Sal."
Salwa menatap Alma dan Bibi Sulis bergantian. Kemudian Salwa berucap, "Umma aku ikut Kak Alma ke panti asuhan sekarang ya? Aku janji nggak bakalan nakal, terus bakalan sholat di sana, janji Umma janji."
Bibi Sulis mengabulkan permintaan Salwa. Maka Alma beranjak pulang dengan menggandeng Salwa di sampingnya. Gadis remaja ini tidak protes, ia bersedia berjalan bersama. Alma berpikir usia Salwa adalah tiga belas tahun, dan adik-adiknya mungkin satu tahun lebih.
"Kak Alma, beneran mau nikah sama Mas jafar?" tanya Salwa tiba-tiba.
Alma menatap lurus pada jalan dan menjawab, "Iya."
"Kak Alma nggak malu punya ... itu su ... ami yang---"
Alma tersenyum hampa. Lantas sigap menyanggah ucapan Salwa. "Suami yang bisu?" ucapnya.
"Ya gitu. Emangnya Kakak nggak malu?"
Begitu banyak orang yang mempertanyakan ini. Bahkan tidak lebih-lebih seperti Salsa dan senior pesantren---yang terang-terangan menolak bersuami tunawicara. Untuk merasa malu adalah wajar. Namun bagi Alma untuk memiliki suami seperti Jafar tidak selamanya berpatok kepada ke kurang, tentu ia yakin bahwa Jafar memiliki kelebihan yang patut ia bangga-banggakan. Meskipun ia belum tahu itu apa.
"Kak Alma?"
Suara Salwa menyandarkan dari lamunan. Kemudian ia berucap, "Kamu sekarang umur berapa, Sal?"
"Empat belas tahun, Kak."
Kurang tepat. Ternyata empat belas tahun.
"Pacaran?" tanya Alma.
Secepatnya Salwa menggeleng. "Enggak, Kak! Kalau aku ketawan pacaran, bisa di pites aku sama Umma, Abah, sama Kakek juga."
"Terus ... kalau suatu saat kamu seusia Kakak dua puluh dua tahun, dan tiba-tiba saja Ibumu memilih laki-laki yang beliau rasa itu pantas untukmu. Kamu bakalan gimana reaksinya?" tanya Alma.
Langkah kaki keduanya melamban. Salwa terdiam sejenak saat pemandangan sawah nampak di mata. Kemudian berucap, "Aku pasti nolak, Kak."
Alma menoleh sejenak dengan alis kiri yang terangkat. "Alasannya?"
"Nggak ada yang namanya pernikahan jalurnya perjodohan lagi. Ini bukan zaman Siti Nurbaya yang harus jdooh-jodohkan gitu," jawab Salwa.
Alma mengangguk. "Kakak setuju sama pendapat kamu. Tapi---"
"Tapi apa, Kak?"
"Tapi kalau itu adalah amanah dari Ibumu yang sudah wafat gimana?" tanya Alma.
Salwa yang tadinya menatap lurus berubah menunduk sejenak. Kemudian terdengar hela napas, perjalanan yang ditempuh ini baru setengah jalan---mungkin Salwa lelah.
"Capek, Sal?"
Salwa menggeleng. "Enggak, Kak."
Terjadi kebisuan. Ia rasa Salwa mungkin tidak akan menjawab. Gadis remaja ini tidak akan pernah bisa mengibarkan diri sebelum ia benar-benar merasakan.
Tiba-tiba saja Salwa berdeham saat melewati rumah warga. "Kalau ... amanah. Aku mungkin bakalan pikir-pikir lagi, Kak," jawab Salwa.
"Pikir-pikirnya gimana, Sal?"
Tangan kanan Salwa membetulkan kerudungnya yang sedikit tersikap karena embusan angin. "Aku bakalan lihat gimana laki-lakinya dulu. Mulai dari sifat, perilaku, keluarganya dan segala-galanya."
"Terus kalau semuanya masuk dalam kategori baik. Kamu bakalan nerima nggak?"
Jeda tiga detik Salwa menjawab, "Terima."
"Dan kalau ternyata laki-laki yang dijodohkan denganmu punya satu kekurangan. Kamu bakalan gimana?"
Dari samping Alma melihat kening Salwa mengerut. "Terima aja, Kak! Karena manusia nggak ada yang sepenuhnya sempurna."
Alma mengangguk. "Itu adalah jawaban Kakak untuk pertanyaanmu yang tadi."
Spontan Salwa menengok. "Hah? Gimana, Kak? Aku nggak paham."
"Apanya yang nggak paham, Sal? Kamu tadi tanya apa coba ke Kakak?" ucap Alma dengan langkah kaki yang lamban saat memasuki pelataran panti asuhan.
Lengannya tiba-tiba disentuh oleh Salwa, sehingga ia terpaksa untuk berhenti. "Apa, Sal?" ucap Alma.
"Maksudnya Kakak gimana, ih?! Aku kan nge-lag, jelasin dong Kak jangan jalan terus," cerocos Salwa.
"Pertanyaanmu tadi. Apa Kakak nggak malu punya suami bisu? Nggak. Kakak jawab nggak, Sal. Seperti katamu tadi, karena manusia nggak ada yang sepenuhnya sempurna," ujar Alma.
...🌺...
Bakda magrib banyak manusia berlalu-lalang di lapangan. Terlihat sekali sangat sibuk. Alma membantu Salsa menaruh gelang-gelang ukuran sedang di dalam keranjang. Kemudian beralih ke stan senior pesantren untuk membantu menatap beberapa jajanan manis. Dan Salwa telah bergabung dengan Umma Sarah semenjak zuhur tadi.
"Gue nanti mau mampir sini, ah! Pasti enak jajanannya."
Suara lelaki tengil itu---Lutfan yang sedang tebar pesona sana-sini tanpa henti melempar senyuman. "Boleh kan, ukhti?" ucap Lutfan, lagi.
"Tanya sama Mbak ini. Saya nggak jaga stan makanan, saya jaga stan mainan," ucap Alma dan berlalu pergi meninggalkan Lutfan.
Dan sangat dipastikan Lutfan mengoceh tidak jelas. Sedangkan keputusannya untuk pergi ke dapur memanglah benar---ia merasa dahaga. Barangkali di dapur ia bisa membuat es teh yang menyegarkan. Walaupun sudah memasuki musim penghujan, untung saja malam ini tiada satu pun tetesan air dari langit yang turun.
"Mbak monggo," ucap seorang senior perempuan yang berpapasan dengannya hendak keluar dapur.
Alma tersenyum. "Iya, Mbak."
Dapur ini sepi banget.
Brak!
Spontan Alma menengok ke belakang, gerangan apa yang jatuh itu. Ternyata gelas-gelas plastik berceceran di dapur dan seseorang terduduk di tanah---yang ia yakini mungkin saja perempuan itu menabrak pintu kayu dapur.
"Mbak sini saya ban ... tu," ucap Alma sedikit tertahan. Saat melihat orang yang ternyata jatuh adalah Mardiyah.
"Ya Allah, Mar. Sini pelan-pelan," lanjut Alma dengan sudah berjongkok, membantu menyentuh punggung serta tangan Mardiyah.
Mardiyah menyentak pelan tangan Alma. "Lepas."
Alma memahami. Maka, secepatnya lagi ia berjongkok mengambil beberapa gelas plastik setelah melihat Mardiyah duduk di kursi kayu.
"Kamu mau ngapain, Mar? Aku bantu, ya?"
Mardiyah menggeleng. "Nggak usah."
Alma menghela napas panjang. Lelah rasanya meladeni tingkah Mardiyah yang selalu berwajah ketus dihadapannya. Bahkan tidak segan menolak segala bantuan yang diberi.
"Kenapa sih, Mar? Kamu itu kenapa ketus? Ngomong sama aku nggak bisa santai, nge-gas terus. Kamu itu---"
Mardiyah tersenyum hambar dan menyanggah, "Maaf. Aku lupa, kalau sebentar lagi kamu ini bakalan jadi menantunya Ummi Salamah. Harusnya aku ini bertata krama di hadapanmu, kan?"
Mardiyah tahu?
"A-aku---"
Mardiyah menyanggah, "Menikahi seorang laki-laki bisu. Apa kamu nggak malu?"
Kenapa harus malu?
Alis kiri Alma terangkat. Agaknya Mardiyah ini tengah menyembunyikan rasa suka dibalik hinaan. "Nggak."
"Oh. Enggak? Jelas, sih. Siapa yang nggak mau menikah sama laki-laki yang warisannya---"
Secepatnya Alma menyanggah, "Berhenti berkedok, Mar. Aku tahu kamu itu suka sama Jafar kan? Jadi, cukup. Nggak usah hina-hina orang yang kamu sukai sendiri."
Mardiyah melambungkan tawa hambar. Kemudian menatap Alma yang masih berjongkok memunguti beberapa gelas plastik. "Kalau emang aku suka sama Jafar, apa urusanmu Alma?!"
"Nggak ada. Maka, saranku temui Ummi Salamah secepatnya, barangkali kamu bisa masuk kandidat menjadi menantu beliau. Dan pernikahan ini akan dibatal---"
Mardiyah spontan berdiri, menarik Alma untuk tegak dan berhenti mengambil beberapa gelas yang masih tersisa. "Saranmu itu, nggak bakalan pernah berhasil. Ummi Salamah cuma mau punya menantu sepertimu, yang bernasab dan berasal dari keluarga baik-baik."
"Jadi berhenti memberiku saran, Alma!" lanjut Mardiyah dan berlalu pergi meninggalkan dapur.
Yang bernasab? Maksudnya ... Mardiyah anak hasil ... zi-zina?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Jo Doang
next kak
2021-10-15
1
~~~~~~~~
Lanjut Thor
2021-10-14
1
Senja Merona🍂
mardiyah???
2021-10-14
1