...13 : Takdir Setiap Manusia....
Yang bernasab? Maksudnya ... Mardiyah anak hasil ... zi-zina?
"Mardiyah, tunggu!" teriak Alma. Dan sesegera mungkin meletakkan gelas plastik di meja kayu dan mengejar Mardiyah.
"Mardiyah!"
Saat tinggal satu langkah, lantas ditariknya lengan Mardiyah. "Apa? Kamu mau tahu lebih jelasnya?" ucap Mardiyah.
Alma menggeleng. "Enggak, Mar. Aku nggak maksud---"
"Coba kamu pikir, Alma. Setiap anak yang berakhir di panti asuhan, nggak semua karena orang tuanya meninggal. Ada juga yang dibuang, karena kehadiran janin sialan diperut ibunya yang tiba-tiba."
Mendengar itu Alma menggeleng. "Enggak Mar. Jangan pernah menyimpulkan---"
"Menyimpulkan apa? Menyimpulkan kalau nggak yang namanya janin sialan atau anak haram. Gitu, maksudmu? Ada, Alma. Ada. Aku!" sentak Mardiyah.
Alma terdiam menatapi wajah Mardiyah yang memerah karena menahan tangis. Ia bisa melihat pelupuk mata indah itu telah dipenuhi oleh genangan, yang seperkian detik turun membasahi pipi Mardiyah. "Demi Allah, Alma. Sedikit pun aku nggak ada niat benci sama kamu. Tapi ... tapi kenapa tiba-tiba kamu datang dan seolah-olah ngambil semua hak milik orang lain, Alma?!"
"Aku ngambil apa, Mar?" tanya Alma pelan.
Sungguh ia pun merasa sesak melihat keadaan Mardiyah yang begitu rapuh dihadapannya. Bahkan netranya telah memanas---air mata itu turun di pipi dengan begitu gamblang.
"Semuanya," ucap Mardiyah.
Jikalau petang ini tiada acara yang tergelar di lapangan, sudah dipastikan semua orang akan mendengar perdebatan hebat di antara keduanya. Alma mengusap air mata pelan dengan tangan kiri. Kemudian berucap lirih, "Jafar?"
"Nggak cuma Jafar. Semuanya, Alma! Kamu ngambil Umma Sarah, kamu buat beliau seolah-olah cukup menyayangi kamu sebagai anak panti asuhan satu-satunya."
Mardiyah melambung tawa hampa. "Kurang apa hidupmu, Alma? Dari lahir sampai empat belas tahun kamu masih punya orang tua. Segala perhatian kamu dapat tanpa diminta, dan bisa-bisanya ka-mu datang ngambil itu semua ..."
"Kurang apa, Alma?" lanjut Mardiyah, lagi.
Alma menghela napas berat. Air matanya telah mengalir makin deras, sulit sekali mengendalikan emosi ini. Mengapa tega sekali Mardiyah berucap seperti itu?
"Maaf. Aku nggak maksud ngambil semuanya. Maaf, Mar," lirih Alma.
Terlihat Mardiyah menggeleng cepat. "Nggak. Nggak usah minta maaf. Aku nggak nyuruh kamu minta maaf! Aku tanya, kurang apa hidupmu sampai semua perhatian Umma Sarah kamu ambil?!"
"Nggak ada. Hidupku nggak kurang apa-apa," jawab Alma pelan.
Lagi-lagi Mardiyah menggeleng. "Nggak. Hidupmu itu pasti kurang, sampai-sampai kamu tega ngambil semua hak milik anak di panti---"
"Cukup, Mar. Aku paham hidupmu menderita. Tapi tolong berhenti berbicara seolah-olah aku ini bukan anak yatim piatu, yang pantas dikasihani. Ayah dan Ibuku meninggal, Mar. A-apa kamu pikir ..." Alma menarik napas sejenak. Sesekali mengusap air matanya dan berujar, "Anak usia empat belas tahun bisa hidup sendiri tanpa sanak saudara? Apa kamu juga berpikir sebelum bertemu dengan Umma Sarah hidupku baik-baik aja? Nggak, Mar! Nggak!"
Dengan netra yang memerah, Alma menatap Mardiyah sedemikan dalam dan berujar lagi, "Semua Mar ..., se-mua orang yang tinggal di sini, punya takdir yang sama menyakitkannya denganmu. Jadi, tolong ... tolong berhenti, Mardiyah."
Jeda tiga detik Alma berujar, "Kamu mau semuanya? Ambil, Mar. Sedikit pun aku nggak berniat menikah sama Jafar dan aku nggak mau tinggal di panti---"
"Bohong! Kamu bohong, Alma! Gimana ...? Gimana rasanya jadi calon menantu dari keluarga yang waris--"
"Cukup Mar, Cukup!" sanggah Alma dengan membentak.
"Astagfirullah. Alma, Mardiyah! Ada apa, Nak?!"
Umma Sarah, suara itu berasal dari beliau. Namun ternyata yang datang bukanlah Umma Sarah sendiri, melainkan juga dengan Ummi Salamah. Alma lupa bahwa pertikaian ini terjadi di depan dapur yang mana itu hampir dekat dengan kantor panti asuhan.
"Alma," ucap Ummi Salamah.
"Mardiyah," ucap Umma Sarah.
Secepatnya Alma dan Mardiyah mengusap pipi kanan dan kiri yang telah basah dengan air mata. Keduanya sama-sama menggeleng dan menunduk, sebagai jawaban atas pertanyaan Umma Sarah dan Ummi Salamah.
Tangan kanan Mardiyah ditarik pelan oleh Umma Sarah. Entah di bawa beliau ke mana, mungkin ke kantor atau mungkin ke kamar asrama Mardiyah. Sedangkan Ummi Salamah menatapnya dalam diam.
"A-alma, permi ... si---"
"Ikut Ummi, Nak," sanggah Ummi Salamah. Kemudian beliau membawa Alma entah ke mana.
Di tengah perjalanan Alma sadar mungkin Ummi Salamah akan membawanya menuju asrama. Tetapi saat tiba di pelataran asrama Ummi Salamah menghentikan langkahnya di depan perpustakaan, lantas beliau membuka tempat baca itu---dan Ummi Salamah menyuruhnya segera masuk.
"Duduk," titah Ummi Salamah.
Alma duduk---memenuhi permintaan Ummi Salamah.
"Apa yang kamu perdebatkan dengan Mardiyah, Nak? Sampai-sampai kalian berdua seperti ini, dan kamu tahu? Suara kalian itu kedengeran sampai kantor. Ummi bener-bener nggak ngerti, kalian ini kenapa?" ucap Ummi Salamah.
Sekitar sepuluh detik Alma membisu. Kemudian ia mendongak menatap Ummi Salamah dengan dalam dan berujar, "Semua salah Alma, Ummi. Mardiyah bilang, Alma ngambil Jafar dan Umma Sarah dari dia."
Kening Ummi Salamah mengerut. "Maksudnya?"
"Mardiyah suka Jafar dan dia marah karena Umma Sarah perhatian ke Alma. Padahal masih banyak anak panti lain, yang pantas mendapatkan perhatian Umma Sarah, dibandingkan Alma," jelas Alma pelan.
"Ya Allah, jadi Mardiyah suka Jafar? Dan dia berpikir kamu ngambil semuanya dari dia, Nak?"
Alma mengangguk. "Iya, Ummi. Tapi Alma rasa, yang dibilang Mardiyah itu benar. Kedatangan Alma ke sini tiba-tiba Ummi, bahkan tentang amanah itu pun juga tiba-tiba. Alma jelas ngambil semuanya dari Mardiyah dan juga anak-anak panti lainnya."
"Dan mengenai Mardiyah ... Alma rasa dia bisa menjadi menantu yang lebih baik untuk Ummi," lanjut Alma.
Ummi Salamah menggeleng. "Ummi sudah bilang Alma, kamu akan menjadi menantu Ummi. Nggak ada yang lainnya."
Alma menunduk sejenak lagi. Kemudian menatap lurus kepada Ummi Salamah dengan sendu. "Apa karena ... Mardiyah anak yang lahir tanpa hubungan pernikah---"
"Bukan. Bukan karena itu," sanggah Ummi Salamah.
"Lalu karena apa, Ummi? Mardiyah kurang apa, Ummi? Dia sudah lama tinggal di sini, sopan santun dia ke Ummi dan Umma patut untuk dipuji. Alma pun yakin, Mardiyah nggak pernah menghina Jafar seperti Alma menghina Jafar---"
"Mardiyah adalah calon istri Lutfan, Nak," sanggah Ummi Salamah.
Calon istri Lutfan?
"Lutfan kembali ke sini untuk diperkenalkan ke Mardiyah lebih dalam, agar keponakan Ummi itu, bersedia menikahi Mardiyah tanpa bertanya hal-hal lainnya," lanjut Ummi Salamah.
Alma terdiam. Tiada kata yang ingin diucapkan.
"Mardiyah akan menikah dengan Lutfan. Dan kamu dengan Jafar. Itu semua adalah amanah," ucap Ummi Salamah, lagi.
Alma mengangguk dan menunduk dalam.
Kali ini Ummi Salamah mendekat. Beliau mengusap lembut pipi kanan Alma dan berujar, "Kamu benar, Nak. Semua anak yang berakhir di panti asuhan ini, memiliki takdir yang sama menyakitkannya. Entah Kirana, Mardiyah, Salsa, Inayah bahkan juga kamu pun sama."
"Lutfan dan Jafar pun sama. Ummi, Umma, Bibi Maryammu dan semua orang di belahan dunia mana pun, pasti memiliki hal-hal yang begitu menyakitkan untuk sekadar saja dibicarakan," lanjut Ummi Salamah.
Usapan Ummi Salamah turun ke bahu, kemudian menjalar di jari-jari tangan kanan Alma dan di genggamnya erat oleh beliau. "Kamu sudah cukup memahami Mardiyah, Nak. Jangan pernah berbicara dengannya lagi, saat emosi kalian sedang sama-sama tersulut. Karena jikalau itu terjadi, ego kalian akan sama-sama terlukai."
"Bukan dengan Mardiyah saja. Tapi dengan siapa pun," tutur Ummi Salamah.
Note :
• Disini ada spoiler cerita Mardiyah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Farida Wahyuni
mardiyah iri nih ya. ga usah iri, masing2 orang punya keberuntungan dan kebahgiaannya sendiri. kalaupun kebahagiaan/kasih sayang itu itu berpindah ke orng lain artinya porsi kamu cukup sampai disitu, syukuri apa yg ada didepan mata. kalau kamu bersykur maka pasti Allah tambahkan.
2021-11-10
1
Hazelnut
tau nih si Mardiyah
2021-10-25
0
Senja Merona🍂
setelah tenang, biasanya akan menyesali perkataan/sikap ketika emosi
2021-10-16
1