...Bagain 4 : Lisan Yang Buruk...
"Alma nggak mau punya suami bisu."
Bagai tertusuk beribu duri tajam, namun tak mengakibatkan setetes darah pun mengalir. Ucapan Alma benar-benar begitu menoreh luka pada hati Ummi Salamah. Bagaimana bisa ada seseorang yang terang-terangan menghina putra yang begitu ia cintai?
"Almahyra!" hardik Umma Sarah.
Pelupuk mata Ummi Salamah telah di penuhi oleh genangan. Dari samping Jafar bisa melihat bahwa Ummi-nya itu meluruhkan air mata dan dengan sigap digenggamnya tangan lembut itu.
"Kenapa kamu tega berbicara seperti itu, Alma?" tanya Ummi Salamah dengan pelan.
Karena itu adalah satu-satunya cara menolak anak Ummi.
"Karena Ummi dan Umma memaksaku untuk menikah," jawab Alma.
Air susu dibalas dengan air tuba. Apa begitu kiranya ia membalas kebaikan Umma Sarah dan Ummi Salamah? Alma merasa telah berbuat kekejaman walau hanya sekadar ucapan. Bahkan Alma tidak tahu ganjaran apa yang akan ia terima karena telah melukai hati Ummi Salamah. Ia hanya berharap Tuhan tidak menghukumnya dengan berat karena lisan buruk yang ia katakan.
Jafar terlihat mengeluarkan kertas dan pena dari dalam sakunya. Kemudian ia menggerakan tangannya dengan lihai menulis sesuatu lantas menyerahkannya pada Alma.
"Berhenti berbicara," tulis Jafar.
Setelah membaca tulis itu. Alma menatap Jafar sekilas---tatapan tajam Jafar seolah-olah menyiratkan ketidaksukaan atau sebenernya itu tatapan kebencian? Alma berdiri, lalu sedikit membungkuk berjalan melewati Umma Sarah tanpa berkata apa-apa. Tidak sopan memang. Namun Alma sudah merasa muak, ia tidak suka dipaksa.
"Kak Sal jangan dengerin ucapan Alma." Dari luar kantor panti asuhan Alma mendengar ucapan Umma Sarah serta di susul oleh segala ucapan kecewa dari Ummi Salamah.
Jahat.
Lisannya semakin memburuk.
Perilaku Alma berubah-ubah semenjak kedua orangtuanya meninggal. Terkadang ia sempat berpikir harusnya ia tidak dilahirkan saja, jikalau kemudian ditinggalkan sendirian di muka bumi ini. Alma menghela napas pelan, segera meninggalkan pelataran kantor panti asuhan. Sedikit tergelitik hatinya karena telah melukai orang sebaik Ummi Salamah.
Sebuah tangan kasar tiba-tiba mencengkeram lengan kiri Alma lantas di tariknya dan dibawanya Alma ke balik dinding samping kantor panti asuhan yang begitu redup.
"Le-pas," ujar Alma. Ia mengerjap berkali-kali setelah memastikan bahwa yang berani menyentuhnya adalah Jafar.
Lelaki itu.
Terlalu kasar.
Alma memberontak dengan menarik tangan Jafar yang berada di lengannya. Tidak ada yang boleh berani menyentuh dirinya. Selain orang yang benar-benar mendapatkan izin dari Alma sendiri.
"Lepasin saya!" hardik Alma.
Cengkeraman itu semakin terasa sakit. Jafar tidak melonggarkannya tetapi semakin mengeratkannya. Netra lelaki itu mengintimidasi. Bahkan tidak segan pula Jafar semakin mendorong Alma sehingga gadis itu benar-benar telah terpojok di dinding.
"Saya bakalan teriak kalau kamu nggak lepasin tangan kamu, Jafar!" gertak Alma.
Deru napas Jafar terdengar karena jarak yang semakin menipis di antar mereka serta nerta cokelat tajam itu tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun. Tiba-tiba cengkeraman di lengan Alma perlahan melonggar lantas dengan tidak sopannya, Jafar memasukan sebuah kertas di saku gamis samping Alma. Kemudian Jafar pergi meninggalkan gadis itu yang tercengang dengan tindakan yang telah dilakukannya.
"Kurang ajar," gumam Alma. Wajahnya sedikit memucat dan beberapa kali ia mengambil napas---karena merasa pasokan oksigen miliknya berkurang akibat himpitan Jafar tadi.
"Ngapain Mbak Alma di situ?" ucap Salsa yang entah mengapa tidak Alma sadari kehadirannya yang tiba-tiba.
Alma menggeleng. "Nggak ngapa-ngapain," jawabnya. Kemudian berlari ke arah dapur meletakkan nampan plastik di atas meja kayu serta tergesa-gesa pergi meninggalkan dapur agar tidak berpapasan dengan Ummi Salamah dan Jafar lagi.
Tujuannya adalah kamar. Bahkan tidak segan ia berlari agar cepat sampai. Cukup sekitar satu menit Alma berlari telah sampailah ia di pelataran asramanya dan melihat Kirana dengan Inayah sedang berbincang di depan kamar.
"Itu Kak Alma!" seru Kirana.
Kedua sudut bibir Alma tertarik paksa melengkung karena akan sangat buruk saat ia menampilkan wajah tidak mood-nya dihadapan kedua adik kecil ini. "Ada apa?" tanya Alma.
"Inayah mau tanya sesuatu gitu ke Kakak," ucap Kirana.
Salah satu alis Alma terangkat. "Tanya apa?"
"I-itu harus di ganti, Kak? A-apa aku pakai sampai besok?" ucap Inayah pelan. Gadis kecil ini benar-benar pemalu untuk bicara dengan siapapun---bahkan rasa-rasanya Alma jarang mendengar Inayah bicara.
Alma memilih berjongkok lantas memandang Inayah dengan lembut. "Kalau kamu merasa sudah penuh darahnya dan kerasa becek nggak nyaman. Kamu boleh ganti, nggak usah nunggu malam ataupun besok. Ngerti?" jelas Alma.
Inayah mengangguk.
"Ya udah. Kakak ke kamar dulu," ucapan Alma terjeda. Ia berdiri dan di alihkan pandangannya pada Kirana lantas berucap lagi, "Kirana langsung ke mushola, mau adzan ini."
"Iya, Kak."
Alma segera memasuki kamarnya. Dan sekali lagi raut mukanya berubah lantas ia menarik napas berkali-kali. Netranya menatap diri sendiri pada cermin besar di hadapannya. Tangan Alma mengepal serta tatapannya berubah tajam.
"Kurang ajar," gumam Alma, lagi.
Alma teringat bahwa lelaki tidak sopan itu---Jafar telah memasukan sesuatu di saku gamisnya lantas dengan kasar ia merogoh saku ingin melihat apa yang Jafar masukan.
"Kertas?" ucap Alma.
Tangan kanan serta kiri Alma lihai membuka lipatan kertas. Cukup penasaran ia atas apa yang ditulis lelaki kasar---yang berkedok menjadi lemah lembut di hadapan Ummi-nya itu.
"Berhentilah mengucapkan sesuatu hal yang bilamana diucapkan untukmu. Kamu sendiri pun tidak bersedia mendengarkannya," tulis Jafar.
Alma terdiam sejenak.
"Memang siapa juga yang mau mendengar sebuah penghinaan, Jafar?" gumamnya.
Ingatan Alma berkisar ke masa lalu. Di mana dulu begitu banyak derai air mata yang ia jatuhkan hanya karena sebuah kalimat yang terdengar sepele bagi sebagian orang. Namun terasa sangat mengores luka untuk Alma sendiri yang mendengar. Bahkan masing terngiang di telinga bagaimana dulu anak-anak sebayanya tega mengatakan bahwa ia adalah anak yang tidak normal dan lemah.
"Aku sudah pernah mendengarnya. Jadi baiknya kamu memberikan ini untuk orang lain," gumam Alma, lagi.
...🌺...
Asshalaatu khairum minan naum
Asshalaatu khairum minan naum
Suara azan mengusik tidur Alma. Matanya mulai mengerjap berkali-kali menyadarkan bahwa waktu menjelang terbit fajar akan segera tiba. Secepatnya Alma mengubah posisinya menjadi duduk pada tepi ranjang. Setelah diam beberapa detik, Alma berdiri melangkah menuju gantungan baju---lantas mengambil kerudung bergo hitam dan memakainya.
Alma mengambil gawainya di atas nakas. Barangkali ada sebuah kabar penting dari orang yang bersedia menampungnya selama ini---Bibi Maryam. Atau boleh jadi kabar terbaru dari aplikasi kepenulisannya. Dengan lihai tangan Alma mengutak-atik gawainya dilihat aplikasi pengirim pesan singkatnya.
Bibi Maryam
Hubungi bibi besok pagi
Tebakannya benar. Sudah dipastikan pekara lisan buruk yang telah Alma ucapkan pada Ummi Salamah dan Jafar akan sampai pada telinga Bibi Maryam dalam satu malam.
Besok pagi? Artinya pagi ini, kan?
Alma mengiyakan permintaan Bibi Maryam. Mungkin ia akan menghubungi beliau setelah tugasnya mengantar makanan setiap pagi untuk Ummi Salamah selesai---walaupun Alma sendiri tidak yakin bahwa tugas itu akan diserahkan lagi padanya.
"Kirana sudah bangun belum, ya?" gumam Alma.
Tangan kanan Alma mengambil kunci yang berada di samping gawainya. Kemudian ia melangkah menuju pintu---membuka perlahan lantas ia keluar berjalan ke kamar Kirana dan Inayah.
Diketuknya pintu beberapa kali. "Inayah, Kirana!" seru Alma.
"Iya Kak," Terdengar suara pelan dari dalam kamar yang Alma yakini adalah suara Inayah. Beberapa detik kemudian pintu kamar itu terbuka. "A-aku bangunin Kirana dulu, ya Kak?"
Alma mengangguk disusul dengan tawa kecilnya. Sungguh Inayah adalah cerminan gadis pemalu yang anggun. Bukan sepertinya. Umma Sarah telah salah menilai dirinya.
"Kok udah subuh aja. Kan Kirana masih ngantuk," ucap Kirana yang sekarang telah berdiri dihadapannya.
Alma menyambut keluhan Kirana dengan senyuman. "Makanya jangan tidur malam-malam. Sekarang ke kamar mandi dulu sana, siap-siap sholat subuh," ucapnya.
Kirana mengangguk.
"Sakit nggak perutnya?" tanya Alma pada Inayah yang tengah duduk di tepi ranjang.
Inayah menggeleng. "Enggak kok, Kak."
"Jangan lupa di ganti, ya? Kalau misal pembalutnya habis. Minta langsung ke kamar Kakak ya?" ujar Alma.
Kemudian ia kembali ke kamar. Menunggu adik-adik dan teman panti sebayanya bangun untuk melaksanakan salat subuh. Setelah benar-benar memastikan bahwa asrama telah sepi begitu pun kamar mandi---Alma segera beranjak untuk membersihkan diri.
"Kak Alma ma-mau mandi?" tanya Inayah yang tiba-tiba saja berada di ambang pintu kamarnya.
Alma mengangguk. "Iya. Kamu juga?"
"I-iya, Kak. Tungguin a-aku mandi ya Kak?" ucap Inayah dengan menunduk dalam.
Alma sudah memastikan bahwa gadis kecil ini takut untuk di kamar mandi sendirian. Apalagi semua anak-anak di asrama satu dan dua sudah beranjak ke mushola. "Kamu di kamar mandi pertama, Kak Alma di kamar mandi kedua. Kalau masih takut ajak bicara Kakak apa aja. Ngerti?"
"I-iya, Kak."
Subuh berakhir. Begitu pula dengan Alma dan Inayah yang telah usai membersihkan diri. Jam digital di kamar Alma menunjukkan pukul 05:37 WIB. Fajar telah terbit. Sinarnya mulai memasuki celah-celah kecil jendela asrama-asrama di panti asuhan. Alma berencana untuk segera pergi ke dapur panti, tetapi ia masih berpikir berkali-kali agar hati serta nertanya sanggup berhadapan dengan Umma Sarah lagi.
Terdengar suara pintu kamarnya di ketuk. "Alma!" seru suara dari luar yang Alma yakini adalah suara ketus Mardiyah.
Segera dipakainya kerudung bergo syar'i lantas ia melangkahkan kaki menuju pintu dan di bukanya. "Iya?" jawabnya.
"Kamu tiba-tiba lupa ingatan sama tugas yang biasanya dikerjain pagi hari?" tanya Mardiyah dengan ketus.
Netra keduanya bertemu. "Habis ini aku ke sana," jawab Alma.
"Habis ini habis ini. Cepet! Ummi Salamah nungguin kiriman makan itu secepatnya!" seru Mardiyah.
Ucapan itu lagi-lagi ketus. Alma beberapa hari ini telah menebak bahwa mungkin Mardiyah merasa marah karena tugas mengantar makanan digantikan oleh dirinya. Padahal dengan ikhlas ia akan menyerahkan kembali tugas itu bilamana Mardiyah memintanya secara baik-baik.
"Iya, Mardiyah," tegas Alma.
Mardiyah telah pergi. Alma menghela napas di ambang pintu---segera ia menutup pintu. Dan menuju ke dapur panti serta menemui Umma Sarah. Ia sudah benar-benar siap, entah bagaimana pun nanti tanggapan serta tatapan Umma Sarah kepadanya Alma akan menerima itu.
"Antar seperti biasanya," ucap Umma Sarah.
Alma mengangguk. "Iya, Umma."
Tugas tetaplah tugas. Tidak akan bisa ia tawar dengan Umma Sarah. Dan untuk mengirim kedua rantang makanan ini, ia harus bertatap muka dengan Ummi Salamah---orang baik yang baru semalam ia lukai.
Ini risiko Alma, kamu harus mengantar makanan ini secepatnya!
...🌺...
Kaki Alma telah memasuki pelataran Pondok Pesantren Al-Hikmah. Alma narik napas panjang menghirup lebih banyak oksigen, sebelum ia benar-benar akan bertemu Ummi Salamah. Ada banyak perasaan bersalah yang melingkupi hatinya, karena sungguh malam itu tiada niat sedikit pun Alma untuk menghina Jafar. Semua itu hanyalah kalimat spontan yang ia katakan---karena di bawa paksaan.
"A-assalamualaikum Ummi," ucap Alma.
Alma bergeming di ambang pintu saat netra miliknya bertemu tatap dengan netra sendu Ummi Salamah. "Waalaikumussalam."
Saat Ummi Salamah hendak berdiri menghampirinya. Dari arah lorong kamar keluarlah Jafar dengan sarung hitam serta baju koko putihnya. Kemudian Jafar menyentuh tangan Ummi Salamah lantas di tatapannya sang Ummi dengan menggeleng bibir Jafar berucap tanpa suara, "Jafar saja, Ummi."
"Ini," ucap Alma dengan menyerahkan kedua rantang berisi empat baris kepada Jafar.
Saat Jafar hendak mengambil rantang terakhir tiba-tiba ia selipkan secarik kertas di antara jari telunjuk dan jari tengah Alma. Kemudian netra cokelat tajam itu menatap Alma dengan berucap tanpa suara, "Baca."
Alma tidak mengindahkan Jafar. Namun surat itu berbalik ia genggam dengan erat lantas netranya menatap Ummi Salamah dan dengan sedikit membungkuk ia berpamitan. "Alma pergi, Ummi. Assalamualaikum."
Saat hendak keluar dari pelataran Pesantren, langkah kaki Alma melambat. Tangan kirinya berusaha memegangi kerudung yang sedikit tersikap karena embusan angin pagi. Kemudian ia mengangkat kepalan tangan kanannya sepinggang dibuka dengan lihai secarik kertas kecil itu.
"Saya pun juga tidak mau menikahi perempuan yang memiliki lisan buruk sepertimu," tulis Jafar.
Note:
• Kok scene sama Jafar sedikit, sih? Jawabannya, karena judul cerita ini Almahyra bukan Alma dan Jafar. Jadi, di sini mengunakan sudut pandang Alma---ya mungkin akan ada sudut pandang Jafar tapi nggak akan banyak. Saya cuma bilang mungkin, ya.
• Kok adik panti asuhannya cuma Inayah sama Kirana? Jawabannya, karena yang satu asrama sama Alma itu Inayah dan Kirana.
• Emang kamarnya terdiri dari berapa? Jawabannya, 4 kamar, kamar pertama di jadikan perpustakaan, kamar kedua di tempati Inayah dan Kirana, kamar ketiga Alma dan kamar ke-empat kosong. Dan depan lagi ada asrama. 3 Kamar mandi luar bersama. (Sudah di kasih dena di part sebelumnya)
• Untuk nama pondok pesantren hanyalah fiksi. Bila ada kesamaan itu suatu kebetulan.
Denah dapur ke kantor Ummah Sarah
Dan terus nantikan kisah Almahyra!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Farida Wahyuni
bagus kak, ini bisa benci jadi cinta nih kayaknya.☺😊
2021-11-10
0
Esa Aurelia
next thor 😊
2021-10-06
1
Jo Doang
next ya thor👍
2021-10-06
0