...Bagian 5 : Sudah Mengetahui Segalanya....
"Saya pun juga tidak mau menikahi perempuan yang memiliki lisan buruk sepertimu," tulis Jafar.
Netra gadis itu terbelalak. Sesekali ia menghela napas, tangan kanannya tetap menyentuh kerudung bergo syar'i yang terembus oleh angin. Di susul hawa dingin menyapu wajah elok milik Alma, dengan cepat tangan kiri serta kanannya menyobek secarik kertas putih itu. Langkah kaki yang semula lamban berganti cepat dan netranya menatap sebuah tempat sampah di samping gerbang Pesantren. Lantas ia melempar sobekan kertas itu dan melenggang pergi.
"Seenggaknya itu satu keburukan yang pernah kamu lihat dari saya, Jafar," gumam Alma.
Kling!
Notifikasi terdengar dari gawai yang berada di saku Alma. Segera dirogohnya saku gamis lantas ia membuka kunci sandi dan melihat siapa yang mengirim pesan singkat padanya.
Bibi Maryam
Bibi menunggu telepon dari kamu, Alma
Segera hubungi bibi secepatnya
Alma hanya membaca pesan singkat itu. Di tekannya tombol kecil kiri---gawainya terkunci dan ia menekan lagi tombol itu, gawainya hidup kembali dilihat jam digital menunjukkan pukul 07:15 WIB. Inayah dan Kirana pasti telah berangkat ke sekolah, mengingat-ingat tugas mengantar adik-adik panti diserahkan kepada Salsa. Ingin rasanya sekali-kali Alma mengantar kedua adik se-asramanya dan tugas mengantar makanan ini di tangguhkan sejenak saja.
Alma menengadah pandangannya sedikit turun menatap tulisan yang tertera pada besi bangunan yang ia tinggali saat ini: Panti Asuhan Al-Hikmah. Kemudian ia kembali menatap lurus. Dan demi memenuhi permintaan Bibi Maryam untuk segera di hubungi langkah kakinya sedikit tergesa menunju kamar.
Setelah benar-benar di dalam kamar. Alma melepas kerudung tidak lupa sebelum itu ia mengunci kamar sepetak miliknya. Tangan kanannya mengambil gawai di saku gamis lantas dengan lihai mengetik nama Bibi Maryam di kontak dan meng-klik tombol panggilan.
"Assalamualaikum, Alma." Belum sampai lima detik panggilan itu telah tersambung. Alma yakini Bibi Maryam benar-benar menunggu ia untuk menjelaskan semuanya.
"Waalaikumussalam, Bibi," jawab Alma.
"Alma." Bibi Maryam kembali bersuara memanggil namanya.
"Iya, Bi."
Entah mengapa tiba-tiba saja Alma mendengar suara Bibi Maryam berubah mengecil dan sedikit serak. "Bibi nggak pa-pa?" tanya Alma.
"Alma." Lagi-lagi yang Alma dengar Bibi Maryam memanggil namanya.
"Iya, Bi. Alma di sini," jawab Alma.
Suara batuk terdengar cukup nyaring di panggilan ini. Bibi Maryam tidak mengindahkan pertanyaan Alma, suara yang semula hanya memanggil nama Alma terus menerus berubah menjadi isak tangis lirih.
"Bibi," ucap Alma dengan menahan napas sejenak mendengar suara tangis lirih dari seberang.
"Alma kenapa kamu seperti ini, Nak? Kenapa kamu sampai hati menyakiti Ummi Salamah? Bibi menitipkan kamu di situ supaya kamu ada yang mengurus. Tapi bagaimana bisa kamu berperilaku buruk---"
Alma yang semula meluruskan kakinya kembali duduk tegak dan memotong ucapan Bibi Maryam. "Bi, Alma sudah besar. Alma sudah dewasa, seharusnya Bibi nggak perlu menyuruh orang-orang panti asuhan ini mengurusku," ucap Alma.
"Iya. Kamu sudah besar, Alma. Kamu bukan lagi seseorang anak remaja berusia 14 tahun yang akan menangis apabila tidak ditemani sebentar saja."
Ucapan Bibi Maryam membuat pikiran Alma berkisar ke masa lalu. Ia mulai tenggelam lagi di dasar kesedihan awal tahun di mana ia merasa benar-benar membutuhkan seseorang dalam hidupnya. Tiada lagi sanak saudara yang bersedia menghidupi anak kecil yatim piatu ini, hanyalah Bibi Maryam---selaku sahabat Ibunya yang tidak di karuniai seorang anak telah bersedia menanggung segala kehidupannya.
Alma mengambil napas sejenak. Tangan kanannya menyentuh dada yang entah mengapa tiba-tiba terasa sesak saat mengingat-ingat titik terendah dalam hidup yang ia jalani. Netra indah itu mulai berkaca-kaca dan pelupuk mata miliknya terasa penuh oleh air yang seperdetik kemudian membasahi pipinya.
"A-alma nggak suka dikekang, Bi," ucap Alma.
"Apa pernah Bibi melarang kamu bermain? Apa pernah Bibi tidak memenuhi hal-hal yang kamu minta? Apa pernah Bibi meminta kamu untuk memanggil Bibi Ibu? Semua sesuai dengan keinginan kamu, Alma. Bibi sudah semampunya mengabulkan dan mengenai--"
"Alma nggak mau menikah," sanggah Alma.
Terdengar dari seberang Bibi Maryam menghela napas panjang. Kemudian Bibi Maryam berucap, "Kenapa Alma? Semua itu permintaan Ibumu, bukan permintaan Bibi. Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa kamu mau menjadi anak yang berbakti--"
"Alma nggak mau, Bi. Menjadi berbakti nggak harus dengan menikah," sanggah Alma, lagi.
"Itu termasuk bakti, Alma."
Air mata benar-benar telah membasahi kedua pipinya. Alma menjeda sejenak untuk mengambil napas, percakapan ini terlalu banyak menguras emosi. Alma bahkan tidak sanggup melanjutkannya.
"Ummi Salamah dan Jafar adalah orang yang baik. Apa kamu merasa rendah jika memiliki suami yang tidak bisa berbicara?" lanjut Bibi Maryam.
"Semua manusia ingin memiliki pasangan yang sempurna, Bi." Alma tidak benar-benar menjawab pertanyaan Bibi Maryam dengan penolakan, namun dengan kejelasan.
"Kamu benar, Alma. Apakah menurutmu orang-orang yang memiliki kekurangan seperti Bibi dan Jafar tidak pantas untuk berbahagia?"
Alma tercengang dengan ucapan Bibi Maryam. "Bi-bi, sedikit pun aku nggak bermaksud menyamakan Bibi dengan dia."
"Jafar tidak bisa bicara dan Bibi tidak bisa memiliki anak. Bukankah Bibi dan dia sama, Alma? Kehidupan telah menggariskan takdir yang cukup menyakitkan untuk Bibi, Jafar dan begitu pula untukmu."
Bibi Maryam menjeda sejenak. Kemudian kembali berucap, "Apakah untuk sekadar saja menerima kekurangan orang lain akan menyulitkan kehidupanmu?"
"Eng-gak."
"Lalu kenapa kamu masih menolak amanah yang telah Ibumu berikan kepada Bibi, Alma?" tanya Bibi Maryam.
Bibi Maryam tidak akan pernah mengerti segala kegundahan hati yang tengah Alma rasakan. Ia hanya merasa sulit untuk mempercayai seseorang, merasa bahwa tidak yakin ada laki-laki yang benar-benar menerimanya.
"Sampai sekarang Alma belum berani untuk ... untuk me-lakukan operasi, Bi. La-lu bagaimana kalau dokter--"
Bibi Maryam menyanggah, "Umma Sarah dan Ummi Salamah akan menemanimu ke rumah sakit."
Jantung Alma berdetak cepat. Saat mendengar kedua nama itu disebut. Apakah Bibi Maryam mengatakan semua kondisinya saat ini kepada Umma Sarah dan Ummi Salamah? Alma merasa bahwa sebaiknya masalah ini hanya Bibi Maryam dan ia saja yang tahu.
"Bi-bi yang memberitahu?" tanya Alma.
"Hari di mana kamu tiba di panti asuhan. Mereka sudah mengetahui segalanya," jawab Bibi Maryam.
...🌺...
Sungguh rumah sakit adalah tempat yang tidak akan pernah mau Alma kunjungi lagi setelah kematian kedua orang tuanya. Genap dua puluh dua tahun usianya pun ia tidak berniat sama sekali untuk menghampiri tempat itu lagi. Entah untuk aroma khas obat-obatan, suara sirene ambulans dan segala tangis yang terdengar saat dokter mencatat tanggal kematian pasien, cukup sudah membuatnya merasakan kesedihan yang mendalam.
"Umma sudah tahu semuanya, Alma," ucap Umma Sarah.
Alma terdiam. Netra indahnya menatap lurus pada pintu kayu kantor panti asuhan. Setelah panggilan dari Bibi Maryam berakhir Salsa tiba-tiba saja mendatangi kamar Alma dan mengabarkan bahwa Umma Sarah ingin bertemu dengannya. Alma tidak bisa menolak, karena sudah cukup malam itu ia tidak beradab kepada Umma Sarah.
"Umma temani ke rumah sakit, ya?" lanjut Umma Sarah.
Alma menggeleng. "Alma takut, Umma."
Umma Sarah yang semula duduk berseberangan dengan Alma kini berdiri, berjalan menghampiri Alma dan mulai mengusap pucuk kepala Alma dengan lembut. "Apa yang kamu takuti, Nak?" ucap Umma Sarah.
Alma terkesima dengan tindakan Umma Sarah. Padahal baru semalam ia dengan tega telah melukai hati saudara beliau---Ummi Salamah. Bagaimana bisa seseorang memaafkan kesalahan orang lain dengan begitu mudah?
"Bagaimana kalau setelah operasi ... ternyata itu ... i-itu mempengaruhi hal lain dalam tu-buhku, Umma?" ucap Alma.
Netra Umma Sarah menatap Alma dengan sendu. Dan jeda tiga detik Umma Sarah berucap, "Kita bukan tenang medis yang bisa mengira-ngira apa yang akan terjadi setelah dilakukannya operasi, Alma."
Setelah mengatakan itu Umma Sarah berjalan menuju pintu kantor lantas ditutupnya pintu itu tidak lupa pula dikunci. Kemudian berjalan ke samping tangan kanan Umma Sarah menarik penutup jendela, sedangkan tangan kirinya menarik tirai biru muda yang menggantung. Kantor yang semula di terang kini meredup karena segala ventilasi cahaya telah Umma Sarah tutupi.
"Umma boleh lihat perut kamu?" ujar Umma Sarah.
Netra Alma terbelalak mendengar ucapan Umma Sarah. Ia terkejut sekaligus malu. Bagaimana bisa ia harus menunjuk perutnya di hadapan Umma Sarah? Bahkan untuk sekadar saja menunjukkannya kepada Ibunya dulu---Anggraini, ia begitu malu. Mungkin sebabnya dulu adalah usia Alma yang telah beranjak remaja. Dan sekarang saat ia sudah dewasa tentu semakin malu serta merasa tidak ingin siapa pun melihat keadaan perutnya saat ini.
"Umma mau lihat," ucap Umma Sarah, lagi.
Alma menggeleng. "A-alma malu, Umma."
"Umma cuma mau melihat bagaimana keadaan perutmu, Alma. Sebentar saja, ya?" Lagi-lagi Umma Sarah berusaha untuk membujuk.
Alma menatap Umma Sarah yang berdiri di hadapannya. Kemudian menjawab, "Perut Alma tetap sama, Umma."
Terdengar Umma Sarah menghela napas berat. Tentu Alma adalah perempuan dewasa sudah sewajarnya ia merasa malu. "Kamu nggak mengizinkan Umma melihat?" tanya Umma Sarah.
Alma menggeleng.
Hal yang membuat Alma merasa rendah adalah saat orang lain telah mengetahui apa yang selama ini ia rahasikan. Selama lebih dari delapan tahun ia menyembunyikan segalanya. Namun sepandai-pandainya ia berusaha tetap saja itu tidak akan benar-benar menjadi rahasia selamanya.
"Kalau begitu Umma tanya." Umma Sarah menjeda tiga detik, kemudian berucap, "Lebih tepatnya, penyakit apa itu?"
Alma yang semula menunduk kini mendongak menatap Umma Sarah. Kemudian ia berucap lirih, "Hernia umbilikalis."
Note:
• Kok nama panti asuhan sama pesantrennya sama? Jawabannya, karena satu yayasan---kayak satu kepemilikan gitu lho, jadi panti asuhan itu milik Umma Sarah dan pesantren milik Ummi Salamah. Dan fakta mengatakan bahwa beliau-beliau adalah saudara kandung. Kakak beradik.
• Menurut halodoc : Hernia umbilikalis adalah suatu kondisi ketika terdapat bagian usus yang menonjol keluar dari pusar. Kondisi ini umumnya dialami oleh bayi dan tidak berbahaya. Meskipun demikian, hernia umbilikalis juga dapat terjadi pada orang dewasa. Hernia umbilikalis umumnya akan menghilang dengan sendirinya setelah bayi berumur satu atau dua tahun, tetapi dapat juga bertahan lebih lama. Jika hernia umbilikalis menetap hingga anak berusia empat tahun, disarankan untuk menjalani prosedur operasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
rumi
henia umbilikalis maaf mau tanya kak ,kalau di kampung aku istilahnya puser bodong ?
semacam begituan kah ?
2022-06-20
1
Thania Alecia
semangat
2021-10-07
0
Natan
next
2021-10-07
0