...Bagian 3 : Sulit Percaya...
"Kalau kamu ... apa bersedia menerima kekurangan orang lain?"
Sejenak Alma berpikir, bagaimana bisa ia bersikap sombong sampai-sampai tidak mau menerima kekurangan orang lain. Sedangkan dirinya sendiri tidak bisa memastikan apakah orang lain juga akan menerima kekurangannya atau tidak. Karena Alma pun tidak bisa mengendalikan takdir yang sudah semestinya terjadi.
"Bersedia," jawab Alma.
"Alasannya?" tanya Umma Sarah, lagi.
Karena aku juga memiliki kekurangan.
Alma sedikit terkekeh. Kemudian menatap Umma Sarah sekilas lalu kembali menatap lurus kedepan dan berkata, "Ini konteksnya menerima kekurangan pasangan hidupkan, Umma?"
Umma Sarah mengangguk. "Yah ... bisa dibilang begitu."
"Jadi alasannya?" lanjut Umma Sarah.
"Kalau ini tentang pasangan. Alasannya cuma satu, karena Alma mencintainya, Umma," jawab Alma.
Mencintainya? Memangnya siapa? Bahkan sampai saat ini pun aku tidak benar-benar bisa mencintai seseorang.
Langkah kaki Alma melambat di alihkan pandangannya pada jalan menuju pemakaman yang terbilang cukup sepi hanya ada beberapa kendaraan roda dua yang melintas. Bahkan tidak ada anak-anak yang bermain-main di jalanan ini---yang masih termasuk perkampungan penduduk di kota.
"Dari sini sudah kelihatan belum tempat pemakamannya, Nak?" tanya Umma Sarah.
Alma mengangkat tangan kanannya dan jari telunjuknya menunjuk sebuah pohon besar hijau yang tumbuh begitu lebat tertutupi oleh tembok putih lusuh. "Itu pohon jambu sudah kelihatan, Umma. Sebentar lagi sampai kok," ujar Alma.
Berjalan sekitar dua menit Alma dan Umma Sarah telah sampai di depan pemakaman. Dan untuk ketiga kalinya setelah lima tahun berlalu Alma akhirnya kembali memijak tanah ini, telah lama ia berhenti mengunjungi tempat peristirahatan Ayah dan Ibunya karena pihak panti asuhan selalu memindahkannya ke lain tempat yang berjarak begitu jauh dari pemakaman ini.
"Ehm ... Umma," panggil Alma lirih.
Umma Sarah menatap Alma sekilas. Kemudian beralih kembali menatap kedua nisan yang tertulis dengan nama: Mustofa bin Nur Hadi dan Anggraini binti Abdul Aziz.
"Ini pemakaman kedua orang tua kamu?" tanya Umma Sarah.
Alma mengangguk. Di susul dengan kedua lututnya yang turun menyentuh tanah---Alma tidak berjongkok dia lebih memilih menumpuh kakinya di atas tanah. Entah mengapa tiba-tiba saja kedua matanya memanas, genangan air telah memenuhi pelupuk matanya. "Ayah, Ibu, Alma datang," ucap Alma.
"Dan kali ini ... putri Ayah dan Ibu datangnya nggak sendirian lagi," lanjut Alma dengan mendongak sekilas menatap Umma Sarah dengan memberi sedikit senyumannya.
Umma Sarah menyusul dengan berjongkok di samping Alma. Di sentuhnya pipi Alma dengan tangan sebelah kirinya. Air mata Alma telah jatuh kesakitan bertahun-tahun yang telah ia pendam dengan sendirinya tumpah ruah dan Umma Sarah mengusap wajah Alma dengan perlahan menghapus setiap jejak kesedihan anak asuhnya, itu. "Almahyra adalah nama yang sangat indah," ucap Umma Sarah saat menatap nisan Anggraini.
"Anggraini, kamu telah melahirkan seseorang putri yang begitu cantik dan anggun," lanjut Umma Sarah.
Bibi Maryam pernah bilang kalau Alma mirip Ibu. Apa benar, Bu yang dikatakan Bibi Maryam?
Alma menghela napas panjang. Di usapnya dengan cepat air mata yang masih tersisa di pipinya dan tangan kiri Alma menyusul untuk membenarkan kerudung paris syar'i-nya yang terasa tidak nyaman karena terkena embusan angin sore. Kemudian Alma menyentuh tangan kanan Umma Sarah dan menggegamnya. "Umma Sarah nama beliau, Bu, Yah. Dan beliau yang menjadi wali Alma di panti asuhan baru," ujar Alma.
"Terima kasih karena telah melahirkan Almahyra. Saya akan menjaga amanah baru yang telah Bibi Maryam berikan, dan percaya lah Anggraini saya akan benar-benar menjaga putri semata wayang kalian," ucap Umma Sarah.
Alma mencabuti rumput-rumput liar di sekitar pemakaman kedua orang tuanya. Mulai dari samping kiri, kanan, depan dan belakang---di rasa sudah bersih oleh Alma kemudian dia menatap Umma Sarah. "Kita berdo'a Umma?" tanya Alma.
Umma Sarah mengangguk---keduanya telah menengadahkan tangan berdo'a. Setelah beberapa menit berlalu di akhir lah do'a itu oleh Umma Sarah. Tangan Alma sigap mengambil bunga yang telah dia beli seusai dari pesantren---di keluarkan nya bungkus hitam berisi bunga dan segera menaburkan secara bergantian dengan Umma Sarah.
"Umma terima kasih sudah mengajakku ber-ziarah ke makam Ayah dan Ibu. Dan maaf Umma harus repot-repot jalan jauh," ucap Alma.
Umma Sarah tertawa pelan. "Umma yang ngajak. Jadi kenapa Umma harus ngerasa repot?"
"Sudah. Ayo pulang! Keburu magrib," lanjut Umma Sarah.
...🌺...
Cahaya orange mulai menghiasai langit-langit ufuk barat. Sinar yang redup tidak menyilaukan mata itu, seakan-akan melukiskan sebuah ketenangan bagi yang memandangnya. Perlahan-lahan langit orange semakin menghilang terganti oleh langit yang mengelap.
Alma tidak mengikuti ibadah salat magrib. Karena seusai mandi ternyata ia mendapatkan haid pertama bulan ini. Tetapi Alma tetap keluar dengan berpakaian lengkap: gamis hitam, kerudung maroon bergo syar'i dan tidak lupa kaos kaki hitam. Berjalanlah Alma ke beberapa kamar adik-adik panti asuhannya.
Alma berdiri di ambang pintu saat melihat kedua adik kecil yang bersebelahan kamar dengannya tidak kunjung keluar. Kemudian Alma berucap dengan menyandarkan kepalanya di pintu. "Kirana sama Inayah nggak ke mushola?"
Kirana dan Inayah menggeleng.
"Kenapa?"
Kirana mendongak menatap Alma dengan cemas. Sedangkan Inayah diam duduk di tepi ranjang dengan menunduk memilin jari-jari tangannya. "Kak Alma itu ... Inayah lagi sakit," ucap Kirana.
"Sakit?" Mendengar itu Alma benar-benar merasa khawatir secepatnya dia menghampiri Inayah. Dan berkata, "Mana yang sakit?"
Inayah menggeleng. Tidak mau berucap apa-apa.
"Kirana, Inayah kenapa?" tanya Alma.
"Sakit, Kak Alma," jawab Kirana.
Alma menghela napas pelan. Di hampirilah Kirana di usap dengan perlahan salah satu pipi tembam Kirana. Dengan senyum simpul Alma menatap Kirana. "Iya. Kakak tau kalau Inayah sakit. Jadi Kakak mau tanya di mana sakitnya? Apa Inayah habis jatuh? Atau kenapa?" ujar Alma pelan.
Kirana berjalan menghampiri Inayah. Dan jari telunjuk kanan milik Kirana mencolek lengan kiri Inayah yang barangkali akan membuat Inayah berbicara kepada Alma. "Kamu sana bilang ke Kak Alma, Nay," lirih Kirana.
"I-itu Kak itu aku berdarah," ucap Inayah dengan menunduk dalam.
Alma menghampiri Inayah lagi, ia bersimpuh di telitinya setiap wajah dan tubuh Inayah. Di mulai dari menyikap kerudung paris untuk melihat leher Inayah, menyikap rok panjang yang di pakai Inayah untuk melihat keadaan lutut serta kaki bagian lainnya. Dan yang terakhir baju lengan panjang Inayah di lepih dengan perlahan lantas di lihatnya lengan serta siku Inayah dalam keadaan baik-baik saja.
"Nggak ada yang berdarah ini. Kalian bohongin Kakak ya?" ucap Alma dengan nada tegasnya.
Kirana menyahut tiba-tiba, "Kirana nggak bohong, Kak!"
"Terus yang berdarah mana?"
"Itu aku, Kak," Suara itu terdengar dari Inayah bukan Kirana.
Lagi lagi Alma menghela napas pelan lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Waktu magrib sebentar lagi berakhir sungguh tidak akan ada habisnya jika Alma terus menerus meladeni Kirana dan Inayah. "Kakak lagi nggak mau main-main sama kalian. Kalau kalian nggak sholat kalian bakalan di hukum sama Umma Sarah," ucap Alma.
"Kirana mau sholat, Kak!" seru Kirana.
Mendengar ucapan Kirana Inayah tetap bergeming.
"Kamu mau di hukum, Inayah?" tanya Alma.
Inayah menggeleng. "Tapi Kak. Itu aku berdarah Kak. Aku sakit apa ya?"
"Itu apa Inayah? Bicara yang jelas!"
Lagi lagi Inayah menunduk. Jeda lima detik kemudian Inayah berkata, "Yang buat pipis. Itunya berdarah."
Astaghfirullah, ternyata haid? Inayah sudah haid?
Alma berjalan mendekati Kirana dan berucap, "Bilang ke Kak Salsa, Inayah hari ini absen. Kamu langsung ke mushola, ya?"
Kirana mengangguk paham. Segeralah Kirana berlari menuju mushola. Sedangkan Alma menyuruh Inayah untuk tetap duduk di tempatnya, dan Alma bergegas kembali ke kamar untuk mengambil beberapa pembalut untuk Inayah. Setelah di rasanya cukup segara kembali Alma ke kamar Kirana dan Inayah.
"Sakit nggak?" tanya Alma.
Inayah menggeleng.
Alma menyerahkan satu pembal*t pada Inayah, merasa mungkin Inayah akan kesulitan Alma berjalan ke arah lemari baju Inayah dan mengambil satu cel*na dal*m. Kemudian kembali ke tepi ranjang diletakkannya cel*na dal*m itu di sana. "Lihat ini, Kak Alma contohin," ucap Alma.
"Ini perekatnya di buka dulu, terus di tempel di sini. Kalau udah kamu tinggal pakai kayak biasanya. Kamu ngerti?" tanya Alma, lagi.
Inayah mengangguk paham.
"Inget-inget perekatnya di tempel, bukan yang ada perekatnya yang kamu pakai," ucap Alma.
Inayah mengangguk. "I-iya, Kak."
Usai sudah Alma mengajari Inayah cara menggunakan pembalut dengan benar. Anak perempuan berusia sebelas tahun telah menjadi seorang gadis. Alma jadi mengingat-ingat haid pertamanya saat ia baru memasuki Sekolah Menengah Pertama, dan sama seperti Inayah reaksinya dulu. Alma sempat berpikir apakah ia terkena penyakit? Padahal ia tidak pernah melakukan yang bukan-bukan. Sungguh ingatan dulu sangat melengkat di pikiran Alma. Saat pertama kali Anggraini mengajarinya do'a sesudah haid dan larang-larang apa saja yang tidak boleh di lakukan.
"Alma!" seru Mardiyah.
Alma mencari di mana suara itu berasal, di alihkan pandangannya kepada Mardiyah yang ternyata berjalan dari sudut taman yang menanjak jelas membuat Mardiyah sedikit tertutupi oleh pepohonan jambu. "Kenapa Inayah nggak sholat?" tanya Mardiyah setelah tepat di depan Alma.
"Inayah dapat haid pertamanya," jelas Alma.
Mardiyah hanya membalas dengan ber-oh ria saja. Setelahnya memilih pergi meninggalkan Alma sendirian lagi. Bagi Alma ini sudah menjadi hal yang biasa untuk dirinya, di karena baru dua minggu ia di sini. Mardiyah, Salsa dan lainnya mungkin belum terlalu mengenalnya---tetapi entah mengapa Alma merasa bahwa perempuan-perempuan sebayanya di Panti Asuhan ini sangat canggung padanya.
"Kakak Alma!" seru Kirana.
Tercetak jelas senyum simpul di wajah Alma saat Kirana menghampirinya. "Sudah selesai sholat?"
Kirana mengangguk. "Sudah. Inayah mana, Kak?"
"Barusan tidur."
Mata Kirana terbelalak. Terpikirkan oleh Kirana bagaimana Inayah bisa tidur sebelum salat isya? Kemudian Kirana bertanya, "Kan belum sholat isya. Kok Inayah tidur?"
"Mungkin sekitar 5 hari Inayah bakalan absen sholatnya," ucap Alma.
"Kenapa?"
Alma berdiri menghampiri Kirana di usap pelan kepala Kirana yang tertutup oleh kerudung. "Inayah sudah haid jadi nggak boleh sholat, puasa, dan beberapa larangan lainnya," jelas Alma.
"Jadi, kalau haid nggak boleh puasa? Nggak boleh sholat? Nggak boleh apa lagi, Kak?"
Alma tertawa kecil. Kirana adalah anak kecil sudah pasti begitu banyak hal yang ingin ia ketahui. "Lebih jelasnya besok kalau habis sholat tanya Umma Sarah langsung, ya?"
Kirana mengangguk. "Eh! Kirana lupa, Kak!"
"Lupa apa?"
"Kakak di panggil sama Umma Sarah di kantor. Nggak tahu suruh apa Kirana lupa, kalau nggak salah inget Kak Alma di suruh bikinin teh dulu sama Umma Sarah, terus di anter ke kantor. Soalnya tadi Kirana lihat ada tamu, dan tamunya itu dua laki-laki sama perempuan, terus--"
"Bernapas, Kirana," ucap Alma dengan tertawa kecil.
Sengaja memang Alma memotong ucapan Kirana, karena sampai lima menit pun adik kecil itu tidak akan berhenti berbicara dan terus mengingat-ingat setiap hal yang di ucapkan Umma Sarah serta apa yang di lihatnya tadi.
"Kak Alma sudah paham. Jadi sekarang, Kakak mau ke kantor Umma Sarah. Kamu temenin Inayah, kalau ada apa-apa kasih tau Kakak, ya?" ujar Alma.
Alma segera ke dapur dan menyajikan dua cangkir teh serta camilan ringan untuk tetamu Umma Sarah. Dan segeralah Alma menuju ke kantor yang jaraknya hanya satu asrama dari dapur. Saat sampai di ambang pintu Alma dengan sedikit menunduk mengucap salam, "Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Saat mendongak tatapan Alma langsung tertuju pada lelaki hitam manis dengan setelan kemeja hitam dan sarung abu-abu hitam tengah duduk di samping Ummi Salamah dan sekilas saja menatap Alma.
Dia ... Jafar?
"Alma," ucap Ummi Salamah dengan senyuman yang merekah semenjak Alma berdiri di ambang pintu.
Alma membalasnya dengan senyum simpul. Tatapan Alma tertuju pada meja kayu yang berselimut kain putih dengan sedikit menundukkan badannya ia meletakkan teh dan camilan itu perlahan-lahan. "Silakan, Ummi Salamah."
Kemudian tatapan Alma beralih pada Umma Sarah. "Umma Sarah ... memanggilku?" tanya Alma.
Umma Sarah mengangguk. "Kamu duduk sebentar, ya?" Tetiba saja Umma Sarah menyentuh tangan Alma di tariknya pelan agar Alma menyusul duduk di samping kursi kayu kosong itu.
Posisi duduk berseberangan ini membuat Alma memandang begitu jelas lelaki itu---Jafar. Lelaki yang baru di lihatnya satu hari kemari itu siapa yang menyangkah bahwa Alma akan melihatnya lagi dengan jarak yang lumayan dekat.
"Umma mau menyampaikan sebuah amanah dari Bibi Maryam," ucap Umma Sarah.
Amanah dari Bibi Maryam?
"Amanah apa?" tanya Alma.
Umma Sarah menatap Umma Salamah lalu beralih menatap Alma, lagi. Rasa-rasanya Umma Sarah sulit sekali menyampaikan sesuatu. Jeda lima detik akhirnya Umma Sarah berkata, "Ini tentang pernikahanmu."
"Lalu?" Ucapan itu yang keluar dari bibir Alma. Ia merasa benar-benar tidak peduli tentang pernikahan. Karena untuk sekadar saja menyukai seseorang laki-laki Alma selalu berpikir berkali-kali. Lantas untuk pernikahan? Jelas ribuan kali Alma berpikir untuk mengambil keputusan.
"Lalu?" Umma Sarah membeo.
Alma mengangguk. "Alma sudah bilang waktu di rumah Ummi Salamah, kalau Alma belum siap untuk menjalani hubungan pernikahan."
"Tapi ini amanah langsung dari Ibumu, Nak," sahut Ummi Salamah.
Sekejap saja Alma beralih pandang kepada Ummi Salamah. Ini memang sebuah amanah. Tetapi menurut Alma hal semacam pernikahan tidak layak untuk di percepat bagi seseorang yang belum mampu mengemban amanah. "Alma akan menikah. Tapi nggak sekarang," jawab Alma.
"Lagi pula Alma belum menemukan laki-laki yang pantas," lanjut Alma.
Umma Sarah merasa tiba-tiba saja Alma berubah acuh saat membahas pernikahan. Setiap amanah haruslah dijalani dengan sebaik-baiknya, dan bagaimana pun caranya Umma Sarah akan berusaha membujuk. "Sudah ada," ucap Umma Sarah.
"Jafar," sahut Ummi Salamah.
Kemudian di susul oleh ucapan Umma Sarah, "Dia laki-laki yang di amanahkan Ibumu untuk menikahimu."
Sekalipun dia bisu, sulit bagiku percaya bahwa dia bisa menerima kekurangan orang lain.
Karena sebagaimanapun kamu tetap manusia, Jafar. Setiap manusia ingin memiliki pasangan yang sempurna.
"Tapi, dia bisu Umma." Untuk pertama kalinya. Alma merasa bahwa dirinya telah benar-benar menjadi manusia yang tidak memiliki nurani.
"Alma nggak mau punya suami bisu," lanjut Alma.
Note:
Perlahan-lahan dalam seiring berjalannya waktu akan segera terungkap apa yang begitu banyak Alma rahasiakan.
Pasti bingung kan? Di atas mengatakan bahwa Alma bersedia menerima kekurangan orang lain. Tetapi tiba-tiba saja Alma mengatakan perkataan yang begitu kejam kepada seorang Jafar untuk sekadar menolaknya saja.
Dan lagi, di dialog saya ada mengunakan kata yang tidak baku dan di narasi saya mengunakan kata baku, insya Allah ya (dan kasih tahu kalau menemukan yang tidak baku, ya di narasi?)
Oh iya, ini denah asrama yang Alma tinggali
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Farida Wahyuni
ga gitu juga sih alma, orangany ada depan kamu tuh.
2021-11-10
0
Intanksm98
Ya ampun, sakit banget kalo jadi Jafar.
2021-11-08
0
Hazelnut
lanjut baca
2021-10-13
0