Tak butuh waktu lama. Satu minggu setelah wisuda, Richard langsung disibukan dengan kegiatan baru, yaitu mengelola perusahaan milik keluarganya.
Karena Felix berhalangan hadir, Richard diminta untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin rapat di kantornya. Meskipun ini pengalaman pertama bagi pria itu, tetapi Richard tetap menjalankan tugasnya dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab.
Kepandaian Richard dalam berkomunikasi membuat Rapat yang dipimpinnya berjalan dengan lancar. Felix memang selalu memberikan arahan terkait dunia bisnis kepada putranya sehingga ia bisa menempatkan dirinya sebagai pemimpin rapat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Richard memiliki otak yang cukup jenius sehingga tidak sulit untuk mencerna setiap arahan yang diberikan oleh ayahnya. Nampaknya keahlian yang dimiliki Felix telah menurun kepada pria itu.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Richard kembali ke ruangannya dan menandatangani beberapa laporan yang diberikan oleh sekretaris Felix. Sepertinya Richard benar-benar telah diberikan tanggung jawab penuh oleh ayahnya.
Setelah sekretaris bernama Vania keluar dari ruangan itu, tiba-tiba pintu ruangan Richard kembali di ketuk.
Tok ... tok ... tok ....
"Masuk!" Sahut Richard.
Tak harus menunggu lama, pintu itu terbuka. Richard tampak terkesiap, ketika menyadari bahwa Rendy yang nampak dari balik pintu itu.
Rendy memang tidak memberi kabar bahwa ia akan menemui pria itu sehingga membuat Richard sedikit terkejut akan kedatangannya.
"Sedang sibuk, Pak Bos?" tanya Rendy seraya menunjukkan sebagian tubuhnya dari balik pintu tanpa melepas daun pintu itu dari genggamannya.
"Ren?" ucap Richard seraya menoleh ke arah pintu. "Masuk Ren!" pintanya kemudian.
Sesegera mungkin Rendy masuk, lalu duduk di sofa berwarna hitam yang sengaja di desain di ruangan itu, sebelum pemiliknya mempersilahkan.
"Bos baru sibuk banget kayaknya?" sindir Rendy setelah berhasil menghempaskan pada sofa tersebut. Ia tampak merentangkan kedua tangannya pada sandaran sofa. Richard hanya diam tak meladeni.
"Kok gak bilang-bilang dulu?" tanya Richard sembari beranjak dari kursi kerjanya, lalu duduk di single sofa yang terletak di samping Rendy.
"Kenapa, gue ganggu ya?" tanya Rendy.
"Ya ... bukan begitu. Cuma ... tumben aja!" jawab Richard.
"Gue lulus tes dan di terima di Oxford University," terang Rendy tanpa berbasa basi. "Mungkin, Mei gue berangkat," lanjutnya. Richard mengangguk mengiyakan.
"Selamat ya, Bro," ucap Richard, tersenyum senang. "Semoga lancar," imbuhnya.
Rendy memang telah mendaftarkan diri sebagai mahasiswa secara online di Oxford University. Lagi-lagi Richard tampak kecewa mendengar kabar baik itu. Tentu saja ia kecewa karena tidak bisa mengikuti jejak sahabatnya untuk kuliah di London.
"Lo serius gak ikut gue ke sana?" tanya Rendy seraya meletakkan kedua tangannya di atas paha dengan jari yang saling berpagutan.
Richard menghela napas. "Mau bagaimana lagi, gak ada yang bisa gue perbuat," jawab Richard.
"Sayang banget ya," keluh Rendy. "Seandainya lo bisa ikut, pasti seru, Bro," imbuhnya.
"Belajar yang bener lo disana, jangan nyari cewek mulu!" perintah Richard seraya menyindir.
"Sialan!" umpat Rendy sembari menimpuk Richard dengan bantal sofa yang ada di sampingnya. Dengan sigap, Richard menangkap bantal itu, lalu menanggapinya dengan gelak tawa.
Rendy memang terkenal agak pecicilan terhadap perempuan. Ketampanan yang dimilikinya, selalu dijadikan pria itu sebagai modal untuk menarik perhatian para kaum hawa.
Tak jarang pula ia menggombal di depan teman-teman gadisnya di kampus. Namun, tidak ada satu pun yang ia jadikan sebagai kekasih.
Kelakuannya terkadang membuat beberapa cewek merasa ilfil, tetapi tidak sedikit juga yang menyukainya, Aiissssh.
"Ngomongin soal cewek, jadi ingat sama cewek lo, deh. Gimana kabar dia?" tanya Rendy seraya menatap Richard.
"Kenapa lo tiba-tiba nanyain dia?" tanya Richard heran. Ia tampak memelototkan matanya, menatap sinis wajah Rendy seolah menaruh kecurigaan terhadap sahabatnya itu.
"Astaga ... gue cuma nanyain kabar, gak usah gitu juga kali lihatinnya!" gerutu Rendy.
Richard tampak melengos, lalu menekuk lehernya. Wajahnya tampak bingung. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
"Kenapa muka lo ditekuk begitu? Lo ada masalah sama dia?" tanya Rendy penasaran.
Richard menggeleng. "Gue sama Aretha baik-baik saja!" Lirih Richard.
"Lantas???"
"Lantas apa?"
"Ayolah, Bro ... gue kenal lo udah lama!" keluh Rendy seolah memaksa Richard untuk bercerita.
Richard menghela napas panjang. "Kapan-kapan gue cerita!" ucapnya. "Lo udah gak ada keperluan lain, kan?" tanyanya kemudian.
"Kenapa, lo mau usir gue, hah?" ketus Rendy seraya memelototkan matanya. Sepertinya pria itu tersinggung dengan ucapan Richard.
"Bukan begitu, Ren," jawab Richard. "Gue mau keluar," imbuhnya memberi tahu.
"Mau kemana, Lo?"
"Jemput Aretha," jawab Richard, lalu beranjak menghampiri meja kerjanya. Ia merapikan meja itu karena terlihat sedikit berantakan oleh beberapa berkas.
Rendy mengangguk. "Ya udah, gue balik dulu!" Seru Rendy sembari beranjak dari zona nyamannya, lalu berjalan menuju pintu keluar. Namun, sebelum membuka pintu, ia kembali menoleh kepada Richard.
"Oh ya, titip salam ya, buat si Imut." Imbuhnya membuat Richard seketika membelalakan matanya, merasa geram. Secepat kilat Richard mengangkat buku yang sedang ia pegang seraya ingin menimpukan buku itu kepada Rendy. Namun, ia urungkan kembali, ketika Rendy telah lebih dulu membuka pintu, lalu keluar dari ruangannya.
Bagaimana tidak merasa geram. Si Imut yang dimaksud adalah Aretha. Richard merasa tidak rela jika ada pria lain yang menyebut gadisnya seperti itu, tak terkecuali sahabatnya sendiri.
***
Di tempat lain, Aretha dan ketiga sahabatnya tengah menikmati jam istirahat kedua di kelasnya. Hari ini kelas nampak sepi, hanya ada dua siswi lain selain mereka berempat yang tengah asyik dengan obrolan mereka.
Nampaknya ruang kelas terasa begitu nyaman karena tak ada kebisingan diantara mereka. Aretha dan ketiga sahabatnya sangat menikmati suasana tersebut karena mereka bisa dengan bebas berekspresi, disaat yang lain sibuk dengan kegiatan di luar kelas.
"Re, gue lihat ... kak Richard sekarang jarang jemput lo ya? Biasanya 'kan gak pernah absen," tanya Deasy tiba-tiba.
"Iya, dia lagi sibuk bantuin bokapnya di kantor," jawab Aretha manyun. Deasy hanya mengangguk pelan.
"Enak lo ya, jadi pacar calon CEO tampan," celetuk Deasy.
"Enak, apanya yang enak? Mau ketemu aja susah!" ketus Aretha.
"Kebayang, kan, biasanya kita ketemu tiap hari. Sedangkan, sekarang? Boro-boro tiap hari, dua hari sekali aja susah banget. Bahkan, gue udah seminggu gak ketemu dia. Menderita banget 'kan hidup gue?" jelasnya kemudian.
"Nah, ini nih, manusia kayak begini yang mesti di hempasin ke laut. Baru menderita segitu aja ngomongnya udah kaya menderita bertahun-tahun!" Cerocos Tania sembari menunjuk ke arah Aretha.
"Sialan!" umpat Aretha
"Lo gak lihat kita bertiga ya, yang menderitanya tiada akhir. Sampe ijo lumutan kita nungguin pangeran yang mau jemput kita, mana??? Sampe sekarang kagak ada. Lagi-lagi abang ojol yang dateng, nasib ... nasib ...," keluh Tania seraya menggelengkan kepalanya.
Tania terdiam sejenak, lalu kembali mengumpat, "Nah elo, baru dianggurin segitu doank udah kayak cacing kepanasan!"
"Ya terus, maksud lo, gue harus sama menderitanya kayak kalian bertiga, gitu??" tanya Aretha seraya menatap sinis ketiga sahabatnya. "Oggahh!!" seraya melengos ke sembarang arah.
"Ya ... paling tidak, sekarang lo ngerasain apa yang kita rasakan selama ini," sindir Deasy.
"Kurang asem!" umpat Aretha "Meledek itu namanya!" imbuhnya.
Ketiga sahabatnya tampak terkekeh tak menanggapu ucapan gadis itu.
"Menderita ya menderita aja, gak usah bawa-bawa gue!" celetuk Aretha kemudian.
Drt ... drt ... drt ....
Seketika kegiatan mereka terhenti, tatkala ponsel Aretha berbunyi. Gadis itu langsung merogoh ponselnya dari dalam tas. Ia tampak tersenyum semringah, setelah melihat nama My Rich pada layar ponselnya.
Secepat kilat, gadis itu menggeser ikon berwarna hijau, tampak menerima panggilan itu.
"Tuh kan, baru juga diomongin, itu orang udah nelepon aja, gak jadi menderita 'kan dia," bisik Deasy tampak menebak orang yang yang menelepon sahabatnya. Sementara, Aretha tak menanggapi
"Hallo, Kak!" sapa Aretha
"Oh ... iya, Kak. Aku tunggu, ya!" ucapnya, setelah mendengar kabar bahwa Richard akan menjemputnya.
"Bye!"
Tut.
Tak berlangsung lama, gadis itu langsung menutup teleponnya. Seketika kelas kembali terasa sesak, setelah bel masuk berbunyi.
***
Aretha dan Richard sudah berada di dalam mobil, duduk bersebelahan. Gadis tiu tampak terkesima, ketika melihat penampilan Richard yang sangat berbeda dengan biasanya.
Pria itu tampak mengenakan setelan kerjanya. Celana panjang berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja berwarna putih berbalut jas berwarna selaras dengan celananya. Di tambah lagi sepatu pantofel berwarna hitam mengkilap.
"Kak,"
"Say—"
Mereka memanggil dalam waktu bersamaan membuat keduanya sedikit terkekeh.
"Ya udah, kamu duluan, mau ngomong apa?" tanya Richard, mengalah.
"Kak Richard duluan aja, deh," balas Aretha sedikit canggung.
"Udah, gak apa-apa, ladies first, ok?" ujar Richard. Aretha mengangguk.
"Bagaimana pekerjaan kamu?" tanya Aretha.
"Sejauh ini sih ... baik-baik saja," jawab Richard seraya memfokuskan pandangannya kearah kemudi.
"Syukur, deh!" ucap Aretha tersenyum. "Aku cuma mau tanya itu aja, kamu mau ngomong apa?" imbuhnya.
"Hn??" Richard sedikit terkesiap dengan pertanyaan Aretha.
Ia tampak melamun, entah apa yang sedang dipikirkannya.
Gimana ya, aku bilang sekarang atau jangan, ya? Kalau bilang sekarang, takut nanti malah kepikiran, minggu depan, kan, dia mau ujian. Nanti aja, deh, gumam Richard dalam hati seraya mempertimbangkan apa yang akan ia sampaikan.
Seketika pria itu mengurungkan niatnya untuk memberitahu hal yang entah itu apa sehingga ia takut sekali Aretha kepikiran akan hal tersebut.
"Kak, kok bengong, sih?" tanya Aretha penasaran, sontak membuat lamunan pria itu seketika ambyar.
"Hh? Kenapa, Sayang?" tanya Richard kaget.
"Kamu tuh lagi ngelamunin apa, sih? Aku tuh nanya tadi kamu mau ngomong apa?" jelas Aretha seraya mengernyitkan dahi, merasa heran.
"Oh itu ... apa? Aku cuma mau bilang, aku minta maaf karena sekarang jarang antar jemput kamu," jawab Richard sedikit gugup seraya menggaruk kepalanya yang tidak berasa gatal.
"Kerjaan di kantor lumayan banyak, jadi aku gak bisa jemput kamu seperti biasanya. Maaf, ya," imbuhnya sembari mengelus rambut Aretha dengan tangan kirinya.
"Enggak apa-apa, Kak. Aku ngerti, kok," balas Aretha. "Tetap jaga kesehatan, ya ... meski kamu sibuk!" Lanjutnya mengingatkan. Richard hanya tersenyum mengiyakan.
_______
Mohon bantu like and comment-nya ya Readers tercintah.... biar author tetap semangat update episode selanjutnya. 🙏🙏🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 238 Episodes
Comments
Susilawati Dewi
semoga ga ada pelakor yg jht
2021-12-17
0
Tinta Rachel
yuk mampir kak ke karya pertamaku yang berjudul Dear Me Jesselyn Anastasya..tolong di dukung y kak, terimakasih..
2021-09-02
0
lavava
menarik
2021-06-28
0