Bab 8

Langkahku bergerak gontai menapaki setiap ubin yang tersusun rapi. Tanpa banyak bicara aku memutuskan untuk keluar ruangan dan menemui Edi. Kurasa dalam kondisi seperti ini hanya Edi yang bisa dijadikan sosok yang tepat untuk berbagi.

"Elu pasti udah tau kalo gue bakalan dimutasi." Aku tak lagi bertanya, namun lebih kepada menembaknya langsung tanpa basa-basi.

Ia tampak tersenyum enteng sembari mengaduk-aduk secangkir kopi hangat yang bertengger di meja tepat di hadapannya. "Sebelum elu dipanggil, gua udah duluan kali." Terdengar nada esapan yang begitu nikmat dari aksi berikutnya.

Aku terkesiap, karena aku yakin bahwa ia akan menyampaikan sesuatu yang persis seperti yang telah aku dengar dari atasan. "Maksudnya ... elu juga dimutasi? Kenapa elu gak ngabarin gue sebelumnya?"

Kembali diletakkannya cangkir berwarna cokelat susu itu, lalu memutar posisi tubuhnya sehingga menatap lurus kepadaku. "Emangnya ada yang bisa kita lakuin untuk menghentikan keputusan Kapolda? Dan pastinya wacana ini udah tembus ke Mabes." Ia menepuk sebelah pundakku.

Kutundukkan kepala sejenak, menyerap untaian kalimat yang baru saja keluar dari sepasang bibir Edi. Benar saja, tidak ada yang salah dengan perkataan anak ini. Keputusan Kapolri tidak akan bisa diganggu gugat, apalagi masalah penempatan tugas seperti ini. Jika kami menolak atau pun tidak terima, bisa-bisa seragam kebanggaan ini tak mungkin bisa dipakai lagi.

"Keknya ada sesuatu yang gak bisa elu tinggalin di sini," ejek Edi dengan kedua alis naik-turun bak tangga nada dalam sebuah lagu.

Aku hanya melengos, kemudian beranjak dan berlalu. Mungkin Edi sedang menggelengkan kepalanya sembari menugaskan pandangannya untuk mengekori langkahku.

Tidak mungkin aku mengatakan masalah hatiku. Karena pekerjaan dan cinta adalah dua hal yang seharusnya tidak menempati tempat yang satu.

Aku harus menemukan solusi bijaknya. Aku tak ingin kehilangan kesempatan untuk memiliki Rona, namun aku juga harus profesional sebagai aparat negara.

...🍂🍂🍂...

Malam ini aku berencana untuk mengajak Rona makan malam berdua. Semoga saja, ia tidak menolaknya. Menurut saran dari Ibram, sebaiknya aku memberitahukan hal tersebut lebih cepat kepadanya. Aku harap keputusan ini adalah yang terbaik untuk kami berdua.

Semoga saja!

Tahun 2014

Tepat pada tanggal 30 Mei pukul 8 malam, Rona dengan mengenakan gaun berwarna putih tulang, mendudukkan tubuh idealnya tepat di sebuah kursi yang berada hadapanku. Tanpa mencetuskan penolakan sama sekali, ia menerima ajakan itu. Aku semakin yakin bahwa gadis itu juga memiliki rasa yang sama terhadapku.

Tetapi ... itu hanya asumsiku!

Untuk faktanya ... tentu saja hanya Tuhan yang tahu!

"Kenapa kita cuma berdua, Mas?"

"Apa kamu berharap aku akan mengajak semua anggotaku?"

Ia tampak terkekeh kecil setelah mendengar kelakaranku. Sumpah demi apa pun, wajah ini tak mungkin bisa membuatku melupakannya dalam kurun waktu satu minggu. Bagaimana bisa aku menjalani hari-hariku ketika aku belum menenangkan kalbu?

Tentu saja, kalbu Rona maksudku!

"Bukan begitu, aku kira ini makan malam dalam rangka perayaan atas pencapaianmu." Ia kembali tersenyum setelah mengatakan asumsinya.

Ah, lagi-lagi, barisan gigi putihnya itu!

Benar-benar terlihat manis berbalut senyuman. Membuatku tak henti-hentinya memandikan ia dengan tatapan. Tatapan kekaguman yang begitu menghanyutkan.

Aku yakin, pasti wajahku terlihat bodoh kali ini. Semoga saja, Rona tidak menyadari.

"Ehem ...." Ia berdeham sekali, dan hal itu sukses membuyarkan tingkah konyolku menjadi sadar kembali. Aku lantas menggeleng pelan sembari tersenyum tak enak hati.

Setelah itu, kami menikmati makanan yang sudah aku pesan sebelum ia tiba di sini. Gadis itu tampak menikmati makanannya dengan wajah berseri-seri. Tentu saja, hal itu membuatku berpuas hati.

Apa ia sedang bahagia malam ini?

Tegakah aku merusak suasana hatinya dengan menyampaikan berita tentang mutasi?

Ah, aku ini PeDe sekali ...!

Belum tentu juga Rona akan bersedih hati. Bisa jadi, apa yang akan aku sampaikan nanti, tak akan menimbulkan masalah untuknya sama sekali.

Ketika kami berdua menikmati desert-nya, kuberanikan diri untuk bersuara. "Ro-Rona ...!" Tenggorokanku sepertinya bermasalah seketika itu juga.

Ia mendongakkan pandangan, lalu bertumpu dagu di atas kedua punggung tangannya. "Kamu ingin mengatakan sesuatu? Katakan saja, Mas. Aku siap mendengarnya."

Dadaku semakin dag dig dug setelah mendengar penuturannya. Sepertinya ia sudah memiliki firasat akan dialog lanjutannya.

Kuhirup oksigen secukupnya, seraya mengikat kedua netranya dalam pandangan mesra. "Maukah kamu menjadi bhayangkariku?"

Terpopuler

Comments

Milhiyah

Milhiyah

Bagaimana rona....maukah kau jadi bayabgkari si huda.... mau dong namanya aja kreen banget !!! B A Y A N G K A R I !!!

2022-09-14

1

Drew 1

Drew 1

sweet bingit sih bang hUd..
simpel tp bikin diri q jd ikutan melting

2022-09-04

1

Nofi Kahza

Nofi Kahza

'Maukah kau jadi Bhayangkariku?'

aku langsung terpesona😍
ya bang. adek mau😆

2021-12-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!