Sampai di rumah, gadis itu mengatur nafas sejenak setelah berjalan cepat. Ia pun duduk dengan lemas di atas dipan samping rumahnya.
Sejenak, Kuni menoleh ke belakang. Dinding kaca yang sudah tertutup rapat dengan gorden itu nampak gelap.
Sepertinya orang rumah sudah pada tidur...
Bu Sukaesih memang tidak pernah tidur lewat dari jam sembilan malam. Sudah pasti dipukul sebelas malam ini, beliau sudah terlelap.
Perlahan ia mulai beranjak, mencoba untuk melangkah pelan hingga sampai di depan pintu kaca. Ia menghela nafas panjang lantas menghembuskannya sama panjang, mencoba menenangkan jiwa. Karena ia paham, masalah terbesar setelah Devan adalah ibunya sendiri.
Ya Tuhan tolonglah– buat ibu tertidur, Ku mohon.
Tangannya mulai terangkat, bersiap untuk mengetuk pelan. Dan baru sekali ia sentuh, pintu itu sudah terdorong pelan.
Tidak di kunci?
Kuni berfikir cukup lama, kenapa bisa pintu ini tidak di kunci? Biasanya ibu dan ayah amat hati-hati dalam hal mengunci pintu di malam hari.
Atau mungkin ayah sengaja, supaya anak gadisnya itu bisa masuk tanpa mengeluarkan suara. Semoga saja seperti itu... Hingga tanpa pikir panjang Kuni langsung membukanya.
"Aku pulang–" ucapnya dengan nada berbisik, lalu kembali menutup pintunya sangat pelan serta menguncinya. Baru saja ia menghela nafas lega, dan hendak mengelus dada.
Blaaar...
Tiba-tiba lampu ruangan itu menyala, seketika Kuni memejamkan matanya, bergumam tanpa suara.
"Mati aku." Gadis itu menoleh, lalu berusaha untuk tersenyum pada seorang wanita paruh baya yang sudah membawa pemukul kasur yang terbuat dari rotan itu di bahunya. "Se–selamat malam ibu, Anda nampak bersinar malam ini. Hehehe."
"Astaga...! Siapa kau?" Bu Sukaesih menurunkan pemukul kasurnya. Menatap Kuni bingung.
"Kuni– Kunia anak ibu." Menunjuk dirinya sendiri.
"Kuni? Tidak mungkin... Kau tidak mungkin Kunia. Anak ku itu jelek, sementara kau?" Bu Sukaesih nampak kagum dan pangling dengan penampilan sang anak yang belum pernah ia lihat sebelumnya
"Ini aku, Bu."
Bu Sukaesih yang sedari tadi sudah menyiapkan nyanyian panjang serta tenaga untuk memukuli anak itu pun jadi melupakan semuanya. Ia justru malah menatap dari atas kebawah, lalu kembali lagi ke atas. Hingga fokusnya tertuju pada pakaian serta penampilan sang anak yang tidak seperti saat berangkat kerja tadi pagi.
"Kau?" Bu Sukaesih berjalan sedikit memutari tubuh Kunia, "Ini pakaian siapa? Ini kan?"
"Aku bisa jelaskan Bu–"
"Woaaah...." Bu Sukaesih menarik kasar bagian kerahnya.
"Aaarrggghhh aku tercekik."
"Merek ini? Ini mahal Kunia, kau dapat dari mana baju ini?"
"Bosku... Yang?"
"Bos...?"
"I–iya ... Lepaskan dulu tangan ibu itu, ibu ingin membunuh ku, apa?"
Senyum Bu Sukaesih melebar, ia pu memegangi kedua bahu sang anak.
"baru seminggu kerja? Kau sudah di belanjakan baju baru, di dandani bak boneka Barbie ... Astaga-astaga, kau pasti mengikuti saran ibu untuk melakukan jurus menggoda atasan ya?"
Kuni menatap aneh. "Ibu ini bicara apa sih? Siapa yang menggoda siapa? Lagi pula aku berpenampilan seperti ini, itu hanya untuk menemani bos ku, menggantikan sekertarisnya yang tidak berangkat. Dan baju ini, besok akan ku kembalikan setelah ku laundry."
"Hei– kenapa harus di kembalikan, itu sayang sekali."
"Apa sih ibu ini?" Kuni berjalan malas menuju anak tangga, namun di tahan lagi oleh sang ibu.
"Apa jabatan pria yang mendekati mu? Ayo katakan?" Bertanya dengan penuh semangat.
"Siapa yang mendekati ku, sih?" Kuni menepis tangan sang ibu.
Apanya yang mendekati, pria songong itu yang ada tengah melakukan aksi balas dendamnya kepada anak mu, tahu!
"Oh... Syukurlah. Akhirnya ada pria yang jauh lebih baik untuk putri ku ini. Semoga si pengeretan itu meninggalkan mu dan pergi jauh, atau kalau bisa hilang saja di gunung. Hahaha"
"Ibu...! Berbicaralah yang baik."
"Aku sudah berbicara yang baik sekaligus berdoa... Karena, ketika kau bisa putus dari benalu itu, adalah sebuah hal yang patut di syukuri."
"Selalu saja ibu sebut kak Anwar itu benalu, dia itu calon suami ku." jawab Kunia, yang lantas membuat sang ibu geram
Plaaaakkk... plaaakk....
"Aaaa... Ibu, sakit... hei..!" Kuni mengerang, mencoba untuk menangkis pukulan sang ibu di bahunya.
"Pria seperti itu masih saja kau sebut calon suami mu?"
"Memang apa salahnya? Dia pria baik-baik."
"Kau sebut apa? Pria baik-baik? Apa perlu mata mu itu ku colok agar kau sadar? Kau pikir ibu tidak tahu apa? Beberapa hari yang lalu kau memakai uang ayah mu lantas kau berikan pada cecunguk itu?"
"Eh...?"
"Kau mengira ibu tidak pernah tahu, kemana perginya uang-uang ayah mu, HAH!" Tangan Bu Sukaesih terangkat hendak memukul kepala gadis itu namun di tahan oleh Kunia yang hanya nyengir.
"Hehehe, maafkan aku Bu..."
"Cih... Ibu hampir saja memutilasi ayah mu, yang sempat ibu kira memiliki simpanan diluar karena banyaknya uang yang Ayah keluarkan secara diam-diam. Ternyata semu sebab anak bodoh yang selalu di manfaatkan pacarnya. Yang seperti ini yang seharusnya ku hajar!"
"Aaaa... Ibuku sayang, aku akan menggantinya. Aku janji ... aku janji Bu." Kuni masih menahan tangan kurus itu namun sekuat herkules saat memukul.
"Ingat ya– sekali lagi aku mendengar kau meminjam uang ayah mu, hanya untuk Dia? Maka aku akan mendatangi pria keparatmu itu, dan akan ku seret Dia kejalan, agar mobil bisa melindasnya... KAU MENGERTI...!"
"I–iya aku mengerti, kemarin-kemarin itu yang terakhir. Aku janji, Bu."
Cklaaak...
Pintu kamar terbuka. Terlihat pak Gayus menyipitkan matanya, dengan sarung yang beliau kenakan serat kaos oblong berwarna putih.
"Ada apa ini, tengah malam ribut-ribut?"
"Aku sedang melakoni peran ayah yang seharusnya khawatir saat anak gadisnya belum pulang hingga selarut ini. Jika ayah keluar hanya untuk membelanya lebih baik ayah tidur lagi saja, biar anak tidak tahu diri ini aku yang menghajarnya."
"Ibu ini." Kuni masih memegangi kedua tangan ibunya menahan agar tidak memukul lagi.
"Oh... Kuni? Kau sudah pulang, nak?"
"Iya ayah–" gadis itu langsung berjalan cepat berdiri di belakang tubuh ayahnya.
"Sudah malam, tidak baik ribut-ribut seperti ini Bu."
"A–ayah benar. Aku pun sudah lelah ayah, ngantuk juga," jawab Kuni dengan nada manja.
"Masuklah dan istirahat saja."
"Uuuhh... ayah memang yang terbaik, terimakasih ayah." Kunia tak berani menatap wajah sang ibu, yang pasti sudah semakin kesal. Ia hanya ngacir menuju tangga, lantai dua. Tempat kamarnya itu.
"Hei– Ibu belum selesai bicara, ya!!"
"Ibu sudah." Pak Gayus mendekati istrinya lalu merangkul pundaknya, sembari sedikit memijat-mijat.
"Kau selalu saja seperti itu, Yah."
"Dia sudah dewasa, sudah paham mana yang baik untuknya."
"Kuni memang sudah dewasa, namun otaknya masih dangkal jika berurusan dengan si benalu brengsek itu."
"Sudah lah... Yuk istirahat, ayah akan memijat ibu sampai tidur. Lelah pasti kan setelah memukuli anak itu."
"Lelah ku setiap hari, bahkan pita suara ku pun seperti hendak putus." Gerutu Bu Sukaesih, pada sang suami yang hanya terkekeh. Pak Gayus pun membawa sang istri kedalam kamar mereka, dan berakhirlah keributan malam itu, yang berubah menjadi normalnya malam hari, penuh kesunyian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
EndRu
whahahaa ..
2022-04-02
1
Susi Susilawati
pak Gayus sabar banget ya.
2022-03-30
2
Yeni Cahyany
dibalik ibu yg galak tersimpan rasa sayang buat anaknya
2022-03-02
2