Pagi Dunia... Awalan hari yang baik, seorang gadis dengan rambut pendek sebatas bahu serta poni datar yang hampir menutupi seluruh alisnya tengah tersenyum cerah di depan cermin.
Memandangi wajah yang sebenarnya biasa saja, namun baginya itu adalah ciptaan Tuhan yang wajib ia syukuri setiap kali ia bangun tidur.
Hal yang rutin ia lakukan, tersenyum dengan berbagai pose dari mengangkat kaki berjalan dua langkah sembari berbalik, hingga rambut Bobnya terkibas ke-kiri dan ke-kanan, intinya gadis bernama Kunia Rahayu itu adalah salah satu dari para wanita yang paling mencintai dirinya sendiri.
Braaaaakkk...! Braaakkk...! Braaaaakkk....!
Sebuah ketukan kasar setiap pagi, memang tak pernah membuatnya heran. Hingga ia pun harus mengakhiri ritualnya kemudian membuka pintu sebelum si pengetuk menghancurkan pintu tersebut.
Krieeet... Dengan malas ia membuka, sembari menarik kedua tangannya keatas, merenggangkan tubuhnya ia menyambut seorang wanita dengan rol rambut memenuhi kepalanya.
"Ibu pikir kau mati, kenapa tidak menyaut panggilan ibu sedari tadi?" Gerutunya sembari berkacak pinggang.
"Inginnya begitu, sebelum aku mendengarkan suara ibu yang seperti kaleng kosong setiap pagi," gumamnya sembari memasukkan ujung jari kelingkingnya ke dalam lubang hidung mencari emas alam yang tersembunyi cukup dalam.
"Cih...! Kau pikir aku mau berteriak terus setiap pagi hah...!!!" Pekik sang ibu geram. Sehingga membuat Kunia menggosok telinganya cepat.
"iyaaa... iyaaa... ibu mau apa memanggil ku pagi-pagi buta seperti ini?"
"Pagi buta katanya? Apa kau saat ini tengah memakai softlens berwarna hitam? Kau lihat mentari di luar, bahkan sekawanan Ayam pun sudah berkumpul mengadakan arisan. Dasar pemalas!!"
Kunia tak menghiraukan ia hanya diam saja, justru Dia akan heran jika sang ibu tidak bernyanyi di pagi ini.
"Kau lihat pakaian mu yang sudah kau rendam sejak kemarin pagi di kamar mandi, kapan kau akan mencucinya?!"
"Nanti akan ku cuci, Bu."
"Nanti? Sejak kemarin, nanti...nanti...nanti... Ketemu besok pun kau akan menjawab serupa. Andai saja pakaian mu itu biji kacang-kacangan? Mungkin dia sudah bukan jadi kecambah lagi melainkan Tauge!!!"
"Aaahh.... Iya... Iya akan ku cuci, setelah aku menelfon Kak Anwar."
"Tidak bisa!! Kau harus mencucinya Sekarang!" Ibu paruh baya itu sudah kehabisan sabar, sehingga menyeret anaknya ke kamar mandi lah menjadi pilihannya. Namun bukan Kunia jika tidak menahan tubuhnya dengan cara memegangi kerangka pintu sekuat mungkin.
"Nanti Bu hanya tiga puluh menit, untuk mengucapkan selamat pagi padanya."
"Aku tidak peduli dengan benalu tengik itu, sekarang yang ku butuhkan kau melakukan pekerjaan mu, aku sudah tidak tahan mencium aroma busuk dari rendaman pakaian, mu!" Bu Sukaesih terus saja menarik tangan anak gadisnya itu, sekuat tenaga.
"Dua puluh menit... Ku mohon," masih berusaha bernegosiasi.
"Satu detik pun tidak akan ku berikan," suara Bu Sukaesih sudah terdengar ngos-ngosan. Karena tidak hanya menarik, ia pun memukul-mukul lengan Kunia yang masih memegang kencang kerangka pintu tersebut.
Lelah... Ia pun memutuskan untuk menggelitik perut langsing yang terbungkus kaos oblong berwarna putih itu.
"Aaaahahahaha, Ya Tuhan.... Aku akan bertahan!! Buahahaha.... Tidak akan aku melepaskan pertahanan ku."
"Menurut lah atau ibu akan melakukan yang lebih dari pada ini–" semakin menggila Bu Sukaesih menggelitik perut Kunia membuat gadis itu semakin mengatup rapat-rapat bibirnya, menahan tawa dan geli yang di buat sang ibu, namun pegangan tangannya masih juga tak terlepas.
Hingga beberapa detik Kunia mulai menyerah, ia pun melepaskan pegangannya dan menahan tangan sang ibu.
"Baiklah... Baiklah... Aku menyerah... Aku?" Nafasnya tersengal-sengal, "aku akan mencuci pakaian ku sekarang, jadi sudah hentikan."
Bu Sukaesih sama-sama mengatur nafasnya sembari menatap tajam ke arah sang anak. Lalu menyentuh-yentuh pelan semua rol rambut yang terpasang di kepalanya. Memastikan jika tidak ada rol yang rusak karena aksinya tadi.
"Cepat cuci pakaian mu!!! Atau kau yang akan ku giles di papan penggilesan!" Pekik Bu Sukaesih sebelum berlalu. Sementara Kunia kini tengah menyandar lemas akibat serangan brutal sang ibu.
"Aku bisa mati jika seperti ini terus," gumamnya masih lemas.
"KUNIAAAAAA!!!!" Teriak Bu Sukaesih dari dapur untuk memastikan anak itu tak kembali ke kamarnya.
"IYAAAAA...!" Gadis itu pun menghela nafas, "tunggu jika aku sudah menikah dengan Kak Anwar, aku akan terlepas dari penjara ibu cerewet itu."
Langkahnya yang sedikit menghentak pun membawanya menuju area dapur, lalu masuk ke sebuah bilik yang tidak begitu sempit.
Ya... Di rumah itu memang ada mesin cuci dua drum, namun karena sedang rusak jadi tidak bisa di gunakan untuk sementara waktu.
Kuni pun mengeluarkan ember berisi pakaiannya, belum apa-apa dia sudah mengendus bau tak sedap, membuatnya ingin muntah seketika itu juga.
"Astaga...! Kenapa pakaian yang di rendam sehari semalam bisa bau bangkai seperti ini sih?" Ia pun memutuskan untuk menumpahkan semuanya, lalu menggantinya dengan air yang baru dan juga deterjen lagi, entah berpengaruh atau tidak?
Paling tidak, dia bisa menghilangkan sedikit bau busuk di rendaman pakaiannya.
Dengan cekatan ia mulai menata, dari kursi jongkok, papan penggilesan, sabun colek serta sikat baju.
"Okay...! Hanya tujuh setel pasti akan cepat selesai." Ia pun mulai mencuci satu persatu pakaiannya. Memang mencuci adalah pekerjaan paling ia tidak sukai, karena dari mencuci itu akan menganak ke pekerjaan lainnya seperti menjemur, dan jika sudah kering ia harus mengangkatnya serta melipatnya, belum lagi jika ingin nampak lebih rapi, Dia harus menyetrikanya juga. Benar-benar satu pekerjaan yang bisa menghabiskan waktu seharian.
Apalagi di hari Minggu ini, andaikan saja Anwar tidak sibuk mungkin hari ini Dia sudah bersiap untuk berkencan.
Selang beberapa menit kemudian, Kunia sudah selesai dengan pekerjaan mencucinya. Hanya tinggal menjemur saja, ia pun duduk sejenak di dipan kayu yang berada di samping rumah. Di sisi tali-tali jemuran yang membentang cukup kuat.
Ia mengusap keringat di kening, menatap matahari yang mulai meninggi di sana. Mengeluarkan ponselnya dari saku celana pendek yang ia kenakan.
Belum ada satu pesan pun dari Anwar sejak pukul delapan malam tadi. Kunia mengulas senyum.
"Sepertinya, kak Anwar sibuk sekali. Aku harus maklum, Dia bekerja kan untuk masa depan kita juga." Kunia cengengesan sendiri, membayangkan ketika tiba-tiba Anwar datang bersama orangtuanya untuk melamar dirinya.
Di mana ia akan mematung, dengan angin yang berhembus menyibak rambut Bobnya itu.
Terpukau dengan Anwar yang berpostur tinggi, menggunakan kemeja batik berlengan panjang serta celana bahannya. Amatlah gagah, sembari memegangi buket bunga yang indah.
'Kunia, Menikahlah denganku... Aku akan membahagiakan mu.'
Lamunannya pun berlanjut hingga ke saat mereka menikah.
Dimana Kunia tengah berdiri di dapur memasak hidangan pagi untuk suaminya, tiba-tiba seorang pria memeluknya dari belakang.
'Harumnya? Istri ku yang cantik benar-benar paham cara memanjakan suami.' Anwar meraih wajah Kunia agar menghadapnya, wajah itu semakin mendekat terus mendekat dan mendekat.
Di mana bibir Kunia yang turut maju dengan mata terpejam, menunggu kecupan lembut mendarat sempurna di bibirnya.
Cssss....
"Aaaaaaa!!!" Hentaknya terkejut, di mana sang ibu sudah berdiri di hadapannya dengan sekantung bajigur panas di tangan.
"Kau pikir bibir mu itu seksi, hah?"
Kunia menatap sebal sembari menutupi bibirnya sendiri. "Ibu itu benar-benar ya, kalau bibir ku jontor, bagaimana?"
"Biarkan saja, lagi pula bukannya meyelesaikan pekerjaan mu? Malah berkhayal yang tidak-tidak."
"Ck...! Sudah sana masuk saja, ini juga mau Kuni selesaikan kok. Mengganggu kesenangan anak gadisnya saja."
"Mengganggu kesenangan, kata mu? Hei– apa seperti itu kesenangan mu? Menganggur, lantas berkhayal yang tidak-tidak? Memuakan!"
"Aku akan bekerja sebentar lagi– tidak perlu khawatir."
"Dari beberapa bulan yang lalu kau bicaranya pun seperti itu...! Contoh lah Reni, dia bekerja sebagai selebriti di dunia Maya, hobinya yang suka dandan itu menghasilkan uang yang banyak. Sehingga ibunya yang genit itu, selalu membanggakan putri semata wayangnya. Sedangkan kau, Apa? Yang ada uang ayah mu kau habiskan untuk si benalu brengsek itu."
"Ibu... Sudah ku bilang jangan hina kak Anwar seperti itu. Dia itu pria baik-baik. Lagi pula Reni bisa seperti itu kan punya modal. Sementara aku apa? Jangankan minta uang untuk modal Utube, untuk beli cilok saja harus mendapatkan pukulan lebih dulu."
"Sudah lupakan tentang Reni– intinya aku tidak suka pria yang mengaku kekasih mu itu. Kau sebut dia baik? Kalau benar dia pria baik-baik, ia tidak akan pernah menjadikan mu mesin ATM berjalan."
"Ibu ini bicara apa sih, kenapa jadi merambat kemana-mana?"
"Hei– sudah saatnya kau sadar...! Jangan menjadi budak cinta pria pengeretan seperti Dia– kau akan menyesali nanti."
"Iya... iya ibu ku sayang, sudah hentikan khutbah mu, Aku akan bekerja setelah ini dan membuat mu bangga okay."
"Baguslah, ku doakan kau bisa menggaet bos dari tempat mu bekerja itu."
"Ibu–"
"Itu lebih baik dari pada kau harus dengan cecunguk itu." Bu Sukaesih masih saja mencibir Anwar sembari melenggang pergi. Karena Dia memang tidak pernah suka dengan pria yang sudah bertahun-tahun menjalin hubungan dengan anaknya itu.
Kunia menghela nafas...
"Sepertinya aku harus mengajak kak Anwar untuk kembali mendekati ibu," gumamnya. Ia pun kembali berjalan dua langkah mendekati ember berisi pakaian bersihnya, dan mulai menjemur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
fa _azzahra
namanya anak kdg ngeyel.dh diposisi emak2 bru kita ngrasain apa yg dlu ortu kita rasakan pas mndidik kita
2022-11-07
0
hasrat maku
jadi ingat Ember😁😁
2022-07-17
0
Kanayas
Tapi bener lho, Mama suruh kakak jauhi cowok dan gak dipedulikan, akhirnya kakakku nangis gegara diselingkuhi
2022-06-30
1