Langit kian menggelap, menggeser masa yang semakin mendekati waktu beristirahat.
Di balai samping rumah Kunia, keluarga kecil itu tengah berkumpul menikmati waktu mereka yang baru saja selesai menyantap hidangan makan malam di luar rumah.
Pecel lele buatan ibu benar-benar tak tertandingi.
Sambal terasi yang pedas, manis, asin, dan gurih berpadu sempurna di dalam cobek batu yang berukuran besar.
Di tambah nasi hangat, serta ikan lele berukuran sedang, dengan rasa gurih yang bahkan meresap masuk ke seluruh daging ikan itu, membuat mereka bahkan sampai kalap menyantap hidangan tersebut.
Seperti saat ini, sudah terdapat tiga kepala ikan lele di piring Kunia, dan sekarang? Dia tengah bersiap mengambil nasi di ronde ketiga, tidak tanggung-tanggung ia meletakkan langsung sambal serta lauk dan juga lalapannya ke dalam teflon rice cooker, yang masih tersisa sedikit nasi di dalamnya.
Nampak Gentar yang geleng-geleng kepala, melihat kakak sepupunya yang kecil itu bisa makan segitu banyaknya.
"Apa perut mu tidak akan meledak, kak?" Tanya Gentar sebelum meminum air mineral dari dalam gelasnya.
"Sebagai manusia, kita tidak boleh mubasir makanan. Ini adalah cara ku bersyukur, atas nikmat Tuhan," jawab Kunia yang lantas memasukkan satu suapan nasi dari tangannya sendiri ke dalam mulutnya, setelah melakukan metode mencampur nasi dengan sambal khas acara makan di TV. Sementara tangan kirinya memeluk teflon rice cooker.
Plaaaakkk...
"Aaarrggghhh...!" Teriak Kunia yang terkejut, ketika hantaman keras mengenai bahunya. "Ibu itu benar-benar ya? Aku sedang makan, jika aku tersak bagaimana? Ibu mau aku mati."
Bu Sukaesih diam saja, ia malah justru merebut rice cooker di tangan Kuni.
"Bu– aku belum selesai makan."
"Jadilah wanita normal, jangan seperti gorila kelaparan...!" Bu Sukaesih menjauhkan telfonnya dari Kunia yang hendak meraihnya lagi.
"Tapi aku masih lapar... Ayo lah Bu."
"Tidak akan ku berikan...! Kau itu kan wanita? Makanlah sewajarnya." Hentak Bu Sukaesih, sehingga membuat Kunia menoleh ke arah sang ayah dengan tatapan mengiba.
"Bu– berikan itu, biarlah anak kita makan. Selagi Dia masih doyan." Pak Gayus, yang tak lain adalah ayah dari Kunia memberi sedikit pembelaan, sehingga senyum senang pun terpancar di wajah gadis itu. Ayah memang yang terbaik. Begitu kira-kira isi hati Kunia.
"Ayah, bisakah kau memandangnya sesuai usia Dia?" Bu Sukaesih menepis tangan Kuni yang hendak meraih teflon tersebut, sembari melotot ke arah anaknya. "Mau sampai kapan, anak seperti ini di manjakan terus menerus. Dia itu harusnya sudah mulai produktif, tidak bisa lagi jadi beban keluarga."
"Ibu tega sekali menganggap ku beban keluarga!"
"Faktanya memang seperti itu. Kalau bukan karena untuk memudahkan mu mencari pekerjaan? Untuk apa ayah mu ini menyekolahkan mu tinggi-tinggi? Dasar tidak berguna...!"
"Terus saja ibu seperti itu, aku jadi ragu. Apakah benar aku ini anak ibu? Atau jangan-jangan sebenarnya ibu ku itu bukan ibu."
Plaaaaaakkkkkkk.... Sebuah hantaman lagi mendarat di bahu, membuat Kunia mengaduh sakit.
"Haaaah... Untung hati ku sudah kebal, memakan asam garam kehidupan. Jadi ucapan mu itu tidak akan menyakiti ibu, lagi pula kalau kau bukan anak yang keluar dari rahim ku, pasti sudah ku tendang dari dulu, untuk apa merawat anak pemalas seperti mu. Oh Tuhan, Ngidam ku dulu sih sangat rajin, bahkan piring bersih pun sampai ku cuci lagi saking tidak bisanya diam. Ku pikir aku akan melahirkan anak yang berguna, rupanya gadis pemalas yang kerjanya hanya makan tidur saja, tau seperti ini lebih baik aku memelihara kucing saja." Bu Sukaesih ngedumel, sembari mengemasi piring-piring kotor di atas dipan, dengan suara piring yang sedikit di banting-banting, membuat Ayah tidak berani untuk melanjutkan merokoknya. Dan lebih memilih membantu ibu membereskan sisa makan malam mereka.
"Ibu benar-benar tak berperikemanusiaan. Ayah kenapa bisa menikah dengan ibu sih?" Bisik Kunia saat sang ibu sudah masuk ke dalam rumahnya, sementara pak Gayus hanya tertawa lalu membawa cobek besar itu masuk menyusul istrinya.
"Aku bisa menangkap jawaban dari ekspresi, Uwa Gayus. Dan kalaupun aku di posisi beliau aku akan setuju." Gumam Gentar, membuat kening Kunia berkerut, tidak mengerti. "Maksud ku, Beliau itu lebih memilih punya istri galak seperti Uwa Sukaesih, dari pada punya istri pemalas seperti mu kak... Hahahaha."
"Setan...! Kau ya?" Kunia melempari Gentar dengan timun yang masih utuh. Di mana pria remaja itu berjalan cepat menghindari, sembari tertawa dengan tangan membawa nampan berisi teko air serta beberapa gelas kosong. Kunia pun menghela nafas, ia turut bergegas membersihkan tangannya yang kotor lalu membereskan sisa makanan mereka yang sedikit berserakan sebelum sang ibu semakin berkoar.
Di sela-sela pekerjaannya, ia mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah Reni, Kunia pun menoleh kebelakang.
"Senangnya– bisa jalan-jalan sampai malam. Huh... Jadi rindu kak Anwar, Dia juga belum menjawab telepon ku sedari tadi." gumam Kunia yang masih menatap kebelakang.
Di sana tidak nampak jelas karena tertutup pagar serta beberapa tanaman membuatnya hanya tersenyum lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
***
Di dalam kamar.
Ia duduk di mejanya, tempatnya belajar dulu. Atau kawasan favoritnya bermain game online di layar datar komputernya.
Tangannya yang mengetuk-ketuk pelan, nenatap langit cerah di luar tempat para bintang bertebaran.
Setitik rasa perih ia rasakan di dada, entah kenapa? Ia merasa akhir-akhir ini Anwar seperti mengabaikannya. Tak pernah membalas pesan chat, terkecuali jika Dia tengah butuh sesuatu.
Kunia sedikit terkesiap saat mendengar ponselnya bergetar, segera ia menoleh dan mengangkat sedikit ponselnya menatap layar.
"Hanya spam?" Lemas, ia meletakkannya lagi. Sejenak kedua mata itu mengembun, Kunia pun berusaha tersenyum menghela nafas.
"Aku tidak pernah bisa menangis hanya karena ini? Bukankah sikapnya memang seperti itu? Cuek, tapi Dia sayang kok." Masih saja dia berfikir positif, menenangkan dirinya sendiri.
Hingga ia pun memutuskan untuk menelfon saja, pujaan hati yang amat ia rindukan.
~ Nomor yang Anda hubungi, sedang sibuk...~
Kunia menggeleng cepat, bisa jadi kendala sinyal 'kan? Menerka-nerka saja. Ia kembali menghubungi Anwar, hingga lima kali panggilan masih saja sibuk. Kunia pun menatap ke arah jendela, karena kamarnya berhadapan dengan balkon kamar Reni, ia bisa melihat gadis itu tengah tersenyum-senyum menerima panggilan telepon dari sebrang.
Kunia tersenyum kecut, ia menurunkan ponsel yang menempel di telinganya.
"Apa iya? Walaupun aku sudah laku, aku tetap harus memperhatikan penampilan ku?" Kunia melihat gadis itu nampak anggun dengan rambut yang tergerai indah, berbalut baju tidur berwarna pink dengan corak bunga sakura berwarna putih. Tubuhnya yang bagus, serta kulitnya yang putih bersih benar-benar sempurna. Lalu melirik dirinya sendiri yang hanya menggunakan kaos oblong serta celana kolor.
Kunia mendengus, "tidak salah, memang aku buruk sekali."
Ia melihat Reni sepertinya sudah selesai melakukan panggilan telepon dengan kekasihnya itu, dan kembali masuk ke dalam kamarnya. "Andai aku secantik Reni? Pasti Anwar lebih bangga memiliki aku."
Tak lama, telfonnya berdering.
"Aaa... Anwar? Ya ampun? Pujaan hati ku." Kunia pun menerima cepat dengan semangat. "Hallo?"
📞 "Kuni, maaf. Kau bisa membantu ku lagi?"
"Apa?" Semangat Kunia menurun, karena bukan kata-kata itu yang ia ingin dengar dari Anwar sebagai pembukanya.
📞 "Aku sebenarnya tidak enak pada mu..."
"Katakan saja."
📞 "Aku, butuh uang lagi. Tidak banyak hanya lima ratus ribu."
Gadis itu menunduk, dan lebih memilih diam saja.
📞 "Kuni?"
Mata Kunia sedikit berkaca-kaca. Namun ia berusaha menahan itu.
"Kalau aku bilang tidak bisa, bagaimana?"
📞 "Apa kau sudah tidak sayang aku?"
"Bukan begitu, aku kan?" Kunia menggigit ujung bibirnya. Kenapa? kau tak pernah peka jika aku rindu, sekalinya telfon hanya untuk meminjam uang. Setelah ku transfer kau menghilang. – inginnya Kunia mengatakan itu, melontarkan kekesalannya terhadap Anwar namun tidak sanggup. Ia takut Anwar marah, ia takut Anwar minta putus.
📞 "Kuni, cepatlah. Aku butuh sekarang."
"Jujur saja? U... Uang bulanan ku sedang habis. Jadi, aku tidak bisa membantu mu. Terakhir ku kirim kan pada mu tujuh ratus ribu, pekan sebelumnya enam ratus. itu saja sebenarnya uang untuk membeli printer baru, dan kau belum mengembalikannya."
📞 "Oh... Kau mau mengungkit semua uang yang kau pinjamkan pada ku? Kau tidak percaya pada ku, sekarang?" Nada bicara Anwar meninggi membuat Kunia tidak bisa menjawabnya.
"Bu– bukan begitu."
📞 "Ah... Sudah lah."
"Kak?"
PIK.... Panggilan telepon sudah terputus, Kunia pun mencoba menghubungi lagi, masih tersambung namun tidak di angkatnya hingga tiga kali, dan ke empat kalinya.
~Nomor yang Anda tuju, sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi ~
"Ya ampun... Dia marah lagi? Terakhir dia marah bisa sampai berbulan-bulan tidak mengaktifkan nomornya. Hiks– bagaimana ini? Apa aku meminjam pada ayah saja? Tapi? Sampai kapan akan seperti ini?" Kunia menaikan kedua kakinya, lalu memeluk lututnya yang tertekuk itu kemudian. Menangis sendirian, meratapi hubungannya yang semakin tidak jelas ini.
bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Sintia Dewi
kukira tokoh kunia ini tipe pekerja keras wanita karir dan tdk tau diduakan sm pacarnya yg mekondo itu taunya jauh dr ekspektasi...sudh dibodohi pacarnya, pemalas, jorok kasar uragan apa lg hah jauh lah intinya/Sweat/
2024-04-17
0
Sintia Dewi
kunia2 km udh dibutakan cinta gk ada pikirpun bantu ibumu udh syukur diksik jajan sama ayah dimsakin makanan enak2 sama ibu, berubah dikit napa/Smug/
2024-04-17
0
Sulaiman Efendy
UDH GK KERJA, MLH JDI SAPI PERAHAN LKI2...
2023-10-09
0