Rampung dengan urusan mencuci, Kuni kembali masuk ke dalam rumahnya.
Hawa gerah setelah menjemur membuatnya berkeringat, jadi lah ia mandi saat itu juga.
Di dalam bilik kamar mandi, ia pun bercermin. Rambutnya benar-benar lepek, dan sedikit kering membuatnya tersadar sejenak bahwa dia benar-benar nampak kumal.
Ya... mungkin dia memang butuh treatment tapi jika sekarang ia ke salon, uang dari mana? Jatah bulanannya dari sang ayah yang bekerja di salah satu kilang minyak terbesar di Indonesia saja sudah habis setelah beberapa kali di pinjam oleh Anwar.
Dan jika di ingat-ingat, sepertinya pria itu memang selalu meminjam uangnya? Dan tidak pernah sekalipun ada yang kembali.
Kunia pun menggeleng cepat. "Tidak baik berfikir buruk terhadap calon suami sendiri."
Dengan semangat ia pun menyalakan keran airnya, mulai menyirami diri menggunakan gayung di tangannya.
Ya... Sudah biasa dia menghabiskan waktunya di rumah, bermain PlayStation kepunyaan Gentar sepupunya yang lumayan sering bermalam di rumahnya, maklum saja? Akibat dari kesibukan kedua orangtuanya, membuat pria remaja itu lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah kakak dari sang ibu. Lebih-lebih masakan Uwa Sukaesih yang enak, serta asiknya Kuni untuk di ajak bermain PS ataupun nongkrong membuatnya tidak butuh lagi teman lain.
Kembali pada Kunia, Bermain PS terutama liga bola adalah kesukaannya. Dia bahkan bisa menghabiskan berjam-jam waktu untuk bermain si kulit bundar itu lewat game favoritnya.
Sudah pukul tiga ia mulai lelah– ia pun menghentikan permainannya. Lalu kembali merebahkan tubuhnya ke sofa, dengan posisi malas, ia menurunkan tubuhnya sedikit setelah itu menoleh ke arah ponselnya.
Layarnya masih kosong, tidak ada satu pesan pun yang masuk. Bahkan pesannya yang sedari tadi ia kirim pun tak ada satupun yang di balas.
Kunia mendengus. Mengetuk-ketuk sejenak jari telunjuknya ke bantal sofa lalu memutuskan untuk menghubungi Anwar.
Hingga beberapa kali ia mencoba menghubunginya, sama sekali tidak ada jawaban.
"Aaaaa– kemana sih, masa sesibuk itu sampai kau tidak bisa memberi kabar? Huhu... Kangen." Kunia kini merubah posisi, tengkurap. Menyandarkan dagunya di bantal.
–––
Di sebuah taman Fantasi, beberapa jam yang lalu...
Anwar tengah asik bermain dengan beberapa wahana bersama Reni, setelahnya berjalan lagi menuju salah satu outlet makanan siap saji.
"Kau mau yang mana?"
"Emmm– aku mau chicken pop," jawabnya bernada imut.
"Oh, baiklah."
"Tunggu!!" Reni menahannya.
"Ya?"
"Coba cek dulu, di dompet mu masih ada uang, 'kan?"
"Emmmm?" Anwar mengeluarkan dompetnya, lalu menunjukkan isinya pada Reni. "Masih aman."
"Baguslah... Aku hanya tidak mau seperti Kunia ya, setiap kali kencan. Dia yang bayar."
"Eh...?" Anwar tertohok, ia pun terkekeh. "Kau ini bicara apa sih?"
"Ngomong yang berdasarkan fakta sayang. Aku suka pada mu, tapi aku tidak mau seperti Kunia. Aku tidak sebodoh itu–"
"Hahaha... Ya ampun. Aku itu sebenarnya juga bukan tipe pria yang mau dijajanin sama perempuan. Itu kan maunya Kunia sendiri, dan lagian aku pernah bilang pada mu, dari awal aku sebenarnya tidak mau menjalin hubungan dengan Kunia."
"Kok gitu?" Tanya Reni penasaran.
"Nanti aku ceritakan semuanya, aku antri di sana dulu ya. Semakin rame soalnya... nanti kita nggak kebagian."
Reni tersenyum lebar. "Okay sayang–"
Anwar pun tersenyum mengusap-usap kepala Reni gemas, lalu berjalan cepat menghampiri outlet yang menjual chicken pop tersebut. Sementara Reni sendiri memutuskan untuk duduk di salah satu kursi taman.
"Panas sekali–" gumam Reni mengipasi diri dengan tangannya.
Hingga beberapa menit berlalu, Anwar kembali menghampiri Reni yang sudah menantinya dengan senyuman.
"Wah– sosis bakar juga?"
"Iya aku tahu, setiap wanita pasti suka jajan kan?"
"Ya ampun, kau pengertian sekali."
"Iya dong." Anwar berbangga diri saat di puji. Ia pun membuka box sedang berisi chicken pop yang ia beli tadi. "Ini spesial, pakai Mozarella."
"Waaaahhh...." Reni menepuk-nepuk kedua telapak tangannya girang.
"Ku suapin?"
"Iya–"
"Ya ampun, kau imut sekali aku jadi gemas."
"Sama Kuni begini, tidak?"
"Kok bahas Kuni terus sih?"
"Ya mau bagaimana lagi, kalian pernah kencan juga. Pasti seperti ini, deh?"
"Tidak lah– aku amat jarang kencan dengannya."
"Kak Anwar lupa ya? Kalau aku itu sahabatnya Kunia, jelas dia cerita semuanya lah tentang kakak. Yang sering mengajaknya pergi."
"Oh... Memang aku sering mengajaknya pergi, tapi lebih ke rumah orang tua ku sih. Jadi kalau hari Minggu ke dua, pengasuh nenek ku itu tidak datang. Karena Kunia suka anak-anak dan orang tua, Dia jadi ku mintai tolong untuk membantu ku menjaga nenek yang sudah benar-benar jompo."
Deg...! Reni tercengang, dia baru tahu. Mungkinkah Kunia selama ini berbohong tentang jalan-jalan ke taman hiburan ataupun gedung film.
"Tapi kan, dia bilang selalu jalan-jalan ke mall, ataupun taman hiburan."
"Hahaha... Mengada-ada Dia. Sepertinya selama tiga tahun aku pacaran sama Dia, paling mentok ke taman kota itu saja setelah membantu mengurus nenek. Karena aku juga sibuk sih– jadi dia yang main sama nenek, aku bekerja di kamar."
"Selama mengurus nenek, apa? Dia melakukan semuanya? Maksud ku, mengganti pakaian atau?"
"Iya, termasuk mengganti popok dewasa yang di gunakan nenek."
Reni menutup mulutnya, tidak percaya. Ia pun sedikit bergeser posisi duduknya, sehingga membuat Anwar bingung.
"Kenapa?"
"Nggak– sepertinya aku tidak bisa lanjut."
"Eh? Kok gitu?"
"Aku tidak mau, kau menjadikan ku pengasuh nenek mu juga. Enak saja–"
"Tidak mungkin lah jika itu kau, hal itu terkhususkan untuk Kunia. Jika dirimu? Tidak mungkin lah aku tega."
Reni menggigit ujung garpu plastiknya, menatap penuh ragu.
"Reni– percayalah padaku. Seperti yang aku bilang. Aku tidak pernah mencintai Kunia. Semua karena aku kalah taruhan saat masa kuliah dulu. Jadi aku harus memacari anak Design unik, si Kunia itu di kampus kita."
"Kalau kau benar-benar tidak menyukainya, kenapa masih berlanjut hingga lulus kuliah?"
"Mau bagaimana lagi? Menurut ku, bersamanya lumayan juga. Sekali aku tidak bawa dompet saat pergi bersamanya dia terus membelanjakan ku dengan uangnya, ya sudah ku manfaatkan saja. Lagi pula aku tidak punya alasan untuk memutuskan hubungan dengannya. Melihatnya yang menyukai ku sejak masa ospek sudah membuat ku tidak tega, ku pikir dengan cara mengeretinya? dia akan kesal dan akhirnya menyerah. Tapi, Dia malah justru semakin mengikatkan benang merahnya pada ku. Aaahhh– aku sudah tidak tahan dengan gadis Kumal itu."
Reni tersenyum tipis, ia tidak bermaksud untuk merebut Anwar. Pria itu lah yang terus-menerus berusaha mendekatinya dengan berbagai cara, sehingga mampu menarik hati gadis itu.
Ya... memang Dia tidak begitu kaya, tapi dia yang anak seorang walikota, pekerjaan yang bagus dan tampan sudah memberikan nilai plus. Itulah Kenapa dia mau menerima Anwar, berharap masa depannya akan lebih cerah dari pada harus memacari pria-pria yang sok kaya itu. Lagi pula perlakuan Anwar terhadapnya juga lain, ia berharap bisa bahagia bersamanya.
Maafkan aku Kunia. Tapi sepertinya kak Anwar memang lebih pantas bersama ku. Kita sama-sama good looking. Sementara dirimu?
Reni masih tersenyum senang, saat suapan demi suapan masuk ke dalam mulutnya. Tidak peduli di sebut pagar makan tanaman, bagi Reni selagi Anwar belum memiliki istri yang sah? Ia masih milik semua orang, termasuk dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Sintia Dewi
good looking doank tp sompet kosong mulu
2024-04-17
0
💜🌷halunya jimin n suga🌷💜
adeh reni reni bego dipeliara... tuyul ternakin biar cepet kaya
2023-07-16
0
Aqiyu
anak walikota tapi manfaatin uang gadis yang disebit kumal
2022-06-28
0