Kisah Asmara Sang Pangeran
Aku sama sekali tidak mengerti. Bukankah mereka selalu bilang, “Yang lalu biarlah berlalu. Tidak perlu terlalu dipikirkan.” Lantas, oh guru konselingku yang baik, kenapa masih ada pelajaran sejarah di sekolah? Membaca, menghapal, exam. Membaca, menghapal, exam. Kita dituntut untuk terus menghapal nama-nama tokoh pahlawan. Dari tanggal lahir sampai meninggalnya. Peristiwa-peristiwa penculikan, penyanderaan, bahkan pembunuhan.
Oh ayolah, itu urusan pribadi mereka. Untuk apa kita terus membicarakan mereka? Bahkan menghapal seluk-beluk mereka yang dianggap pengkhianat hanya karena berbeda pandangan. Seperti ratu gosip yang terus mewariskan kebencian pada anak-cucunya.
Oke, aku sudah mengutarakan alasanku, ‘kan? Jadi, jangan salahkan aku jika aku memilih tidur saat pelajaran sejarah berlangsung. Oh, maafkan aku. Aku lupa, sekarang sedang ujian. Tapi tenang saja, aku sudah selesai.
“Pssssst, Qai! Psssst, Qai! Bangun, Idiot!” Samar-samar, aku menangkap suara sesorang berbisik. Terasa begitu jauh di belakang. Oh, apa peduliku. Mungkin itu hanya bisikan setan. Lebih baik aku mengabaikannya.
“Qai! Qai!” Oh, demi langit. Setan itu sungguh tak kenal kata menyerah dalam mengganggu manusia. Beruntung, siang ini rambutku sudah kugulung, jika tidak, sosok anak lelaki idaman para gadis itu pasti sudah menarik-nariknya seperti tali kekang kuda. Tambahkan, dengan sangat tidak tahu malunya.
Aku menggeram jengkel. “Apa? Kau tidak lihat aku sedang sibuk?” desisku sambil bersungut-sungut. Dan semakin geram ketika berbalik dan mendapati wajah Yusuf yang sudah menunjukkan pesonanya; senyum lebar dengan tampang memelas maksimal. Dia pasti menginginkan sesuatu.
“Nomor 3-5, dong,” bisiknya dengan kedua tangan menangkup di depan dada. Memasang tampang sok imut yang membuatku benar-benar ingin menendang tulang keringnya keras-keras, mengajarinya cara yang baik dan benar menjadi seorang pria sejati.
Aha! Aku ada ide. Senyum lebar merekah dari sudut-sudut bibirku. Membuat Yusuf langsung melongo dan bergidik ngeri. “Ada syaratnya!” kataku sambil mengangkat jari telunjuk.
“Apa? Jangan aneh-aneh. Cepat katakan. Aku tidak ada waktu menyalin jawabanmu,” balas Yusuf dengan suara yang menyerupai desisan ular.
“Mendaki. Hari Minggu kita mendaki. Bagaimana?” sahutku dengan senyum lebar. Setelah berkata demikian, aku bisa melihat Yusuf nyaris terbahak.
“Gampang. Cepat berikan lembar jawabanmu!”
“Janji?”
“Astaga! Iya, janji.” Oke, aku langsung menghadap ke depan, tegak lurus. Celingukan seperti tupai. Memastikan bahwa sang guru otoriter tidak mengetahui tindakan muliaku. Suasana kelas yang tenang sungguh menyulitkan.
Sekolah ini menerapkan sistem kelas unggulan. Dan di antara 400 siswa kelas XI dengan 10 kelas yang ada, aku tidak mengerti kenapa aku bisa masuk ke kelas dengan reputasi terbaik itu. Dan di sini masalahnya, anak-anaknya super genius dan terlampau rajin. Banyak kutu buku di sini, dan secara otomatis, mereka akan menjadi contoh bagi anak-anak kelas lain. Kandidat-kandidat olimpiade selalu berasal dari kelas ini. Kebodohan tidak mendapat tempat di sini. Menciptakan kesenjangan yang begitu memprihatinkan dengan kelas lain. Aku mengutuk diri sendiri kenapa bisa terjebak di kelas ini.
Setelah berhasil memindai keamanan sekitar, dengan gerakan perlahan, tangan kananku mulai menggeser lembar jawaban terhebat sepanjang sejarah agar menjuntai dari atas meja. Hanya untuk mendengar umpatan Yusuf yang sungguh tidak berguna.
“Kau gila!” seru Yusuf tanpa sadar. Seketika, mengundang perhatian seluruh kelas. Wajahnya memerah karena malu, membungkuk untuk meminta maaf. Aku? Tentu saja aku berpura-pura tidak kenal. Terlebih lagi ketika mata tajam yang terbingkai kacamata bulat itu menatap lekat ke arah kami. Aku tidak takut. Hanya demi sopan santun aku tidak menatapnya balik. Berpura-pura sedang membaca soal ujian untuk menghindari masalah yang merepotkan.
Dari belakang, kurasakan Yusuf menendang kaki kursiku. Ah, karena Yusuf sudah berani berbuat seperti itu, kurasa sudah aman. Aku menegakkan badan. “Qai, kau serius?” bisiknya dengan kepala sedikit dicondongkan ke depan.
Aku meletakkan punggung pada sandaran kursi. Menghalangi gerakan bibir dari pandangan guru dengan soal ujian, berbisik pelan, “Aku tidak pernah main-main dengan apa yang kulakukan.”
“Oh, demi langit,” lirih Yusuf dengan nada gemas, dari sudut mataku, aku bisa melihat ia meremas rambutnya yang sedikit berantakan. Style-nya memang seperti itu, tapi anehnya disukai para gadis. “Apa kau lupa siapa Pak Parno?” desisnya lagi.
“Ah siapa dia? Apa kau sedang membicarakan pendongeng di depan sana itu?” tanyaku serius dengan pelan.
Kulihat Yusuf mendesis gemas. “Kalau kau sudah tahu, apa maksudmu dengan doraemon berpantat besar dan kuda nil bermulut lebar?” Oh, anak ini sungguh keras kepala. Tidakkah ia tahu dalam soal ujian itu kita disuruh mengutarakan pendapat? Yang namanya pendapat itu ‘kan terserah kita. Lalu, apa masalahnya? Aku mengangkat kedua bahu tidak peduli.
“Yusuf! Qaireen! Kumpulkan lembar jawaban kalian dan segera keluar. Kalian selalu saja membuat gaduh kelas,” seru Pak Parno. Kumisnya bergerak-gerak. Membuat tanganku gatal sekali ingin memotongnya. Jangan salahkan
aku yang membenci pelajaran sejarah. Salahkan guru itu yang mengajar dengan sistem yang langsung membuat murid-muridnya muntah darah.
Tanpa harus diteriaki dua kali, aku langsung berdiri. Menyerahkan lembar jawaban dan bergegas meninggalkan kelas sebelum guru yang sangat “menyenangkan” itu membaca jawabanku. Jika tidak, bisa celaka duabelas karat.
Begitu sampai di depan pintu kelas di sisi luar, berhubung badanku rasanya pegal-pegal semua, aku menyempatkan diri untuk meregangkan tangan sambil menguap. Dan seketika, kurasakan tatapan tajam yang menghujam punggungku. Sebelum beranjak pergi, aku mendengus sedikit keras. Tanpa perlu merasa harus menoleh, kedua kakiku yang pintar langsung mengambil inisiatif berjalan cepat ketika merasakan ada ancaman yang mengintai. Di belakangku, Yusuf berlari-lari kecil mengejar.
“Bagaimana jika kita gagal dalam ujian ini? aku hanya menjawab dua dari lima. Apa menurutmu aku bisa lolos tanpa mengulang?” tanyanya polos ketika berhasil mensejajari langkahku. Sinar matanya menyiratkan bara kekhawatiran.
“Apakah pertanyaan itu masih diperlukan?” Aku menatap sosok tinggi nan ramping di sebelahku sekilas. Mendengus pelan. “Tentu saja kita akan gagal. Bahkan sebelum lembar jawaban kita dikoreksi sampai akhir. Tapi aku tidak peduli. Sebentar lagi guru itu pensiun. Kuharap penggantinya lebih kompeten.”
“Tapi, Qai. Jika nilaiku ada yang merah, jatah uang sakuku pasti akan dikurangi. Dompetku akan menipis. Dan aku tidak lagi─”
“Qaireeeeeeeen!” Oh, demi kuda nil! Aku mengumpat dalam hati. Jantungku nyaris copot. Bisa-bisanya si guru paling menyenangkan sedunia itu berteriak dari depan pintu kelas dengan nada setinggi seribu oktaf. Kedua tanganku refleks menutup kedua telinga. Menyelamatkannya dari suara paling merdu yang bisa membuat gendang telinga pecah.
Aku menoleh, si guru bertubuh tambun itu menghentak-hentak marah, berjalan cepat ke arah kami dengan kepala bertanduk. Tidak perlu daya analis yang tinggi. Aku segara tahu apa yang akan terjadi. “Cepat lari, Idiot!” seruku pada Yusuf yang malah mematung dengan tampang “cerdas” maksimal. Refleksnya sungguh buruk. Suatu saat nanti, aku akan memberikannya tutorial bagaimana menjadi manusia yang bermartabat.
Dan segera saja kami langsung menjadi pusat perhatian. Para siswa dan guru yang sedang dalam proses belajar mengajar di ruang kelas─seperti memiliki telepati─kompak melongok ke luar. Wajah-wajah penasaran yang menjengkelkan. Tidak sedikit para gadis yang memekikkan nama Yusuf dengan nada tanya. Entah apa maksudnya. Mungkin mereka pikir Yusuf adalah makhluk seperti malaikat yang tidak akan pernah terlibat dalam masalah. Dan itu tidak salah. Penilaian mereka benar. Tapi sebelum mengenalku, tentu saja.
“Qai, apa yang harus kita lakukan?” tanya Yusuf dengan napas memburu. Kami terus berlari menyusuri lorong menuju halaman belakang.
“Lompat pagar,” sahutku singkat. Sesekali menoleh untuk mendapati pengejar kami bertambah dua. Satpam sekolah. Bagus. Sungguh hari yang baik.
“Kau gila! Kita bisa dikeluarkan dari sekolah,” sergah Yusuf dengan tampang polosnya.
“Terserah. Kau tidak perlu mengikutiku,” sahutku cepat. Dinding pagar sekolah tinggal sepuluh langkah lagi. Aku berhenti sejenak. Mengambil ancang-ancang untuk melompat. Di sana ada pohon beringin besar dengan kursi-kursi kayu yang mengitari. Jika dewi fortuna berpihak padaku, aku dapat dengan mudah melompatinya dalam sekali lompatan. Tapi jika tidak, aku akan menurunkan jabatannya menjadi dewi kesialan. Lihat saja.
“Qai, tunggu. Apa kau lupa di balik dinding ini ada apa?” seru Yusuf panik.
“Ada makam. Aku tahu. Memangnya kenapa? Kau takut?” kali ini, aku tidak tahan untuk melemparinya senyum mengejek. Dan tertawa bahak saat melihatnya mengacak rambut frustrasi. Oh, Yusuf yang budiman. Sepertinya kau salah memilih teman.
Berhubung kedua satpam sudah berlari semakin mendekat dan kegaduhan para murid yang penasaran semakin memekakkan telinga. Sama sekali tak ada niat dariku untuk berlama-lama di sini. Lebih baik pulang. Masalah dengan Pak Parno bisa diurus nanti-nanti.
Perlu diingat, aku memiliki kemampuan seorang elit militer, ehem, atau maling profesional? Terserah saja. Yang jelas aku bisa melentingkan tubuhku yang ringan melampaui dinding dan mendarat mulus di sisi seberangnya dengan aman.
“Qai, tunggu. Aku ikut,” seru Yusuf yang terlihat mengambil posisi ancang-ancang. Aku tersenyum miring. Kembali menghadap ke depan dan, ya, menunjukkan bakat yang terpendam. Aku tidak mengkhawatirkan Yusuf. Sebagai ketua tim basket sekaligus senior dalam ekstrakurikuler judo, kemampuannya cukup layak mendapatkan tepuk tangan. Seperti yang selalu dilakukan para fans butanya ketika ia menjuarai judo tingkat nasional yang diselenggarakan elit militer.
“Upss! Sial! Apa yang kalian lakukan, hey!” seruku seraya menunjuk sepasang senior─anak kelas XII─dengan geram yang bercampur keterkejutan level dewa. Lihat kelakuan mereka. Tepat di bawah dinding yang menjulang tiga meter, di bawah pohon beringin yang besar, di dekat barisan makam, oh, demi Tuhan. Aku ingin menyumpahi mereka sejadinya. Apakah otak mereka sudah digerogoti ****?
Beraninya mereka melakukan tindakan paling tak bermoral di atas tanah pemakaman. Dan lebih parahnya lagi, nyaris membuatku terjungkal tepat di atas sebuah gundukan tanah yang masih baru. Dengan bunga yang masih segar dan tanah yang memerah.
Sejujurnya, aku sedikit kasihan melihat tampang keterkejutan mereka yang menyerupai kuda nil. Tapi─
“Astaga! Jangan lihat, Qai!” Dengan gerakan super cepat, Yusuf yang sudah mendarat di sampingku langsung menggunakan telapak tangannya yang kokoh untuk menghalangi pandanganku.
“Apa-apaan, hey! Lepas!” Aku berusaha sekuat tenaga menepis tangan Yusuf, tapi sial. Sekalipun aku kuat, tetap saja, harus kuakui tenaga seorang pria lebih besar dibanding wanita.
“Tidak. Kau masih di bawah umur. Pemandangan seperti ini tidak diizinkan memasuki panca inderamu,” tegas Yusuf. Apa maksudnya? Dia pikir usianya berapa? Jika tidak kasihan, aku pasti sudah menendangnya. “Pak Satpam. Cepat ke mari. Kami menemukan pelanggaran berat di sini.” Setelah Yusuf berteriak demikian, dua satpam yang tadinya mengejar kami turut terperanjat dari atas dinding tempatnya berpijak. “Bagus. Pengalih yang sempurna. Cepat pergi dari sini,” lanjut Yusuf. Dengan segera menarik tanganku yang masih terpaku menatap keributan yang baru saja terjadi. Segera saja, dua satpam itu mengabaikan kami dan langsung disibukkan dengan ulah sepasang murid yang sudah diluar batas moral.
Setelah lelah berlari, kami berhenti untuk mengambil napas di taman terbuka tidak jauh dari gedung sekolah.
“Sekarang bagaimana? Kita ke mana?” tanya Yusuf, menghempaskan tubuhnya pada kursi taman di bawah pohon tabebuya kuning yang rimbun.
“Pulang,” sahutku singkat. Memilih berselonjor di rerumputan, bersandar pada batang pohon akasia besar yang menaungi hampir sepertiga area taman. Mengusap keringat di dahi dengan punggung tangan dan menatap sekitar. Di jam-jam seperti ini, tidak banyak orang yang memilih bersantai di taman. Kecuali para pedagang dengan gerobaknya.
“Jam pulang sekolah masih sejam lagi. Apa kau ingin melihatku dipanggang hidup-hidup?” protes Yusuf setelah melirik jam tangan dengan tali kulit berwarna coklat di tangan kirinya. Jam mahal. Aku tahu itu, karena Yusuf bukan anak sembarangan. Ia anak tunggal dari keluarga saudagar kaya yang menguasai daratan.
Aku terbahak melihat ekspresi wajahnya yang memilukan. “Apa orangtuamu segalak itu?”
“Lebih dari apa yang kau pikirkan.”
“Bahkan ketika kau sudah menjadi remaja 17 tahun? Mereka tidak sedikit pun mengendurkan tali kekangnya?” tanyaku sedikit heran. Masalahnya, aku anak terakhir dari lima bersaudara. Perempuan sendiri. Keempat kakakku laki-laki. Meski demikian, semenjak usiaku 12 tahun, sepertinya orangtuaku sudah membicarakan banyak hal denganku. Aku merasa diakui karena mereka mau mendengarku, seperti seorang teman.
“Ya. Mereka selalu menganggapku masih anak-anak,” keluh Yusuf dengan pandangan jauh menembus awan.
“Wajar. Mereka orangtua. Dan kita anak-anaknya. Kurasa semua orangtua akan beranggapan seperti itu. Bahkan ketika kita sudah beranak pinak.”
“Lalu, untuk apa kau bertanya?” dengusnya sambil bersedekap, memanyunkan bibirnya seperti pantat ayam yang minta digoreng.
“Hanya ingin tahu. Barang-barang kita masih di sekolah. Kalau begitu, kita tunggu saja di sini. Nanti selepas jam pulang, kita ambil,” sahutku santai. Mendongak, menatap awan-awan putih yang berarak perlahan. Indahnya, sepertinya menjadi awan lebih menyenangkan.
“Apa kau tidak takut mendapat surat teguran dari sekolah?” tanya Yusuf tiba-tiba.
Aku menggeleng perlahan, “Tidak. Kenapa harus takut?”
“Ya, karena kita sudah melanggar peraturan sekolah,” gumam Yusuf, pandangannya masih menatap awan yang tak berbentuk.
Aku menatapnya sekilas. Kemeja putih yang biasanya sangat rapi itu sekarang terlihat sedikit berantakan. Lengan panjangnya bahkan digulung sampai siku. Memperlihatkan lengannya yang bersih dan tampak kokoh. Urat-urat menonjol berkat aktivitas olahraga yang ia gemari.
Secara garis besar, tubuh Yusuf tampak atletis dan bisa diandalkan ketika kesusahan membawa barang berat. Fisiknya memang sudah bagus, tapi mentalnya masih butuh latihan. Sebuah ide pun muncul, membuatku tak mampu menahan diri untuk menyeringai. Aku akan mengajarinya bagaimana cara menikmati hidup. “Peraturan ada untuk dilanggar. Ingat itu baik-baik,” tuturku tanpa keraguan sedikit pun.
“Kau ingin menyesatkanku?” Demi mendengar pernyataanku yang paling mulia, dia menatapku serius. Kedua alisnya yang seperti busur panah menukik tajam.
“Jangan khawatir, kita tersesat di jalan yang benar,” gurauku sambil terkekeh pelan. “Hidup ini indah, Kawan. Jangan kau buat keruh dengan memenjarakan pikiranmu dalam sangkar. Bebaskan ia. Nikmati setiap waktu yang ada. Tanpa tekanan dari pihak mana pun.”
“Jangan penjarakan pikiran?” gumam Yusuf. Dapat kulihat ia sedang berpikir. Mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagu, meniru gaya para pemikir ulung ketika bergulat dengan pikirannya. “Yeah, kurasa kau benar. Wanita selalu benar.”
Aku terbahak melihat ekspresi dungunya. “Yeah, kau benar. Jadi, hari Minggu bagaimana? Jadi?” Aku harus memastikan. Sebenarnya, aku sudah beberapa kali mendaki bersama keempat kakakku itu, setiap kali mereka mendaki bersama teman-teman kampusnya, aku selalu ikut. Tapi itu dulu, sebelum mereka sibuk mengurus bisnis dan keluarga. Sementara dua kakakku yang lain, mendapat beasiswa ke luar negeri. Dan tentu saja, semenjak saat itu, ibu tidak pernah mengizinkanku mendaki. Kecuali, ada teman yang ia percayai. Dan kebetulan sekali, Yusuf ini memiliki tampang menantu idaman yang baik budiman. Ibu pasti mengizinkan jika aku pergi dengannya.
“Gunung mana yang ingin kau daki?”
“Gunung Respati. Kudengar puncaknya selalu diselimuti awan. Di sana juga ada bunga arka yang langka. Ini musimnya. Jika kita beruntung, kita akan menemukannya menghampar di sepanjang padang dekat Danau Tirto Wening. Bagaimana?” jelasku bersemangat. Sudah sejak lama aku ingin ke sana. Tapi belum ada kesempatan.
“Sepertinya menarik. Kau ingin kita pergi berdua saja atau ada teman yang lain?”
“Berdua juga bukan masalah. Nanti di sana kita bisa bergabung dengan pendaki lain. Sekalian mencari teman baru. Bagaimana?”
“Oke. Akan kupersiapkan segala yang diperlukan.”
“Yes!” Aku berseru-seru senang. Akhirnya, kesempatan ini datang juga. Kepalaku sudah nyaris melepuh memikirkan tugas-tugas sekolah yang tak pernah ada habisnya. Ia butuh penyegaran. Jika tidak, aku khawatir ia akan menyemburkan awan panas yang menyiksa sekitar.
Tiga hari sebelum kejadian ….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
rednow
tersesat dijalan yang benar 🤩🤩🤩🤩
OMG...jadi kangen masa SMA dulu...samaaa...suka dikejar guru yg ngefans kita 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2022-04-16
2
☆chika
ngajarin anak gak bener lu qai
2022-03-13
0
☆chika
tas nya ada di bawa gak tuh 🤣
2022-03-13
0