Bangunan di tengah hutan yang dikelilingi pohon pinus yang tinggi menjulang itu tampak begitu anggun dan kokoh. Bentuknya menyerupai kastil tua dengan dinding-dinding batu kecoklatan yang sangat artistik. Ada jutaan buku yang menyimpan berbagai informasi yang tersusun rapi di ruang khusus di dalamnya. Hanya para keturunan kaisar yang diizinkan memasuki ruangan itu.
Sementara di ruang lain, masih di lantai yang sama, seorang pangeran tengah duduk penuh siksaan bersama beberapa remaja seusianya. Mereka adalah anak-anak para pejabat kerajaan yang terlihat sangat antusias menerima pelajaran dari sang guru. Sangat berbanding terbalik dengan sang pangeran sendiri. Atau, mereka hanya pura-pura serius?
Liu Zhi menguap lebar, menendang kaki kursi di depannya, “Chen,” bisiknya. Yang disebut namanya langsung menoleh, mengangkat sebelah alis. “Telingaku berasap. Apa kau masih memiliki ketebalan telinga yang cukup? Ayo pergi!” bisiknya pelan.
Sosok remaja yang dipanggil Chen langsung berbinar mendengar usulan sang pangeran. “Tentu saja. Kenapa tidak?” sahutnya dengan suara sepelan udara yang mengambang di ruang hampa.
“Bagus,” Liu tersenyum puas. Lantas mengangkat tangan kanannya. Mengubah ekspresi orang sakit perut dengan sempurna. “Profesor, aku harus pergi. Jika tidak … oh sakit sekali,” keluhnya seraya memegangi perut. Sosok beruban dengan rambut putih yang nyaris punah dan menyisakan bidang lengkung yang mengkilat itu pun berhenti berbicara. Mendongak dari kitab yang tengah ia baca dan terangkan. Menatap lurus ke arah Liu dengan ekspresi datar. Menggeleng sambil bersedekap.
“Kapan Anda akan serius belajar, Pangeran?” tanyanya. “Anda tahu betapa pentingnya belajar? Dengan belajar, Anda akan dengan mudah membaca kebohongan yang dilakukan orang lain. Ini merupakan ilmu dasar yang harus dimiliki oleh seorang pangeran sebagai calon pemimpin bangsanya. Anda tahu kenapa? Karena jika seorang kaisar salah mengambil keputusan, maka yang menanggung risiko tidak hanya dirinya, melainkan seluruh bangsanya. Apa Anda mengerti maksud hamba, Pangeran?” sang profesor yang memiliki postur tinggi kurus sedikit mecondongkan tubuhnya ke depan, menatap lekat sang pangeran yang sekarang tampak menyeringai tak bersalah.
“Oh, maafkan aku, Profesor. Aku hanya ingin tahu bagaimana kemampuanmu membaca orang. Sekarang aku percaya,” ujar Liu dengan senyum lebar, mencari-cari alasan.
Dan ketika sang profesor kembali berkutat dengan kitabnya. Liu menendang kaki kursi Chen yang wajahnya sampai memerah menahan gelak tawa.
“Sial. Cara seperti ini tidak akan mempan. Kau ada ide?” bisik Liu pada pemuda berambut coklat di depannya.
“Satu-satunya ide, Anda harus menikmati proses belajar Anda, Pangeran,” sahut Chen sambil terkikik pelan. Sengaja betul menggoda Liu.
Liu menyeringai, menemukan ide yang lebih menarik untuk mengusir kebosanan. “Chen, apa kau pernah menyelinap ke luar istana?” tanya Liu, mencoba memancing kejujuran sahabatnya ini. Dan mari kita lihat, apakah sosok dengan IQ di atas 200 itu mampu menghindarinya atau tidak.
Liu tersenyum ketika melihat sentakan halus pada diri pemuda di hadapannya.
Chen menegakkan buku untuk menutupi gerak bibirnya dari jangkauan profesor. Berbisik pelan, “Itu namanya cari mati, Pangeran! Ayah tidak akan mengizinkan. Lebih jauh lagi, raja tidak akan mengizinkan. Usia kita belum dewasa. Aku memahami peraturan dengan sangat baik,” jawab Chen lugas. Dengan ekspresi yang sangat meyakinkan. Andai ia mengatakannya pada orang lain, tanpa pikir panjang, mereka pasti akan langsung mempercayainya. Tapi tidak dengan Liu.
Liu menyeringai, “Oh, benarkah? Kurasa baru saja kau mendengar penjelasan Profesor tentang hal mendasar yang harus dikuasai seorang pangeran. Kau tidak lupa, ‘kan?” tanya Liu santai, berbisik pelan.
“Oh sial, jadi sudah ketahuan, ya?” gumam Chen pelan dengan cengiran lebar. Tidak ada gunanya lagi menyembunyikan fakta ini dari Liu. Indra penciuman Liu yang tajam sudah mengendus pelanggarannya. Jika ia bersikeras tidak mengakuinya, Liu pasti akan dengan senang hati mencecarnya sampai ia mengaku. Dan hal itu tidak mungkin terjadi tanpa memicu keributan. Akan sangat merepotkan jika banyak orang yang tahu. Jadi, sebaiknya ia mengaku. Meski ia tahu si pangeran gila ini pasti tidak akan membuat hidupnya tenang setelahnya.
Chen lahir dua hari lebih lambat daripada Liu. Anak seorang perdana menteri, yang merupakan sahabat dekat kaisar. Dan Chen menjadi teman sepermainan Liu sekaligus sahabat dekatnya.
Jika sedang diluar situasi formal, Chen selalu memanggil Liu tanpa disertai gelar kehormatan. Karena jika tidak, Liu akan sangat dengan senang hati menyiksanya.
“Tentu saja. Jangan pernah mencoba mengelabuiku, Saudara Chen!” balas Liu, tersenyum simpul penuh kemenangan.
“Oke, sekarang apa yang Anda inginkan, Pangeran? Satu hal yang pasti, Anda tidak akan melaporkan hamba pada bagian keamanan, ‘kan? Jadi, apa sebenarnya tujuan Anda?” tanya Chen dengan senyum penuh selidik. Ia mulai mencium sesuatu yang berbahaya dari senyum lebar penuh arti Liu ketika ia melirik dari balik bahunya.
Liu terkekeh pelan. “Seperti yang diharapkan dari anak seorang perdana menteri. Kau cerdas, Saudara Chen.” Liu meletakkan kedua tangannya di atas meja. Pembicaraan tentang dunia luar selalu saja sukses menarik seluruh perhatiannya.
“Apa yang Anda rencanakan, Pangeran Liu yang budiman?” balas Chen, tersenyum ironi. Liu pasti sudah merencanakan sesuatu yang akan menyeretnya ke dalam situasi buruk.
“Oh, ayolah. Kau pasti tahu apa yang kuinginkan. Bagaimana?” jawab Liu santai, tersenyum lebar, terlihat betul sedang menikmati kegelisahan Chen.
Chen sudah pasti tahu ke mana arah pembicaraannya. Senyum Chen langsung memudar.
“Tidak. Itu terlalu berisiko, Idiot. Aku tidak mau mengajakmu,” desis Chen dengan lirikan ketegasan. Ia tahu pasti betapa kerasnya batok kepala sang pangeran. Jika ia menginginkan sesuatu, tidak akan pernah menyerah sebelum keinginannya terwujud. Dan mengajaknya ke luar istana? Dia pasti sudah gila jika menyetujuinya.
“Ohoo, kau bilang apa barusan? Idiot? Oh, kasar sekali." Liu terkekeh pelan melihat Chen menepuk dahinya penuh penyesalan. Ia keceplosan. Spontanitas kalimat yang ia ucapkan bisa berbuntut panjang. Terlebih jika ada pejabat yang mendengar.
“Maafkan hamba, Pangeran,” tutur Chen dengan nada sangat pelan namun penuh tekanan. Menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh tidak menyetujui rencana sang pangeran. Bisa-bisa kepalanya dipenggal di tempat jika ketahuan.
“Tidak semudah itu, Saudara Chen,” Liu memiliki seribu akal. Ia bisa dengan mudah menjebak lawan untuk menuruti apa yang ia inginkan.
“Lalu?” tanya Chen sambil berharap profesor segera menegur si pangeran agar ia bisa melarikan diri dari hasutan yang menyesatkan si pengeran.
“Kau ajak aku mengunjungi tempat di luar istana yang pernah kau kunjungi. Bagaimana?” Liu tersenyum simpul setelah melontarkan syarat yang langsung membuat Chen tersentak.
“Oh ayolah, Pangeran. Kumohon, Anda bisa menghukum hamba dengan cara apa pun. Asalkan bukan meminta yang satu itu. Bagaimana?” Chen memelas dengan tampang paling kasihan sepanjang Liu pernah mengenalnya. Membuat Liu tertawa dalam hati.
“Tidak. Permintaanku tidak akan berubah. Besok pagi-pagi, kau tunggu aku di Gerbang Terlarang. Oke?”
“Hei, aku tidak pernah mengatakan aku pernah pergi ke sana. Bagaimana─”
“Dan aku memerintahkan kau menungguku di sana. Sudah kubilang, tak seorang pun bisa membohongiku, Saudara Chen,” tegas Liu dengan seringai lebar.
“Oh sial. Bagaimana mungkin kau tahu segala yang kulakukan, Liu Zhi?” Chen sudah kehilangan akal untuk mengelak. Ia melirik sang pangeran dari balik bahunya dengan sudut bibir terangkat miring. Dari dasar hatinya yang terdalam, sebenarnya sejak lama Chen ingin mengajak Liu menyelinap keluar istana. Tapi pikiran itu selalu ia urungkan mengingat betapa besar risiko yang akan ia hadapi. Dan kali ini, Liu sendiri yang terang-terangan memaksanya. Ia yakin Liu pun sudah sering menyelinap seperti dirinya. Baiklah, bukankah aku tak memiliki pilihan? seringai miring terbit dari sudut-sudut bibir Chen yang tipis.
“Kau memang cerdas, tapi kau melupkan satu hal,” tutur Liu santai dengan tatapan lurus ke depan, tempat di mana sang profesor sedang menjelaskan.
“Apa?” tanya Chen penuh rasa ingin tahu.
“Aku seorang pangeran. Ingat itu baik-baik,” tukas Liu dengan seringai lebar yang menjengkelkan. Membuat Chen sungguh ingin sekali menendang pantatnya andai itu bukan hal terlarang.
***
Chen berdiri bersandar pada batang sebuah pohon cemara yang besar. Ia menggunakan jubah hitam dengan tudung untuk penyamaran. Sebuah rapier tersandang di sisi kiri tubuhnya. Tertutup jubah hingga yang terlihat hanyalah gagangnya. Kabut-kabut masih mengambang di udara. Cahaya matahari belum menampakkan diri.
Ia sudah beberapa kali menyelinap keluar istana. Tentu saja seorang diri. Dan sama sekali tak pernah terpikir olehnya ia akan menyelinap bersama sang pangeran. Ia bahkan tak menyadari perbuatannya akan diketahui oleh seorang penerus kaisar.
Beruntung baginya, sang pangeran bukanlah tipikal bangsawan yang keras dan kaku terhadap aturan. Melainkan sosok keras kepala dan pembangkang.
Chen tersenyum mengingat kelakuan jahil mereka semasa kanak-kanak. Di mana mereka selalu kabur dari ruang belajar hanya untuk berenang dan berlomba menangkap ikan di danau belakang istana.
“Apakah perjalanan yang akan kita lakukan membuatmu sangat bahagia?” Chen tersentak dan segera menarik kembali sudut-sudut bibirnya. Tanpa ia sadari, Liu sudah berdiri di sampingnya. Menyeringai lebar. Dan aura kebangsawanannya masih sangat terasa meski ia mengenakan samaran orang biasa.
“Waw, aku sungguh terkesan, Pangeran. Aku bahkan tidak menyadari kedatanganmu yang selembut angin,” balas Chen dengan ekspresi keterkejutan yang dibalut senyuman.
“Kau tidak perlu berbasa-basi. Kita sudah berada di luar istana. Tidak ada lagi pangeran. Yang ada adalah Liu Zhi. Jangan menyuruhku mengatakannya seratus kali,” tegas Liu sambil menepuk-nepuk bahu Chen.
“Baiklah. Kita pergi sekarang?”
“Tunggu apa lagi?” sahut Liu bersemangat.
Dengan gerakan cepat dan sangat terlatih, mereka melompati pagar dan menyelinap ke semak-semak untuk menyembunyikan diri dari penglihatan penjaga di pintu Gerbang Terlarang. Para penjaga itu memiliki kemampuan sekelas jendral. Ada sepuluh pengawas dengan kemampuan yang sulit ditembus prajurit terlatih sekali pun.
Mengingat kemampuan mereka, Liu merasa takjub dengan kemampuan Chen yang beberapa kali mampu mengelabui mereka dan menyelinap tanpa masalah sedikit pun.
“Chen, di sisi luar perbatasan, ada dua bataliyon penjaga yang masing-masing di antaranya memiliki kekuatan sekelas jendral. Bagaimana caramu bisa lolos dari pengintaian mereka?” tanya Liu penasaran. Mereka sedang melompat-lompat dari satu ranting ke ranting berikutnya dengan gerakan sangat halus. Menyisakan goyangan lembut dari ranting yang dipijak. Menggugurkan beberapa daun yang telah menguning.
“Tenang saja. Itu bukan masalah besar. Karena aku lebih hebat dari mereka, tentu saja,” jawab Chen ringan dengan seringai yang menjengkelkan.
Liu mendengus, meski demikian, ia tersenyum dalam hati. Merasa beruntung memiliki sahabat yang bisa diandalkan di masa yang akan datang. “Kita ke mana?” tanya Liu penasaran.
“Ikuti saja aku. Kita akan melakukan hal yang sangat menyenangkan," sahut Chen dengan senyum misterius.
Liu tertawa, "Baiklah," katanya singkat.
Sebelum mereka tiba di perbatasan, Chen melepaskan suatu energi gaib yang membuat para penjaga tak mampu melihat mereka. Alhasil, mereka bisa melenggang dengan bebas tanpa sedikit pun masalah.
Liu tersenyum, ia tak menyangka Chen bisa menguasai ilmu itu juga. Bahkan di usianya yang masih terbilang remaja. Ilmu itu diciptakan oleh leluhurnya dan memiliki predikat kelas A dalam tingkat kesulitan. Ketika masih kanak-kanak, Liu dilatih khusus oleh ayahnya. Dan ia mampu menguasai ilmu itu hanya dalam waktu tiga hari. Bagaimana dengan Chen? Ia tidak tahu.
Liu terus mengikuti Chen sampai tiba di sebuah anak sungai dekat pemukiman warga desa bangsa manusia.
“Apa yang akan kita lakukan di sini?” tanya Liu dengan dahi mengernyit heran.
Chen tersenyum simpul, “Anak-anak desa itu suka sekali mandi di tempat ini. Mereka melepas baju sembarangan dan mandi tanpa penutup.”
“Lalu?” Liu masih tidak mengerti arah pikiran Chen. Rasa kagum atas kecerdasannya langsung menguap entah ke mana. Berubah menjadi kecurigaan yang kuat.
Jangan-jangan ….
Demi melihat tampang sang pengeran yang terlihat sangat bodoh, Chen tertawa terbahak-bahak. “Tentu saja aku mengambil pakaian mereka. Menyembunyikannya ke tempat yang tidak akan pernah ditemukan oleh mereka. Lalu mereka akan menjerit-jerit kebingungan. Terutama para gadis. Itu sungguh pemandangan yang menyenangkan. Kau harus melihatnya,” jelas Chen dengan senyum jahil.
“Oh, demi langit. Apa kau sudah gila? Kau menyeberang ke perbatasan, mempertaruhkan keselamatan hanya untuk mengerjai mereka?” Liu bertanya dengan kedua mata membulat sempurna. Benar-benar kehabisan ide bagaimana bisa sahabat baiknya ini memiliki tabiat sedemikian mulianya.
“Ayolah, Liu. Ini akan menjadi hiburan yang menyenangkan setelah jadwal padat di akademi. Percayalah, tampang ketakutan sekaligus kekhawatiran mereka sangat konyol. Kau pasti akan menikmatinya,” tutur Chen beralasan. Mereka sedang bertengger pada sebuah pohon apel yang tumbuh besar di bibir sungai.
“Terima kasih, aku sama sekali tidak berminat. Aku akan pergi ke lembah. Kau tidak perlu mencariku. Aku akan pulang sendiri. Tapi ingat baik-baik, jangan berlebihan! Kau mengerti?” tegas Liu sambil berbalik.
Chen tertawa lebar seraya menggeleng-gelengkan kepala, “Siap, Yang Mulia,” sahutnya sambil membungkuk penuh hormat. Menyaksikan punggung Liu yang kian menghilang ditelan rimbun pepohonan. “Kau benar-benar putra kaisar yang mengesankan, Liu Zhi,” gumam Chen dengan sudut-sudut bibir yang ditarik ke atas menyerupai kurva.
Setelah meninggalkan Chen, Liu menuju ke Selatan. Tempat di mana tumbuhan arka akan bermekaran tepat ketika matahari merangkak naik. Pemandangan yang sudah ia nantikan beberapa hari terakhir. Bahkan menghantui malam-malamnya ketika tidur.
Liu tersenyum ketika matanya menangkap kerumunan tumbuhan arka yang menghampar luas dengan pucuk-pucuk yang tampak kekuning-kuningan. Menandakan bunganya mulai bermekaran. Harumnya sudah tercium oleh penciumannya yang tajam dari jarak belasan kilometer. Keinginan hatinya menggerakkan langkahnya semakin cepat.
Begitu ia tiba di tepian Danau Tirto Wening, ia sudah bisa melihat belasan orang sedang menikmati momen bermekarannya bunga arka. Liu tersenyum, ia ingin mengamati bunga indah itu dari dekat. Menciumnya dan mengusap kelopaknya yang terlihat lembut.
Dengan langkah lebar, sosok pemuda dengan pakaian kesatria berwarna biru lembut itu melenggang di tengah-tengah manusia yang gaduh. Ia bisa melihat mereka. Tapi jelas, mereka tak mampu melihatnya. Karena itulah ia dengan santai berjalan.
Pangeran dari kerajaan yang menguasai seluruh daratan Selatan itu berjalan sedikit mendaki, menuju kerumunan batang arka yang sedikit jauh dari kumpulan manusia. Dari tempatnya berdiri sekarang, ia bisa menyimpulkan bahwa ia sedang berdiri tepat di atas bukit yang sedikit melandai. Dengan leluasa menatap hamparan bunga arka yang semakin banyak bermekaran.
Ia menarik setangkai bunga arka, mengusap lembut kelopaknya yang berwarna kuning dan sedikit berkilau karena lapisan embun di atasnya diterpa pancaran sinar matahari yang mulai meninggi. Dengan gerakan pelan, mendekatkan putiknya ke indra penciumannya. Menarik napas dalam-dalam dengan kedua mata terpejam.
Aroma kesegarannya sungguh melenakan. Ia merasa dirinya sedang di bawa terbang ke angkasa dengan hamparan bunga arka sejauh mata memandang. Angin yang berhembus menyejukkan. Sinar matahari yang lembut. Kicauan burung-burung di alam liar.
Dan ….
“Yusuf, kau tidak perlu mengikutiku. Aku akan mengambil gambar dari atas, kau tunggu saja di bawah.” Suara seorang gadis yang penuh energi tertangkap indra pendengaran sang pangeran yang setajam kelelawar. Membuatnya berdecak kesal. Segala imajinasi indahnya buyar seketika.
Ketika Liu membuka kedua matanya, ia bisa melihat seorang gadis tinggi semampai yang menggunakan kaos putih dengan kedua lengannya dilipat. Celana warna hitam yang memiliki tali menjuntai berwarna putih di tengahnya, seperti celana olahraga. Rambut digelung asal-asalan dengan sangat berantakan. Liu mengerutkan dahi. “Manusia? Auranya sedikit berbeda,” gumam Liu sambil bersedekap. Memandang lurus ke arah gadis yang sekarang berjalan ke arahnya. Pandangan mereka belum bertemu. Karena mata sewarna sepekat malam milik sang gadis tampak rakus memperhatikan sekitar. Liu tidak bergerak dari posisinya.
Dan begitu gadis itu tiba di puncak, ia nyaris terjengkang karena terkejut. Beruntung, Liu secara refleks menarik tangan gadis itu. Menarik lengannya hingga gadis itu membentur dada bidang Liu.
Liu mengerjap. Ia sama sekali tidak menggunakan kekuatan magis. Bagaimana mungkin gadis ini bisa menyentuhnya. Dan jangan katakan gadis ini mampu melihatnya. Liu masih disibukkan dengan berbagai kemungkinan ketika sentakan tangan sang gadis menyadarkannya.
“Hei, kau!” gadis itu mendongak, dan wajah kesalnya berubah drastis menjadi rasa keheranan bercampur tawa yang ia tahan, “Ada apa dengan pakaian kuno ini, huh? Kau sedang cosplay?” Atau, kau sedang syuting film?” gadis itu sudah tak mampu lagi menahan tawanya. Ia tergelak sejadinya dengan sangat tidak sopan.
Liu menatap sekitar dengan cemas. Khawatir jika tawa si gadis sinting di hadapannya mengundang manusia lain untuk mendatanginya. Jika gadis ini bisa melihatnya, tidak menutup kemungkinan manusia lain juga bisa melihatnya. Ini akan menjadi petaka baginya.
Liu segera menarik gadis itu dan membekap mulutnya dengan telapak tangannya yang kokoh. Seketika, suara tawa pun teredam. Berubah menjadi erangan caci maki yang tak jelas.
Gadis itu terus memberontak. Memaksa Liu untuk menempuh jalur darat, “Diam, Gadis Manusia,” bisiknya tepat di telinga sang gadis. Suaranya terdengar sangat tegas tanpa bisa dibantah. Panggilan “manusia” yang disematkan padanya membuat bulu kuduk gadis itu langsung meremang. “Jika kau tidak bisa diam, aku terpaksa membuatmu tak sadarkan diri,” tambah Liu. Efektif. Sang gadis langsung terdiam. Meski kedua bola matanya tampak sedang memikirkan segala kemungkinan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
☆chika
ini cerita nya kekaisaran apa
china kah ?
apa kaya kerajaan jawa² gitu?
2022-03-13
0
☆chika
betul² sama persis sama sifat pemeran cewek nya.
pantesan di jodohin sama author🤭
2022-03-13
0
Olan
gak ketinggalan dong baca nya hehe, promosi keceritaku jga nih DEVIL MY HUSBAND mampir yah🤗
2020-08-27
2