Sial! Makhluk apa yang mengancamku saat ini. Pakaiannya kuno sekali. Seperti pakaian seorang pendekar zaman prasejarah. Aku sungguh menyesal kenapa tidak bersungguh-sungguh belajar sejarah dan mengetahui identitas seseorang melalui pakaian yang ia kenakan.
Yang lebih aneh lagi, suaranya, ya, suaranya terdengar sangat tegas dan sangat mendominasi meski usianya terlihat tidak berbeda jauh denganku.
Dan yang paling membuatku sesak napas adalah, posisinya. Bisa-bisanya ia membekap mulutku dan berdiri sangat dekat denganku, bahkan akan terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berpelukan jika dilihat dari jauh atau dari belakang. Seumur-umur aku tidak pernah membiarkan pria mana pun menyentuhku selain Ayah dan kakak-kakakku. Dasar, Kuda Nil! Lihat saja. Aku tidak akan membiarkanmu berbuat sesuka hati terhadapku.
Aku melirik dari sudut mataku, tampak wajah samping sang pemuda sinting. Oh sial, ternyata pemuda ini sangat tampan. Wajahnya terlihat sebening kristal dan selembut pantat bayi. Matanya berwarna biru gelap, segelap lautan dalam. Siapa pun yang menatapnya intens, aku yakin akan tenggelam tanpa tahu jalan pulang. Dan rambutnya, oh astaga! Warnanya putih perak dan mengkilap. Dan itu … asli? Bagaimana mungkin? Jangan-jangan, dia adalah sosok yang dibicarakan Kak Harry. Aku harus melakukan sesuatu.
Tanpa harus berpikir dua kali, aku langsung menggigit tangannya yang membekap mulutku. Keterkejutannya menghasilkan refleks yang bagus. Tangannya terlepas.
“Oh, sakit sekali. Apa yang kau lakukan, Gadis Manusia?” serunya sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya yang sekarang tampak memerah membentuk gigitan dari gigi-gigiku yang tajam. “Ini mustahil, bagaimana mungkin gadis manusia ini bisa menyakitiku?” gumamnya pelan, lebih pada diri sendiri. Netra biru lautnya menatap penuh selidik pada telapak tangan yang kugigit. Seperti ada hal paling menakjubkan di dunia yang baru saja terjadi. Dahinya berkerut semakin dalam, tampak berpikir keras.
Aku menyipit, mengamatinya dari bawah sampai atas. “Kau …,” gumamku pelan penuh selidik. “Siapa sebenarnya kau? Kenapa kau memanggilku 'Gadis Manusia' ? Apa kau bukan berasal dari golongan manusia?” tanyaku balik. Sungguh, sosok di hadapanku ini benar-benar memenuhi standar menjadi artis terkenal sejagad. Sangat proporsional dan menawan. Bahkan, saat kedua bola matanya yang tajam menatap penuh kebingungan serta keterkejutan yang entah disebabkan oleh apa, ia tetap terlihat kharismatik. Dimana aku yakin sekali, jika Yusuf yang menampilkan ekspresi itu, ia pasti terlihat seperti idiot.
Oh, apa yang kupikirkan? Aku menggeleng cepat. Mengusir segala bentuk pikiran yang menyesatkan.
“Apakah kau siluman?” tanyanya balik dengan wajah polos berbalut rasa penasaran. Atau tuduhan?
Apa? Apa dia bilang? Ya, Tuhan. Aku kembali terbahak mendengar pertanyaannya. Sialan! Berani-beraninya dia menuduhku siluman.
“Ssssstttt! Tidak bisakah kau berhenti tertawa?” Orang aneh ini meletakkan jari telunjukknya di bibir, pandangannya menoleh ke sana – kemari seperti tupai. Bayangan kekhawatiran terlihat jelas dari wajahnya yang rupawan. Oh, aku memukul pipiku beberapa kali. Berteriak dalam hati dengan lantang, berhenti mengagumi keindahannya, Qai! Ini sungguh bukan dirimu yang biasanya!
Ehem!
Aku berdeham untuk mengambil alih kendali diri yang mulai tidak rasional. Makhluk aneh di depanku ini masih misteri. Jati dirinya belum terkuak. Bisa jadi dia adalah setan yang menyamar, ‘kan? Siapa yang tahu.
“Atas dasar apa kau mengatakan aku siluman?” tanyaku dengan kedua tangan disilangkan ke dada, bersedekap. Menatapnya yang terlihat mengawasi sekitar penuh selidik.
Demi mendengar pertanyaanku, ksatria dari antah berantah ini sempurna memalingkan wajahnya ke arahku. Balas menatapku lekat. Aku bergeming. Menatap lurus ke matanya tanpa gentar. Aku bisa melihat dahinya berkerut semakin dalam dengan mata disipitkan. Aku tidak akan kalah. Aku adalah Qaireen. Camkan itu baik-baik, wahai makhluk aneh!
Detik berikutnya, aku tahu aku yang menang dalam adu pandang ini. Karena pemuda di hadapanku ini segera mengerjap dan berpaling menatap kelopak bunga arka penuh minat. Seolah hanya bunga itulah benda paling menarik di dunia. “Karena kau bisa melihatku,” katanya penuh ketegasan, kembali menatapku dengan tatapan tajam penuh kewaspadaan.
Aku tertawa pelan, “Hei, ada apa dengan tatapan mengerikan itu? Memangnya kau pikir kau siapa sampai manusia tidak bisa melihatmu, hah?” tantangku. Sejujurnya, saat melihat ekspresinya yang begitu tegas dengan tatapan sedingin gunung es yang menghujam tajam lautan itu sungguh membuatku sedikit takut. Tapi aku berusaha keras untuk tidak memperlihatkannya. Aku tidak ingin ia mendominasi. Jika demikian adanya, bisa-bisa aku ditindas.
Sentakan keterkejutan terlihat jelas dari sinar matanya ketika mendengar balasanku, seolah ia tak pernah mendengar kalimat kasar sebelumnya. Tapi, ekspresi itu tidak bertahan lama. Detik berikutnya, ia justru tersenyum simpul dengan sangat mencurigakan.
“Kau … sungguh gadis manusia yang menarik!” simpulnya sesuka hati. Yang mana di telingaku lebih terdengar seperti sindiran.
Aku sungguh kesulitan menebak kepribadiannya. Ekspresinya berubah-ubah dengan cepat. Aura tubuhnya juga terasa sangat kuat.
Ya, Tuhan. Makhluk jenis apa yang ada di hadapanku sekarang ini? Apa sebaiknya aku melarikan diri saja? Ide bagus. Sebaiknya aku segera menuruni bukit dan bergabung bersama Yusuf.
Saat aku berpikir untuk melarikan diri. Pemuda aneh ini sudah berdiri tepat di depanku, memperpendek jarak. Sial! Aku harus mundur perlahan untuk menjaga jarak aman. Ia bersedekap dengan seringai yang sungguh membuatku merinding. Membuatku teringat akan kisah tenggelamnya para pendaki yang diceritakan Kak Harry. Oh, Kak Harry. Aku sungguh berharap kau ada di sini sekarang. Aku sungguh menyesal telah melarangmu ikut bersamaku. Ratapku dalam hati. Berusaha sekuat tenaga agar tidak terbaca oleh makhluk misterius menjengkelkan ini.
“Apa? Kau, apa yang kau inginkan, hah? Berhenti mendekat atau─”
“Atau apa?” sahutnya ringan, tersenyum lebar dengan langkah kaki terus mendekat, sengaja benar menciutkan nyaliku.
Aku menatap kakinya, hanya untuk memastikan apakah makhluk ini hantu atau manusia. Karena menurut gosip yang kudengar dari orang-orang, makhluk jenis ini tidak menapak tanah. Begitu mendapati apa yang ingin kuketahui, aku menyeringai lebar. Ternyata manusia. Jika demikian, tak ada yang perlu kutakutkan. Jangan lupakan, aku seorang atlet judo. Aku bisa dengan mudah mematahkan tangannya jika ia berani macam-macam.
“Apa yang kau tertawakan?” tanyanya penuh selidik.
Aku mengibaskan tangan, “Berhenti bertingkah konyol di depanku. Di mana kru yang bertugas mengambil gambarmu? Apa kau begitu rajin datang lebih awal?” Aku bersedekap, sedikit mendongak untuk menatapnya. “Apa judul film yang akan kau mainkan? Ksatria berkuda putih? Pangeran menyebalkan nan konyol? Atau apa? Katakana padaku, nanti kuusahakan menonton filmmu bersama keluarga besarku,” Aku tersenyum puas ketika mendapati ekspresinya yang semakin aneh mendengar celaanku.
“Apa yang kau pikirkan tentang diriku sebenarnya?” Dahinya berkerut semakin dalam, sedikit menunduk untuk menatap lurus ke arahku. “Apa kau pikir aku dari bangsa manusia yang suka bersandiwara di atas panggung?”
Oh, apa dia bilang? Mendengar golonganku dicela membuatku sedikit jengkel. Tapi aku menahannya. Aku harus memancingnya agar ia menyebutkan identitas aslinya.
“Oh, jadi kau bukan dari golongan manusia? Aku tidak percaya!” Aku memalingkan wajah dengan tampang paling menyebalkan yang bisa kutampilkan.
Aku tidak mendengar bantahan darinya, membuatku tergerak untuk melirik apa yang dia lakukan melaui sudut mata. Tangan kanannya terangkat. Jemarinya yang ramping bergerak memutar perlahan dengan sangat anggun. Oh sial, bagaimana mungkin aku bisa terpesona dengan gerakan sekecil itu. Dan lagi, apa yang dia lakukan? Aku bisa melihat ia tersenyum simpul, menoleh ke arahku.
“Perhatikan sekitarmu,” perintahnya.
Oh, demi langit! Apa yang terjadi. Kelopak bunga-bunga arka beterbangan membentuk pusaran angin. Dengan perlahan bergerak dan mendekat ke arah kami berdiri. Seperti hujan, kelopak bunga-bunga itu mulai berjatuhan. Aku tersentak, rasa cintaku pada alam bergolak. “Berhenti! Apa yang kau lakukan?” seruku galak.
Pemuda itu justru tersenyum, tangan kanannya masih terangkat dan kelopak bunga masih terus berjatuhan. Anehnya, fenomena ini tak disadari oleh pendaki lain yang ada di bawah. Apakah mereka tidak melihatnya? “Apa kau sekarang percaya padaku?”
“Ya, aku percaya!” sahutku tegas. “Sekarang katakan, siapa kau sebenarnya?” tanyaku tak sabar. Rasa jengkel karena ia dengan sesuka hati menggugurkan paksa kelopak arka membuat rasa gentarku menguap entah ke mana.
“Baiklah,” katanya seraya menurunkan tangan kanannya. Dan seketika itu juga, pusaran angin yang membawa kelopak bunga arka berhenti. “Liu. Panggil saja Liu,” tuturnya dengan senyum lebar yang mungkin saja akan membuat banyak gadis di luar sana bertekuk lutut padanya. Kecuali aku, tentu saja. “Sekarang giliranmu. Siapa kau? Jawab dengan benar, karena aku tidak menyukai kebohongan. Dan satu lagi, tak seorang pun, baik dari golongan jin dan manusia yang bisa membohongiku. Apa kau tahu artinya itu?”
Aku menelan ludah ketika pemuda itu menyipit tajam dengan seringai yang mengancam.
Jadi benar, makhluk ini berasal dari dimensi lain? Tapi kenapa terlihat begitu tampan dan memiliki postur tubuh seperti manusia? Apa ini penyamarannya? Dan satu lagi, kakinya menapak tanah. Apakah aku yang telah masuk ke dimensinya atau gosip itu yang mengelabuiku?
Kak Harry benar, ada banyak hal di dunia ini yang masih menjadi misteri.
“Kau mendengarku?” tanyanya ketika tak kunjung mendapat jawaban yang ia inginkan.
Aku berdeham untuk mengendalikan suara agar tidak terdengar seperti kucing kecil yang ketakutan. Menimbang situasi yang kuhadapi, lebih baik aku tidak memprovokasinya. “Qaireen. Kau bisa memanggilku Qai. Asli dari bangsa manusia. Bukan dari golongan siluman atau pun tuyul.” Aku tidak yakin kenapa aku menyebutkan nama asliku. Apakah aku berharap bisa berteman dan memuaskan hasrat keingintahuan tentang alam mereka? Atau, karena aku merasa pemuda itu juga jujur menyebutkan identitas namanya? Aku sendiri ragu.
Aku sedikit mendongak untuk melihat reaksinya. Pemuda bernama Liu itu tampak berpikir keras, lalu, “Jika kau dari golongan manusia, kenapa kau bisa melihatku?” petanyaan yang benar-benar membuatku berpikir, apakah hal ini penting sekali sampai-sampai harus ditanyakan ratusan kali? Dia pikir aku tahu alasannya?
“Kau pikir aku tahu jawabannya? Apakah hal ini sangat penting?” tanyaku dengan nada penuh penekanan di akhir kalimat.
“Tentu saja. Tak pernah ada manusia yang bisa melihatku tanpa seiizinku sebelumnya. Bahkan kalangan pejabat dari golonganku pun tak akan bisa melihat kehadiranku jika aku menginginkannya. Tapi kali ini, aku sungguh tidak mengerti, kenapa kau bisa dengan mudah melihatku?” dahinya berkerut, alis busur panahnya saling bertautan, tampak sedang berpikir keras.
Memangnya sehebat apa dia sampai tak seorang pun manusia bisa melihatnya? Aku berdecak kesal.
“Kau pikir kau siapa? Jika Tuhan menghendaki, jangankan aku, manusia seisi bumi pun akan dengan mudah melihatmu,” dengusku jengkel.
“Kau benar. Tapi Tuhan menghendaki kehadiran bangsaku tak terlihat oleh bangsamu. Apa kau lupa mempelajari kitabmu?”
Oh, dasar kuda nil bermulut lebar. Bisa-bisanya ia menyudutkanku seperti itu. Kata-katanya memang terdengar datar dan penuh analis. Tapi entah kenapa membuatku jengkel. Apa mungkin karena tuduhannya benar?
“Aku bisa membaca pikiranmu melalui raut wajah kesalmu. Hati-hati,” selanya dengan senyum miring yang semakin membuatku jengkel. Aku menatap langit untuk meredakan emosi. Dari arah hutan lebat di seberang Danau Tirto Wening aku bisa melihat gulungan awan gelap yang sedikit aneh. Langit sangat cerah tanpa saputan awan. Bagaimana mungkin ada sekumpulan awan kelabu yang bergerak cepat ke arah bukit.
“Oh, celaka! Itu pasukan kerajaan! Qai, kau harus ikut denganku.” Aku sungguh tidak mengerti apa maksudnya. Belum sempat aku bertanya, pemuda benama Liu itu sudah menggerakkan tangan kanannya. Menggandeng tanganku erat. Dan pada detik berikutnya, kami sudah berpindah tempat dengan pepohonan tinggi menjulang. Sangat rimbun, membuatku khawatir ada binatang buas yang siap menerkam. Lantainya dilapisi dedaunan kering yang menumpuk cukup tebal, melesak dalam ketika menerima beban tubuh yang disalurkan kedua kaki.
Kebingungan menyelimuti seluruh hati dan pikiranku. Apa yang sebenarnya terjadi? ke mana pemuda sinting ini menyeretku?
Sial! ia sama sekali tak memberiku kesempatan untuk bertanya meminta penjelasan. Tangannya yang terasa begitu kuat dan kokoh terus menggandeng tanganku erat seraya berjalan cepat menuju bebatuan berwarna hitam dengan lubang sangat besar. Terdengar gemericik air dari dalamnya. Apa ini? gua?
Tangan kanan Liu yang bebas terangkat dengan posisi telapak tangan terbuka ke atas, tidak lama kemudian muncul bola api berwarna biru. Seketika seluruh isi gua terlihat terang.
Setelah berjalan masuk semakin dalam, terlihat seberkas terang di sana. Liu terus menuntuku menuju cahaya yang tampak. Dan apa yang kulihat setelahnya, sungguh membuatku membuka mulut sangat lebar dan lupa untuk mengatupkannya lagi.
Bagaimana tidak, di dalam gua itu tampak aliran air yang membentang dari suatu arah dan bermuara pada dasar gua, menyerupai danau, tapi tidak besar. Dengan air yang sangat jernih seperti cermin. Di sekeliling danau itu tampak beberapa jenis bunga dan pohon besar yang tumbuh subur. Sempurna dengan burung-burung dan beberapa rusa berwarna putih yang sedang minum. Bagaimana mungkin aku tidak tercengang dengan pemandangan seperti ini?
“Ini bukan waktunya untuk terkejut.” Aku menoleh. Dan mulutku langsung terkatup rapat saat melihat Liu menyeringai dengan sangat menjengkelkan. “Apakah di alammu tidak ada tempat seperti ini?”
“Sialnya, tidak. Rusa-rusa itu pasti sudah menjadi rusa guling jika di alamku," sahutku sambil meliriknya tajam. Yang justru disambut tawa renyah darinya. Membuat dahiku mengernyit dalam dengan mata menyipit heran, apanya yang lucu?
“Manusia memang suka berbuat kerusakan,” gumamnya pelan.
“Hei! Aku bisa mendengar dengan sangat baik apa yang kau katakan,” seruku protes. Membuatnya kembali tergelak. Ya, Tuhan. Tawa macam apa itu? Kenapa terdengar seperti seruling di tengah padang pasir? Merdu sekali.
Liu kemudian menuntunku duduk pada sebatang kayu besar yang telah roboh, tidak jauh dari danau.
Tapi tunggu ….
Aku memasang wajah serius, “Sebenarnya, kita bersembunyi dari apa?” tanyaku penasaran.
“Pasukan kerajaan.” Aku mengernyit, dia tertawa. Entah apa yang lucu dari ekspresiku. Aku mempertahankannya, menuntut penjelasan lebih detail. “Aku yakin kau tak akan mempercayai apa yang aku katakan. Jadi sebaiknya aku tidak perlu menceritakannya,” katanya santai. Duduk bersandar pada dinding batu dengan kedua tangan bersedekap di dada. Matanya terpejam dengan bibir tersenyum tipis. Membuatku nyaris tersedak.
“Apa kau belum pernah merasakan pukulan seorang wanita?” Aku mengatakannya dengan rahang terkatup rapat, mengepalkan tangan kanan dan memukul-mukulkannya ke telapak tangan kiri penuh ancaman. Membuatnya seketika membuka mata dan tertawa pelan, dengan tatapan keheranan yang membuatku ingin segera menimpukkanya dengan batu granat.
“Apa kau pikir kau bisa memukulku?” tanyanya dengan sedikit menelengkan wajah ke arahku, tersenyum simpul.
“Kenapa tidak? Aku bahkan bisa mematahkan tanganmu jika kau mau,” Aku menyeringai menantang. Apkah aku sungguh bisa melakukannya? Tentu saja tidak. Terlebih ketika aku sudah menyaksikan sendiri bagaimana kemampuannya menggerakkan kelopak bunga arka. Dan lagi, siapa pun yang menjadi buronan pasukan kerajaan─jika yang dikatakannya benar─pastilah memiliki kemampuan di atas rata-rata. Aku hanya menggertak, tentu saja. Karena tempat ini membuatku kekurangan ide untuk membujuknya bicara. Bagaimana dengan cara lembut? Oh, maaf. Itu sama sekali bukan gayaku.
Pemuda bersurai perak itu tertawa pelan. “Tidak. Aku tidak menginginkannya. Seorang pangeran tidak akan pernah menyakiti wanita,” katanya tenang. Kembali menyandarkan tubuh ke dinding batu.
“Apa kau bilang? Pangeran?” kali ini, aku sungguh tak mampu menahan tawa. “Apa kau ingin membodohiku, huh?”
“Bukankah sudah kubilang, kau tidak akan mempercayai apa pun yang akan kukatakan, ‘kan?” sahutnya, masih dengan nada santai dan tenang.
Aku segera menghentikan tawaku, mengamati sosok pemuda yang sekarang duduk bersandar dengan mata terpejam di sampingku. Dilihat dari segi mana pun, pemuda ini memang terlihat seperti bangsawan. Auranya terasa sangat kuat. Apakah dia sungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan?
Jika benar demikian ... aku dengan kalap menoleh ke sekitar. Tersadar akan sesuatu. Kak Harry. Ya, Tuhan? Apakah aku sedang mimpi buruk? Bagaimana caraku pulang?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Virgo♍
kerennnn
2022-04-29
1
Taramia
pangeran...culik aku dong..😁
2020-11-12
1
Yoona
keren
2020-04-21
2