“Apa kau benar-benar ingin mendaki ke Puncak Respati, Qai?” Raut wajah Kak Harry terlihat sangat khawatir. Dia adalah kakak keempat. Sedang menempuh pendidikan di negeri sakura. Selesai ujian, ia libur seminggu. Sebenarnya, ia tidak ada rencana pulang. Tapi Ayah dan Ibu menyuruhnya pulang untuk urusan rumit soal perjodohan. Aku sungguh kasihan padanya. Usianya baru menginjak angka 21, tapi sudah sibuk sekali dijodohkan dengan anak dari teman Ayah.
“Kakak tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku justru khawatir padamu. Apakah Kakak akan menerima perjodohan ini? Kudengar, putri tunggal keluarga Hermawan sangat cantik.” Aku menyenggol bahunya dengan bahuku, mengedip-ngedip jahil.
Hampir satu jam ia mengacau di kamarku. Mengomentari segala hal yang tak perlu. Dan sekarang, kami sedang duduk di balkon kamar. Menatap langit senja dari ketinggian delapan meter, di lantai dua.
Kak Harry menoleh, alis busur panahnya menukik tajam. Membuatku beringsut. Oh, ini tidak bagus. Dia pasti berniat jahat. “Aww, sakit! Lep-ppass!” Oh sial, kakakku satu ini benar-benar kejam. Lihatlah, kedua pipiku sekarang memerah setelah ia cubit dengan kedua tangannya yang kekar. Lihat saja, pasti akan kubalas. Dan kelakuannya, sungguh, ia tertawa terbahak-bahak saat melihatku bersungut-sungut.
“Salah sendiri. Siapa yang menyuruhmu memancing keributan dengan kakakmu yang tampan ini, eh?” sahutnya dengan tangan kanan terangkat, mengacak kepalaku membabi buta. Rambutku yang sudah berantakan terlihat semakin berantakan, seperti baru saja terkena topan. Bagus sekali.
“Ya Tuhan, selamatkan aku dari makhluk terkutuk ini, kumohon,” ratapku seraya menengadahkan tangan. Berdo'a pada Tuhan, agar Ia mengirimkan seseorang untuk menedang pantat Kak Harry.
Tapi lihat, Kak Harry malah semakin terpingkal. Sial. Aku meliriknya tajam, bersungut-sungut.
“Diamlah! Pergi sana! Sebentar lagi jam makan malam. Tidakkah Kak Harry bersiap-siap? Berdandan yang rapi agar gadis itu langsung terpikat saat pertama bertemu pandang, seperti drama picisan.” Aku tergelak saat membayangkannya. Terlebih ketika melihat tampang Kak Harry yang suntuk maksimal.
“Aku tidak menginginkan perjodohan ini. Ayolah, apa kau tidak lihat betapa masih mudanya kakakmu ini? Aku masih ingin bebas. Ikatan seperti ini hanya akan membatasi gerakku dalam segala hal. Qai, menurutmu apa yang harus kulakukan?” Kak Harry menatapku serius. Manik sewarna madu miliknya berpendar sendu. Oh, kakakku yang malang. Apakah kelak aku juga akan mengalami nasib seperti dirinya? Jika iya, aku pasti akan memberontak. Tapi, tidak mungkin aku menyarankan hal ini padanya. Ketiga kakakku yang lain juga dijodohkan dengan sistem serupa. Dan berhasil.
“Kak Harry, sebaiknya Kakak terima saja. Kakak tidak punya pilihan.” Aku menoleh ke arahnya dengan seringai lebar, hanya untuk mendapati ia menyentil dahiku dengan kejam. Lihat, ekspresinya buruk sekali. Bahkan jauh lebih buruk daripada pantat kuda nil yang lebar. Aku ingin tertawa tapi takut dosa. Apa boleh buat, aku akan mengizinkan telingaku mendengar keluh kesahnya.
Kak Harry menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya pada dinding balkon. “Tapi aku ingin memilih wanitaku sendiri, Qai. Tidakkah keputusan Ayah dan Ibu ini terlalu cepat? Aku belum lulus kuliah, belum berpenghasilan, dan terutama belum ingin menikah. Kenapa harus mengurus perjodohan? Bagaimana jika gagal di tengah jalan? Tidakkah akan merengganggkan hubungan baik dua keluarga?” Kak Harry menoleh ke arahku dengan dahi mengernyit tak mengerti. Tak mengerti apa sebenarnya yang dipikirkan Ayah dan Ibu.
“Tapi ketiga kakak kita tidak mengalami hal yang Kak Harry khawatirkan. Karena itulah Ayah dan Ibu melakukannya lagi terhadapmu. Eh, bagaimana, ya? Apa tidak sebaiknya Kak Harry jalani saja dulu? Bukankah kata orang cinta bisa tumbuh lantaran karena terbiasa? Lagipula, Kak Harry belum bertemu dengannya, ‘kan? Bisa saja nanti cinta pada pandangan pertama.” Aku nyaris tersedak saat mengatakannya. Sejak kapan aku mempelajari petuah bijak tentang percintaan? Apalagi soal cinta pada pandangan pertama, yang aku sendiri bahkan tak mempercayainya.
“Bagaimana jika aku sudah punya pilihan?” gumam Kak Harry pelan, matanya yang setajam elang menatap kejauhan. Menembus jauh ke dimensi ruang dan waktu.
“Eh? Apa? Kakak sudah punya pacar?” seruku dengan kedua bola mata nyaris keluar. Tentu saja aku kaget. Sejak kapan Kak Harry memutuskan membuka hatinya untuk wanita?
“Bukan begitu, Gadis Nakal!” dengus Kak Harry sambil menyentil dahiku. Lagi? Seandainya aku lahir duluan, sudah kujadikan tahu bulat ini orang.
Aku mengusap dahiku sambil lalu, Kak Harry harus berterima kasih padaku karena aku lebih tertarik dengan apa yang baru saja ia katakan daripada apa yang baru saja ia lakukan padaku. “Lalu?” tanyaku, tak mampu menyembunyikan rasa ingin tahu. Dan hal itu memang tak perlu. Dia kakakku. Dan dia tahu pasti aku akan mencari tahu sampai ke akar apa yang membuatku penasaran.
Kak Harry tertawa pelan, “Jangan tertawakan aku, janji?” mata elangnya menatapku lekat, menuntut persetujuan mutlak.
“Janji!” sahutku mantap.
“Mungkin ini sedikit aneh," kata Kak Harry memulai. "Aku tidak pernah bertukar sapa dengannya. Aku juga sama sekali tak mengenalnya. Tapi, pandanganku selalu terkunci padanya setiap kali kami bertemu di kampus. Dia tidak melihatku, tapi jantungku selalu berpacu lebih cepat saat melihatnya.” Aku menunggu sampai kedipan yang keseratus, tapi Kak Harry tak kunjung melanjutkan ceritanya. Dia malah sibuk dengan lamunannya sendiri. Sejak kapan kakak tersayangku ini hilang akal?
“Apa Kak Harry tahu siapa namanya?” Kak Harry menggeleng.
“Rumahnya?” Ia menggeleng lagi.
“Keluarga?” Lagi-lagi aku hanya mendapatkan gelengan kepala. Aku mulai gemas. Terlebih pandangannya masih menatap langit.
“Kapan pertama kali Kak Harry bertemu dengannya?”
“Setahun yang lalu,” sahutnya ringan sekali.
“Kak Harry!” Aku berteriak tepat di depan telinganya. Membuatnya langsung mengernyit dengan sebelah mata terpejam. Aku tidak peduli jika gendang telinganya berdarah. Kakakku ini super genius. Kenapa soal beginian dia jadi bodoh level Saturnus?
“Qai! Kau membuat gendang telingaku pecah!” gerutunya sambil bersungut-sungut. Mengusap daun telinganya dengan dramatis.
“Kak Harry sudah melihatnya selama setahun, mengunci hati dan pikiran Kakak hanya untuk dia. Tapi, oh, demi langit! Bagaimana mungkin Kakak tidak tahu hal-hal dasar seperti itu?” Aku membuka mulut selebar-lebarnya. Menegaskan betapa aku sangat terkejut dengan kedunguan kakak tersayangku ini.
“Ah, aku hanya tidak ingin mengganggu proses belajarnya. Gadis itu sangat rajin dan pintar. Selagi ia tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan pada pria lain, itu sudah cukup bagiku. Aku akan menunggu sampai saatnya tiba.”
“Kakak,” gumamku penuh kekhawatiran dan penekanan. “Apakah kepalamu tidak terbentur sesuatu? Apa kau yakin organ penting pengendali di dalamnya tidak bergeser atau mengalami kebocoran?” Kutatap Kak Harry lekat penuh keseriusan.
Seketika, Kak Harry langsung menoleh, menyudahi keterpanaannya pada langit senja dan mengerutkan dahinya semakin dalam. “Apa kau mengatakan sesuatu?”
“Batok kepala ini,” kataku penuh penekanan sambil mengetuk-ngetuk kepala Kak Harry dengan jari tengah. Aku tahu ini tidak sopan. Tapi biarkan saja. Penegasan dramatis itu kadang diperlukan. “Apa Kakak yakin otak yang ada di dalamnya tidak bergeser? Sejak kapan Kakakku yang genius menjadi sangat dungu begini? Mengecewakan!” dengusku sambil bersedekap. Memanyunkan bibir nyaris lima senti.
“Lalu menurutmu, apakah aku harus terang-terangan mengatakan padanya kalau aku menyukainya? Mengajaknya berpacaran dan menikah? Dia bukan tipikal gadis seperti itu. Dia tidak mungkin mau berpacaran. Yang ada malah takut dan semakin menjauh dariku,” jelas Kak Harry.
“Paling tidak, katakan padanya. Kakak menyukainya. Tidak akan menganggunya. Tapi akan menunggunya sampai ia siap ke pelaminan. Biarkan ia tahu kalau Kakak menunggunya. Jika gadis itu tidak tahu, ia akan dengan mudah menerima lamaran pria lain jika waktunya tiba. Paham?”
“Oh sudahlah, aku tidak akan terlalu memikirkan hal ini. Lagipula, jika jodoh juga tak akan ke mana. Sekarang masalahnya, soal perjodohan ini. Bantu aku menemukan cara untuk menolaknya, Qai. Kau ‘kan cerdik seperti kancil. Kau pasti punya cara. Ayolah, pikirkan satu untukku.” Tampang memohon Kak Harry benar-benar membuatku ingin menjitaknya. Sayangnya, aku masih memiliki adat kesopanan.
“Jika Kak Harry tidak mau, kenapa pulang?” tanyaku dengan kedua mata menyipit.
“Ayah yang memintaku pulang. Sama sekali tidak mengatakan apa pun sebelumnya. Baru tadi malam Ayah dan Ibu mengatakannya.”
“Lalu? Kakak jawab apa? Makan malam tidak mungkin terselenggara jika Kakak menolaknya.”
“Ibu sangat antusias dengan perjodohan ini. Aku tidak tega melihatnya kecewa," gumamnya pelan, penuh dengan sikap kepasrahan yang diliputi rasa hutang budi yang besar pada wanita yang telah mengandung, melahirkan, dan merawatnya.
Aku mengangkat kedua bahu santai. “Ya sudah, jika itu pertimbangan Kak Harry, tidak ada cara untuk membatalkannya. Sudah sana!” usirku sedikit jengkel. Dia sudah dengan penuh kesadaran mengambil keputusan, dan sekarang, kenapa harus mempersulit dan mencederai telingaku dengan keluh kesahnya? Dasar!
Ketika aku hendak beranjak, Kak Harry menarik lenganku, “Tunggu, soal mendaki Gunung Respati, apa kau serius?”
Aku berdecak, “Tentu saja, KAKAK! Harus kuulang berapa ratus kali lagi? Aku ingin ke sana. Aku dan Yusuf sudah mendapat izin Ayah dan Ibu. Aku bisa menjaga diri. Jangan khawatir," tuturku seraya mengibaskan tangan beberapa kali. Menegaskan bahwa ini sungguh bukan hal besar yang perlu kekhawatiran tingkat dewa.
“Apa kau sudah mendengar ada kerajaan tak kasat mata di pegunungan itu?” tanya Kak Harry dengan tatapan serius.
“Ah, itu hanya mitos,” dengusku sedikit jengkel. Kakakku ini, selalu saja berusaha mencari ratusan alasan agar aku tidak jadi pergi.
“Qai, sebaiknya kau tidak berkata demikian. Makhluk seperti itu nyata adanya.”
“Aku tidak akan percaya sebelum aku bisa melihatnya langsung dengan mata kepalaku,” tegasku seraya menunjuk-nunjuk indra penglihatan. Orang-orang dewasa ini selalu saja seperti itu. Suatu kali, pernah kejadian satu gang dibuat ribut oleh kemunculan tengkorak dan api di rumah kosong ujung gang. Banyak yang mengatakan kemunculannya tengah malam dan melahap siapa pun yang dilihatnya. Percaya? Tentu saja tidak. Mana ada hal seperti itu. Untuk mematahkan teori ngawur mereka, aku sengaja datang ke tempat itu tepat tengah malam. Hasilnya? Aku masih hidup sampai sekarang.
“Keras kepala. Kalau begitu, aku ikut. Aku hanya ingin memastikan kau tidak ceroboh dan ditelan Danau Tirto Wening.” Kak Harry beranjak berdiri, tepat di hadapanku. Menyeringai sambil mengacak-acak rambutku yang lembut dan berkilau. Ehem.
“Aih, bilang saja ingin menghindari acara jamuan rekan bisnis Ayah. Iya, ‘kan?” Aku bisa mencium akal bulusnya.
“Pintar!” jawabnya sambil menepuk-nepuk kepalaku. Menyeringai lebar.
“Kak Harry,”
“Ya?”
“Harry, Qaireen!” Belum sempat aku mengutarakan pertanyaan, pintu kamarku sudah terbuka. Memperlihatkan seorang wanita cantik usia 40 tahunan. Wanita itu sangat anggun dengan pakaian panjang yang ia kenakan. Cara bicaranya pun juga sangat lembut. Terkadang aku berpikir, apakah benar aku anaknya? “Kalian siap-siap. Setengah jam lagi tamu kita datang. Harry, kau dengar Ibu?”
Demi mendengar teguran Ibu, aku menoleh ke arah Kak Harry yang tampak terdiam dan menatap menembus bahu Ibu. Aku menyikut perutnya. Bisa-bisanya melamun saat Ibu bicara. “Ah iya, Bu.”
“Ya sudah, Ibu turun dulu.”
“Eh, Ibu, tunggu,” sergah Kak Harry ketika Ibu hendak menutup pintu. Aku mengernyit. Jangan-jangan Kak Harry meminta jamuan makan malam ini dibatalkan.
“Ada apa?” tanya Ibu dengan sebelah alis terangkat.
“Hari Minggu Qaireen akan mendaki bersama Yusuf ke Gunung Respati, dan ....” Kak Harry mengusap belakang kepalanya sambil melempar senyum paling manis ke Ibu. Sial, bisa-bisanya merayu Ibu dengan gaya seperti itu. Tak kunjung mendengar kelanjutan kalimat yang diucapkan Kak Harry, Ibu mengernyit semakin dalam, “Harry ingin menemani Qaireen,” lanjutnya.
“Tapi hari Minggu kamu ada acara, Harry. Kita akan menghadiri acara rekan bisnis Ayah bersama keluarga Hermawan. Kamu tidak boleh pergi. Qaireen sudah ada Yusuf yang menemani. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” titah Ibu. Yang seketika membuatku manggut-manggut sambil menepuk-nepuk punggung Kak Harry. Tersenyum lebar. Bagus, Bu. Jangan biarkan kakakku yang manis ini mengacau. Akan sangat menjengkelkan jika setiap pasang mata yang kami lewati melemparkan tatapan penuh minat pada Kak Harry. Terutama para gadis. Aku punya pengalaman buruk soal ini di masa lalu. Dan cukup. Aku tidak ingin mengalaminya lagi.
“Bu, dengarkan Harry sekali saja. Gunung Respati memiliki danau yang sangat indah dengan air sebening kristal. Dan Ibu tahu? Sudah belasan pendaki yang menjadi korban tenggelam. Jasadnya tidak pernah ditemukan. Bahkan kemarin, ada seorang teman yang mengatakan danau itu nyaris saja kembali memakan korban. Untung saja korban selamat. Yang lebih mengejutkan lagi, korban yang merupakan seorang gadis menuturkan kalau yang menyelamatkannya adalah seorang pangeran dari dimensi lain. Ibu, aku sungguh─”
“Aih, Kak Harry terlalu banyak membaca kisah fiksi. Mustahil ada hal semacam itu. Mereka yang tenggelam itu pasti kurang berhati-hati. Andai─”
“Aku tidak sedang bergurau. Ibu, percayalah padaku, menurut kisah yang disampaikan turun temurun, ada kerajaan besar tak kasat mata yang menguasai Daratan Selatan yang berpusat di Gunung Respati. Jika ceroboh sedikit saja─”
“Jangan dengarkan, Kak Harry, Bu. Bukankah acara pertemuan itu sangat penting? Akan sangat memalukan jika Kak Harry tidak hadir dan justru pergi mendaki menemaniku. Terutama keluarga Hermawan, mereka pasti berpikir Kak Harry tidak menghargai mereka.” Aku tersenyum melihat Ibu yang sejak tadi terdiam mendengarkan perdebatan kami kini tampak memikirkan alasanku.
“Idiot! Keselamatanmu lebih penting bagiku dari apa pun yang ada di dunia ini,” sela Kak Harry. Nada suaranya terdengar meninggi dan sangat serius. Aku melirik melalui sudut mata hanya untuk mendapati rahangnya yang mengeras. Oh, apakah ia marah? Apakah ia sungguh-sungguh dengan alasannya untuk mengawasiku?
“Qai benar, Harry. Kau tidak bisa pergi bersamanya. Acara ini sangat penting bagi keluarga kita. Bukankah Qaireen sudah terbiasa mendaki bersama kalian dulu? Dengan Yusuf ada di sampingnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi,” tukas Ibu seraya menepuk-nepuk pundak Kak Harry. “Dia sudah tumbuh menjadi seorang gadis, Harry. Dia bukan lagi anak-anak yang menangis memintamu menggendongnya ketika jatuh. Kita harus percaya padanya, oke?” terang Ibu. Membuat Kak Harry menunduk, terdiam. Dan aku bisa melihat kedua tangannya terkepal erat. Entah kenapa, ada rasa bersalah yang tiba-tiba datang menelusup.
Begitu pintu ditutup, Kak Harry langsung menatapku. Aku menelan ludah. Kak Harry jarang sekali terlihat sedemikian serius. Jika ia bersikap seperti itu, artinya, ia sungguh-sungguh mengkhawtirkan sesuatu.
“Dengar, Qai,” Kak Harry berjalan mendekat, menatapku lurus-lurus dengan kedua tangan yang ia letakkan pada bahuku. “Mungkin saat ini kau tidak percaya pada keberadaan mereka. Tapi, kau harus tahu ini, cahaya yang terlihat di alam ini merupakan bagian dari spektrum magnetik yang hanya menyumbang sekitar 0,005% di alam semesta.” Kak Harry melepaskan kedua tangannya dari bahuku. Berjalan perlahan menuju meja belajar dan menyalakan lampu di atasnya. Duduk bersandar pada meja dengan kedua kaki menjuntai ke bawah.
Aku terdiam di tempat. Rasa bersalah masih menghantui untuk sekadar membantah segala bentuk ucapannya. Kak Harry pasti memiliki dasar yang kuat saat mempercayai suatu hal. Dia bukan tipikal orang yang dengan mudah percaya pada segala hal yang didengar telinganya.
“Sementara, sisanya adalah energi gelap atau informasi yang tidak terlihat,” lanjutnya seraya mengarahkan sorot lampu pada permukaan meja. Menyisakan ruang gelap di sekitarnya. “Cahaya yang terlihat, hanya membentuk sebagian kecil spektrum elektro-magnetik. Maka, kita hanya bisa melihat sebagian kecil dari 0,005% di alam semesta. Yang artinya, kita hanya bisa menyaksikan tidak sampai 1% dari keberadaan dunia dari cahaya yang masuk ke mata kita. Dan sebagian besar dari kita, tidak menyadari apa yang kita lihat,” jelasnya. Kembali berjalan menghampiriku yang masih terdiam.
Aku menelan ludah. Penjelasannya memang masuk akal. Tapi aku masih sulit menerima selama aku belum mengalaminya. Pasalnya, aku memang tidak pernah melihat hantu. Meskipun aku mendatangi sarangnya, mereka tak pernah menunjukkan batang hidungnya untuk sekadar menyapa dan mungkin ... berkenalan?
“Qai,” suara Kak Harry terdengar pelan dan lembut. “Ini pertama kalinya kau akan pergi mendaki tanpa kami. Ketahuilah, kau sangat berharga bagi kami.” Setelah berkata demikian, Kak Harry sedikit mencondongkan
tubuh dan mendaratkan kecupan lembut di keningku. Membuatku berpikir, mungkin kekhawatirannya terlalu berlebihan. Tapi aku memilih diam. “Berjanjilah, kau akan pulang dengan selamat,” tuturnya, sedikit menundukkan kepala untuk mensejajarkan manik sewarna madu yang melembut dengan netra sepekat malam milikku.
Aku mengangguk. Tersenyum lebar untuk mengurai keseriusan, “Janji.” Dan sekali lagi, Kak Harry mengecup dahiku lembut.
Dalam hati aku melanjutkan, aku akan berusaha. Meskipun aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Akila Adil
terus...Thor penasaran nih..
2021-07-24
0
Lidia kando nababan Lidia
ganteng banget sih harry 😍😍😍😍
2021-03-14
0
Exca Indonesia
menarik...lanjuuut !
2020-10-18
1